Latar Belakang dan Masalah

Dengan bentang alam seperti itu, setiap kali terjadi musim angin moonson Barat yang bergerak ke Timur, aliran massa udara terhalang oleh punggung Pegunungan Bukit Barisan, maka udara jenuh yang membawa uap air dari Samudera Indonesia tersebut seperti dipaksa naik di sepanjang Bukit Barisan. Akibatnya terjadi awan konvektif yang menyebabkan penurunan temperatur udara secara adiabatis dan akhirnya terjadi kondensasi dan jatuh sebagai hujan utamanya di Bagian Barat. Karena itu pada Bagian Barat Provinsi Lampung memiliki tipe iklim A. Semakin ke Timur menuju ke Pantai Timur provinsi ini maka curah hujan semakin rendah, bahkan ada yang beriklim D Oldeman, 1982 seperti dapat diperiksa dalam CSR, 1989. Di Bagian Barat di bawah curah hujan yang tinggi telah berlangsung proses pembentukan tanah yang cepat, yang dalam keadaan alami dapat menghasilkan solum tanah yang tebal. Bersamaan dengan itu curah hujan yang tinggi dalam jutaan tahun lamanya telah menghasilkan suksesi vegetasi alami yang kuat, menghasilkan keragaman flora dan fauna yang tinggi. Atas pertimbangan curah hujan yang tinggi dengan elevasi yang tinggi pula, maka sejak masa Kolonial Belanda subwilayah hulu ini dalam proporsi yang besar telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Selain itu juga atas pertimbangan tingginya keanekaragama hayati dengan berbagai spesies endemiknya juga ditetapkan sebagai kawasan pelestarian yang sekarang merupakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan TNBBS. Keberadaan semua hutan lindung maupun TNBSS di subwilayah hulu ini dimaksudkan juga untuk menjamin fungsi intrinsik hutan utamanya untuk perasapan air, untuk pencegahan erosi, dan untuk pengendalian debit agar tidak berfluktuasi secara besar sehingga dapat menjadi sumber air yang kontinyu bagi semua bendungan yang berada di Bagian Tengah Provinsi Lampung ini. Tujuan akhirnya adalah agar pada bagian hilir tidak terjadi banjir pada musim hujan dan terhindar dari kekeringan di musim kemarau, bermanfaat untuk irigasi dan suplai air berlangsung secara kontinyu sepanjang tahun bagi semua PLTA di Provinsi Lampung ini. Dengan begitu maka dapat diharapkan aktivitas perekonomian di subwilayah hilir dapat berkembang baik dan kesejahteraan masyarakat di provinsi ini diharapkan dapat ditingkatkan. Namun pada realitasnya seperti dilaporkan oleh Sihite 2004, dan Nurhaida et al. 2006, luasan tutupan hutan di sub wilayah hulu ini makin berkurang dan berubah terutama menjadi pertanaman kopi, coklat, lada, dan karet cash crop dalam sistem wanatani yang sederhana. Bahkan sebagian besar hutan lindung di subwilayah resapan ini telah banyak berubah menjadi pertanaman kopi atau cash crop lainnya. Akibatnya, seperti dilaporkan Nurhaida et al. 2006 tingkat erosi sangat besar, fluktuasi debit semua aliran sungai juga besar. Pada saat musim hujan beberapa kecamatan di Kabupaten Tulang Bawang, Way Kanan, Lampung Tengah dan Lampung Timur belakangan ini sering dilanda banjir yang sangat mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Selain itu, beberapa bendungan juga banyak mengalami sedimentasi sehingga menyebabkan kerugian produksi listrik, hasil pertanian maupun industri. Sebaliknya pada musim kemarau sering defisit air, baik bagi irigasi maupun untuk PLTA yang juga sangat menekan perekonomian masyarakat. Sebagai gambaran untuk kerusakan bendungan Way Besai telah menyebabkan kerugian pada Bagian Tengah dan hilir melebihi Rp 63Mtahun Sihite, 2004. Diskusi pada bagian ini memperlihatkan bahwa sub wilayah hulu sebagai wilayah resapan tidak memperoleh kompensasi apapun atas pembebanan sebagai penyedia jasa resapan air maupun jasa lingkungan lainnya. Sementara wilayah Bagian Tengah dan Bagian Timur selama ini oleh otoritas publik telah dibiarkan menjadi sebagai ―free rider” dalam menikmati jasa lingkungan tersebut. Akibatnya kerusakan wilayah resapan ini telah banyak menimbulkan berbagai kerugian ekonomi di subwilayah hilir. Ketidakadilan antarsubwilayah ini telah mengarah pada pola hubungan hulu-hilir di Provinsi Lampung yang saling parasitik. Semua itu pada akhirnya akan menekan kinerja ekonomi wilayah Provinsi Lampung secara agregat bahkan menghambat pertumbuhan ekonomi disertai pengangguran dan kemiskinan. Akibat dari degradasi sumberdaya biofisik wilayah ini, berarti resource endowment Re yang dimiliki Provinsi Lampung tidak dapat menjadi penggerak perkembangan ekonomi wilayah bahkan telah menimbulkan stagnasi.

2.2 Degradasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan sebagai Penyebab

Stagnasi Kinerja Perekonomian Wilayah 2.2.1 Fungsi Intrinsik Hutan sebagai Pembatas Perkembangan Ekonomi Wilayah Umumnya negara-negara berkembang pada awal modernisasi perekonomiannya selalu dihadapkan pada kendala penyusutan sumberdaya alam. Begitu pula wilayah Provinsi Lampung sebagai salah satu bagian wilayah lokal terpenting di Indonesia outer island yang paling dekat dengan P Jawa telah mengalami deforestasi dan degradasi hutan sejak lama. Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Syam et al. 1997, Verbist dan Pasya 2004, Verbist et al. 2004, serta Nurhaida et al. 2006 dapat disimpulkan bahwa laju deforestasi hutan di Provinsi Lampung mulai meningkat pesat sejak dekade 1970-an, yaitu sejak Indonesia mengandalkan pemasukkan devisa dari ekspor hasil hutan utamanya hasil kayu. Deforestasi tersebut kemudian mencapai puncaknya ketika berlangsung reformasi dan desentralisasi tata pemerintahan. Sejalan dengan deforestasi di subwilayah hulu sekarang sebagai Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus tersebut, menurut catatan statistik, kini subwilayah hulu ini merupakan pemasok ekspor kopi utama lebih dari 65 dari total volumen ekspor kopi Provinsi Lampung BPS, 2009; diolah. Dengan kinerja ekspor utama tersebut Provinsi Lampung menjadi provinsi ke 2 atau sekitar 21,67 sebagai pemasok ekspor kopi Indonesia setelah Provinsi Sumatera Selatan sekitar 22,35. Dengan kontribusi kinerja ekspor kopi tersebut Indonesia dewasa ini menjadi eksportir ke 3 dunia setelah Brasil dan Vietnam Ditjenbun, 2009 diolah. Walaupun begitu tingginya kinerja ekspor biji kopi ataupun cash crop tersebut perlu dibayar mahal dengan mengorbankan deforestasi yang akut disertai dengan berbagai kerusakan fungsi intrisik hutan lainnya, seperti merosotnya kinerja hidroorologi, kemerosotan keanekaragaman hayati dan kenyamanan lingkungan maupun stok karbon. Lebih dari itu, semuanya itu berujung pada kemerosotan ekonomi wilayah serta yang paling mengkhawatirkan adalah sangat mengancam kebersinambungan aglomerasi agroidustri si subwilayah hilir, yang