2.3.2 Arti Penting Buruh Migran Bagi Indonesia
Ditinjau dari segi kepentingan, penempatan buruh migran ke luar negeri harus didasarkan pada 3 kepentingan yang terkait dan saling membutuhkan yaitu: kepentingan buruh migran,
kepentingan pemerintah dan kepentingan bangsa. Bagi buruh migran, bekerja di luar negeri merupakan jalan untuk memperbaiki nasib sehingga waktu kembali ke tanah air keadaan lebih
baik dari sebelumnya dengan memperoleh penghasilan dan pengetahuan serta pengalaman baru yang berguna untuk kehidupan selanjutnya dan bukan sebaliknya.
Bagi pemerintah, program penempatan buruh migran ke luar negeri merupakan alternatif untuk mengatasi pengangguran yang dari tahun ke tahun terus membengkak dan sekaligus
memperoleh devisa.
Sedangkan yang menyangkut kepentingan bangsa adalah terpeliharanya citra Indonesia bahkan meningkatkan citra Indonesia paling tidak di negara penempatan buruh migran. Secara
institusional, penempatan buruh migran di luar negeri menjadi jawaban bagi masalah tingginya angka pengangguran. Selain itu, juga sebagai penambah pendapatan dalam bentuk devisa. Pada
2006, kebijakan ini menyerap tenaga kerja lebih dari enam puluh delapan ribu orang dan menghasilkan remitansi lebih dari 4,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 40 triliun. Angka tersebut
lebih tinggi dari tahun sebelumnya 2005 sekitar 150 persen. Tahun 2005, jumlah buruh migran mencapai empat ratus tujuh puluh ribu empat tiga ratus sepuluh orang dengan remitansi lebih
dari 2,93 miliar dolar AS dan 2007 peningkatan remitansi sekitar 4,8 miliar dolar AS.
30
30
Prijono Tjiptoherijanto, dkk., Sumber Daya Manusia, Kesempatan Kerja dan Pengembangan Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1982, hal.9-10.
Universitas Sumatera Utara
Berangkat dari realitas tersebut, wajar saja jika pemerintah makin serius memprogram penempatan buruh migran di luar negeri. Apalagi di daerah, kebijakan ini mendapat dukungan
cukup kuat, baik dari pemerintah daerah maupun dari masyarakat. Bahkan, di beberapa daerah angka remitansi yang dihasilkan dari penempatan buruh migran di luar negeri Malaysia dapat
melampaui angka PAD pendapatan asli daerah mereka, seperti di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penghasilan buruh migran asal Kabupaten Subang yang bekerja di sektor informal di
mancanegara mencapai Rp 39,6 miliar. Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang ditajamkan tingginya angka PHK ikut mendorong melonjaknya angka warga yang berminat bekerja ke luar
negeri. Realitas ini yang mendorong sampai 2009, pemerintah menargetkan dapat mengirim 3.900.000 orang untuk menjadi buruh migran di Malaysia yang diperkirakan akan menghasilkan
remitansi sekitar 8,5 miliar dolar AS. Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Malaysia juga merupakan alternatif positif dalam memecahkan masalah tenaga kerja di dalam negeri, sehingga
mempunyai dampak yang positif bagi pembangunan.
Menurut kementerian Luar Negeri, dengan adanya pengiriman buruh migran ke luar negeri juga mempunyai dampak, baik dalam dalam negeri maupun berdampak pada luar negeri,
yaitu
31
31
Perwada Jawa Tengah PT. Andromeda Graha, Buku Saku Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, 1999, hal 4..
:
Dalam Negeri Pada uraian berikut, dipaparkan dampak positif pengiriman buruh migran ke luar negeri pada tingkat individu, keluarga, masyarakat, daerah, dan pada tingkat nasional.
1 Pada Tingkat Individu
Universitas Sumatera Utara
• Buruh migran mendapatkan pekerjaan Dengan bekerja di luar negeri, maka bagi individu
buruh migran berarti mendapatkan pekerjaan yang dalam banyak hal lebih baik dan lebih memberikan pendapatan yang besar daripada bekerja di dalam negeri.
• Peningkatan kedisiplinan dan etos kerja. Dari hasil pengamatan kepada warga yang
sudah lama berpengalaman tinggal di luar negeri sebagai buruh migran, di dalam kedisiplinan dan etos kerjanya tampak lebih tinggi dan lebih kreatif. Hal ini tampak
dalam pola kerja dan dalam berorganisasi, mereka lebih berdisiplin dan lebih dinamis. Tampak juga dalam penataan rumah tinggal, pengembangan kelembagaan, dan
pengembangan desanya. Dengan demikian, secara kesuluruhan dapat juga berdampak positif terhadap pembangunan daerah dan secara umum terhadap pembangunan negara.
• Peningkatan keterampilan bagi buruh migran Bagi buruh migran yang pernah ke luar
negeri tentu akan memperoleh berbagai keterampilan dari yang mereka kerjakan selama berada di luar negeri, sehingga keterampilan tersebut dapat dikembangkan setelah buruh
migran kembali ke tanah air. Peningkatan keterampilan ini tentu saja sangat berguna untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik di Indonesia.
• Peningkatan pretise Bagi buruh migran yang pernah bekerja di luar negeri, dan
sekembalinya ke Indonesia, mereka merasa harga diri atau pretise sosialnya meningkat. Serta kepercayaan diri semakin meningkat pula. Peningkatan pretise dapat terjadi karena
mereka merasa mempunyai status sosial ekonomi, keterampilan, dan pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan warga yang belum ke luar negeri. Peningkatan pretise ini
dengan sendirinya diharapkan tidak justru memberikan dampak negatif bagi yang bersangkutan, misalnya menjadi sombong, angkuh, dan mengasingkan diri dari
pergaulan masyarakat sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
2 Pada Tingkat Keluarga •
Peningkatan pendapatan melalui remitan Bagi keluarga yang anggota keluarganya menjadi buruh migran di Malaysia , status sosial ekonominya cenderung meningkat,
yang cukup menarik di daerah ialah karena sebagian warganya merantau ke luar negeri, maka desanya menjadi berkembang cukup pesat. Antara lain, semua jalan
desa telah beraspal. Ada sebuah masjid besar dan beberapa Musholla dan setiap dukuh membuat gapura. Dari penjelasan kepala desa, biaya pembangunan itu semua
swadaya murni masyarakat dengan stimulan dan Bangdes. •
Infiltrasi model bangunan Dilihat dari model-model bangunan rumah, masjid, dan gapura, tampaknya ada juga infiltrasi model bangunan dari luar negeri karena
pengaruh migrannya. Sebagai contoh, bangunan gapura masyarakat ada gapura ala Korea, ada gapura ala Singapura, dan ada masjid yang sebagian serambinya mirip
dengan masjid-masjid yang ada di Arab Saudi. Dengan demikian sebenarnya juga telah terjadi infiltrasi budaya lewat.
3 Pada Tingkat Masyarakat •
Dapat menyerap lapangan kerja baru Adanya buruh migran yang bekerja di luar negeri, dapat menyerap lapangan kerja baru. Dengan adanya pengiriman buruh
migran ke luar negeri juga berdampak positif terhadap aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di daerah pedalaman.
• Adanya inovasi baru Ada juga baru tentang pola hidup, antara lain meliputi
bahasa harian, misalnya penggunaan bahasaMalaysia,Inggris karena di antara mereka telah lama tinggal di Malaysia. Ada juga yang menyangkut pola makan
Universitas Sumatera Utara
seperti pola mana mereka dulu tinggal. Misalnya memasak makanan model negara lain. Dengan melakukan kegiatan ini, mereka merasa statusnya lebih
dibandingkan dengan tenaga kerja yang belum pernah ke luar negeri.
4 Pada Tingkat Daerah •
Dapat menjadi alternatif mengurangi pengangguran Dengan banyaknya buruh migran yang bekerja ke Malaysia, maka secara langsung dapat mengurangi
pengangguran di berbagai daerah, yang berarti dapat menyerap tenaga kerja. Dengan adanya buruh migran yang bekerja ke luar negeri, maka bagi daerah yang
mempunyai penduduk padat dan tingkat pengangguran tinggi merupakan alternatif dalam mengurangi pengangguran.
• Dapat meningkatkan pendapatan daerah Bagi buruh migran yang bekerja ke luar
negeri dapat meningkatkan pendapatan keluarga melalui remitan maupun hasil kerja yang dibawa pulang. Dengan penghasilan masing-masing keluarga yang
meningkat akan berpengaruh juga terhadap PAD pendapatan asli daerah dan berpengaruh pula terhadap keberhasilan pembangunan di daerah itu.
5 Pada Tingkat Nasional •
Dapat Menyerap Tenaga Kerja Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi masalah angkatan kerja.
• Peningkatan devisa negara Pengiriman buruh migran ke luar negeri dapat
meningkatkan devisa Negara Luar Negeri Pengiriman buruh migran ke luar
Universitas Sumatera Utara
negeri dapat menimbulkan dampak positif dan juga dampak negatif bagi hubungan luar negeri kedua bangsa pengirim dan penerima.
2.3.3 Moratorium Atau Penghentian Sementara Pengiriman TKI ke Malaysia Sebagai Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Dalam upaya meningkatkan perlindungan dan pelayanan buruh migran Indonesia di Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi membentuk tim negosiator yang
membahas review MoU penempatan TKLN Tenaga Kerja Luar Negeri ke Malaysia. Moratorium atau penghentian sementara penempatan tenaga kerja Indonesia TKI penata
laksana rumah tangga domestic worker ke Malaysia sejak 26 Juni 2009 dimaksudkan agar kedua negara melakukan pembenahan dalam mekanisme penempatan serta perlindungan buruh
migran. Hal itu merupakan salah satu butir yang dihasilkan dalam Rapat Koordinasi Penyempurnaan Mekanisme Penempatan dan Perlindungan TKI di Malaysia yang
diselenggarakan di Kantor Kemnakertrans RI, yang diikuti 99 orang peserta dari instansi terkait di bidang penempatan dan perlindungan TKI. Dengan delegasi dari kedua belah pihak, yaitu Dari
pihak Malaysia terdiri dari Pemerintah Malaysia, Kepolisian Malaysia, Perwakilan Republik Indonesia di Malaysia dan agensi resmi di Malaysia.
Dari pihak Indonesia, terdiri dari unsur pemerintahKementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisan RI dan
Kementerian terkait lainnya dan asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta PPTKIS. Team Joint Working Group merupakan suatu mekanisme yang diciptakan
sejak MoU 2006 yang mengatur mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia khususnya di sektor informal, yaitu yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga atau biasa
Universitas Sumatera Utara
disebut dengan pembantu rumah tangga. Team Joint Working Group ini merupakan suatu forum konsultasi berkala dari kedua pemerintah, yaitu dari pemerintah Indonesia dan pemerintah
Malaysia. Unsur-unsur dari delegasi Indonesia adalah dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI dan yang terakhir dari Kementerian
Perempuan dan Anak dan unsur-unsur delegasi dari pihak Malaysia seperti jika halnya Indonesia maka adalah Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri Malaysia, dan Kementerian
Buruh Malaysia. Tugas utamanya adalah memonitor atau memantau dan mengevaluasi pengiriman buruh migran dari Indonesia ke Malaysia dan hingga selama mereka masih bekerja
di sana atau memantau dan mengevaluasi dari implementasi MoU di kedua negara tersebut.
Sampai sejauh mana kedua pemerintahan ini melaksanakan apa yang sudah disepakati dari MoU tahun 2006 ini. Bisa juga Team Joint Working Group ini diartikan sebagai forum
negosiasi antar kedua pemerintahan dalam merumuskan amandemen MoU tahun 2006. Setelah melakukan pembahasan review MoU, Joint Working Group JWG yang terdiri dari delegasi
Perwakilan Indonesia dan Malaysia segera akan membentuk Komite Bersama Joint Committee yang akan memantau pelaksanaan pelayanan dan perlindungan buruh migran di Malaysia. Tugas
dan fungsi dari komite bersama adalah bertanggung jawab dalam perencanaan, pendataan dan monitoring uang meliputi pembinaan dan training, pelayanan, monitoring evaluasi, penindakan
dan bantuan hukum serta pemfasilitasi pemulangan termasuk pengurusan asuransi dan ganti rugi bagi buruh migran. Hal yang diutamakan dari MoU tahun 2006 adalah mengenai:
1. Diberikannya satu hari libur dalam seminggu
Universitas Sumatera Utara
2. Save Keeping Pasport atau paspor yang bisa dipegang atau dimiliki dan
disimpan oleh buruh migran Indonesia, bukan dipegang oleh atau dimiliki dan disimpan oleh majikan.
3. Standarisasi gaji atau upah minimum bagi buruh migran Indonesia 4. Cost
Structure adalah pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan mulai dari perekrutan sampai dengan diberangkatkannya buruh migran tersebut ke
Malaysia.
Dalam perjalanan pembahasan MoU tahun 2006 mengenai penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia ini sudah ada dua hal yang berhasil disepakati. Pertama, mengenai pemberian
satu hari kerja dalam satu minggu kerja. Jika buruh migran yang bersangkutan tidak ingin mengambil satu hari libur tersebut maka hal itu bisa dikompensasikan dalam bentuk uang.
Kedua, mengenai Save Keeping Pasport atau paspor miliknya bisa disimpan dan dimiliki oleh buruh migran itu sendiri. Jika dulu paspor tersebut dipegang dan disimpan oleh majikan dengan
tujuan untuk mencegah agar tidak bisa melarikan atau kabur, tetapi dengan telah disepakatinya Save Keeping Pasport, TKI sudah bisa menyimpan sendiri paspor mereka dan majikan mereka
pun mendapatkan copy dari paspor milik dari TKI tersebut. Hal pertama yang masih bisa dibilang masih belum mencapai kesepakatan adalah mengenai masalah standarisasi gaji atau
upah minimum.
Pemerintah Malaysia bersikukuh untuk tidak ingin menciptakan suatu ketentuan upah minimum. Dalam penentuan upah minimum tersebut pihak Malaysia lebih menyerahkan kepada
keadaan pasar. Pasar disini adalah standar yang ditetapkan oleh calon majikan dalam memberikan gaji kepada buruh migran. Lain halnya dengan Indonesia, demi kepentingan
Universitas Sumatera Utara
nasional terutama demi kepentingan TKI itu sendiri, Indonesia menginginkan suatu kepastian mengenai standarisasi gaji tersebut karena banyak dari pihak Malaysia yang tidak bisa
memberikan upah yang layak bagi paraburuh migran. Berbeda dengan negara Singapura, berkat upaya KBRI kepada pemerintah Singapura dalam bernegosiasi untuk menaikan gaji upah
minimum bagi buruh migran menjadi sebesar Sin 50 atau sekitar US 30 per bulan pun akhirnya telah disepakati. Sedangkan saat ini rata-rata gaji yang diberikan oleh para pengguna
jasa buruh migran di Malaysia antara RM 400-RM 650 atau sekitar Rp. 1.200.000-Rp. 1.800.000. Dan pemerintah Indonesia mengusulkan kenaikan upah sebesar RM 650-RM 800 atau
sekitar Rp. 1.800.000- Rp. 2.400.000 per bulan. Hal kedua yang masih sulit untuk diperbincangkan adalah mengenai penentuan Cost Structure. Cost Structure ini masih terus
diperbincangkan sampai sekarang atau masih terus dibahas.
Inti dari Cost Structure ini merupakan pembiayaan-pembiayaan yang akan dikeluarkan oleh para pihak, mulai dari ketika mereka merekrut dari daerah-daerah, pelatihan, medical check
up, sampai keberangkatan para buruh migran itu sendiri. Dalam hal inilah yang sampai sekarang masih belum berhasil dirumuskan. Perekrutan para buruh migran tersebut pada umumya mereka
tidak mempunyai modal sendiri, sedangkan proses atau tahapannya sangat panjang dan memakan biaya yang tidak sedikit, seperti mengurus dokumen perjalanan, medical check up, paspor, visa,
dan mereka juga harus mengikuti pelatihan beberapa ratus jam, mengakibatkan konsekuensi biaya yang cukup besar. Lain halnya dengan pengiriman buruh migran ke Timur Tengah, pada
umumnya Cost Structure tersebut ditanggung oleh para pengguna jasa atau para majikan. Majikan tersebut menanggung biaya Cost Structure mulai dari penempatan hingga pengiriman.
Sedangkan tidak dengan Malaysia, antara agen dan calon majikan mereka membagi rata dalam penanggungan pembiayaan sekitar 50-50 dimulai dari paspor hingga Kartu Tanda Kerja Ke Luar
Universitas Sumatera Utara
Negeri KTKLN dan hal inilah yang sedang dirumuskan karena pada akhirnya ini semua akan dibebankan pada buruh migran.
Berangkat dari itu, pemerintah Indonesia melihat secara general bahwa sudah banyak kasus yang serupa sering terjadi di Malaysia, sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia
dengan terpaksa menetapkan kebijakan luar negeri moratorium ke pihak Malaysia. Pada dasarnya dibalik penetapan kebijakan ini adalah pada MoU tahun 2006 yang mengatur mengenai
penempatan dan perlindungan TKI di Malaysia. Khususnya disektor informal, yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga. Dengan seiring berjalannya waktu, Indonesia melihat
bahwa pihak Malaysia tidak melaksanakan MoU tersebut secara konsekuen.
32
Pihak Indonesia juga beranggapan bahwa melihat adanya permasalahan kekerasan yang sering terjadi, baik itu kekerasan pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan adanya beberapa
kasus pembunuhan terhadap buruh migran di Malaysia, dan pihak dari Indonesia merasa harus ada suatu langkah, baik di pihak Malaysia maupun dari pihak Indonesia, harus duduk bersama
untuk mencari solusi agar masalah-masalah tersebut tidak terulang lagi dikemudian hari. Beberapa faktor yang menyebabkan pihak Indonesia menetapkan kebijakan Moratorium atau
penghentian sementara pengiriman buruh migran ke Malaysia adalah munculnya kasus penganiayaan yang terjadi pada Nirmala Bonat, Siti Hajjar dan banyak kasus dengan hal yang
sama yang terjadi di Negara seberang Malaysia.
33
32
http:dspace. Widyatama.ac.id bitstream10364517bab1.pdf, diakses pada tanggal 11 juli 2011 pada pukul 13.20 WIB
33
http:sambelalap. Wordpress.com20101109 bursa ketenagakerjaan Indonesia- Jurnal TKI – Luar Negeri , diakses pada tanggal 28 Juni 2011 pada puku 02.00 am WIB
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, juga karena seringnya pihak pemerintah Malaysia mengabaikan hak-hak buruh migran, disamping kurangnya perlindungan yang memadai bagi mereka yang berprofesi sebagai
PLRT Penata Laksana Rumah Tangga. Penghentian ini akan dilakukan setidaknya sampai dilakukan review MoU TKI antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Malaysia. Oleh sebab itu,
untuk sementara waktu sejak tanggal 26 Juni 2009 Indonesia menetapkan suatu kebijakan luar negeri yaitu moratorium atau penghentian sementara pengiriman buruh migran ke Malaysia dan
moratorium tersebut masih berlaku. Respon pertama dari pihak Malaysia ketika dari pihak Indonesia mengeluarkan kebijakan moratorium tersebut adalah justru disambut dengan positif,
terutama dari tataran pemerintahannya.
34
Jika dilihat dari devisa yang masuk ke Indonesia, bisa dikatakan pengaruh atau efek dari moratorium tersebut tidak terlalu signifikan, karena walaupun telah ditetapkan kebijakan
moratorium tersebut tapi masih ada para buruh migran yang masih terus atau masih berada di Malaysia dan bekerja di sana. Memasuki pertengahan tahun 2011 ini, memang pemerintah SBY
Karena pada hakikatnya adalah tujuan dari ditetapkannya kebijakan moratorium atau penghentian sementara pengiriman buruh migran ke
Malaysia ini adalah demi untuk pembenahan skema pengiriman, dan penertiban, serta perlindungan agar bisa berjalan dengan lebih baik. Dampak negatif karena telah ditetapkannya
kebijakan moratorium ini bagi pihak Indonesia sendiri adalah jika dilihat dari angkatan kerja Indonesia yang bisa dibilang cukup besar terutama yang dimoratoriumkan adalah merupakan
bagian dari sektor domestik yang informal, yaitu seperti penata laksana rumah tangga, pelayan- pelayan restoran tingkat menengah ke bawah, dan dari sinilah efek dari ketetapan moratorium itu
muncul, banyaknya angkatan kerja informal yang tidak terserap karena tidak bisa didistribusikan ke Malaysia.
34
Drs. Yanuar Ikbar, MA, Ekonomi Politik Internasional 1: Konsep dan Teori, Bandung :PT. Refika Aditama,2006, hal 41
Universitas Sumatera Utara
akhirnya mencabut moratorium alias penghentian sementara pengiriman Tenaga Kerja Indonesia TKI ke Malaysia atas rekomendasi Team Joint Working Group JWG. Pencabutan moratorium
akan efektif. Apalagi penghentian kerjasama ketenagakerjaan RI-Malaysia telah berlaku cukup lama yakni sejak 25 Juni 2009 silam. Penandatanganan resmi MoU ketenagakerjaan akan diteken
secara bilateral di Indonesia nantinya. Kesepakatan ini sesuai dengan MoU Tahun 2006 Mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Malaysia, dan diharapkan dasar utama dari
pembaruan MoU untuk penempatan dan perlindungan buruh migran sektor domestik di Malaysia yang lebih bermartabat. Skeptisme muncul ketika terdapat bukti bahwa selama hampir dua tahun
kita melakukan moratorium, berdasarkan data KBRI di Malaysia, ada 5.000 lebih PRT pembantu rumah tangga yang masuk ke sana. Komisi IX DPR RI bahkan menilai moratorium
yang diberlakukan terhadap Malaysia sia-sia karena pengiriman buruh migran terus berlangsung.
35
Penganiayaan terhadap TKI jelas-jelas merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM. Karena itu, tidak pas kiranya kalau kasus pelanggaran HAM diukur dari jumlahnya yang
hanya 0,05 persen, pelanggaran HAM oleh majikan terhadap TKI telah dilakukan secara sistematis, dan tidak bisa ditoleransi. Karena itu, harus ada perjuangan dari pemerintah Indonesia
untuk memperjuangkan hak-hak dan perlindungan bagi TKI. Klausul baru di atas nampaknya masih kurang untuk menjawab butir-butir yang harus diperjuangkan pemerintah Indonesia,
paspor harus di tangan TKI, pemberian upah secara layak, adanya jaminan hari libur, dan Direktur Eksekutif Migrant Care Indonesia Anis Hidayah mengharapkan
pemerintah Indonesia untuk tidak memenuhi keinginan Malaysia mencabut moratorium penghentian sementara pengiriman Tenaga Kerja Indonesia TKI ke negeri jiran itu.
35
Masalah TKI di Luar Negeri: Prospek dan Tantangannya Bagi Indonesia. Surakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Politik Luar Negeri Badan Litbang DEPLU dan Kerjasama dengan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Universitas Sumatera Utara
kebebasan untuk berserikat. Semua itu harus terakomodir dalam klausul MoU ketenagakerjaan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia. Memang baru klausul paspor di
tangan buruh migran dan jaminan hari libur saja yang baru dapat dipenuhi, sedangkan untuk yang lainnya masih dalam taraf negosiasi.
2.3.4 Peran Perwakilan Diplomatik Masalah buruh migran di Malaysia