Kebutuhan terhadap Adanya The New Growth Theory
kerusakan pada sumberdaya alam ataupun common pool resources CPRs
lainnya, tidak terkecuali sumberdaya hutan lihat Resosudarmo, 2005. Fenomena seperti itu juga dialami oleh wilayah Provinsi Lampung, yang
kemudian menyebabkan klimaksnya deforestasi, yang berakibat pada degradasi fungsi intrinsik hutannya, kongesti permintaan bahan baku bagi sektor-sektor
agroindustri yang kemudian menimbulkan fenomena skala pengembalian yang terus menurun
DRS: Decreasing Return to Scale, stagnasi capaian indikator makro ekonomi wilayahnya seperti pertumbuhan ekonomi yang rendah disertai
PDRBKpt yang rendah pula, dan kemiskinan yang pervasive serta IPM yang tertinggal dari rata-rata nasional. Gejala
the limit to growth Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001 dan SorensenWhitta-Jacobsen, 2009 atau
Ricardian trap Hayami, 2001 tersebut harus dipecahkan melalui perencanaan pembangunan
ekonomi wilayah RED: Regional Economic Development secara komprehensif.
Simpul dari semua pertautan masalah itu adalah bahwa fungsi intrinsik hutan harus segera direstorasi melalui kegiatan aforestasireforestasi AR. Selain
karena sangat esensial dalam pemulihan fungsi intrinsik hutan tersebut, kegiatan AR di Popinsi Lampung juga menjadi potensi untuk program akselerasi
pengembangan Entreprenuership lokal sehubungan dengan peluang pemasaran
jasa karbon global [ M] melalui CDM clean development mechanism dalam
skema Protokol Kyoto. Protokol tersebut merupakan kesepakatan kelembagaan
global global institution yang harus diimplementasikan pada tataran lokal on
farm sehingga juga dapat menjadi peluang untuk mengembangkan jiwa Entrepreneurships petani sekaligus pengembangan Leaderships maupun
Institustion-nya di tingkat lokal pula ke depan. Di Provinsi Lampung terdapat sekitar 2 juta ha yang memenuhi semua persyaratan untuk CDM lihat Mudiyarso
et al., 2006. Selanjutnya dengan pulihnya fungsi intrinsik hutan ini dan makin
berkembangnya ketiga faktor endogenik L, I, E tersebut, maka diharapkan
dapat memecahkan Ricardian trap melalui peningkatkan produktivitas sektor-
sektor primer perkebunan; pertanian bahan pangan; peternakan dan perikanan, untuk memecahkan masalah ―excess demand” akan bahan baku dalam sektor-
sektor agroindustri yang telah beraglomerasi di subwilayah hilir. Mengingat
sektor-sektor agroindustri ini merupakan penyerap sekitar 77 dari total tenaga kerja di Provinsi Lampung dalam kurun 2000-2005 Affandi, 2009 maka sangat
beralasan untuk berharap lebih jauh pada peningkatan capaian kinerja RED yaitu
berupa peningkatan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan IPM peningkatan indeks konsumsi, peningkatan kesehatan serta peningkatan
pengetahuan. Harapan itu sangat mungkin dapat dicapai terutama bila dikembangkan
kelembagaan yang mengatur sinergi hulu-hilir melalui skema PES Pay for
Environmental Service bagi subwilayah hulu dari peningkatan rente perekonomian di subwilayah hilir dimana telah terjadi aglomerasi sektor-sektor
agroindustri yang mencapai IRS: Increasing Retun to Scale lihat Krugman 1991,
2010a, 2010b; Grajeda, 2010 dan Rending, 2009. Optimisme tersebut juga beralasan mengingat peningkatan kontribusi
kinerja RED dari sektor-sektor agroindustri yang telah beraglomerasi di
subwilayah hilir tersebut mampu membangkitkan imbas pengetahuan dari pemanfaatan ipteks
knowledge spillover maupun imbas pengetahuan karena terjadi kompetisi pasar demi mengejar efisiensi
pecuniary externality yang juga sangat menentukan bagi penempaan jiwa
Enterpreneurship di suatu wilayah. Proses-proses ini berakumulasi sedikit demi sedikit awalnya melalui
face to face interaction, yang umum dikenal sebagai niche learning region Igliori, 2008.
Selama proses-proses tersebut berlangsung juga terbangun internalisasi norma- norma yang beriringan dengan penempaan
Leaderships di subwilayah hilir. Hasil-hasil penelitian Hein 2010 di Vietnam melaporkan bahwa perkembangan
faktor E sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang berjalan beriringan
dengan investasi di sektor-sektor publik lainnya. Peningkatan kredit kepada usaha mikro dapat memacu akselerasi perkembangan jumlah
Entrepreneurships, tetapi peningkatan pajak belum tersimpulkan.
Pelajaran yang patut dipetik dari temuan Hien 2010 tersebut adalah: penting sekali untuk merancang suatu intervensi kebijakan publik dalam rangka
pengembangan ketiga faktor endogenik pertumbuham ekonomi wilayah, baik untuk subwilayah hulu, hilir ataupun untuk keseluruhan wilayah di Provinsi
Lampung. Dengan intervensi itu by design maka, pengembangan faktor-faktor
endogenik diharapkan dapat diakselerasi lebih cepat, yang pada gilirannya akan bermuara pada cepatnya pertumbuhan ekonomi secara endogenik dan
berkesinambungan. Namun demikian untuk melakukan semua kegiatan tersebut dalam rangka
memulihkan stagnasi kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung maka tindakan yang juga kritis untuk dilakukan adalah karakterisasi terhadap faktor-
faktor endogenik yang ada di provinsi ini. Kecuali itu mengingat semua kinerja
pembangunan ekonomi wilayah juga sangat dipengaruh oleh kinerja fiskal otoritas lokal yaitu: i penerimaan daerah, ii alokasi belanja untuk investasi publik, dan
iii alokasi belanja berbagai jasa layanan umum, maka ketiga macam fungsi fiskal tersebut perlu untuk dikarakterisasi pengaruhnya terhadap perilaku
Institution maupun terhadap Leadership lokal. Apabila kedua unsur endogenik
L dan I tersebut dapat dimodelkan sebagai fungsi dari kinerja fiskal dari otoritas Provinsi Lampung, maka
pengembangan Entrepreneurship dimungkinkan untuk dapat distimulasi melalui
intervensi kebijakan fiskal otoritas lokal tersebut. Pada gilirannya peningkatan kinerja
E diharapkan mampu menjadi tumpuan dalam menghela pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan pangsa sekor industri yang dilandasi oleh sektor
pertanian. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, maka dapat dirancang lebih lanjut pendistribusian benefit dari hasil aksi bersama itu untuk meningkatkan
indeks pembangunan manusia HDI secara agregat di Provinsi Lampung. Secara diagramatik kerangka pemikiran untuk pemecahan masalah ini disajikan pada
Gambar 17.
3.2. Ideologi Pembangunan dan Asumsi Dasar dalam Pemecahan Masalah 3.2.1 Landasan Ideologi Pembangunan yang Digunakan
Mengingat setiap perencanaan mempunyai dimensi waktu ke depan, sementara itu banyak kejadian di masa depan yang mengandung unsur
ketidakpastian, maka para perencana pembangunan atau para pemegang kebijakan publik akan senantiasa dihadapkan pada pilihan landasan ideologi pembangunan
tertentu. Pilihan ideologi itu, akan menjadi pijakan utama dalam pegembangan kerangka pemikiran untuk pemecahan masalah tersebut. Selanjutnya berbagai