Beberapa Skenario Kebijakan Fiskal Daerah di Bawah Skema Reforestasi
kompetitif bahkan sampai konflik yang kemudian juga sering berujung pada resolusi. Proses-proses tersebut berlangsung berulang sifatnya dan siklis. Proses-
proses seperti ini juga menginisiasi terbentuknya pranata-pranata sosial yang dinamis. Pranata sosial atau kelembagaan sebenarnya merupakan entitas yang
sifatnya abstrak dan tidak kasat mata. Namun entitas tersebut hidup di dalam dan dipelihara oleh masyarakat. Karena kelembagaan dalam masyarakat itu sifatnya
bukan barang privat yang dapat diekslusifkan, maka sekalipun abstrak proses- proses tersebut memerlukan ruang kejadian atau tempat bagi berlangsungnya
perkembangan norma-norma. Kecuali dalam ruang keluarga, proses perkembangan norma-norma
tersebut juga umumnya juga berlangsung dalam ruang-ruang publik seperti pasar, balai desa, kantor, masjid, gereja, surau dll. Untuk konteks Indonesia, tempat
ibadah IBD diduga masih merupakan tempat pembentukan ataupun pengembangan norma-norma hidup bersama yang di berbagai wilayah masih
relatif kuat sampai dewasa ini. Oleh karena itu, seperti dapat pada Gambar 20 dan 5.3, tampak hubungan yang bersesuaian antara kerapatan jaringan jalan dengan
kerapatan tempat ibadah. Bahwa kerapatan populasi, telah menyebabkan jejaring makin intensifnya interaksi antarwarga, meningkatkan komunikasi dan
terbentuknya jaringan jalan maupun perkembangan kelembagaan di suatu wilayah.
Mengingat tak satu orang pun yang dapat hidup menyendiri, melainkan selalu berinteraksi dengan sesama, maka kelembagaan yang timbul juga
menguatkan untuk saling bekerja sama, menekan konflik untuk akomodatif. Dalam keadaan seperti itu dapat memunculkan jiwa bisnis diantara anggota
masyarakat. Sifat kerja sama dipandang sebagai naluri yang berkembang dalam diri setiap insan. Karakter seperti itu oleh Stimson
et al. 2003 dipandang sebagai naluri kerjasama. Dengan kerjasama tersebut maka akan membangkitkan efisiensi
yang besar dalam segala usaha manusia. Dengan begitu kinerja kelembagaan Institution yang efektif akan berdampak terhadap kinerja Leadership yang kuat
pula.
Gambar 20. Kerapatan jaringan jalan JL, Km10 ha di subwilayah hulu HU dan Hilir HI serta
di Provinsi Lampung untuk periode Tahun 1996-2008
Gambar 21. Kerapatan tempat ibadah IBD per 10 ribu penduduk di subwilayah hulu HU
dan Hilir HI serta di Provinsi Lampung untuk periode Tahun 1996-2008
Kinerja L dan I di suatu wilayah akan menjadi landasan bagi pertumbuhan
dan perkembangan kinerja Entrepreneurship di suatu wilayah. Dalam penelitian
ini E didefinisikan mengikuti Kitzner 1976 dikutip Hien 2010 yaitu orang yang
dapat melihat adanya peluang suatu keuntungan baru yang belum diketahui oleh orang lain di pasar dan dia mampu mengeksplotiasi peluang tersebut melalui
realokasi sumberdaya yang ada melalui suatu cara-cara yang baru inovatif pula. Berdasarkan atas definisi ini dan dilandasi oleh kebutuhan untuk mengambangkan
rancangan praksis pembangunan wilayah ini, maka dalam penelitian digunakan kerapatan industri kecil IKC dan industri sedang-besar IBS. Kecuali itu juga
untuk tujuan megungkap peran resource endowment terhadap kinerja sektor
industri tersebut maka kedua kelompok industri tersebut juga dipisahkan antara yang berkembang di hulu HU maupun yang ada di hilir HI.
Secara umum sebagaimana dapat dicermati pada Tebal 5.3 bahwa Entrepreneurship dari kelompok industri kecil IKC lebih resilience dan adaptif
dalam menghadapi berbagai gejolak perubahan dibandingkan dengan kelompok industri sbesar-sedang IBS. Baik itu perubahan kinerja lingkungan biofisik
seperti merosotnya kinerja jasa lingkungan, lambatnya penyediaan jaringan, perubahan lingkungan sosial-kelembagaan seperti ekskalasi intensitas kejahatan
sampai dengan perubahan rezim tata pemerintahan.
Tabel 15. Kerapatan Indusrti Sedang-Besar IBS dan Industri Kecil IKC di Subwilayah Hulu HU, di Hilir HI serta di Provinsi Lampung Per
10 Ribu Penduduk
Tahun [IBS_HU]
[IBS_HI] [IBS_PROP]
[IKC_HU] [IKC_HI]
[IKC_PROP] 1996
0,08 0,05
0,41 78,59
85,15 83,99
1997 0,10
0,04 0,38
130,77 101,80
106,93 1998
0,10 0,04
0,37 136,78
41,28 58,13
1999 0,10
0,04 0,36
134,57 48,50
63,63 2000
0,16 0,04
0,35 132,57
58,36 71,37
2001 0,16
0,04 0,33
121,57 95,08
99,70 2002
0,16 0,03
0,31 112,39
108,60 109,26
2003 0,16
0,03 0,28
133,75 117,65
120,43 2004
0,16 0,03
0,27 135,53
119,50 122,26
2005 0,16
0,03 0,25
144,18 116,21
120,93 2006
0,17 0,06
0,56 149,44
116,51 122,02
2007 0,17
0,05 0,43
153,14 114,32
120,75 2008
0,16 0,04
0,38 152,40
113,47 120,00
Rataan= 0,14
0,04 0,36
131,97 95,11
101,49 Sd=
0,03 0,01
0,08 19,81
28,08 24,02
Sumber: BPS KabupatenKota Se-Provinsi Lampung 1997-2009; diolah
Selain itu, fenomena yang lebih menarik ternyata kinerja E yang berada di
subwilayah hulu HU yang lebih baik dari pada yang berada di subwilayah hilir HI baik itu yang berasal dari kelompok industri kecil IKC maupun dari
kelompok IBS. Nampaknya ada keefektifan Institution Tabel 14 atau Gambar
21 telah menjadi spirit untuk membangun berbagai macam bentuk transaksi yang kemudian bermuara pada berbagai manfaat ekonomi. Keefektifan kinerja
I di subwilayah hulu tersebut dibarengi oleh kekuatan
Leadership Tabel 15 atau Gambar 22 dan 23. Kedua macam kekuatan ini tampaknya berhubungan dengan
kepadatan populasi terhadap lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya arable land yang ada di kedua subwilayah tersebut.
Gambar 22. Kerapatan Indusrti Sedang-Besar IBS di Subwilayah Hulu HU, di Hilir HI dan di
Provinsi Lampung Per 10 Ribu Penduduk Periode 1996-2008
Gambar 23. Kerapatan Indusrti Kecil IKC di Subwilayah Hulu HU, di Hilir HI dan
di Provinsi Lampung Per 10 Ribu Penduduk Periode 1996-2008
Di sub wilayah hulu, sumberdaya lahan sejak Pemerinahah Kolonial utamanya oleh diperuntukkan sebagai wilayah resapan dan kawasan pelestarian
atau kawasan konservasi. Realitas ini setara dengan adanya kelangkaan sumberdaya lahan.
Adanya kelangkaan sumberdaya lahan ini yang dapat menjadi insentif bagi berkembangnya
I. Bersama dengan adanya kelangkaan sumberdaya umumnya telah mengarah pada kompetisi yang ketat dalam memperoleh manfaat
terhadap suatu sumberdaya. Dalam keadaan seperti itu kemudian akan mendekte sekelompok warga masyarakat untuk saling menghargai
property right, namun mugkin juga ada sebagai tidak. Sebagian ada yang mengalami konflik dan
sebagian ada yang saling akomodatif. Sebagian ada yang kuat berkelompok dan berjejaring
networking sebagian tidak. Dalam sebagian kelompok juga dapat berkembang sifat altruistik dan filantropia sebagian lainnya malah egoistik
dibarengi dengan sikap oportunistik pula. Begitulah berbagai proses sosial dapat mewarnai berkembangnya berbagai
jenis kelembagaan beriringan dengan kelangkaan vs kelimpahan sumberdaya alam
yang ada. Bersamaan dengan setting dan nurturing oleh perubahan lingkungan
biofisik seperti perubahan iklim, kerusakan ekologi kawasan yang sangat memerosotkan kenyamanan lingkungan serta perubahan lingkungan sosial-
kultural ataupun rezim tata pemerintahan seringkali juga turut menentukan kinerja kelembagaan yang ada di suatu wilayah.