The intrinsic function of forest resource and endogenous factors of economic growth as determinants of regional development of Lampung Province.

(1)

FUNGSI INTRINSIK HUTAN DAN FAKTOR ENDOGENIK

PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI DETERMINAN

PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG

SAMSUL BAKRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan disertasi Fungsi Intrinsik Hutan dan Faktor Endogenik Pertumbuhan Ekonomi sebagai Determinan Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.


(4)

(5)

ABSTRACT

SAMSUL BAKRI. The intrinsic function of forest resource and endogenous factors of economic growth as determinants of regional development of Lampung Province. Under direction of DUDUNG DARUSMAN, BAMBANG JUANDA and BAHRUNI.

Liquidation of forest resource for regional development programs in Lampung Province has produced higher rent of some land utilizations and has enhanced its regional welfare. The process, however, has also escalated the environmental deterioration such as the flood and landslide intensities as well as the land degradation. The deforestation process of the main resource endowment in the region would be lasting together with the next development activities anyhow. This research was objected to: (1) determine the maximum tolerable threshold of extended deforestation that would not sacrifice the possible next welfare achievement, (2) build a praxis of regional development based on endogenous economics growth theory. Data of land use series and social characteristics as well as economic were collected from secondary resources. Having employed a linear model for determining maximum tolerable of extended deforestation and the analyses of some simultaneous regressions in developing praxis on regional planning, it concluded: (1) deforestation has been a constraint element in regional development in Lampung Province, so that there is no extending deforestation allowed any longer except for the areas of people‘s forest and coffee farm that lied on the down stream only with the maximum acreages of 1,006 Ha and 5,378 ha respectively in case those area were converted to the estate plantation; (2) under the natural resource and the environmental deterioration constraints, the endogenous factors (leadership, institution and entrepreneurship) were reliable capitals in the praxis of the regional development through enhancement of income per capita in agriculture sector to bolster small industries empowerment and to accelerate economic growth that its benefit must be transmitted to enhance the farmer‘s parity in order to sustain the regional welfare development, (3) reforestation would enhanced local tax revenue without causing social injury as long as accompanied by the increasing the local government spending for public investment as well as spending on social aid.

Keywords: deforestation, endogenous growth, small industry, famer parity, fiscal policy and welfare


(6)

(7)

RINGKASAN

SAMSUL BAKRI. Fungsi Intrinsik Hutan dan Faktor Endogenik Pertumbuhan

Ekonomi sebagai Determinan Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN, BAMBANG JUANDA, dan BAHRUNI.

Penelitian Naidoo (2004) di 77 negara menyimpulkan bahwa deforestasi umumnya dapat mempercepat pertumbuhan maupun transformasi struktural perekonomian dari corak yang mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam menjadi perekonomian berbasis industri yang mengandalkan tenaga kerja terampil. Makin awal dan makin luas deforestasi dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi makin cepat dicapai. Capaian tersebut dapat diraih karena ekspor hasil hutan dapat digunakan untuk tabungan dan investasi dalam sektor-sektor perekonomian yang memiliki rente lebih tinggi seperti perkebunan, pertanian, perdagangan dan perindustrian serta yang lebih peting lagi untuk investasi pendidikan sehingga tersedia tenaga terampil. Fenomena ini juga dialami oleh berbagai wilayah di Indonesia. Melalui korbanan deforestasi itu, misalnya kini Provinsi Lampung menurut Ditjenbun (2009) telah menjadi eksportir kopi nasional ke dua (21,67%) setelah Sumatera Selatan (22,35%) dari total ekspor kopi nasional. Dengan kontribusi tersebut, maka telah menempatkan Indonesia sebagai pengekspor kopi peringkat ke tiga setelah Brasilia dan Vietnam.

Agak berbeda dengan deskripsi yang disampaikan oleh Naidoo (2004), kini laju deforestasi di Provinsi Lampung nampaknya telah melampaui daya regenerasinya sehingga fungsi intrinsiknya menjadi begitu merosot. Gejala ketidakbersinambungan pembangunan itu diindikasikan oleh buruknya capaian kinerja indikator makro pembangunan ekonomi wilayah. Menurut BPS Provinsi Lampung (2010), Lampung merupakan Provinsi termiskin ke tiga di Sumatera, untuk periode 2000-2008 rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 4,87[Sd=0,82]%, dengan PDRB/Kpt baru Rp 4,41[Sd=0,57]Juta dan tingkat kemiskinan masih 21,63[Sd=2,89]% serta capaian HDI (Human Development Index) 68,25 [Sd=2,17]. Sedangkan secara nasional untuk periode tersebut menurut BPS (2010) telah mencapai: pertumbuhan ekonomi 5,52[Sd=0,65]%, dengan PDB/Kpt Rp 8,08 [0,68]Juta dan tingkat kemiskinan dapat ditekan pada angka 16,09[Sd=0,64]% dan HDI 70,32[Sd=1,10]. Bersisian dengan itu, tutupan hutan di Provinsi Lampung telah terdegradasi akut yaitu 80% di hutan lindung, 76% di hutan produksi, 71% di hutan produksi terbatas, 70% di Tahura, 36% di Taman Nasional Way Kambas & 16% di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Dishut 2005 Provinsi Lampung dikutip Watala, 2008).

Berkaitan dengan itu, tantangannya bagi para perencana pembangunan adalah bagaimana merancang suatu praksis pembangunan wilayah di bawah kendala sumberdaya yang ada di Provinsi ini. Merujuk pada karya Stimson dan Stough (2008) dan Stimson et al (2003), harapan itu bisa sangat terbuka jika setiap wilayah mampu untuk mengembangkan berbagai insentif agar faktor-faktor endogenik yang dimilikinya dapat berkembang dan menjadi keunggulan kolaboratif (collaborative advantage) wilayahnya. Faktor-faktor endogenik tersebut meliputi kinerja kepemimpinan atau (L)eadership, kelembagaan atau


(8)

(I)nstitution dan kewirausahaan atau (E)ntrepreneurship. Kinerja faktor E merupakan motor bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Kinerja E ini akan kuat jika ditopang olah I yang efektif bersama-sama dengan L yang kuat pula.

Berlandaskan pada fakta-fakta tersebut, maka masalah utama yang perlu disingkapkan melalui penelitian adalah bagaimana perencanaan praksis pembangunan wilayah Propisi Lampung dapat dirumuskan agar ke depan dapat keluar dari Richardian Trap sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya? Namun mengingat pertumbuhan ekonomi itu sifatnya antidistrubsi (seringkali lebih banyak dinikmati oleh yang sudah relatif kaya) maka pada awal dekade 2000 UNDP telah menerapkan Human Development Index (yang merupakan komposit dari capaian indek konsumsi, indek kesehatan dan indek pengetahuan) sebagai tolok ukur keberhasilan suatu program pembangunan yang berkesinambungan. Dalam konteks ini, mengingat petani merupakan partisipan terbesar dalam pembangunan wilayah yang selama ini umumnya lemah dalam mengakses manfaat dari hasil pertumbuhan ekonomi tersebut, maka masalah kritis berikutnya adalah bagaimana daya beli kelompok masyarakat ini dapat ditingkatkan? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) menentukan batas toleransi ambang deforestasi yang masih menjamin capaian kesejahteraan ke depan, (2) mengkaji peranan kinerja faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah terhadap pertumbuhan pangsa sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan indek pembangunan manusia,(3) mengkaji peranan kontribusi hutan rakyat, hutan negara dan akses pasar terhadap pertumbuhan pangsa sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia, dan (4) mengembangkan rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah yang mengandalkan faktor-faktor endogenik,dan (5) merancang intervensi kebijakan fiskal di bawah skema reforestasi.

Penelitian ini dimulai pada bulan April sampai September 2011 di Provinsi Lampung. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada berbagai instansi yang di tingkat Nasional (BPS Nasional, Pusat Penelitian Tanah & Agroklimat) dan di Provinsi Lampung (BPS Provinsi, BMKG Provinsi, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan, BPDAS Seputih-Sekampung, Dinas Koperindag dan BI Lampung). Analisis dilaksanakan di Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, Universtias Lampung.

Pendekatan yang digunakan adalah pemodelan. Analisis hubungan antara tingkat kesejahteraan ataupun kerusakan lingkungan digunakan model linear berganda. Variabel terikat yang digunakan adalah Indek Pembangunan Manusia untuk 10 kabupaten/kota di lingkup Provinsi Lampung tahun mendatang HDIt+1.

Kecuali itu juga digunakan intensitas banjir (FLOOD) dan kelongsoran tanah (LSLIDE) sebagai pewakil dari degradasi lingkungan yang dinyatakan dengan persentase desa-desa yang mengalami kedua bencana itu dalam kurun 2003-2005 dan 2006-2008 (BPS Provinsi Lampung, 2006a dan 2009a). Adapun variabel penjelas yang digunakan meliputi proporsi penggunaan lahan di setiap kabupaten/kota, yang meliputi hutan rakyat (HR) dan hutan negara (HN), lahan terdegradasi (LDEG), sawah (SWH), ―perkebunan kopi rakyat‖ (COFF), perkebunan besar (ESTPLT), kolam (POND), ladang berpindah (SHIFT), lahan bera (FALLOW) dan rawa (SWAMP) yang diekstrak dari BPS Provinsi Lampung (2006a dan 2009a) kecuali untuk COFF yang diekstrak dati BPS Provinsi


(9)

Lampung (2006b dan 2009b) selain itu juga milimeter curah hujan tahunan (BMKG, 2010 tidak dipublikasi). Adapun status urbanisme dinyatakan dengan dummy variabele. Bentang lahan, jenis batuan dominan (diekstrak dari CSR, 1989). Optimasi parameter dilakukan dengan piranti lunak Minitab Version 11. Simulasi deforestasi dengan mereduksi luasan tutupan hutan rakyat, hutan negara, dan pengurangan perkebunan kopi masing-masing sebesar 5, 10, 15, 20, 25, 30, 50%. Kriteria yang digunakan untuk menentukan nilai ambang toleransi deforestasi ada 3 yaitu: (i) [HDI]t+1 untuk hulu >70,52 untuk hilir >71,28; (ii)

peningkatan [LSLIDE]<10%; dan (iii) peningkatan [FLOOD]<10%. Kriteria yang pertama diambil dari angka [HDI]2009 masing-masing untuk rataan kelompok

kabupaten di subwilayah hulu dan subwilayah hilir. Sedangkan kriteria yang ke dua dan ke tiga dipadang sebagai ukuran resiko yang masih rasional sebagai akibat dari dampak kehiatan pembangunan.

Perancangan praksis pembangunan wilayah menggunakan 3 teori yaitu, (1) teori transformasi strukural perekonomian, (2) teori kendala sumberdaya, (3) teori pertumbuhan ekonomi secara endogenik dengan mengadopsi postulat model yang dikembangkan oleh Stimson dan Stough (2008) dan (4) penerapan landasan etika.

Kinerja E diproksi dengan intensitas industri per 10 ribu penduduk baik indusri kecil di hulu (IKC_HU), industri kecil di hilir (IKC_HI), industri sedang-besar di hulu (IBS_HU) serta industri sedang-besar di hilir (IBS_HI). Kekuatan L

diproksi dengan kepadatan koperasi baik di hulu (KOP_HU) ataupun di hilir (KOP_HI). Kefektivaan atau kinerja I diproksi dengan itensitas kejahatan di hulu (KJ_HU) dan di hilir (KJ_HI), kerapatan tempat ibadah di hulu (IBD_HU) dan di hilir (IBD_HI), kerapatan organisasi sosial kemasyarakatan di hulu (ORG_HU) dan di hilir (ORG_HI) serta kerapatan relawan di hulu (RLW_HU) dan di hilir (RLW_HI) yang semuanya dinyatakan per 10 ribu penduduk. Data diekstrak dari BPS Kab/Kota Se Provinsi Lampung (1992-2009).

Kinerja (Re)source endowment diproksi dengan luasan tutupan hutan rakyat di hulu (HR_HU) dan di hilir (HR_HI) maupun tutupan hutan negara di hulu (HN_HU) dan di hilir (HN_HI). Untuk periode 1992 sampai 1999 ini diekstrak dari (BPS 1993-2000) selain itu juga dilakukan digitasi ulang hasil interpretasi Citra Landsat ETM 5 tahun 2000, 2003 dan 2005 yang telah dilakukan Baplan Kemenhut (2003, dan 2005), Citra Landsat tahun 2008 (Kemen LH, 2008). Kemudian ditumpangtindihkan dengan Peta Kawasan Hutan dan Perairan serta Peta Adiministratif Provinsi Lampung. Variabel tangkapan pasar atau (M)arket tapping diproksi dengan densitas jalan aspal (km/10 ribu ha) di hulu (JL_HU) dan hilir (JL_HI). Data tentang makro ekonomi dan kesejahteraan rakyat diestrak dari BPS Provinsi Lampung (1993-2009; dan 2010). Rezim desentralisasi fiskal (RZ) dinyatakan dengan dummy variable, sebelum dinilai 0 dan sesudah desentralisasi diberi nilai 1. Simpulan yang dapat dicapai: (1) tidak ada ruang untuk bertoleransi bagi deforestasi lanjutan kecuali pada areal hutan rakyat di subwilayah hilir maksimum 5% (1,006 ha) atau di areal perkebunan kopi di subwilayah hilir maksimum 10% (5,378 ha) dari luasan sekarang, (2) fungsi intrinsik hutan utamanya Hutan rakyat telah menjadi determinan penting bagi pertumbuhan pendapatan di sektor pertanian untuk menopang pertumbuhan pangsa sektor industri serta pertumbuhan ekonomi. (3) Faktor endogenik dengan ujung tombak wirausahawan kalangan industri kecil yang ditopang oleh


(10)

pertumbuhan pendapatan per kapita sektor pertanian akan dapat membuat pertumbuhan ekonomi dan HDI berkesinambungan jika benefitnya dirancang untuk penguatan daya beli petani, dan (3) Pengunaan penerimaan pajak dan retribusi daerah dengan Alokasi 2, (yaitu: 75% untuk belanja publik diiringi dengan 25% belanja bantuan sosial) lebih efektif dari Alokasi 1 (yaitu 100% untuk belanja publik) dalam meningkatkan pertumbuhan ekonom, NTP (nilai tukar petani) maupun HDI (indeks pembangunan manusia), dan (3) Reforestasi seluas 250 ha dengan skema 3 kali HR_HU, 2 kali HR_HI dan selebihnya di HN dapat digunakan untuk meningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah sampai 15% tanpa menciderai capaian NTP dan HDI secara nyata dengan syarat digunakan untuk peningkatan belanja Pemerintah Provinsi menggunakan Alokasi2.

Adapun saran yang realistis adalah perlu melakukan penelitian: (1) di wilayah lain yang memiliki permasalahan serupa seperti Jakarta terhadap Bopunjur, Semarang terhadap Ungaran-Salatiga, Surabaya terhadap Malang dll; (2) penelitian lebih lanjut yang difokuskan pada karakterisasi faktor

entrepreneurship berserta lingkungan budayanya, utamanya pada kalangan

industriawan kecil dikaitkan pula dengan potensi ekonomi lokal.

Kata kunci: deforestasi, pertumbuhan endogenik, wirausahawan industri kecil, NTP, kebijakan fiskal daerah dan HDI


(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun.


(12)

(13)

FUNGSI INTRINSIK HUTAN DAN FAKTOR ENDOGENIK

PERTUMBUHAN EKONOMI SEBAGAI DETERMINAN

PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG

SAMSUL BAKRI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(14)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Dr. Ir. Ma‘mun Sarma, M.S., M.Ec.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitno Harianto, M.S. Dr. Ir. Harry Santoso


(15)

Judul Disertasi : Fungsi Intrinsik Hutan dan Faktor Endogenik Pertumbuhan Ekonomi sebagai Determinan Pembangunan Wilayah Provinsi Lampung

Nama : Samsul Bakri

NIM : H061060041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. Dr. Ir. Bahruni, M.S.

Anggota Anggota

Mengetahui:

Ketua Pogram Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S.

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(16)

(17)

untuk:

anakku Satria, Lucky, dan Aurora


(18)

(19)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi atas Rahmat-Nya maka disertasi ini dapat saya selesaikan. Saya menyadari bahwa walaupun disertasi adalah tugas individu mahasiswa, tetapi dalam proses penyusunannya tentu banyak fihak yang telah membantu. Adanya kelebihan dalam disertasi tentu juga berasal dari mereka, namun adanya kekurangan di dalamnya adalah berasal dari saya sendiri.

Sehubungan dengan itu, pada kesempatan ini patut saya sampaikan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. (sebagai Ketua Komisi Pembimbing), Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S., dan juga kepada Dr. Ir. Bahruni, M.S., (sebagai Anggota Komisi Pembimbing) yang telah banyak memberikan bimbingan, dorongan, kritikan, masukan dan arahan selama penyusunan disertasi ini. Kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. dan Dr. Ir. Setia Hadi, M.S. masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, secara khusus juga saya ucapkan terima kasih setinggi-tingginya atas semua arahan selama saya menempuh pendidikan program S3 ini.

Selain itu saya juga patut ucapkan terima kasih kepada segenap jajaran pimpinan di Universitas Lampung yang telah memberi kesempatan saya untuk menempuh program S3 ini. Tak lupa kepada Dra. Ida Nuhaida, M.Si (istri tercinta) dan anak-anakku: Satria Arief Wicaksono, Lucky Satria Budiman dan Aurora Rahmania Muntaz serta bapak dan ibu saya yang senantiasa tidak lelah berdoa juga saya ucapkan terima kasih atas segala kesabarannya selama saya menempuh studi ini. Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan Rahmat-Nya kepada semua fihak yang telah saya sebutkan ataupun yang tidak saya sebutkan di sini.

Bogor, 30 Januari 2012 Samsul Bakri


(20)

(21)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 5 Mei 1961 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara dari Pasangan Mohamad Moegeqni dan Siti Asmi Sarminten. Menikah dengan Dra. Ida Nurhaida, M.Si. dikarunia 3 orang anak: Satria Arief Wicaksono, Lucky Satria Budiman dan Aurora Rahmania Mutaz. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Fakultas Pertanian IPB lulus pada tahun 1986. Pendidikan Magister ditempuh pada Program Pascasarjana IPB lulus tahun 1999. Pada tahun 2006, penulis mengikuti pendidikan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan dengan sponsor dari BPPS, Ditjen Dikti.

Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Lampung sejak tahun 1987 dan sekarang memiliki jabatan akademik lektor kepala.


(22)

(23)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL --- v DAFTAR GAMBAR --- vii DAFTAR LAMPIRAN --- ix 1. PENDAHULUAN --- 1 1.1 Latar Belakang dan Masalah --- 1 1.2 Perumusan Masalah --- 3 1.3 Tujuan Penelitian --- 4 1.4 Novelti dari Ranah Penelitian --- 5 1.5 Manfaat Hasil Penelitian --- 6 2. TINJAUAN TEORITIS --- 7 2.1 Realitas Sosial-Budaya dan Biofisik Provinsi Lampung --- 8

2.2 Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai Penyebab

Stagnasi Kinerja Perekonomian Wilayah --- 13 2.2.1 Fungsi Intrinsik Hutan sebagai Pembatas Perkembangan

Ekonomi Wilayah --- 13 2.2.2 Deforestasi dan Aglomerasi Kegiatan Ekonomi --- 17 2.3 Stagnasi Capaian Indikator Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi

Lampung --- 25 2.4 Dampak Deforestasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahte-

raan Masyarakat --- 28 2.5 Kendala Sumberdaya: Teori Moderenisasi Ekonomi Wilayah Negara-

negara Berkembang --- 34 2.6 Peran Resource Endowment dan Kinerja Ekspor dalam Pengembangan

Ekonomi Wilayah --- 44 2.7 Risalah Teori Pertumbuhan Ekonomi: Dari Model Solow ke Model

Baru Pertumbuhan Endogenik --- 53 2.8 Peran Faktor Endogenik Pembangunan Ekonomi Wilayah --- 60

2.8.1 Pengertian dan Peranan Faktor Leadership dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah --- 61 2.8.2 Pengertian dan Peranan Faktor Institution dalam

Pembangunan Ekonomi Wilayah --- 63 2.8.3 Pengertian dan Peranan Faktor Entreprenuership dalam

Pembangunan Ekonomi Wilayah --- 65 2.9 Risalah Teori PembangunanEkonomi Wilayah --- 74

2.9.1 Dari Keunggulan Komparatif ke Keunggulan Kompetitif

dan Keunggulan Kolaboratif --- 77 2.9.2 Globalisasi, Pembangunan Berkesinambungan, dan Gagasan

tentang Regional Self-Help --- 79 2.9.3 Kebutuhan terhadap Adanya The New Growth Theory --- 82 2.9.4 Implikasi dari The New Growth Theory dalam Penyusunan

Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah --- 84


(24)

2.9.5 Bentuk Model dari The New Growth Theory Pembangunan

Ekonomi Wilayah --- 86 3. KERANGKA PEMIKIRAN, PILIHAN IDEOLOGI PEMBANGUNAN

DAN HIPOTESA PENELITIAN --- 91 3.1 Kerangka Pemikiran --- 91 3.2 Ideologi Pembangunan dan Asumsi Dasar dalam Pemecahan Masalah-- 94 3.2.1 Landasan Ideologi Pembangunan yang Digunakan --- 94 3.2.2 Asumsi yang Harus Dipenuhi --- 99 3.3 Hipotesis yang Diajukan --- 99 4 METODE PENELITIAN --- 101 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian --- 101 4.2 Pelaksanaan Penelitian --- 101 4.2.1 Penentuan Toleransi Ambang Deforestasi --- 101 4.2.2 Metode Perencangan Praksis Pengembangan Wilayah --- 104 4.2.3 Variabel untuk Perancangan Praksis Pembangunan Wilayah,

Sumber Data dan Prosedur Ekstrasinya --- 106 4.2.4 Bentuk Model dan Uji Hipotesis --- 115 4.3 Analisis Kebijakan Fiskal Daerah Provinsi --- 120 4.3.1 Bentuk Model Perilaku Fiskal terhadap Faktor Endogenik --- 121 4.3.2 Beberapa Skenario Kebijakan Fiskal Daerah di Bawah Skema

Reforestasi--- 124 5. HASIL DAN PEMBAHASAN --- 127 5.1 Kondisi Umum Provinsi Lampung dan Kinerja Faktor Endogeniknya---- 127 5.1.1 Kondisi Geografi dan Fisiografi --- 127 5.1.2 Sumberdaya Hutan sebagai Resource Endowment --- 129 5.1.3

5.1.4

Kerapatan Jaringan Jalan dan Kinerja Faktor Endogenik Wilayah --- Korelasi Antarvariabel Proksi---

132 143 5.2 Perkembangan Perkonomian Wilayah dan Tingkat Kesejahteraan --- 144 5.3 Tingkat Kesejahteraan versus Kinerja Lingkungan --- 147

5.3.1 Model Perilaku Kinerja Kesejahteraan versus Kinerja

Lingkungan --- 147 5.3.2 Ambang Toleransi Deforesasi Lanjutan dan Konversi Hutan

dan Kebun Kopi Menjadi Perkebunan Besar --- 152 5.4 Rancangan Praksis Pengembangan Ekonomi Wilayah --- 154 5.4.1 Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi --- 155 5.4.2 Strategi Pemerataan Tingkat Kesejahteraan --- 168 5.5 Kerangka Kebijakan Fiskal untuk Peningkatan Kesejahteraan --- 170 5.5.1 Perkembangan Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi --- 170 5.5.2 Model Perilaku Piranti Fiskal untuk Pengembangan Faktor

Endogenik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah --- 173 5.5.3 Dampak Alokasi Fiskal dan Skema Reforestasi terhadap

Kesejahteraan Masyarakat --- 177


(25)

6. SIMPULAN DAN SARAN --- 185 6.1 Simpulan --- 185 6.2 Saran --- 187 DAFTAR PUSTAKA --- LAMPIRAN---

189 199


(26)

(27)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Perbandingan Rataan Indikator Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah

Provinsi Lampung terhadap Nasional Tahun 2000-2008 --- 25 2 Elastisitas Output/Input & Skala Pengembalian (RTS: Return to Scale)

Rataan dari 12 Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Selama

Desentralisasi Tata Pemerintahan --- 26 3 Rataan Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian, Sektor Agroindustri, dan

Industri Pengolahan pada Masa Desentralisasi (2000-2008) di Provinsi

Lampung --- 27 4 Indeks Pembangunan Manusia sebagai Fungsi dari Proporsi dari Luas

Tutupan Hutan di Indonesia --- 31 5 Tutupan Hutan dan Laju Deforestasi beberapa Titik Tahun di Provinsi

Lampung --- 45 6 Nilai Total Ekspor, Pangsa Ekspor Sektoral terhadapp PDRB dan

Perumbuhannya di Provinsi Lampung --- 47

7 Ideologi Lingkungan dan Label Keberlanjutannya dalam Pembangunan

Ekonomi --- 98

8 Dummy variables untuk Pemodelan Tingkat Kesejahteraan dan Kinerja

Lingkungan Simbol, Cara Ekstraksi dan Pengolahan Datanya --- 102 9 Variabel untuk Perancangan Praksis, Simbol, Proksi, Sumber Data dan

Prosedur Ekstraksinya --- 112 10 Distribusi Luasan Skema Reforestasi pada Masing-masing Kelompok

Hutan --- 125 11 Kenaikan Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja

Alokasi 1 --- 126 12 Kenaikan Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta Rencana Belanja

Alokasi 2 --- 126 13 Luasan (Ha) Tutupan Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Negara (HN) di Hulu

(HU) dan Hilir (HI) di Provinsi Lampung --- 130


(28)

14 Kerapatan Jaringan Jalan Beraspal (JL, Km/10 Ribu Ha) dan Tempat Ibadah (IBD) per 10 Ribu Penduduk di Hulu (HU) dan di Hilir (HI) serta

Provinsi Lampung --- 133 15 Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) dan Industri Kecil (IKC) di

Subwilayah hulu (HU), di hilir (HI) serta di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) --- 136 16 Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) dan Industri Kecil (IKC) di

Subwilayah hulu (HU), di hilir (HI) serta di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) --- 139 17 Kerapatan Organisasi Massa (ORG) dan Relawan Sosial (RLW) per 10

Ribu Penduduk di Subwilayah hulu (HU), hilir (HI) dan Provinsi

Lampung Periode 1996 sampai 2008 --- 141 18 Indikator Makro dan Pangsa Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung

dalam Periode 1996 sampai 2009 --- 145 19 Perkembangan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Lampung

dalam Periode 1996 sampai 2009 --- 147 20 l Du Model Dugaan Kinerja Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tahun Depan

[HDI]t+1, Intensitas Banjir [FLOOD]t dan Longsor [LSLIDE]t di Wilayah

Penelitian --- 149 21 Ringkasan Hasil Simulasi Penentuan Nilai Ambang Toleransi Deforestasi

Lanjutan pada Hutan Rakyat [HR], Hutan Negara [HN] dan pada ―Perkebunan Kopi Rakyat‖ [COFF] untuk Dikonversi Menjadi

Perkebunan Besar [ESTPL] di Provinsi Lampung --- 153 22 Hasil Regresi Beberapa Persamaan Simulatan untuk Perancangan Praksis

Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung --- 156 23 Kinerja Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung untuk Periode 1996 sampai

2008 --- 171 24 Model Perilaku Piranti Fiskal Pemerintah Provinsi Lampung dalam

Kaitannya dengan Kinerja (L)eadership dan Keefektifan (I)nstitution--- 174 25 Dampak Skema Reforestasi 0 dan 100 Ribu ha dan Alokasi Fiskal

terhadap Pertumbuhan Ekonomi, NTP dan HDI --- 179 26 Dampak Skema Reforestasi 250 Ribu ha dan Alokasi Fiskal terhadap

Pertumbuhan Ekonomi, NTP dan HDI --- 183


(29)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Peta Administratif Provinsi Lampung Sampai Tahun 2006 dengan Dua

Kota dan Delapan Kabupaten di Dalamnya --- 10 2 Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs

(Low Forest Cover Countries) --- 30 3 Hubungan Proporsi Tutupan Hutan dengan Kesejahteraan pada LFCCs

dengan Proporsi Tutupan ≤20% dan PDB/Kpt ≤ 10.000USD --- 30 4 Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan (1988) terhadap PDRB/Kapita

(2002) di Provinsi Lampung --- 32 5 Hubungan antara Proporsi Tutupan Hutan (1988) terhadap IPM (2002)

di Provinsi Lampung --- 33 6 Konsepsi Teori Kendala Sumberdaya --- 39 7 Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan PDRB/Kpt Provinsi

Lampung Periode Tahun 2000 sampai 2005 --- 49 8 Hubungan antara Nilai Ekspor Agregat dengan IPM Provinsi Lampung

Periode Tahun 2000 sampai 2005 --- 50 9 Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu & Cash Crop dengan

PDRB/Kpt Provinsi Lampung Periode Tahun 2000 sampai 2005 --- 52 10 Hubungan antara Nilai Ekspor Produk Nir Kayu & Cash Crop dengan

IPM Provinsi Lampung Periode Tahun 2000 sampai 2005 --- 53 11 Model Pertumbuhan Solow --- 54 12 Pengaruh Pertumbuhan Populasi dalam Model Solow --- 55 13 Dampak Ipteks dalam Model Solow --- 56 14 Kurva Pertumbuhan Ekonomi Secara Endogenik --- 58 15 Perkembagan Fokus Kebijakan Pembangunan Ekonomi dan Strategi

Perencanaan --- 75 16 Kerangka Pemikiran dari Model Baru Proses Pembangunan Wilayah --- 87


(30)

17 Kerangka Pemikiran Pemecahann Masalah --- 96 18 Rancangan Praksis Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung -- 111 19 Perkembangan Luas Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Negara (HN) di

Subwilayah hulu (HU) dan di hilir (HI) Provinsi Lampung Periode 1992

sampai 2008 --- 131 20 Kerapatan Jaringan Jalan (JL, Km/10 ha) di Subwilayah Hulu (HU) dan

Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung untuk Periode Tahun 1996 sampai

2008 --- 135 21 Kerapatan Tempat Ibadah (IBD) per 10 Ribu Penduduk di Subwilayah

Hulu (HU) dan Hilir (HI) serta di Provinsi Lampung untuk Periode Tahun 1996-2008 --- 135 22 Kerapatan Indusrti Sedang-Besar (IBS) di Subwilayah hulu (HU), di

Hilir (HI) dan di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) untuk

Periode 1996 sampai 2008 --- 137 23 Kerapatan Indusrti Kecil (IKC) di Subwilayah Hulu (HU), di Hilir (HI)

dan di Provinsi Lampung (Per 10 Ribu Penduduk) Periode 1996-2008---- 137 24 Intensitas Kejahatan (KJ) per 10 ribu Penduduk di Subwilayah hulu (HU),

hilir dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 --- 140 25 Kerapatan Koperasi (KOP) per 10 Ribu Penduduk di Subwilayah

Hulu (HU), Hilir dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 --- 140 26 Kepadatan Ormas per10 Ribu Penduduk [ORG] di Subwilayah hulu (HU),

hilir dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 --- 143 27 Kepadatan Relawan Sosial per10 Ribu Penduduk [RLW] di Subwilayah

hulu (HU), hilir dan Provinsi Lampung Periode 1996 sampai 2008 --- 143 28 Perkembangan Pangsa Perekonomian Periode 1996 sampai 2009 di

Provinsi Lampung --- 145 29 Perkembangan Kinerja Fiskal Pemerintah Povinsi Lampung --- 172


(31)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Korelasi Pearson Proksi Variabel Endogenik di Subwilayah Hulu:

Kepadatan Koperasi [KOP_HU], Intensitas Kejahatan [KJ_HU], Kerapatan Tempat Ibadah [IBD_HU], Kerapatan Organisasi Masa [ORG_HU] dan

Kerapatan Jumlah Relawan [RLW_HU] Per 10 Ribu Penduduk --- 199 2 Korelasi Pearson) Kelima Proksi Variabel Endogenik di Subwilayah Hilir:

Kepadatan Koperasi [KOP_HI], Intensitas Kejahatan [KJ_HI], Kerapatan Tempat Ibadah [IBD_HI], Kerapatan Organisasi Masa [ORG_HI] dan

Kerapatan Jumlah Relawan [RLW_HI] Per 10 Ribu Penduduk --- 199 3 Data Variabel Penjelas untuk Pemodelan Capai Indeks Pembangunan

Manusia Setahun Ke Depan [HDI]t+1, Intensitas Kelongsoran Tanah

[LSLIDE]t dan Intensitas Bajir [FLOOD] t --- 200

4 Hasil Analisis Ragam Regresi Capaian Indek Pembangunan Manusia Setahun Ke Depan [HDI]t+1 sebagai Fungsi dari [HDI]t, Penggunaan

Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan --- 202 5 Hasil Analisis Ragam Regresi Intensitas Kelongsoran Tanah sebagai Fungsi

dari Penggunaan Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan dan Bentang Lahan -- 203 6 Hasil Analisis Ragam Regresi Intensitas Banjir sebagai Fungsi dari

Penggunaan Lahan, Urbanisme dan Curah Hujan dan Bentang Lahan --- 204 7 Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Kecil di Subwilayah Hulu

sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan dan Tempat Ibadah

205 8 Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Sedang-Besar di

Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas

Kejahatan dan Tempat Ibadah --- 206 9 Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Kecil di Subwilayah Hilir

sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas Kejahatan Tempat

Ibadah, Ormas dan Relawan --- 207 10 Hasil Analisis Ragam Regresi Kerapatan Industri Sedang-Besar di

Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Kerapatan Koperasi, Intensitas

Kejahatan Tempat Ibadah, Omas dan Relawan --- 208


(32)

11 Pertumbuhan Pendapatan Per Kapita di Sektor Pertanian sebagai Fungsi dari Luasan Tutupan Hutan Rakyat dan Hutan Negara di Subwilayah Hulu dan

Hilir --- 209 12 Hasil Analisis Ragam Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri sebagai Fungsi

dari Kerapatan Industri Kecil dan Industri Sedang-Besar di Hulu dan di Hilir, Pertumbuhan Pendapatan per Kapita Sektor Pertanian, Pertumbuhan

Pangsa Sektor-sektor Petanian, Pertambangan dan Sektor Selainnya --- 210 13 Pertumbuhan Ekonomi sebagai Fungsi dari Pertumbuhan Pangsa Sektor

Industri --- 211 14 Analisis Ragam Regresi Nilai Tukar Petani sebagai Fungsi dari

Pertumbuhan Ekonomi --- 212 15 Analisis Ragam Rgresi Human Development Index sebagai Fungsi dari

Nilai Tukar Petani dan Insidensi Kemiskinan Perdesaan --- 213 16 Analisis Regresi Kerapatan Jumlah Koperasi di Subwilayah Hulu sebagai

Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik,

dan Belanja Bantuan Sosial --- 214 17 Analisis Regresi Kerapatan Jumlah Koperasi di Subwilayah Hilir sebagai

Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik,

dan Belanja Bantuan Sosial --- 215 18 Analisis Regresi Intensitas Kejahatan di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi

dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan

Belanja Bantuan Sosial --- 216 19 Analisis Regresi Intensitas Kejahatan di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi

dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan

Belanja Bantuan Sosial --- 217 20 Daftar Singkatan dan Akronim yang Digunakan --- 218


(33)

(34)

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Deforestasi merupakan proses perubahan suatu wilayah dari yang semula berhutan menjadi tidak berhutan. Tidak ada yang keliru dengan deforestasi, suatu proses yang lumrah yang dialami oleh negara-negara berkembang di tropika basah umumnya untuk memulai program-program pembangunannya. Penelitian Naidoo (2004) pada 77 negara menyimpulkan, bahwa deforestasi umumnya dapat mempercepat pertumbuhan maupun transformasi struktural perekonomian dari corak yang mengandalkan eksploitasi sumberdaya alam menjadi perekonomian industri yang mengandalkan tenaga kerja terampil. Makin awal dan makin luas deforestasi dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara akan makin cepat dicapai. Capaian itu dapat diraih umumnya karena ekspor hasil-hasil hutan dapat meningkatkan pendapatan dan tabungan, menjadi modal investasi untuk sektor-sektor perekonomian yang memiliki rente ekonomi lebih tinggi seperti perkebunan, pertanian intensif, perikanan, peternakan, pemukiman, perdagangan, perindustrian maupun untuk jasa-jasa.

Selain itu, yang terpenting adalah untuk investasi pengembangan sumberdaya manusia melalui pendidikan sehingga tersedia tenaga-tenaga terampil (labor augmented by technology) yang sangat menjadi penentu bagi keberhasilan transformasi struktural perekonomian tersebut. Fenomena seperti ini juga dialami oleh berbagai wilayah di Indonesia. Melalui korbanan deforestasi itu, misalnya kini Provinsi Lampung menurut Ditjenbun (2009) telah menjadi eksportir kopi nasional ke dua (21,67%) setelah Sumatera Selatan (22,35%) dari total ekspor kopi nasional dalam sepuluh tahun terakhir. Dengan kontribusi tersebut, maka telah menempatkan Indonesia sebagai pengekspor kopi peringkat ke tiga setelah Brasilia dan Vietnam.

Dengan kata lain, sampai pada derajat tertentu deforestasi memang diinginkan, bahkan direncanakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun seperti yang terjadi dewasa di Provinsi Lampung agak berbeda dengan deskripsi yang disampaikan oleh Naidoo (2004). Kini deforestasi di Provinsi Lampung tampak telah melampaui daya regenerasinya sehingga fungsi


(35)

2

intrinsiknya menjadi begitu merosot. Gejala ketidakbersinambungan pembangunan itu diindikasikan oleh buruknya capaian kinerja indikator makro pembangunan ekonomi wilayah. Seperti dapat diperiksa dalam dokumen BPS Provinsi Lampung (2000b, 2006c, 2007b dan 2009c), Provinsi Lampung merupakan provinsi termiskin ke tiga di Sumatera, untuk periode 2000-2008 rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 4,87[Sd=0,82]%, dengan PDRB/Kpt baru mencapai Rp 4,41[Sd=0,57] juta dan tingkat kemiskinan masih 21,63[Sd=2,89]% serta capaian HDI (Human Development Index) 68,25 [Sd=2,17]. Sedangkan secara nasional untuk periode yang sama telah mencapai: pertumbuhan ekonomi 5,52[Sd=0,65]%, dengan PDB/Kpt Rp 8,08[0,68]Juta dan insidensi kemiskinan dapat ditekan pada angka 16,09[Sd=0,64]% dan HDI pada posisi 70,32[Sd=1,10].

Bersisian dengan itu, tutupan hutannya telah terdegradasi akut yaitu 80% di hutan lindung, 76% di hutan produksi, 71% di hutan produksi terbatas, 70% di Tahura, 36% di Taman Nasional Way Kambas dan 16% di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Dishut 2005 Provinsi Lampung dikutip Watala, 2008). Karena itu juga terjadi eskalasi degradasi jasa lingkungan seperti ditunjukkan oleh gejala esklasi frekuensi: (i) konflik manusia versus satwa liar di setiap zona penyangga dari semua kawasan konservasi yang ada di provinsi ini (Nyhus dan Tilson, 2003), (ii) kekeringan (lihat Sihite, 2004) dan (iii) banjir dari 3,61% menjadi 6,43% dan kelongsoran tanah dari 1,20% menjadi 2,14% dari total desa-desanya untuk semua kabupaten/kota di lingkup provinsi ini dari tahun 2005 sampai 2008 (BPS Provinsi Lampung, 2006b dan 2009b).

Buruknya indikator kinerja perekonomian makro tersebut merupakan fenomena stagnasi capaian kinerja pembangunan perekonomian wilayah bahkan sampai desentralisasi telah berlangsung. Adanya fenomena skala pengembalian yang menurun (DRS :decreasing return to scale) dari sektor-sektor agroindustri di subwilayah hilir (lihat Affandi, 2009) merupakan indikasi telah terjadinya fenomena the limit to growth (Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001; Sorensen & Whitta-Jacobson, 2009) atau Ricardian Trap (Hayami, 2001) akibat dari deforestasi di provinsi ini. Padahal sektor-sektor agroindustri tersebut telah mulai berhasil mengalami aglomerasi (Afandi, 2009), yang seharusnya memperlihatkan kinerja yang bersifat skala pengembalian yang meningkat (IRS :


(36)

3

increasing return to scale) yang awalnya juga berkembang dari korbanan deforestasi tersebut.

Sehubungan dengan itu, tantangannya bagi para perencana pembangunan adalah bagaimana merancang suatu praksis pembangunan wilayah di bawah kendala sumberdaya yang ada di provinsi ini. Merujuk pada karya Stimson dan Stough (2008) dan Stimson et al. (2003), harapan itu bisa sangat terbuka jika setiap wilayah mampu untuk mengembangkan berbagai insentif agar faktor-faktor endogenik yang dimilikinya berkembang dan menjadi keunggulan kolaboratif (collaborative advantage). Faktor-faktor endogenik tersebut meliputi kinerja kepemimpinan atau (L)eadership, kelembagaan atau (I)nstitution dan kinerja kewirausahaan atau (E)ntrepreneurship. Kinerja faktor E merupakan motor bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di setiap wilayah. Kinerja E ini akan kuat jika ditopang oleh I yang efektif bersama-sama dengan L yang kuat.

Menurut Stimson et al. (2003; 2005) banyak sekali ditemui wilayah yang kaya akan sumberdaya alam tetapi malah mengalami kutukan (recourse curse) sehingga kinerja faktor endogeniknya menjadi lembam (inert) dan kesejahteraannya menjadi terbelakang. Fenomena itu dapat terjadi karena dengan melimpahnya sumberdaya alam umumnya menjadi dinilai rendah (under valued), dapat menstimulasi sifat boros dan dihambur-hamburkan. Sebaliknya tidak sedikit wilayah-wilayah yang miskin sumberdaya alam ternyata telah memaksa masyarakatnya untuk survive melalui berkembangnya sikap hemat (parsimony), bersahaja (frugality) dan dapat menstimulasi berkembangnya tata aturan di dalam kelompok masyarakatnya dalam penggunaan sumberdaya, yang berarti kinerja I meningkat bersamaan dengan penguatan Lsehinggadapat menstimuli tumbuhnya para wirausahawan (E). Peningkatan kinerja E inilah yang menjadi tumpuan munculnya berbagai inovasi, membangkitkan lapangan pekerjaan dan akhirnya pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara agregat.

1.2 Rumusan Masalah

Sehubungan fakta-fakta yang diungkapkan tersebut, maka masalah utama yang perlu disingkapkan melalui penelitian adalah: (1) bagaimana perencanaan praksis pembangunan wilayah Propisi Lampung dapat dirumuskan agar ke depan


(37)

4

dapat keluar dari Ricardian Trap sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya? (2) Kecuali itu, mengacu pada temuan Jha dan Murthy (2003) bahwa deforestasi akan terus berlangsung mengiringi proses pembangunan pada kelompok wilayah yang masih mempuyai indeks pembangunan manusia pada level medium (HDI antara 60-70), maka masalah yang terlebih dahulu perlu dikaji adalah berapa nilai toleransi ambang deforestasi yang masih dapat menopang terhadap dampak pembangunan ke depan? (3) Selain itu mengingat degradasi lingkungan merupakan salah satu wujud dari kegagalan pasar, maka rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah tersebut perlu dikaitkan dengan karakteristik fiskal (khususnya pajak daerah dan alokasi belanja) Pemerintah Provinsi Lampung, lalu apakah piranti fiskal tersebut efektif untuk menstimulasi pengembangan kinerja faktor endogenik yang telah ada di wilayah ini dalam rangka menekan kegagalan pasar sekaligus untuk keluar dari Ricardian Trap tersebut? Berkaitan dengan itu pula, (4) apakah perilaku fiskal tersebut akan lebih efektif jika alokasi pembelanjaannya disertai dengan skema reforestasi? (5) Apakah ada perbedaan nyata keefektifan tersebut jika reforetasi dilakukan di areal hutan rakyat ataupun kawasan hutan negara? (6) Di bawah skema reforestasi tersebut, apakah alokasi pembelanjaan Pemerintah Provinsi Lampung tersebut akan lebih berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah jika alokasi pembelanjaannya dikombinasikan dengan bantuan sosial selain intuk belanja publik? (7) Apakah rezim desentralisasi tata pemerintahan telah dapat memberikan pengaruh secara nyata terhadap kinerja faktor-faktor endogenik, pertumbuhan pendapatan sektor pertnaian; pangsa sektor industri; pertumbuhan ekonomi; nilai tukar petani dan HDI?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang akan dicapai melalui penelitian ini adalah untuk:

(1) Mengkaji adanya trade off batas toleransi ambang deforestasi dengan capaian kesejahteraan ke depan,


(38)

5

(2) mengkaji peranan kinerja faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi, nilai tukar petani dan indeks pembangunan manusia,

(3) mengkaji peranan hutan rakyat, hutan negara dan akses pasar terhadap pertumbuhan pendapatan per kapita di sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia,

(4) mengkaji peranan kewirausahaan kalangan industri kecil dan industri sedang-besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan capaian tingkat kesejahteraa masyarakat,

(5) mengkaji peranan koperasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan capaian tingkat kesejahteraa masyarakat,

(6) mengkaji pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja faktor endogenik, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia,

(7) mengembangkan rancangan praksis pembangunan ekonomi wilayah yang mengandalkan faktor-faktor endogenik dengan modal sumberdaya alam yang telah terdegradasi dalam rangka untuk melakukan intervensi kebijakan fiskal. (8) menelaah karakteristik fiskal dari Pemeritah Provinsi Lampung terhadap

kinerja faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah, dan

(9) menelaah dampak peningkatan pajak dan retribusi daerah yang disertai dengan alokasi pembelanjaannya (di bawah skema reforestasi) terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Lampung,

1.4 Novelti Ranah Penelitian

Adapun kebaruan (novelty) yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah pada:

(1) Penggunaan faktor kepemimpinan atau (L)eadership, kelembagaan atau (I)nstitution, dan kewirausahaan atau (E)ntrepreneurship sebagai penjelas dalam model pembangunan ekonomi wilayah secara endogenik, yang belum dilakukan standarisasi sejak kepeloporan dari Lucas (1988) ataupun Romer (1990). Dalam penelitian ini L dikarakterisasikan dengan kerapatan koperasi, faktor I dengan intensitas kejahatan; kerapatan tempat ibadah; kerapatan jumlah relawan; jumlah organisasi kemasyarakatan; sedangkan faktor E


(39)

6

diproksi dengan kerapatan jumlah industri kecil, industri sedang dan besar, dan

(2) Penerapan Teori Pertumbuhan Endogenik untuk pembangunan ekonomi wilayah agar dapat keluar dari Ricardian Trap dikaitkan dengan fungsi intrinsik hutan di subwilayah hulu maupun hilir.

1.5 Manfaat Hasil Penelitian

Setidaknya hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai:

(1) Sumbangan pada khasanah pengembangan ilmu perencanaan pembangunan wilayah khususnya yang bertalian dengan pertumbuhan endogenik, dan

(2) Sumbangan untuk masukan dalam revisi RTRW Provinsi Lampung Periode Tahun 2009-2029.


(40)

7

2. TINJAUAN TEORITIS

Bab ini dimaksudkan untuk memberikan landasan filosofis dan mahzab teori secara ringkas yang dapat digunakan untuk pengembangan kerangka pemikiran, untuk membedah permasalahan yang ada di wilayah penelitian, mengembangkan hipotesis dan pengujiannya serta penentuan metode serta alat ukur yang akan digunakan dalam operasionalisasi penelitian ini. Untuk memberikan landasan dalam pemilihan teori yang relevan, maka pada bagian pertama secara garis besar diuraikan mengenai realitas biofisik, sosial, dan budaya wilayah penelitian. Pada bagian ke dua diuraikan mengenai deforestasi sebagai penyebab degradasi fungsi intrinsik hutan dan juga hubungan deforestasi terhadap aglomerasi kegiatan ekonomi maupun dengan kesejahteraan masyarakat. Diuraikan pula adanya trade off antara pertumbuhan ekonomi (yang dilecut oleh aglomerasi) dengan kemerosotan fungsi intrinsik hutan, yang kemudian berujung pada stagnasi perekonomian wilayah dan relatif tertinggalnya kesejahteraan masyarakat.

Pada bagian ke tiga ditinjau indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah penelitian termasuk pendapatan per kapita, tingkat kemiskinan, dan indeks pembangunan manusia (IPM), serta skala pengembalian (RTS= Return to Scale) sektor-sektor agroindustri dan stagnasi pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ke tiga ini juga dihadirkan data sebagai bukti ketertinggalan pertumbuhan sektor pertanian terhadap pertumbuhan sektor agroindustri yang menyebabkan adanya excess demand terhadap bahan baku bagi sektor-sektor agroindustri yang melampaui kapasitas wilayah dalam menyediakan bahan baku (sektor pertanian) tersebut yang akhirnya telah menekan capaian indikator kinerja pembangunan ekonomi wilayah. Pada bagian ini juga diuraikan secara ringkas hubungan antara degradasi fungsi intrisik hutan akibat deforestasi, kinerja resource endowment (Re), perkembangan kinerja pasar ekspor konvensional (seperti produk tambang, produk industri, produk pertanian dan kehutanan), serta ekspor non konvesional utamanya produk nirkayu dikaitkan dengan peranan faktor endogenik dalam perkembangan ekonomi wilayah.


(41)

8

Namun sebelum faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah diuraikan secara lebih rinci, pada bagian ke empat perlu diuraikan Teori Kendala Sumberdaya yang mendasari pemahaman akan fenomena Ricardian Trap ketika transformasi struktural perekonomian dari pola yang mengandalkan sumberdaya alam menuju negara industri melalui pengembangan sektor agroindustri di negara-negara berkembang.

Pada bagian ke lima diuraikan peranan faktor-faktor endogenik dalam pembangunan ekonomi wilayah. Untuk itu, pada bagian ini juga diuraikan ketiga macam faktor endogenik pembangunan ekonomi wilayah yaitu: (L)eaderships, (I)nstitutions dan (E)ntrepreneurships serta cara-cara pengukurannya. Ketiga faktor endogen (L, I dan E ) ini dikaitkan dengan kinerja resource endowment (Re) dan kinerja pasar nirkayu, ekspor komoditas perkebunan (cash crop), ekspor agroindustri ataupun ekspor lainnya (M) dalam menentukan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Kelima faktor tersebut dirangkum sebagai penentu pertumbuhan ekonomi wilayah secara endogenik. Namun sebelum diuraikan teori pertumbuhan endogenik, terlebih dahulu pada bagian ke enam diuraikan risalah teori pembangunan ekonomi wilayah mulai model Solow sampai dengan Model New

Growth Theory (Lucas, 1988) dan Romer (1990) serta New Economics

Geography (Krugman, 1991; 2010a, 2010b, dan Redding, 2009).

2.1 Realitas Sosial-Budaya dan Biofisik Provinsi Lampung

Seperti dapat dirujuk dalam BPS Provinsi Lampung (1992) bahwa Provinsi Lampung didirikan pada tanggal 18 Maret 1964 dengan Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pembentukan Provinsi Lampung. Provinsi ini merupakan hasil fragmentasi dari Provinsi Sumatera Selatan. Kini Provinsi Lampung memiliki populasi sekitar 7,6 juta jiwa dengan kepadatan populasi rata-rata 2,1 juta jiwa/ha (BPS, 2010) yang berada dalam 2 kota dan 10 kabupaten lainnya. Empat kabupaten terbaru dibentuk 4 belakangan yaitu Kabupaten Pesawaran, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten Mesuji, dan Kabupaten Tulang Bawang Barat belum mempunyai data sosial-ekonomi yang cukup. Karena itu


(42)

9

dalam analisis penelitian ini keempat kabupaten tersebut dimasukkan ke kabupaten induknya.

Pada Gambar 1 disajikan Peta Administratif Provinsi Lampung sampai Tahun 2006. Dua wilayah yurisdiksi kota yang telah ada adalah Bandar Lampung (sebagai Ibu Kota Provinsi dengan populasi 812.133 jiwa dan kepadatan populasi 42,1 jiwa/ha) dan Kota Metro (dengan populasi 132.044 jiwa dan kepadatan populasi 21,4 jiwa/ha). Ke delapan kabupaten itu (dengan total populasi atau kepadatan populasi)-nya masing-masing adalah Kabupaten Lampung Selatan (1.341.238 jiwa atau 6,7 jiwa/ha); Kabupaten Tanggamus (826.610 jiwa atau 2,5 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Tengah (1.160.221 jiwa atau 2,4 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Timur (936.734 jiwa atau 2,2 jiwa/ha); Kabupaten Lampung Utara (562.314 jiwa atau 2,1 jiwa/ha); Kabupaten Tulang Bawang (774.265 jiwa atau 1,0 jiwa/ha; Kabupaten Way Kanan (362.749 jiwa atau 0,9 jiwa/ha); dan Kabupaten Lampung Barat (381.349 jiwa atau 0,8 jiwa/ha).

Kota Bandar Lampung merupakan wilayah yurisdiksi yang paling padat, disusul oleh Kota Metro, kemudian diikuti oleh 8 kabupaten dengan urutan seperti di atas. Distribusi tersebut secara umum dapat memberikan indikasi terjadinya konsentrasi dan intensitas yang padat akan rente ekonomi seluruh wilayah, yang juga dapat merefleksikan muara dari aliran manfaat sumberdaya dari daerah belakang atau hulunya. Bahkan juga dapat menggambarkan kualitas sumberdaya biofisik wilayah hulunya.

Adapun realitas sosial budaya atau etnis di Provinsi Lampung juga merupakan melting pot dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Tetapi ada 5 etnis besar yang lebih dominan dari sisi jumlahnya. Etnis Jawa merupakan etnis dominan disusul oleh Sunda dan Bali. Ketiga etnis besar ini meliputi sekitar 70% dari seluruh total populasi, yang merupakan pendatang melalui transmigrasi mulai fase pertama pada masa kolonial Belanda sejak tahun 1905. Fase ke dua adalah melalui Program BRN (Biro Rekonstruksi Nasional), yaitu suatu program transmigrasi pada masa Pemerintahan Orde Lama pada dekade 1950-an. Urutan ke empat dan ke lima di provinsi ini adalah Etnis Lampung dan Etnis Semendo, yang populasinya kurang dari 30%. Distribusi kuantitas etnis ini dapat dijadikan


(43)

10

acuan dalam analisis sosial, budaya ataupun analisis kelembagaan yang dapat mempunyai peranan penting dalam pembangunan perekonomian wilayah.

Keterangan: {Jiwa/ha} [1] Kota Bandar Lampung {42,1} [2] Kota Metro {21,4}

[3] Kabupaten Lampung Selatan { 6,7 } [4] Kabupaten Tanggamus {2,5} [5] Kabupaten Lampung Tengah {2,4} [6] Kabupaten Lampung Timur {2,2} [7] Kabupaten Lampung Utara {2,1} [8] Kabupaten Tulang Bawang {1,0 } [9] Kabupaten Way Kanan {0,9} [10] Kabupaten Lampung Barat {0,8}

Gambar 1. Peta Administratif Provinsi Lampung Sampai Tahun 2006 dengan 2 Kota dan 8 Kabupaten di Dalamnya (Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2008)

Adapun realitas biofisik wilayah Provinsi Lampung ini antara lain dapat dirujuk melalui dokumen LREPP (Land Resource Evaluation and Planning Project) yang diterbitkan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat atau Puslitanak (CSR, 1989). Dari dokumen tersebut dapat dilihat bahwa Provinsi Lampung secara umum dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu subwilayah hulu yang bersesuaian dengan Kabupaten Barat dan Kabupaten Tanggamus dengan subwilayah hilir yang meliputi 2 kota serta 8 kabupaten selainnya. Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus dapat dikatagorikan sebagai subwilayah hulu karena merupakan hulu dari daerah aliran sungai (DAS) utama seperti DAS Way Sekampung, Way Seputih, Way Tulang Bawang, Way Semangka dan lain-lainnya.

Pada Bagian Barat memiliki fisiografi perbukitan, dataran tinggi dan pegunungan yang merupakan rangkaian Pegunungan Bukit Barisan sebagai hasil dari up lift lempeng Sumatera akibat aktivitas subduction dari lempeng Samudera Indonesia (lihat CSR, 1989). Punggung Pegunungan Bukit Barisan ini berada pada sekitar sepertiga dari Pantai Barat membentang ke arah Barat Laut dengan puncak tertinggi pada Gunung Pesagi sekitar 2.239 m dpl dan Gunung Tanggamus sekitar 2.010 m dpl.

1

2

10

4 9

7

5

6

3 8


(44)

11

Dengan bentang alam seperti itu, setiap kali terjadi musim angin moonson Barat yang bergerak ke Timur, aliran massa udara terhalang oleh punggung Pegunungan Bukit Barisan, maka udara jenuh (yang membawa uap air dari Samudera Indonesia) tersebut seperti dipaksa naik di sepanjang Bukit Barisan. Akibatnya terjadi awan konvektif yang menyebabkan penurunan temperatur udara secara adiabatis dan akhirnya terjadi kondensasi dan jatuh sebagai hujan utamanya di Bagian Barat. Karena itu pada Bagian Barat Provinsi Lampung memiliki tipe iklim A. Semakin ke Timur menuju ke Pantai Timur provinsi ini maka curah hujan semakin rendah, bahkan ada yang beriklim D (Oldeman, 1982 seperti dapat diperiksa dalam CSR, 1989). Di Bagian Barat di bawah curah hujan yang tinggi telah berlangsung proses pembentukan tanah yang cepat, yang dalam keadaan alami dapat menghasilkan solum tanah yang tebal. Bersamaan dengan itu curah hujan yang tinggi dalam jutaan tahun lamanya telah menghasilkan suksesi vegetasi alami yang kuat, menghasilkan keragaman flora dan fauna yang tinggi.

Atas pertimbangan curah hujan yang tinggi dengan elevasi yang tinggi pula, maka sejak masa Kolonial Belanda subwilayah hulu ini dalam proporsi yang besar telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Selain itu juga atas pertimbangan tingginya keanekaragama hayati dengan berbagai spesies endemiknya juga ditetapkan sebagai kawasan pelestarian yang sekarang merupakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Keberadaan semua hutan lindung maupun TNBSS di subwilayah hulu ini dimaksudkan juga untuk menjamin fungsi intrinsik hutan utamanya untuk perasapan air, untuk pencegahan erosi, dan untuk pengendalian debit agar tidak berfluktuasi secara besar sehingga dapat menjadi sumber air yang kontinyu bagi semua bendungan yang berada di Bagian Tengah Provinsi Lampung ini. Tujuan akhirnya adalah agar pada bagian hilir tidak terjadi banjir pada musim hujan dan terhindar dari kekeringan di musim kemarau, bermanfaat untuk irigasi dan suplai air berlangsung secara kontinyu sepanjang tahun bagi semua PLTA di Provinsi Lampung ini. Dengan begitu maka dapat diharapkan aktivitas perekonomian di subwilayah hilir dapat berkembang baik dan kesejahteraan masyarakat di provinsi ini diharapkan dapat ditingkatkan.

Namun pada realitasnya seperti dilaporkan oleh Sihite (2004), dan Nurhaida et al. (2006), luasan tutupan hutan di sub wilayah hulu ini makin


(45)

12

berkurang dan berubah terutama menjadi pertanaman kopi, coklat, lada, dan karet (cash crop) dalam sistem wanatani yang sederhana. Bahkan sebagian besar hutan lindung di subwilayah resapan ini telah banyak berubah menjadi pertanaman kopi atau cash crop lainnya. Akibatnya, seperti dilaporkan Nurhaida et al. (2006) tingkat erosi sangat besar, fluktuasi debit semua aliran sungai juga besar. Pada saat musim hujan beberapa kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang, Way Kanan, Lampung Tengah dan Lampung Timur belakangan ini sering dilanda banjir yang sangat mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu, beberapa bendungan juga banyak mengalami sedimentasi sehingga menyebabkan kerugian produksi listrik, hasil pertanian maupun industri. Sebaliknya pada musim kemarau sering defisit air, baik bagi irigasi maupun untuk PLTA yang juga sangat menekan perekonomian masyarakat. Sebagai gambaran untuk kerusakan bendungan Way Besai telah menyebabkan kerugian pada Bagian Tengah dan hilir melebihi Rp 63M/tahun (Sihite, 2004).

Diskusi pada bagian ini memperlihatkan bahwa sub wilayah hulu sebagai wilayah resapan tidak memperoleh kompensasi apapun atas pembebanan sebagai penyedia jasa resapan air maupun jasa lingkungan lainnya. Sementara wilayah Bagian Tengah dan Bagian Timur selama ini oleh otoritas publik telah dibiarkan menjadi sebagai ―free rider” dalam menikmati jasa lingkungan tersebut. Akibatnya kerusakan wilayah resapan ini telah banyak menimbulkan berbagai kerugian ekonomi di subwilayah hilir. Ketidakadilan antarsubwilayah ini telah mengarah pada pola hubungan hulu-hilir di Provinsi Lampung yang saling parasitik. Semua itu pada akhirnya akan menekan kinerja ekonomi wilayah Provinsi Lampung secara agregat bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi disertai pengangguran dan kemiskinan. Akibat dari degradasi sumberdaya biofisik wilayah ini, berarti resource endowment (Re) yang dimiliki Provinsi Lampung tidak dapat menjadi penggerak perkembangan ekonomi wilayah bahkan telah menimbulkan stagnasi.


(46)

13

2.2 Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai Penyebab Stagnasi Kinerja Perekonomian Wilayah

2.2.1 Fungsi Intrinsik Hutan sebagai Pembatas Perkembangan Ekonomi Wilayah

Umumnya negara-negara berkembang pada awal modernisasi perekonomiannya selalu dihadapkan pada kendala penyusutan sumberdaya alam. Begitu pula wilayah Provinsi Lampung sebagai salah satu bagian wilayah lokal terpenting di Indonesia (outer island) yang paling dekat dengan P Jawa telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan sejak lama. Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Syam et al. (1997), Verbist dan Pasya (2004), Verbist et al. (2004), serta Nurhaida et al. (2006) dapat disimpulkan bahwa laju deforestasi hutan di Provinsi Lampung mulai meningkat pesat sejak dekade 1970-an, yaitu sejak Indonesia mengandalkan pemasukkan devisa dari ekspor hasil hutan utamanya hasil kayu. Deforestasi tersebut kemudian mencapai puncaknya ketika berlangsung reformasi dan desentralisasi tata pemerintahan.

Sejalan dengan deforestasi di subwilayah hulu (sekarang sebagai Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus) tersebut, menurut catatan statistik, kini subwilayah hulu ini merupakan pemasok ekspor kopi utama (lebih dari 65%) dari total volumen ekspor kopi Provinsi Lampung (BPS, 2009; diolah). Dengan kinerja ekspor utama tersebut Provinsi Lampung menjadi provinsi ke 2 (atau sekitar 21,67%) sebagai pemasok ekspor kopi Indonesia setelah Provinsi Sumatera Selatan (sekitar 22,35%). Dengan kontribusi kinerja ekspor kopi tersebut Indonesia dewasa ini menjadi eksportir ke 3 dunia setelah Brasil dan Vietnam (Ditjenbun, 2009 diolah).

Walaupun begitu tingginya kinerja ekspor biji kopi ataupun cash crop tersebut perlu dibayar mahal dengan mengorbankan deforestasi yang akut disertai dengan berbagai kerusakan fungsi intrisik hutan lainnya, seperti merosotnya kinerja hidroorologi, kemerosotan keanekaragaman hayati dan kenyamanan lingkungan maupun stok karbon. Lebih dari itu, semuanya itu berujung pada kemerosotan ekonomi wilayah serta yang paling mengkhawatirkan adalah sangat mengancam kebersinambungan aglomerasi agroidustri si subwilayah hilir, yang


(47)

14

berarti pula akan mengancam terhadap transformasi struktural perekonomian di wilayah Provinsi Lampung.

Kini degradasi hutan di Provinsi Lampung sudah sangat akut. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (2005 dikutip Watala, 2008) bahwa kerusakan hutan di Provinsi Lampung sudah meliputi seluruh kawasan hutan yaitu: (i) Hutan Produksi Tetap 76%, (ii) Hutan Produksi Terbatas 70%, (iii) Hutan Lindung 80%, (iv) Taman Hutan Raya 70%, (v) Taman Nasional Way Kambas 36% dan (vi) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan 16%. Umumnya luasan degradasi kawasan hutan dengan proporsi tersebut telah berubah menjadi penggunaan lahan yang memiliki rente ekonomi yang relatif lebih tinggi dari pada untuk kehutanan yaitu tanaman kopi, lada, kakao, nilam, perkebunan tebu, tanaman pangan, pemukiman pemukiman, perdagangan, perindustrian maupun untuk jasa-jasa lainnya.

Degradasi hutan ini makin memerosotkan fungsi hidroorologis, keanekaragaman hayati, amenitas lingkungan serta turut menyumbangkan emisi karbon ke atmosfer. Lebih lanjut telah sangat menekan kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung. Merosotnya fungsi pengendali hidroorologis, misalnya antara lain telah dilaporkan oleh Sihite (2004) bahwa fluktuasi debit di DAS Tulang Bawang (yang salah satu dari dua DAS utama di Provinsi Lampung) yang sangat besar yaitu 40%.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa merosotnya tutupan hutan pada subwilayah hulu telah menyebabkan laju erosi tanah meningkat pesat, menyisakan lapisan tanah yang kedap, menurunkan laju infiltrasi tanah, memerosotkan cadangan air tanah, meningkatkan muatan sedimen serta menurunkan kualitas air. Lebih lanjut pada musim hujan sering terjadi banjir pada bagian hilir dan kekeringan pada musim kemarau. Semua fenomena itu telah menekan hampir setiap aktivitas perekonomian masyarakat seperti merosotnya hasil pertanian, perikanan darat, peternakan dan yang sangat penting adalah kemerosotan kinerja PLTA maupun kebutuhan air bersih bagi industri ataupun rumah tangga.

Kecuali itu, kerugian ekonomi dapat berupa keperluan untuk rehabilitasi fasilitas irigasi, PLTA (seperti pengerukan endapan sedimen dalam bendungan) maupun fasilitas lainnya. Kerugian ekonomi tersebut diperberat oleh bahan-bahan


(48)

15

cemaran yang berasal dari semakin meningkatnya keperluan penggunaan pupuk (akibat tererosinya lapisan tanah yang subur) maupun penggunaan pestisida dengan semakin meluasnya aktivitas pertanian pada lahan-lahan yang telah tererosi seiring dengan semakin cepatnya laju konversi hutan menjadi areal budidaya pertanian ataupun penggunaan lahan lainnya yang memiliki land rent lebih besar dari pada digunakan sebagai hutan.

Selain kemerosotan fungsi hidroorologis, fenomena kemerosotan fungsi ekologis kawasan di Provinsi Lampung dapat dicermati melalui penelitian Nyhus dan Tylson (2003 dan 2005). Para pakar ekologi kawasan ini menunjukkan bahwa pada kurun waktu antara 2000 sampai 2003 konflik antara manusia dengan mamalia besar (seperti harimau, gajah, babi hutan dll) di berbagai tempat di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) telah menunjukkan ekskalasi secara nyata.

Para pakar tersebut berargumentasi bahwa konflik tersebut merupakan bukti bahwa telah terjadi kemerosotan kesetimbangan ekologis secara nyata. Mamalia besar (utamanya harimau) merupakan pucuk peramida rantai makanan. Bila populasi piramida yang ada di bawahnya tidak bisa menopang kebutuhan hidup komunitas karnivora ini, maka harimau akan keluar ke kawasan penyangga untuk mencari ternak penduduk yang ada di kawasan penyangga, yang akhirnya dapat terjadi konflik dengan manusia.

Demikian juga dengan gajah, menurut Nyhus dan Tylson (2003, dan 2005) keadaan ekologis dalam kawasan TNWK tidak mendukung. Awalnya karena seringnya terjadi kekeringan akibat dari kemerosotan fungsi hidrologis hutan (karena deforestasi di subwilayah hulunya) sehingga persediaan pangan kurang mencukupi bagi herbivora ini. Akibatnya memaksa gajah harus keluar menuju kawasan penyangga dimana tanaman budidaya masih tumbuh dan terawat. Karena umumnya tanaman budidaya lebih mudah dicerma oleh sistem digesti herbivora ini, maka gajah menjadi lebih menyukainya dan makin sering keluar ke kawasan penyangga dan makin sering terjadi konflik dengan manusia. Begitu juga fenomena konflik manusia dengan herbivor lainnya seperti babi hutan, kera dan sejenisnya dapat dijelaskan.


(49)

16

Sekalipun konflik ataupun serangan mamalia terhadap properti petani (ternak dan tanaman budidaya) memang dapat membawa kerugian ekonomi secara langsung, tetapi yang lebih esensial adalah fenomena itu merupakan refleksi dari merosotnya kesetimbangan ekologi kawasan. Karena tidak kasat mata, maka kemerosotan kesetimbangan ekologis tersebut jauh lebih merugikan perekonomian dari sekedar konflik manusia dengan mamalia tersebut. Saling kebergantungan antarmakluk hidup menjadi makin merosot sehingga keanekaragaman hayati juga makin merosot.

Akibat kemerosotan keanekaragaman hayati tersebut antara lain fungsi-fungsi ekologis misalnya yang diperankan oleh golongan serangga dalam polenisasi atau penyerbukan (yang sangat penting bagi produktivitas berbagai tanaman budidaya) menjadi merosot juga. Menurut Warsito (dikutip Arief, 2011) bahwa 90% proses penyerbukan dalam kelompok serealia merupakan jasa dari lebah. Kerusakan ekologis kawasan telah sangat menekan fungsi-fungsi itu. Begitu juga golongan reptil seperti ular yang mempredasi tikus sebagai musuh alami (yang sangat penting sebagai pengendali hama tanaman) juga sangat terganggu. Peranan keanekaragaman hayati bagi penghidaran akan terjadinya ledakan hama (yang secara ekonomi tidak diragukan lagi pentingnya) juga dapat hilang.

Demikian dengan pula keanekaragaman hayati dalam tanah (bellow ground diversity), juga sangat memegang peranan penting bagi biokatalisator penyerapan unsur hara oleh perakaran tanaman. Peranan mikoriza alam melarutkan fosfat (yang dijerap kuat dalam tanah-tanah masam) sangat melipatgandakan penyerapan tersebut merupakan salah satu contohnya. Masih ribuan lainnya jumlah peran jasad renik dalam tanah yang mengendalikan serapan hara dan akhirnya sangat menentukan produktivitas tanaman. Berbagai peran ekologis tersebut akan terdegradasi ketika terjadi accelerated erosion akibat dari deforestasi ataupun degradasi hutan. Seperti dapat dicermati dalam Hairiah et al. (2004) bahwa bellow ground diversity akan sangat tertekan dengan semakin cepatnya penyusutan kandungan bahan organik tanah akibat deforestasi. Semua fenomena tersebut akan sangat menekan perekonomian masyarakat (yang sebagian besar petani) melalui kemerosotan hasil maupun semakin frekuentifnya serangan


(50)

hama-17

penyakit yang akhirnya akan bermuara pada kerugian aktivitas perekonomian awalnya di sektor primer (sektor-sektor pertanian).

Baik kerugian akibat kemerosotan fungsi hidroorologis maupun fungsi ekologis kawasan hutan terhadap berbagai sektor perekonomian tersebut tentu tidak linier karena adanya fenomena multiplier effect, yang berarti berlipat ganda karena tidak ada satu sektor perekonomian pun yang dapat berdiri sendiri. Muara dari kerugian ekononomi ini dapat kita saksikan pada kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung.

2.2.2 Deforestasi dan Aglomerasi Kegiatan Ekonomi

Secara umum deforestasi juga dapat dimaknai sebagai merosotnya fungsi intrinsik wilayah hutan yang ditandai oleh menurunnya stok karbon, fungsi jasa hidroorologis, disertai oleh kemerosotan keanekaragaman hayati maupun kemerosotan amenitas lingkungan (Toman, 2003). Sedangkan aglomerasi seperti diungkapkan oleh Montgomery (1998) dapat difahami sebagai konsentrasi spasial aktivitas perekonomian yang disebabkan oleh perilaku para agen ekonomi untuk mencapai penghematan melalui pemilihan lokasi agar saling berdekatan (economies proximity). Perilaku ini dapat membentuk klaster spasial antara perusahaan, pekerja dan konsumennya.

Proses aglomerasi di suatu wilayah merupakan mekanisme yang menginisiasi bagi terbentuknya suatu kota ataupun wilayah urban yang utamanya digerakan oleh gaya sentrifugal. Ketika sekelompok warga urban tidak dapat berperilaku secara efisien di wilayahnya ―terdesak‖ keluar ke wilayah pinggiran (periferinya). Gaya pendesak ini sering dikenal sebagai gaya sentripetal. Program transmigrasi merupakan salah satu proses migrasi yang digerakkan oleh gaya sentripetal wilayah asalnya, walaupun program itu dilaksanakan secara terencana. Memang transmigrasi tidak selalu berujung pada proses deforestasi, tetapi tidak sedikit yang menjadi inisiasinya. Fenomena migrasi secara lokal pun juga sering demikian, yang dapat diinisiasi oleh desakan gaya sentripetal sehingga para warga yang tidak mampu berperilaku efisien, tidak mampu bertahan atas desakan ekonomi seperti mahalnya biaya hidup, tidak dapat bertahan hidup secara subsisten, menjadi miskin dan akhir ―terdesak‖ ke luar wilayah urban dan terpaksa


(51)

18

menjadi perambah hutan. Sekalipun begitu, perlu disadari bahwa fenomena seperti itu seringkali esensinya disebabkan ketidakadilan struktural akibat leadership yang lemah dan institusi sosial yang tidak efektif.

Menurut Igliori (2008) pertumbuhan populasi dan migrasi seringkali menjadi variabel kunci yang dapat menjelaskan proses deforestasi maupun konversi lahan di berbagai negara berkembang yang dalam realitasnya deforestasi tersebut sangat tidak merata menurut wilayah atau ruang spasial. Dalam skala geografis, dapat ditemukan berbagai bentuk aglomerasi yang sangat berbeda. Pada satu sisi di pusat wilayah, aglomerasi dicerminkan oleh beragamnya jenis kota maupun wilayah-wilayah urban.

Menurut Krugman (1991, 2010ª, 2010b) pola spasial berbagai aktivitas perekonomian merupakan hasil dari berbagai proses yang melibatkan dua macam kekuatan yang saling berlawanan yaitu: kekuatan aglomerasi (centifugal) dan kekuatan dispersi (centripetal). Kedua kekuatan tersebut berkaitan dengan increasing return to scale (IRS), eksternalitas, dan ketidaksempurnaan pasar. Gagasan dasar dari literatur tentang aglomerasi merupakan suatu pergeseran dari fokus sistem industri ke fokus sistem produktif dan suatu pemahaman terhadap fenomena kekompetitifan sebagai hasil ketimbang sebagai keluaran (outcome) dari proses-proses individual. Penggunaan fenomena IRS menjadi kunci dalam menjelaskan berbagai proses aglomerasi dengan latarbelakang ilmu ekonomi tanpa memandang atribut geografi fisiknya. Namun menurut Igliori (2008) dalam hal aktivitas pertanian maupun lingkungan pedesaan, maka realitas fisik geografi juga dapat memegang peranan yang sangat penting dalam menjelaskan proses aglomerasi, terutama bila ingin memahami dampak dari aglomerasi dengan deforestasi lajutan yang mengarah ke wilayah periferalnya.

Eksternalitas dari proses aglomerasi juga punya peran yang mendasar untuk mendeskripsikan maupun untuk memahami konsentrasi aktivitas perekonomian maupun konsentrasi penduduk. Ditinjau dari sisi mekanisme bekerjanya dalam mempengaruhi konfigurasi spasial ekonomi tersebut, maka ada dua macam ekternalitas yaitu eksternalitas teknologi (spillover) dan pecuniary (financial) externality. Eksternalitas teknologi berkaitan langsung dengan utilitas individual maupun fungsi produksi setiap perusahaan. Sedangkan eksternalitas


(52)

19

finansial adalah hasil by product dalam interaksi pasar, yang mana eksternalitas ini sangat berkaitan bila pasar beroperasi dengan tidak bersaing secara sempurna. Idenya adalah bahwa kota-kota, sistem-sistem produksi, ataupun aglomerasi dari berbagai macam ekternalitas mulai terkonsentrasi di suatu wilayah. Utamanya yang sangat penting adalah peranan dari eksternalitas komunikasi dan face to face interaction dalam peningkatan proses belajar maupun proses inovasi (Fujita dan Thisse, 2002), yang melandasi berlangsungnya proses penempaan jiwa entrepreneurship (lihat Hien, 2010).

Menurut Igliori (2008) pemahaman awal dari eksternalitas positif ini dipandang sebagai suatu rangkaian yang pertamakali ditemukan dalam karya Alfred Marshall pada dekade 1920-an. Bahwa spesialisasi merupakan implikasi dari adanya pembagian tenaga kerja secara internal yang menjadi pengendali utama dalam peningkatan efisiensi, pengingkatan mutu proses produksi, maupun pertumbuhan perusahaan yang sering disebut sebagai penghematan internal (internal economies). Tetapi ketiga peningkatan (improvement) ini juga dipelihara (di-nurturing) oleh adanya konsentrasi geografi dari berbagai perusahaan maupun oleh penghematan eksternal (external economies) yang dibangkitkan karena integrasi dari berbagai pelaku (agent) ekonomi. Marshall mengidentifikasi ada 3 faktor yang berkaitan dengan penghematan eksternal, yang dapat menstimulasi konsentrasi yaitu (i) adanya pasar tenaga kerja yang terspesialisasi sangat lanjut, (ii) terjadi imbas teknologi (spill over technology) dan (iii) munculnya perdagangan susulan (ikutan). Dalam keadaan itu, konsentrasi industri bisa dipertahankan untuk tetap berkesinambungan sedangkan penghematan eksternal sangat menjadi pendorong kekompetitifannya.

Marshall sangat memperhatikan eksternalitas yang dibangkitkan oleh perusahaan-perusahaan di dalam industri tertentu walaupun menurut Jacob (1984 dikutip Igliori, 2008) bahwa argumen yang sama bisa diterapkan untuk menderivasi proses aglomerasi dimana eksternalitas positif berlangsung itu kemudian dapat menjelaskan mengapa orang mau membayar biaya yang lebih mahal untuk hidup di perkotaan (Glaesser et al., 1992).

Dewasa ini penjelasan tentang fenomena aglomerasi umumnya dengan menggunakan model-model formal, yaitu bahwa IRS (increasing return to scale)


(53)

20

dalam fungsi produksi perusahaan telah menyebabkan berbagai penghematan finansial maupun penghematan teknologi eksternal (Krugman, 1991, 2010ª; 2010b; dan Rendding, 2009). Literatur baru tersebut dikenal sebagai New Economics Geography (NEG). Hasil karya besar dari NEG adalah Core-Periphey Model yang pertamakali diperkenalkan Krugman (1991). Walaupun penemukenalan (recognizing) terhadap peranan dari ketiga sumber eksternalitas tersebut pertamakali diajukan oleh Marshall, tetapi dalam Core-Periphery Model tersebut Krugman (1991, 2010a, 2010b) menggunakan suatu bentuk model yang sangat hemat (parsimonious) yang difokuskan pada IRS, pecuniary externality dan biaya-biaya transportasi.

Menurut Igliori (2008) mekanisme dari model NEG tersebut dikendalikan oleh 3 pengaruh yaitu: (i) akses kepada pasar, (2) biaya hidup, dan (3) crowding market. Pengaruh akses kepada pasar menggambarkan tendensi dari perusahaan-perusahaan monopoli dalam memilih lokasi untuk berproduksi di pasar yang besar dan mengekspor produknya ke pasar yang relatif lebih kecil (suatu perubahan eksogenus dalam lokasi demand mengarahkan kepada suatu yang lebih dari pada relokasi yang proporsional industri ke wilayah perluasan yang baru). Sedangkan pengendali yang ke dua, bahwa biaya hidup berdampak pada pemilihan lokasi perusahaan-perusahaan ke biaya hidup secara lokal (dimana barang-barang cenderung lebih murah di wilayah yang banyak industrinya karena para konsumen di wilayah ini akan mengimpor berbagai produk dalam jangkauan yang lebih dekat sehingga menekan biaya perdagangan). Adapun pengendali yang ke tiga, bahwa market crowding effect mencerminkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan yang berkompetisi secara tidak sempurna punya kenderungan untuk berlokasi dalam wilayah-wilayah yang punya intensitas kompetisi yang relatif lebih rendah.

Efek dari akses kepada pasar dan efek biaya hidup mendorong terjadinya suatu konsentrasi spasial sendangkan crowding market cenderung mendorong dispersi. Kombinasi efek dari adanya akses pasar dan biaya hidup dengan migrasi antarwilayah akan menciptakan potensi circular causalty effect ataupun sering disebut cumulative causalty, atau backward and forward lingkages (Duranton dan Puga, 2003 dikutip Igliori, 2008). Akibat yang mendasar adalah bahwa biaya-biaya perdagangan (break point) kekuatan-kekuatan aglomerasi akan melampaui


(1)

Tabel 15. Analisis Ragam Rgresi Human Development Index sebagai Fungsi dari Nilai Tukar Petani dan Insidensi Kemiskinan Perdesaan

Predictor Coef StDev T P Constant 66.573 1.262 52.74 0.000 [NTP] 0.05101 0.01326 3.85 0.061 [R_POOR] -0.26916 0.01289 -20.88 0.002 [RZ] 2.2067 0.3030 7.28 0.018 S = 0.05975 R-Sq = 100.0% R-Sq(adj) = 99.9%

Regresi Persamaan {4.12}:

[HDI] = 66.6 + 0.0510 [NTP] - 0.269[R_POOR] + 2.21 [RZ] Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 3 23.3145 7.7715 2176.94 0.000 Error 2 0.0071 0.0036

Total 5 23.3217 Source DF Seq SS [NTP] 1 21.6860 [R_POOR] 1 1.4393 [RZ] 1 0.1893


(2)

Tabel 16. Analisis Regresi Kerapatan Jumlah Koperasi di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial

Predictor Coef StDev T P Constant 2.5580 0.7611 3.36 0.044 [TAX]t-1 -0.03839 0.01332 -2.88 0.063

[S_APRT]t-1 0.02788 0.01526 1.83 0.165

[S_PUBL]t 0.014470 0.005099 2.84 0.066

[S_SOC]t 0.00655 0.01090 0.60 0.591

[RZ] 7.090 3.326 2.13 0.123

S = 0.6039 R-Sq = 93.9% R-Sq(adj) = 83.7%

Regresi Persamaan {4.13}

[KOP_HU]t = 2.56 - 0.0384[TAX]t-1 + 0.0279[S_APRT]t-1

+ 0.0145[S_PUBL]t + 0.0065 [S_SOC]t + 7.09[RZ]

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 5 16.7915 3.3583 9.21 0.049

Error 3 1.0942 0.3647 Total 8 17.8857

Source DF Seq SS [TAX]t-1 1 12.0791 [S_APRT] 1 0.0615 [S_PUBL] 1 0.8551 [S_SOC] 1 2.1389 [RZ] 1 1.6570


(3)

Tabel 17. Analisis Regresi Kerapatan Jumlah Koperasi di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial

Predictor Coef StDev T P Constant 3.3448 0.5780 5.79 0.010 [TAX]t-1 -0.03171 0.01012 -3.14 0.052

[S_APRT]t-1 0.01839 0.01159 1.59 0.211

[S_PUBL] 0.012242 0.003873 3.16 0.051

[S_SOC] 0.008903 0.008280 1.08 0.361

[RZ] 6.276 2.526 2.48 0.089 S = 0.4586 R-Sq = 93.7% R-Sq(adj) = 83.1%

Persamaan {2.14}

[KOP_HI]t = 3.34 - 0.0317 [TAX]t-1 + 0.0184[S_APRT]t-1

+ 0.0122[S_PUBL]t + 0.00890[S_SOC]t

+ 6.28[RZ]

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P

Regression 5 9.3521 1.8704 8.89 0.051

Error 3 0.6311 0.2104 Total 8 9.9832

Source DF Seq SS [TAX]t-1 1 6.5094 [S_APRT] 1 0.0673 [S_PUBL] 1 0.5617 [S_SOC] 1 0.9152 [RZ] 1 1.2985


(4)

Tabel 18. Analisis Regresi Intensitas Kejahatan di Subwilayah Hulu sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial

Predictor Coef StDev T P Constant -0.0302 0.3590 -0.08 0.935 [TAX]t 0.010570 0.003605 2.93 0.022

[S_APRT]t 0.006731 0.003120 2.16 0.068

[S_PUBL]t -0.001057 0.001148 -0.92 0.388

[S_SOC]t -0.015818 0.005081 -3.11 0.017

[RZ] -4.034 1.163 -3.47 0.010 S = 0.4964 R-Sq = 93.2% R-Sq(adj) = 88.4%

Persamaan {4.15}

[KJ_HU]t = -0.030 + 0.0106[TAX]t + 0.00673[S_APRT]t

- 0.00106[S_PUBL]t-0.0158[S_SOC]t - 4.03[RZ]

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 5 23.7979 4.7596 19.31 0.001 Error 7 1.7250 0.2464

Total 12 25.5229 Source DF Seq SS [TAX_PRO 1 17.9586 [S_APRT] 1 2.6934 [S_PUBL] 1 0.1236 [S_SOC] 1 0.0554 [RZ] 1 2.9669


(5)

Tabel 19. Analisis Regresi Intensitas Kejahatan di Subwilayah Hilir sebagai Fungsi dari Pajak dan Retribusi Daerah, Belanja Aparatur, Belanja Publik, dan Belanja Bantuan Sosial

Predictor Coef StDev T P Constant 1.930 1.348 1.43 0.195 [TAX]t 0.03926 0.01354 2.90 0.023

[S_APRT]t 0.00251 0.01171 0.21 0.837

[S_PUBL]t 0.003000 0.004309 -0.70 0.509

[S_SOC]t -0.06569 0.01908 -3.44 0.011

[RZ] -14.844 4.365 -3.40 0.011 S = 1.864 R-Sq = 69.1% R-Sq(adj) = 47.1%

Regresi Persamaan {4.16}

[KJ_HI]t = 1.93 + 0.0393[TAX]t + 0.0025[S_APRT]t

- 0.00300[S_PUBL]t -0.0657[S_SOC]t -14.8[RZ]

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 5 54.409 10.882 3.13 0.084 Error 7 24.315 3.474

Total 12 78.724 Source DF Seq SS [TAX_PRO 1 1.628 [S_APRT] 1 6.736 [S_PUBL] 1 1.300 [S_SOC] 1 4.578 [RZ] 1 40.168


(6)

Table 20. Daftar Singkatan dan Akronim yang Digunakan

Simbol Arti

[CH] : Jumlah millimeter presipitasi tahunan [COFF] : Proporsi luasan perkebunan kopi rakyat

[D1_URBAN] : Dummy variable urbanisme (kabupaten Vs kota)

[D2_VOLC] : Dummy variable lahan berbatuan induk Sedimen Vs Volkanik [D3_PLUT] : Dummy variable lahan berbatuan induk Volkanik Vs Plutonik [D4_HILL] : Dummy variable bentang lahan dataran Vs perbukitan

[D5_MOUNT] : Dummy variabel bentang lahan perbukitan Vs pegunungan [ESTPL] : Proporsi luasan perkebunan besar di kabupaten ke i

[FALLOW] : Proporsi luasan lahan yang diberakan di kabupaten ke i [FLOOD] : Proporsi desa-desa yang dilanda banjir dalam kabupaten ke i [G_AGR_SH] : Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertanian

[G_ECONM] : Pertumbuhan Ekonomi

[G_IND_SH] : Pertumbuhan Pangsa Sektor Idustri

[G_INCP_AGR] : Pertumbuhan Pendapatan/Kapita Sektor Pertanian [G_MIN_SH] : Pertumbuhan Pangsa Sektor Pertambangan

[G_OTH_SH] : Pertumhuhan Pangsa Sektor selainnya (Perdagangan, konstruksi, komunikasi dan jasa-jasa)

[HDI] : Indek Pembangunan Manusia HI : Hilir

HU : Hulu

HN : Hutan Negara HR : Hutan Rakyat

JL : Kerapatan Jaringan Jalan Beraspal per 10 ribu Ha IBD : Kerapatan tempat Ibadah per 10 ribu penduduk IKC : Kerapatan Industri Kecil per 10 ribu penduduk

IBS : Kerapatan Industri Besar-Sedang per 10 ribu penduduk KJ : Intensitas Kejahatan per 10 ribu penduduk

KOP : Kerapatan jumlah koperasi/10 ribu penduduk

[LDSLIDE] : Proporsi desa yang dilanda tanah longsor pada kabupaten ke i. [LDEG] : Proporsi lahan tergedradasi dalam kabupaten ke i

[ORG] : Kerapatan organisasi kemasyarakatan per 10 ribu penduduk [NTP] : Indek Nilai Tukar Petani

[POND] : Proporsi luas lahan berupa balong atau kolam di kabupaten ke i Re : Resource Endowment

[RZ] : Rezim Tata Pemerintahan

[S_APRT] : Belanja untuk Aparatur per 10 ribu penduduk [S_PUBL] : Belanja untuk investasi Publik per 10 ribu penduduk [S_SOC] : Belanja untuk Bantuan Sosial per 10 ribu penduduk

[TAX] : Pendapatan pajak daerah dan retribusi per 10 ribu penduduk [SHIFT] : Proporsi penggunaan lahan perladangan di kabupeten ke i [SWAMP] : Proporsi lahan berupa rawa-rawa di kabupaten ke i