Model Perilaku Kinerja Kesejahteraan dan Lingkungan

6.4 buah IKC_HU. Arti lebih lanjut, bahwa tempat ibadah di subwilayah hulu ini secara efektif dapat menjadi tempat penempaan tata aturan hidup bersama atau moral code formation Hayami, 2001 untuk saling berhubungan dengan fihak lain sehingga secara efektif berbagai macam bentuk transaksi dapat dijamin relatif aman, tak terkecuali untuk transaksi yang bermotifkan ekonomi secara langsung. Tempat ibadah tampaknya juga dapat menjadi tempat berinteraksi, membangun social capital, pengembangan jejaring dan akhirnya dapat menumbuhkan berbagai ide kreatif yang bermuara pada perkembangan usaha kecil yang pada akhirnya bermuara juga pada manfaat ekonomi. Sebagaimana menurut Yamamoto 1992 dikutip Hayami, 2001 di Jepang pada abad ke 18 perekonomian pasar dapat berkembang pesat mengiringi kejayaan ajaran moral utamanya dari Mazhab Isihada yang merupakan hasil interaksi ajaran Konghucu, Budha dan Shinto yang substansinya mirip dengan ajaran moral ekonomi dari Adam Smith yaitu: kebersahajaan, ketekunan, kejujuran dan dapat dipercaya frugality, industry, honesty, and fidelity. Kinerja I yang efektif ini merupakan aset sosial yang dapat menekan biaya-biaya transaksi. Perlu ditekankan di sini, bahwa biaya transaksi seperti untuk pencarian informasi, biaya pengikatan, biaya pengawasan, biaya asuransi dll akan sangat direduksi bila keefektivan I di suatu wilayah tersebut efektif, yang akan menjadi insentif bagi setiap aktivitas wiraushawan mikro di subwilayah IKC_HU ini. Keefektifan kinerja I di subwilayah ini ternyata juga bersisian dengan relatif kuatnya kinerja L, yang dalam hal ini jika faktor lain tetap, maka setiap ditemui 1 koperasi terkait dengan adanya IKC_HU sebanyak 13,3 buah. Kinerja E dari kalangan usaha mikro juga secara nyata dipengaruhi oleh kekuatan Leadership yang berkembang di subwilayah hulu ini. Menurut Stimson dan Stough 2008 bahwa kinerja I relatif tidak cepat berubah, namun kekuatan L seringkali dapat menstimulasi dan memfasilitasi berkembangnya interaksi antarwarga dalam suatu komunitas. Kuatnya interaksi tersebut pada gilirannya juga dapat menstimulasi untuk saling menghargai sesamanya, silih asih dan silih asuh, tidak terkecuali dalam menghargai kepemilikan property right dan sekaligus dapat menekan free rider, yang kemudian dapat menfasilitasi berkembangnya kinerja E. Sebalikya dengan kinerja I yang efektif dapat mempunyai feedback loop yang menguatkan terhadap kinerja L dan pada akhirnya juga bersama-sama menguatkan E kembali. Deskripsi penguatan E oleh kinerja L di subwilayah hulu ini juga dapat ditangkap dalam penelitian ini melalui peranan kerapatan koperasi per 10 ribu penduduk atau [KOP_HU] yang bersifat secara positif nyata terhadap kerapatan industri kecil di subwilayah hulu [IKC_HU]. Dalam konteks ini jiwa silih asah dan silih asuh yang tertanam dari para anggota koperasi tersebut berpengaruh dalam menstimulasi berkembangnya keinerja E di di subwilayah hulu ini. Namun situasi-situasi tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan sesudah berlangsungnya disentralisasi fiskal RZ. Dengan kata lain bahwa desentralisasi fiskal belum memberikan dampak nyata terhadap perkembangan kewirausahaan di subwilayah hulu, khususnya bagi kelompok wirausahawan kecil. Nampaknya desentralisasi seperti DAU, DAK dapat meningkatkan kinerja layanan publik yang bertalian dengan kepentingan kewirausahaan kelompok mikro di wilayah hulu ini. Kecuali itu dari Pers. {4.4} secara keseluruhan dapat ditarik makna bahwa keempat variabel penjelas tersebut secara bersama memiliki pengaruh sangat nyata terhadap kinerja E di subwilayah hulu P_value=0,001 atau setiap 1000 pengamatan ada 1 penyimpangan dan keragaman data IKC_HU sebagai proksi bagi kinerja E sebanyak 79,2 dapat dijelaskan oleh keragaman keempat variabel penjelas tersebut secara bersama seperti ditunjukkan oleh nilai R 2 adj- nya. Peranan L terhadap kinerja E seperti ini juga dapat ditunjukkan pada kalangan wirausahawan besar-sedang IBS_HU di subwilayah hulu, bahkan kerapatan jumlah koperasi per 10 ribu penduduk KOP_HU secara sangat nyata bersisian dengan IBS_HU. Seperti dapat diperiksa pada Pers.{4.5}, bahwa jika faktor lain tetap, maka setiap ditemui 1 koperasi per 10 ribu penduduk maka terkait dengan kepadatan industri besar-sedang sebanyak 0,0211 buah IBS_HU. Sedangkan variabel intensitas kejahatan di hulu KJ_HU, kerapatan jumlah tempat ibadah di hulu IBD_HU maupun rezim tata pemerintahan RZ tidak secara nyata terkait dengan kinerja E dari kelompok wirausahawan besar-sedang di subwilayah hulu ini. Artinya perkembangan kelompok wirausahawan ini tidak secara nyata terpegaruh oleh kinerja keamanan maupun, tata aturan, maupun rezim. Walaupun begitu, keempat variabel ini secara bersama berperan sangat nyata bagi perkembangan kinerja E dari kalangan wirausahawan besar-sedang di subwilayah hulu IBS_HU seperti tunjukkan oleh P value -nya=0,001. 2 Kinerja Enterpreneurship di Subwilayah Hilir Secara umum subwilayah hilir dicirikan oleh kepadatan populasi yang relatif lebih tinggi sehingga interaksi antarorang menjadi lebih intensif. Interaksi ini pada gilirannya dapat membangkitkan demand dan berarti pula dapat meningkatkan kinerja E. Interaksi tersebut juga dapat menempa keefektifan kinerja I maupun penguatan kinerja L dalam masyarakat, yang kemudian dapat menstimulasi perkembangangan kinerja E kembali tidak terkecuali dalam sub kelompok masyarakat wirausahawan mikro. Faktanya seperti dapat dilihat dalam Pers. {4.6}. Kepadatan koperasi atau KOP_HI sebagai proksi bagi L secara positif nyata terkait dengan intensitas atau kepadatan IKC_HI. Begitu pula dengan kepadatan organisasi sosial kemasyarakatan ORG_HI. Kuatnya L ini juga dapat dibuktikan beriringan dengan efektifnya I. Seperti diperlihatkan pada Pers. {4.6} bahwa bila faktor lain tetap, maka jika ditemukan IBD_HI satu buah maka akan terkait secara positif nyata dengan IKC_HI sebesar 8,77 buah. Sebaliknya, jika faktor lain tetap, maka setiap ada kejahatan di tahun yang lalu t-1 sebesar 1 kejadian maka jumlah IKC_HI akan berkurang 21,6 buah. Fakta ini juga merupakan cerminan dari pentingnya peranan kinerja I dalam perkembangan kinerja E. Selain itu, dalam Pers.{4.6} ini juga ditemukan peranan kekuatan L untuk tujuan yang sama. Kecuali itu, temuan yang cukup menarik dari penelitian ini bahwa ternyata desentralisasi fiskal RZ mempunyai relasi yang nyata negatif bagi perkembangan kewirausahaan mikro di subwilayah hilir IKC_HI ini. Tampaknya fungsi-fungsi fiskal yang didesentralisasikan sejauh ini tidak cukup dapat membangkitkan insentif agar tumbuh banyak orang yang berkeinginan untuk lepas dari posisinya sebagai ―orang upahan‖ untuk kemudian bisa menggaji diri sendiri, tidak seperti di Vietnam Hien, 2010. Temuan yang sangat menarik justru pada kinerja wirausahawan besar- sedang di subwilayah hilir IBS_HI ini. Seperti dapat diperiksa pada Pers. {4.7}, bahwa perilaku kelompok wirausahawan besar-sedang IBS_HI agak aneh, terkesan perkembangannya tidak terpengaruh oleh norma-norma kinerja I ataupun terhadap bentuk-bentuk kerjasama kinerja L baik itu pada sebelum ataupun sesudah rezim tata pemerintahan RZ diberlakukan. Jikalau memang bentuk-bentuk ataupun tata aturan kerjasama tidak dapat diperankan untuk tujuan pengembangan E di kalangan ini, maka kelompok ini sulit untuk diharapkan manjadi bapak angkat bagi IKC_HI. Makna penting lainnya dari temuan ini adalah berarti kita belum dapat berharap banyak agar kelompok IBS_HI ini berperan sebagai agen transfer IPTEKS kepada IKC_HI dan berarti pula selama ini secara umum IBS_HI telah menjadi beban bagi seluruh masyarakat di Provinsi Lampung tersebut. 3 Peranan Entrepreneurship dalam Proses Transfomasi Struktural Menurut Kitzner 1976 dikutip Hien, 2010 wirausahawan atau Entrepreneur adalah orang yang mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di masyarakat untuk melakukan inovasi dalam rangka mengeskploitasi peluang untuk mendapatkan keuntungan yang sama sekali baru sementara orang lain belum melihat peluang itu. Ketika para wirausahawan atau Entrepreneur memanfaatkan dana masyarakat melalui intermediary sources perbankan, pasar saham, ventura dll dan menginvestasikannya untuk tujuan-tujuan inovatif, maka akan terjadi inflasi yang ―memaksa‖ masyarakat untuk menekan tingkat konsumsinya, untuk berhemat dan menabung. Dengan tabungan masyarakat itu, maka akan selalu tersedia dana bagi para wirausahawan. Ketika suatu inovasi ditemukan, maka keuntungan dapat diraup oleh wirausahawan tersebut dengan memasang tarif yang relatif besar. Bahkan dapat ditempuh melalui pengukuhan hak esklusif seperti paten. Di sisi lain, karakter dari suatu inovasi selalu diikuti oleh para peniru followers dengan cara membuat produk-produk yang sejenis yang umumnya dengan hanya membuat sedikit perubahan sampai imitasinya, yang seringkali juga kualitasnya menjadi lebih bagus dari pada yang lebih awal ditemukan. Proses yang terakhir ini yang menyebabkan ketersediaan berbagai pilihan produk menjadi sangat banyak yang dapat menekan harga melalui kompetisi sehingga menjadi lebih murah. Dengan begitu tingkat konsumsi dan kesejahteraan masyarakat secara agregat dapat ditingkatkan oleh inovasi yang terus dilakukan para wirausahawan, yang selalu digerakkan oleh insentif adanya peluang keuntungan baru dan penyediaan dana tabungan oleh masyarakat tersebut. Karena itu Stimson dan Stough 2008 menyebut kepadatan jumlah entrepreneur merupakan motor pertumbuhan endogenik di setiap wilayah. Penelitian ini ingin mengukur peranan kinerja Entrepreneur yang telah banyak mengeksploitasi sumberdaya yang ada di masyarakat selama juga punya andil yang besar bagi pencapaian kesejahteraan masyarakat di Provinsi Lampung. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diuji apakah peran tersebut pada awalnya juga dapat membangkitkan lapangan pekerjaan yang ada di sektor-sektor modern sekaligus untuk dapat menyerap tenaga sektor-sektor pertanian dan ekstraksi sumberdaya alam yang senantiasa mengalami decreasing return to scale. Dengan kata lain apakah para entrepreneur yang beropreasi di Provinsi Lampung selama ini juga telah cukup berperan penting dalam transformasi struktural perekonomian secara sehat dengan menyumbangkan akumulasi kapital yang dicerminkan oleh pertumbuhan ekonomi di wilayah? Atau malah bukan dan malah sebaliknya. Jawaban terhadap serangkaian pertanyaan tersebut data diperiksa pada Pers. {4.9}. Model persamaan ini memiliki P value =0.001 dengan R sq adj=93.9, berarti sangat nyata dalam mendeskripsikan pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] dari kedelapan prediktornya tersebut. Dengan demikian memang benar bahwa wirausahawaan di Provinsi Lampung telah berperan nyata bahkan sangat nyata dalam proses transformasi tersebut walaupun memerlukan waktu tunda 1 tahun lamanya t-1. Tapi peran tersebut bukan berasal dari kalangan wirausahawan besar-sedang IBS, melainkan hanya berasal dari industri kecil, baik yang beroperasi di subwilayah hulu IKC_HU maupun di subwilayah hilir IKC_HI. Peran industri kecil tersebut yang secara positif sangat nyata juga disokong oleh peran sektor pertanian AGR_SH, pertambangan MIN_SH dan sektor-sektor selainnya seperti perdagangan; komunikasi; dan jasa-jasa OTH_SH. Dengan demikian perilaku dari IBS_HI yang tampaknya sama sekali tidak terkait dengan tata aturan dan norma-norma kinerja I dan terkesan tidak terkait dengan bentuk-bentuk kebutuhan akan kerjasama seperti dalam Pers.{4.7} tersebut juga dapat dikuatkan buktiknya di sini. Dengan menggunakan Pers.{4.8} dapat diperiksa bahwa industri besar yang ada di hilir IBS_HI tidak punya kontribusi positif bahkan cenderung menekan proses transformasi struktural perekonomian G_IND_SH selama ini. Bahkan yang beroperasi di hulu IBS_HU malah secara nyata telah menekan proses modernisasi perekonomian di Provinsi Lampung. Padahal kalangan IBS ini yang telah banyak melakukan eksploitasi terhadap segala sumberdaya yang ada di wilayah ini, termasuk dalam bentuk eksploitasi tabungan masyarakat, memanfaatkan buruh murah yang difasilitasi oleh penyediaan pangan murah yang memaksa pada berlanjutnya deforestasi hutan, mendegradasikan sumberdaya lahan serta memerosotkan kinerja lingkungan maupun kesehatan. Proses ini secara sangat nyata makin menguat sejak disentralisasi tata pemerintahan berlangsung, seperti ditunjukkan oleh keofisien dari RZ= -6,24 dengan P value =0,006 pada Pers.{4.8} tersebut. Fenomena tersebut juga dikenal sebagai kebocoran wilayah regional leakage dalam arti rente ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat di luar Provinsi Lampung. Fenomena ini dapat mengarah kepada kegagalan pemeritah government failure setidaknya untuk urusan pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Seperti dapat dirujuk dalam penelitian Affandi 2009, bahwa telah terjadi aglomerasi IBS di subwilayah hilir. Dapat dicatat berbagai perusahaan besar yang beroperasi di subwilayah hilir seperti kelompok PT Sugar Group, PT Great Giant Pinneapple, PT Gunung Madu Plantation, PT Dipasena, PT Bratasena, PT Nusantara Tropical Fruit dll. Namun kelompok ini secara agregat belum punya peran nyata dalam proses transformasi struktural perekonomian wilayah Provinsi Lampung seperti dapat diperiksa dalam Pers. {4.8}. Telah terjadi kebocoran ekonomi wilayah regional leakage diperkirakan yang menjadi penyebabnya. Keadaan itu harus segera diatasi oleh otoritas publik dengan menghadirkan suatu kebijakan yang mampu untuk memberdayakan masyarakat melalui penguatan kinerja L di kalangan wirausahawa kecil [IKC] agar makin berperan dalam proses transformasi struktural perekonomian melalui penciptaan lapangan pekerjaan di sektor-sektor industri kecil tersebut. 4 Peranan Sumberdaya Hutan dalam Menopang Transformasi Struktural Sebagaimana telah diuaraikan di atas, bahwa ternyata di wilayah Provinsi Lampung pertumbuhan pangsa sektor industri [G_IND_SH] yang menjadi batu pijakan proses modernisasi perekonomian selama ini telah dipikul oleh para wirausahawan dari kalangan industri kecil IKC yang ditopang oleh sektor pertanian. Beban yang harus dipikul oleh sektor pertanian di wilayah ini menjadi semakin berat karena harus menyediakan bukan hanya bahan baku untuk agroindustri yang telah menjadi leading sector di wilayah ini Affandi, 2009 tetapi juga untuk menopang kebutuhan pangan murah berkaitan dengan perilaku para entrepreneur kapitalis dari kalangan industri besar IBS untuk menekan upah buruh sampai pada level subsisten Hayami, 2001. Apalagi terbukti kalangan IBS ini telah menekan proses transformasi sruktural di wilayah ini seperti diuraikan sebelumnya. Secara agroekelogis tidak ada sistem pertanian intensif seperti perkebunan, pertanian pangan, peternakan dan perikanan darat yang dapat berdiri sendiri tanpa ada penyediaan jasa lingkungan seperti jasa pengaturan siklus air hidro-orologis, jasa-jasa ekologis kawasan kesetimbangan ekologi dan keanekaragam hayati, jasa sekuestrasi karbon dan jasa amenitas lingkungan. Hanya sumberdaya hutan yang menjadi tumpuan dalam penyediaan jasa-jasa non- konvenisonal tersebut. Sistem pertanian pangan seperti serealia dan umbian di Provinsi Lampung utamanya terdistribusi pada bentang lahan dataran rendah di bagian Tengah sampai Timur subwilayah hilir ini yang beriklim relatif kering. Dalam keadaan itu, sistem catu air suplay untuk budidaya maupun kegiatan lainnya sangat bergantung pada keberadaan hutan yang berada di Bagian Barat dengan bentang lahan utama berupa pegunungan dan perbukitan yang beriklim sangat basah pula. Bukan hanya pada jasa siklus air, khususnya untuk serealia seperti dibuktikan oleh Warsito dikutip Arief, 2011 bahwa 90 dari total penyerbukannya dilakukan oleh aktifitas lebah: suatu fonemena penyediaan jasa ekologis kawasan yang eksistensinya sangat dikontrol oleh keberadaan sumberdaya hutan melalui fungsi intrinsiknya, baik berupa penyediaan amenitas lingkungan maupun sistem keanekaragaman hayati bagi keberlangsungan kehidupan lebah tersebut maupun kehidupan sekutu dan musuh alaminya. Ringkasnya proses transformasi struktural perekonomian di wilayah ini telah berlangsung melalui moderinisasi sistem perekonomian utamanya bertumpu pada sektor agroindustri Affandi, 2009 yang telah ditopang sistem pertanian intensif. Sehubungan dengan itu, mengingat setiap sistem pertanian sangat bergantung pada kinerja sumberdaya hutan, maka baik secara transitif maupun secara langsung nasib kebersinambungan proses transformasi struktural perekonomian di wilayah sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya hutan. Karena jasa-jasa non konvesional di wilayah ini telah begitu merosot sejalan dengan deforestasi akut seperti dapat diperiksa dalam Tabel 13 akibat ketidakadilan dalam sistem upah buruh murah yang berimplikasi pada keharusan pangan murah tersebut, maka telah muncul gejala Ricardian Trap di wilayah ini. Gejala tersebut dapat dicermati dalam laporan Affandi 2009, bahwa 12 kelompok agroindustri yang merupakan leading sector di wilayah ini mengalami skala pengembalian yang makin menurun DRS: Decreasing return to scale. Padahal sektor-sektor ini telah mulai berhasil mengalami aglomerasi di bagian Tengah sampai bagian Timur subwilayah hilir dalam Provinsi Lampung yang seharusnya dapat menampilkan kinerja yang bersifat IRS increasing retrun to scale. Lebih lagi Affandi 2009 juga melaporkan untuk kelompok industri pangan sangat elastis terhadap penambahan input bahan baku, tetapi tidak terhadap penambahan input kapital serta menurun dengan input tenaga kerja maupun energi. Fenomena serupa juga dilaporkan oleh Igliori 2008 di Brasil akibat deforestasi akut, yang disebutnya sebagai demand congestion atau excess demand terhadap bahan baku. Stagnasi pertumbuhan sektor industri akibat stagnasi suplai bahan baku seperti ini dikenal sebagai Ricardian trap Hayami, 2001; Witha-Jacobsen, 2009. Adapun peran sumberdaya hutan dalam menopang pertumbuhan pangsa sektor industri melalui penyediaan bahan baku dan pangan murah tersebut dapat diperiksa dalam Pers. {4.9}. Persamaan ini dapat digunakan untuk merancang proses kebijakan dalam upaya agar dapat escape dari Ricardian Trap sekaligus