Analisis Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Nanggung Analisis Pendapatan Hutan Rakyat

rakyat memiliki luasan areal yang masih luas jika dibandingkan dengan Desa Bantar Karet.

5.3 Analisis Potensi Hutan Rakyat di Kecamatan Nanggung

Untuk menduga potensi hutan rakyat di Kecamatan Nanggung digunakan metode jumlah batang berdasarkan volume Standing Stock. Metode ini menggunakan perhitungan rata-rata luas lahan, rata-rata jumlah pohon, rata-rata diameter pohon, rata-rata tinggi pohon, volume Standing Stock, dan rata-rata potensi hutan rakyat Standing Stock. Untuk analisis potensi hutan rakyat di Kecamatan Nanggung pada masing-masing desa contoh dapat disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Potensi Hutan Rakyat Standing Stock di Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet Desa Curug Bitung Desa Bantar Karet Rata-rata luas lahan Ha 1,37 1,32 Rata-rata jumlah pohon 936 611 Rata-rata diameter pohon cm 19,4 18,7 Rata-rata tinggi pohon m 11,86 12,00 Volume Standing Stock m 3 237,06 190,08 Rata-rata potensi hutan rakyat Standing Stock m 3 Ha 173,03 144,00 Berdasarkan pada Tabel 6 jika dilihat berdasarkan luasan kepemilikan lahan rata-rata jumlah pohon dan rata-rata diameter pohon pada Desa Curug Bitung memiliki angka terbesar jika dibandingkan dengan Desa Bantar Karet yakni sebesar 936 pohon. Pada Desa Bantar Karet memiliki rata-rata jumlah pohon yang dapat ditanam sebanyak 611 pohon. Jika dilihat potensi kayu rakyatnya Desa Curug Bitung memiliki potensi kayu rakyat Standing Stock terbesar daripada Desa Bantar Karet yakni sebesar 173,03 m 3 Ha. Sedangkan Desa Bantar Karet memiliki potensi kayu rakyat Standing Stock sebesar 144,00 m 3 Ha. Hal ini disebabkan pada Desa Curug Bitung masih memiliki luasan areal hutan rakyat yang masih cukup luas. Jika dibandingkan dengan Desa Bantar Karet areal hutan rakyatnya sudah terbagi oleh adanya lokasi penambangan emas.

5.4 Analisis Pendapatan Hutan Rakyat

Pendapatan petani dari penjualan kayu rakyat beragam tergantung dari jumlah kayu dan kualitas kayu yang dijualnya. Penjualan kayu ke industri penggergajian dengan harga per m 3 berkisar antara Rp 120.000,00 sampai Rp 150.000,00 akan menghasilkan pendapatan yang besar, dengan biaya pemanenan yang ditanggung oleh petani. Sedangkan penjualan dengan sistem borongan dengan harga per m 3 Rp 40.000,00 akan menghasilkan pendapatan bersih bagi petani karena biaya pemanenan ditanggung oleh pembeli. Kepraktisan dalam penjualan dengan sistem borongan memberi konsekuensi tingkat keuntungan yang relatif lebih rendah dibandingkan petani yang menjual kayunya langsung ke industri penggergajian. Untuk analisis pendapatan hutan rakyat per tahun di Kecamatan Nanggung pada masing-masing desa contoh dapat disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Pendapatan Hutan Rakyat Rpth berdasarkan kepemilikan lahan di Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet Sumber Pendapatan Luas Kepemilikan Lahan Ha 0,5-1 1-2 2 Curug Bitung Bantar Karet Curug Bitung Bantar Karet Curug Bitung Bantar Karet Kayu Rakyat 1.764.888 1.001.395 2.246.678 2.151.814 5.998.949 5.152.632 Tanaman Pangan 1.252.300 1.050.125 1.845.623 1.562.346 3.425.618 3.078.562 Tanaman Buah 996.452 845.263 1.010.512 1.235.456 2.425.521 2.126.352 Total 4.013.640 2.896.783 5.102.813 4.949.616 11.850.088 10.357.546 Berdasarkan pada Tabel 7 sumber pendapatan petani hutan rakyat selain berasal dari pendapatan kayu rakyat juga berasal dari tanaman pangan dan tanaman buah-buahan. Jika dilihat berdasarkan luasan areal yang dimiliki oleh petani hutan rakyat maka Desa Curug Bitung memiliki total pendapatan petani hutan rakyat terbesar daripada Desa Bantar Karet. Pada luasan areal 0,5-1 Ha Desa Curug Bitung memiliki total pendapatan sebesar Rp 4.013.640th, sedangkan Desa Bantar Karet pada luasan yang sama total pendapatannya sebesar Rp.2.896.783th. Pada luasan areal 1-2 Ha Desa Curug Bitung memiliki total pendapatan sebesar Rp 5.102.813th, sedangkan Desa Bantar Karet pada luasan yang sama total pendapatannya sebesar Rp 4.949.616th. Pada luasan areal 2 Ha Desa Curug Bitung memiliki total pendapatan sebesar Rp 11.850.088, sedangkan Desa Bantar Karet memiliki total pendapatan sebesar Rp 10.357.410 dengan luasan areal yang sama. Hal ini disebabkan jumlah petani hutan rakyat di Desa Bantar Karet masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan Desa Curug Bitung. Selain itu juga disebabkan pada Desa Curug Bitung petani hutan rakyat dalam penjualan kayu rakyatnya langsung ke industri penggergajian. Hutan rakyat pada masing-masing desa contoh selain bersifat monokultur juga bersifat campuran. Petani hutan rakyat selain menanam tanaman keras seperti sengon dan kayu afrika, juga menanam tanaman pangan seperti padi, jagung, singkong serta tanaman buah-buahan seperti pisang, pepaya, rambutan. Petani hutan rakyat dalam mengelola lahannnya menggunakan sistem tumpang sari.

5.4.1 Biaya Produksi Hutan Rakyat

Total biaya produksi pengelolaan hutan rakyat merupakan total biaya penanaman, biaya pemeliharaan dan biaya pemanenan. Untuk hutan rakyat campuran karena kondisi tanamannya yang tidak seumur yaitu bervariasi dari 1 tahun sampai 10 tahun maka yang dihitung dalam perhitungan adalah untuk tanaman kayu yang sudah ditebang atau sudah layak tebang umur 5 tahun sampai 10 tahun. Sedangkan untuk hutan rakyat monokultur dengan penanaman secara bersamaan, penebangan biasanya secara tebang habis keseluruhan pohon yang ada di lahan. Biaya penanaman yang dikeluarkan petani meliputi biaya persiapan lahan, pengadaan bibit dan kegiatan penanamannya. Biaya pengadaan bibit persentasenya 19.19 terhadap total biaya produksi yang dikeluarkan petani responden. Biaya ini cukup besar karena petani membeli bibit ke penjual tidak membuat bibitnya sendiri. Pembelian bibit oleh petani harganya bervariasi tergantung umur bibit tersebut. Rata-rata biaya pembelian untuk 1 bibitnya Rp500,00. Tabel 8. Rincian Biaya Produksi Sampai Umur Tebang Tahun Total Biaya Penanaman RpHa Total Biaya Pemeliharaan RpHa Total Biaya Pemanenan RpHa Persiapan Tanam Pengadaan Bibit Kegiatan Penanaman Pemupukan Pendangiran Pemberantasan Hama dan Penyakit Upah Tebang dan Sarad Upah Angkut 1 465.000 280.000 325.000 80.000 50.000 20.000 - - 2 60.000 115.000 90.000 70.000 240.000 65.000 - - 3 50.000 150.000 48.000 280.000 120.000 87.000 - - 4 60.000 150.000 120.000 150.000 200.000 65.638 - - 5 90.000 150.000 65.000 50.000 240.000 90.000 500.000 500.000 6 45.000 180.000 260.000 220.000 170.000 70.698 - - 7 120.000 3.845.000 1.780.320 1.547.500 800.000 194.500 - - 8 60.000 90.000 225.654 80.000 623.456 150.890 - - 9 80.000 250.000 135.320 350.000 500.000 150.000 - - 10 90.000 150.000 115.000 120.000 205.000 95.000 1.325.000 1.000.000 Total 1.120.000 5.360.000 3.164.294 2.947.500 3.148.456 988.726 1.825.000 1.500.000 Sedangkan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan petani meliputi biaya pendangiran, pemberantasan hama dan pemupukan. 68.58 biaya yang dikeluarkan petani responden adalah untuk kegiatan pemeliharaan yang berupa pendangiran. Kegiatan pendangiran rata-rata dilakukan setiap 3 bulan sampai umur tanaman 4 tahun. Jadi rata-rata ada 4 kali kegiatan pendangiran sampai tanaman ditebang. Biaya rata-rata dari kegiatan pendangiran per pohonnya sampai tanaman ditebang Rp 1750. Sedangkan biaya pemeliharaan yang lain seperti pemupukan dan pemberantasan hama persentasenya terhadap biaya produksi sangat kecil. Hal ini disebabkan karena jumlah responden yang melakukan kegiatan tersebut sangat sedikit. Kegiatan pemupukan dilakukan 16 responden 26.67, dengan biaya rata-rata per pohonnya Rp 250. Kegiatan pemupukan tidak dilakukan secara benar sehingga kualitas terhadap hasil kayunya juga tidak terlalu berpengaruh. Sedangkan kegiatan pemberantasan hama dan penyakit yang dilakukan oleh 5 orang responden 8.33, dengan biaya rata-rata per pohonnya Rp 300. Biaya pemanenan dikeluarkan pada tahun ke 5, yaitu pada saat petani akan menjual kayunya. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa biaya pemanenan merupakan biaya yang paling besar dikeluarkan petani. Biaya tersebut dikeluarkan jika mereka menjual kayunya ke industri yang harga m 3 lebih mahal dibandingkan dengan petani yang menjual kayunya ke tengkulak dan mendapat pendapatan bersih tanpa biaya pemanenan. Dari 60 responden ada 9 orang responden yang menjual kayunya langsung ke industri penggergajian. Diantara 9 orang tersebut ada 2 orang yang memiliki industri penggergajian sendiri. Rata-rata biaya pemanenan per m 3 yang dikeluarkan petani sebesar Rp 55.082 yang meliputi biaya penebangan dan penyaradan per m 3 Rp 25.246 serta biaya pengangkutan ke industri penggergajian per m 3 Rp 29.835. Akibat besarnya biaya penebangan dan pengangkutan yang harus dikeluarkan oleh petani sebelum mereka menerima penjualan kayunya. Biaya yang sangat besar tersebut sulit disediakan oleh petani sehingga mereka menjual kayunya ke tengkulak.

5.4.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat

Sistem pengelolaan hutan rakyat di dua desa contoh yaitu Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet sebagian besar sudah menggunakan bentuk Agroforestry dengan pola tanaman tumpangsari, dimana suatu areal lahan ditanami dengan tanaman perkebunan, buah, sayuran dan tanaman keras. Sedangkan sebagian kecil responden memang mengkhususkan menaman tanaman keras. Pada umumnya tanaman keras yang ditanam adalah sengon Paraserianthes falcataria dan Kayu afrika Maesopsis eminii. Untuk tanaman kayu afrika menurut responden lebih mudah ditanam dibandingkan dengan tanaman sengon. Tanaman kayu afrika sistem permudaannya menggunakan sistem trubusan yaitu bekas tebangan kayu tersebut tumbuh tunas baru lagi dan bijinya sangat mudah tumbuh. Sedangkan untuk tanaman sengon relatif mudah terserang hama seperti uter-uter dibandingkan tanaman kayu afrika. Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan responden meliputi kegiatan penanaman dan kegiatan pemeliharaan. Sedangkan untuk kegiatan pemanenan dan pemasaran sebagian besar responden tidak melakukannya karena sistem penjualannya melalui tengkulak. Berikut adalah uraian kegiatan-kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh responden.

5.4.3 Kegiatan Penanaman

Untuk kegiatan penanaman, masyarakat pemilik lahan biasanya melakukan beberapa tahapan kegiatan yaitu persiapan lahan, pengadaan bibit dan kegiatan penanamannya sendiri.

5.4.3.1 Persiapan Lahan

Kegiatan penyiapan lahan atau persiapan tanam dilakukan dengan cara membersihkan lahan dari semak belukar, tumbuhan penggangu dengan menggunakan sabit. Pembersihan lahan sebenarnya tidak mutlak dilakukan jika areal bekas tebangan sudah bersih. Berbeda dengan lahan yang banyak ditumbuhi tanaman penggangu seperti rumput alang-alang yang dapat menggangu pertumbuhan tanaman. Banyaknya tenaga kerja dan biaya yang digunakan untuk membersihkan lahan tersebut tergantung banyaknya tanaman yang ditanam. Dari 60 orang responden yang diwawancarai ada 10 orang responden 16,67 yang tidak membersihkan lahannya sebelum kegiatan penanaman. Hal tersebut dilakukan karena lahannya memang sudah bersih dan sebagian lagi memang lahan tersebut tidak dikelola sama sekali.

5.4.3.2 Pengadaan Bibit

Bibit sengon dan kayu afrika sebagian diperoleh petani dengan cara membeli langsung kepada penjual bibit dengan harga berkisar Rp 100,00 per bibit sampai Rp 500,00 per bibit. Dalam hal ini petani jarang membuat bibit sendiri walaupun sebenarnya lebih menguntungkan bagi petani, akan tetapi karena tingkat pengetahuan petani yang kurang mengenai pembibitan maka mereka tidak mau mengambil resiko. Sebagian juga petani tidak mengeluarkan biaya untuk membeli bibit, karena bibit mereka peroleh dibawah tegakan tanaman yang sudah tua baik dilahan mereka sendiri maupun lahan milik tetangganya. Jadi mereka tinggal mengumpulkannya dan langsung menanamnya di lahan.

5.4.3.3 Penanaman

Kegiatan penanaman dimulai pada saat bibit dan lahan telah siap. Kegiatannya dimulai dari pembuatan lubang tanam kemudian memasukkan bibit ke lubang tersebut. Lamanya kegiatan dan biaya yang dikeluarkan petani pada kegiatan penanaman ini tergantung banyaknya tanaman yang ditanam. Dalam kegiatan penanaman biasanya menggunakan tenaga kerja upahan. Besarnya upah tenaga kerja bervariasi antara Rp 10.000,00 sampai Rp 15.000,00 per hari. Selain menggunakan bibit, tanaman berkayu seperti sengon dan kayu afrika banyak yang berasal dari tunas yang tumbuh di tunggak bekas tebangan atau biasa disebut sistem trubusan. Tanaman sengon atau kayu afrika yang sudah ditebang dari tunggaknya biasanya tumbuh tunas yang banyak, kemudian oleh petani diambil satu atau dua untuk tumbuh dengan cara memangkas yang lain. Jadi dengan sistem trubusan ini lebih menghemat biaya yang dikeluarkan oleh petani karena tidak ada biaya pengadaan bibit, cuma kegiatan pembersihan di sekitar tanaman tersebut. Menurut keterangan responden tanaman yang berasal dari sistem trubusan ini lebih mudah tumbuh besar dibandingkan dengan bibit yang sengaja ditanam.

5.4.4 Kegiatan Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan petani meliputi pemupukan, pendangiran dan pemberantasan hama dan penyakit. Untuk kegiatan dan pemberantasan hama dan penyakit jarang dilakukan oleh petani mengingat kendala biaya. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

5.4.4.1 Pemupukan

Kegiatan pemupukan dilakukan untuk memacu pertumbuhan tanaman, sehingga diperoleh hasil kayu yang optimal. Dari 60 responden yang diwawancarai ada 16 orang petani 26.67 yang sengaja memupuk tanaman kerasnya pada saat awal penanaman. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang atau pupuk buatan seperti urea. Rata-rata kegiatan pemupukan hanya dilakukan 1 kali pada saat awal penanaman, itu pun dengan dosis yang tidak seberapa sehingga hasilnya kurang optimal. Sebagian besar petani memang tidak secara langsung melakukan kegiatan pemupukan pada tanaman keras, akan tetapi mereka melakukan pemupukan pada tanaman musiman yang ada dilahan tersebut sehingga secara tidak langsung tanaman keras pun mendapat tambahan hara dari pupuk tersebut.

5.4.4.2 Pendangiran

Kegiatan pendangiran dilakukan dengan cara membersihkan tanaman pengganggu atau pun rumput alang-alang yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Kegiatan pendangiran rata-rata dilakukan 3 bulan sekali sampai tanaman berumur 1 tahun. Setelah tanaman berumur 1 tahun tanaman sudah tumbuh tinggi sehingga pertumbuhan rumput tidak terlalu mengganggu tanaman. Jadi selama daur tanaman rata-rata petani melakukan 4 kali pendangiran. Biaya terbesar yang dikeluarkan petani dalam pengelolaan hutan rakyat adalah pada kegiatan pendangiran ini. Biasanya mereka menggunakan tenaga kerja upahan, sama pada kegiatan penanaman dengan upah berkisar antara Rp 10.000,00 sampai Rp 15.000,00 per hari dengan rata-rata 6 sampai 7 jam kerja per harinya. Untuk meminimalkan biaya ada sebagian petani yang melakukan pekerjaan ini secara bergilir dengan petani lainnya yang sama-sama mempunyai lahan. Jadi ada semacam gotong royong dalam membersihkan lahan tersebut.

5.4.4.3 Pemberantasan Hama dan Penyakit

Kegiatan pemberantasan hama dan penyakit dilakukan dengan tujuan mencegah terhadap serangan hama dan penyakit supaya tanaman bisa tumbuh dengan baik. Pencegahan terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida ke tanaman supaya tanaman tidak mudah terserang hama, sedangkan untuk tanaman yang sudah terkena hama dimatikan atau dimusnahkan dengan cara menebang tanaman yang terserang hama dan penyakit agar tidak menyerang tanaman lainnya. Tanaman sengon lebih mudah terserang hama dibanding tanaman kayu afrika hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman sengon adalah ulat kantong atau uter. Apabila hama dan penyakit ini menyerang, maka tanaman yang terserang akan mati dan cepat menyebar ke tanaman lain yang ada di sekitarnya. Dari 60 responden yang diwawancarai hanya ada 5 orang responden 8.33 yang melakukan kegiatan pemberantasan hama dan penyakit di lahannya. Apabila petani melihat tanamannya terserang hama dan penyakit ini, maka mereka akan cepat-cepat menjual tanamannya walaupun umur tanamannya masih muda.

5.4.5 Kegiatan Pemanenan

Kegiatan pemanenan kayu rakyat di lokasi penelitian menggunakan dua sistem yaitu sistem tebang pilih dan sistem tebang habis. Untuk hutan rakyat monokultur yang masa penanaman tanamannya serentak menggunakan sistem tebang habis. Sedangkan untuk hutan rakyat campuran biasanya menggunakan sistem tebang pilih sesuai dengan umur tanamannya atau dipilh tanaman-tanaman yang telah cukup umur karena tanaman berkayu umurnya bervariasi mulai dari 1 tahun sampai 10 tahun. Rata-rata kayu rakyat di lokasi penelitian dipanen pada saat berumur 5 sampai 10 tahun. Pada kenyataanya sebagian besar petani hutan rakyat menjual kayunya sesuai dengan kebutuhan yang mendesak. Jadi pada saat ada kebutuhan yang mendesak, mereka memilih kayu mana yang telah cukup umur untuk dijual. Kegiatan pemanenan kayu rakyat dilakukan oleh responden sendiri jika penjualan kayunya langsung ke industri. Sedangkan apabila petani menjual kayunya ke tengkulak kegiatan pemanenan dan pemasarannya dilakukan oleh pembeli tersebut. Dari 60 orang responden yang diwawancarai 85 tidak melakukan kegiatan pemanenan dan pemasaran sedangkan 15 responden menjual kayunya langsung ke industri penggergajian terdekat. Pada responden yang melakukan kegiatan pemanenan mereka melakukan beberapa tahapan kegiatan yaitu penebangan, pemotongan sortimen, penyaradan dan pengangkutan ke industri. Besarnya upah yang dikeluarkan untuk penebangan dan penyaradan berdasarkan hasil kubikasi yang dilakukan oleh pekerja. Upah biaya tebang dan sarad per m 3 berkisar antara Rp 30.000,00 sampai Rp 40.000,00 tergantung lokasi hutan rakyat dengan tempat penumpukan kayu yang biasanya di tepi jalan raya. Sedangkan untuk pengangkutan kayu ke industri penggergajian biasanya menggunakan colt pickup maupun truk. Satu colt pickup bisa memuat kayu sekitar 6 m 3 . Besarnya biaya pengangkutan bervariasi tergantung lokasi dari tempat penumpukan kayu ke industri tersebut. Biaya angkut ke industri per m 3 berkisar antara Rp 25.000,00 sampai Rp 30.000,00.

5.4.6 Kegiatan Pemasaran Hasil Hutan Rakyat

Sebagian besar responden petani hutan rakyat 85 memasarkan hasil kayunya ke pembelitengkulak kayu dengan sistem borongan. Dalam hal ini pembeli yang mendatangi pemilik kayu rakyat, kemudian pembeli yang melakukan penebangan dan pengangkutan kayu rakyatnya. Biaya pemanenan dan pengangkutan ditanggung oleh pembeli sehingga petani mendapatkan pendapatan bersih. Menurut responden mereka lebih suka memasarkan kayunya dengan sistem ini karena lebih praktis dan tidak perlu mengeluarkan biaya banyak. Untuk sistem penjualan kayu di Kecamatan Nanggung sistem borongannya dengan sistem kubikasi. Kayu yang ada di lahan oleh pembeli ditebang terlebih dahulu kemudian baru dihitung volume kubikasinya yang disaksikan oleh petani. Pendapatan bersih petani adalah hasil kubikasi dikalikan dengan harga per m 3 yang telah disepakati dengan pembeli. Harga per m 3 kayu rakyat rata-rata Rp 40.000,00 dengan diameter ± 20 cm dengan panjang sortimen 2 sampai 3 m. Sistem borongan dengan kubikasi ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem borongan per pohon karena hasil kayunya lebih jelas. Kalau dilihat dari harga jualnya dan pendapatan bersih yang diterima petani, sistem pemasaran langsung ke industri penggergajian jauh lebih menguntungkan petani dibandingkan dengan pemasaran dengan sistem borongan. Hal inilah yang menjadi kendala kecilnya keuntungan pengusahaan hutan rakyat di Kecamatan Nanggung. Kayu yang berasal dari petani oleh para tengkulak kayu ada yang dipasok ke industri penggergajian atau ada yang menjual langsung ke pabrik sebagai bahan baku pulp dan kertas. Sedangkan industri penggergajian yang menampung kayu baik dari petani maupun dari tengkulak, mengolah kayu rakyat menjadi kayu gergajian untuk kebutuhan industri seperti peti kemas atau meubel.

5.5 Analisis Kelayakan Usaha Hutan Rakyat

Dalam rangka otonomi daerah, sesuai dengan UU RI No 22 tahun 1999 dimana daerah diberi kewenangan untuk menggali sumber keuangannya sendiri, hutan rakyat dapat dijadikan sebagai salah satu sumber untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD. Selama ini dengan tidak adanya kontribusi terhadap daerah, peran Dinas Kehutanan juga tidak ada. Dengan diadakannya semacam retribusi dari pihak daerah dengan petani. Petani hutan rakyat memberikan semacam retribusi yang dapat meningkatkan PAD sedangkan pihak Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanan memberikan bantuan-bantuan dalam pengelolaan hutan rakyat. Pada penelitian ini digunakan pendekatan dalam menentukan besarnya retribusi. Pendekatan yang dilakukan berupa wawancara ke 60 orang responden tentang kesediaan membayar ijin angkut dan ijin tebang, dalam arti jika mereka menebang kayu rakyat dalam jumlah tertentu harus ada persetujuan dari pihak instansi yang ditunjuk dan dikenai biaya atau retribusi setiap pohon atau m 3 nya. Berdasarkan hasil analisis finansial, secara umum dapat dikatakan bahwa pengusahaan hutan rakyat pada lahan milik petani kedua desa contoh dengan biaya total pengeluaran yang dibebankan baik sebelum retribusi maupun setelah ijin tebang angkut adalah layak bagi petani pemiliknya. Hal ini terlihat dari nilai NPV yang positif dan BCR lebih besar dari satu. Sedangkan nilai IRR nya lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku. Dari Tabel 9 tersebut dapat dilihat nilai NPV rata-rata sebesar Rp 622.160, BCR sebesar 1,063 dan IRR sebesar 20,74. Dari data tersebut kegiatan pengusahaan hutan rakyat yang dilakukan petani hutan rakyat di Kecamatan Nanggung dengan dua desa contoh yakni Desa Curug Bitung dan Desa Bantar Karet, masih berada diatas tingkat suku bunga yang berlaku. Hal ini menunjukan bahwa usaha ini sangat berprospek dan dapat memberi tambahan penghasilan yang besar bagi petani. Disisi lain petani dapat membantu mewujudkan program pemerintah untuk melestarikan sumber daya alam yang berupa hutan.