Novelti Ranah Penelitian PENDAHULUAN
cemaran yang berasal dari semakin meningkatnya keperluan penggunaan pupuk akibat tererosinya lapisan tanah yang subur maupun penggunaan pestisida
dengan semakin meluasnya aktivitas pertanian pada lahan-lahan yang telah tererosi seiring dengan semakin cepatnya laju konversi hutan menjadi areal
budidaya pertanian ataupun penggunaan lahan lainnya yang memiliki land rent
lebih besar dari pada digunakan sebagai hutan. Selain kemerosotan fungsi hidroorologis, fenomena kemerosotan fungsi
ekologis kawasan di Provinsi Lampung dapat dicermati melalui penelitian Nyhus dan Tylson
2003 dan 2005. Para pakar ekologi kawasan ini menunjukkan bahwa pada kurun waktu antara 2000 sampai 2003 konflik antara manusia dengan
mamalia besar seperti harimau, gajah, babi hutan dll di berbagai tempat di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan TNBBS dan Taman
Nasional Way Kambas TNWK telah menunjukkan ekskalasi secara nyata. Para pakar tersebut berargumentasi bahwa konflik tersebut merupakan bukti
bahwa telah terjadi kemerosotan kesetimbangan ekologis secara nyata. Mamalia besar utamanya harimau merupakan pucuk peramida rantai makanan. Bila
populasi piramida yang ada di bawahnya tidak bisa menopang kebutuhan hidup komunitas karnivora ini, maka harimau akan keluar ke kawasan penyangga untuk
mencari ternak penduduk yang ada di kawasan penyangga, yang akhirnya dapat terjadi konflik dengan manusia.
Demikian juga dengan gajah, menurut Nyhus dan Tylson 2003, dan 2005 keadaan ekologis dalam kawasan TNWK tidak mendukung. Awalnya karena
seringnya terjadi kekeringan akibat dari kemerosotan fungsi hidrologis hutan karena deforestasi di subwilayah hulunya sehingga persediaan pangan kurang
mencukupi bagi herbivora ini. Akibatnya memaksa gajah harus keluar menuju kawasan penyangga dimana tanaman budidaya masih tumbuh dan terawat. Karena
umumnya tanaman budidaya lebih mudah dicerma oleh sistem digesti herbivora ini, maka gajah menjadi lebih menyukainya dan makin sering keluar ke kawasan
penyangga dan makin sering terjadi konflik dengan manusia. Begitu juga fenomena konflik manusia dengan herbivor lainnya seperti babi hutan, kera dan
sejenisnya dapat dijelaskan.
Sekalipun konflik ataupun serangan mamalia terhadap properti petani ternak dan tanaman budidaya memang dapat membawa kerugian ekonomi
secara langsung, tetapi yang lebih esensial adalah fenomena itu merupakan refleksi dari merosotnya kesetimbangan ekologi kawasan. Karena tidak kasat
mata, maka kemerosotan kesetimbangan ekologis tersebut jauh lebih merugikan perekonomian dari sekedar konflik manusia dengan mamalia tersebut. Saling
kebergantungan antarmakluk hidup menjadi makin merosot sehingga keanekaragaman hayati juga makin merosot.
Akibat kemerosotan keanekaragaman hayati tersebut antara lain fungsi- fungsi ekologis misalnya yang diperankan oleh golongan serangga dalam
polenisasi atau penyerbukan yang sangat penting bagi produktivitas berbagai tanaman budidaya menjadi merosot juga. Menurut Warsito dikutip Arief, 2011
bahwa 90 proses penyerbukan dalam kelompok serealia merupakan jasa dari lebah. Kerusakan ekologis kawasan telah sangat menekan fungsi-fungsi itu.
Begitu juga golongan reptil seperti ular yang mempredasi tikus sebagai musuh alami yang sangat penting sebagai pengendali hama tanaman juga sangat
terganggu. Peranan keanekaragaman hayati bagi penghidaran akan terjadinya ledakan hama yang secara ekonomi tidak diragukan lagi pentingnya juga dapat
hilang. Demikian dengan pula keanekaragaman hayati dalam tanah
bellow ground diversity, juga sangat memegang peranan penting bagi biokatalisator penyerapan
unsur hara oleh perakaran tanaman. Peranan mikoriza alam melarutkan fosfat yang dijerap kuat dalam tanah-tanah masam sangat melipatgandakan penyerapan
tersebut merupakan salah satu contohnya. Masih ribuan lainnya jumlah peran jasad renik dalam tanah yang mengendalikan serapan hara dan akhirnya sangat
menentukan produktivitas tanaman. Berbagai peran ekologis tersebut akan terdegradasi ketika terjadi
accelerated erosion akibat dari deforestasi ataupun degradasi hutan. Seperti dapat dicermati dalam Hairiah
et al. 2004 bahwa bellow ground diversity akan sangat tertekan dengan semakin cepatnya
penyusutan kandungan bahan organik tanah akibat deforestasi. Semua fenomena tersebut akan sangat menekan perekonomian masyarakat yang sebagian besar
petani melalui kemerosotan hasil maupun semakin frekuentifnya serangan hama-