Nasib Pembantu Rumah Tangga Indonesia TKI di Malaysia

dan kebudayaan Malaysia. Mulai 1 November 2005 pemerintah Malaysia mewajibkan semua negara, terkecuali Indonesia, untuk mengadakan kursus perkenalan bagi buruh migran yang datang ke Malaysia. Jika tidak, mereka tidak akan mendapat visa dan izin kerja. Kebijakan ini diambil untuk menjamin bahwa negara asal buruh migran mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa buruh migran mereka menerima informasi dasar tentang kebudayaan dan hukum Malaysia sebelum bekerja disana.

2.3.6 Nasib Pembantu Rumah Tangga Indonesia TKI di Malaysia

Setelah membaca sedikit tentang aturan-aturan pemerintah Malaysia terhadap buruh migran secara keseluruhan, sektor informal yang membutuhkan banyak tenaga buruh migran unskilled adalah sektor penata laksana rumah tangga atau pembantu rumah tangga PRT, yang biasa kita kenal. Sering terjadi kasus-kasus hukum di wilayah ini karena pemerintah Malaysia menempatkan sektor kerja PRT sebagai sektor informal yang tidak dicakup dalam peraturan ketenagakerjaan. Siti Hajar dan Nirmala Bonat hanyalah dua, yang ketahuan, dari ratusan lebih kasus kekerasan yang terjadi pada PRT migran kita di Malaysia. Menurut Employment Act tahun 1955, PRT adalah budak yang tidak memiliki hak. Dari aspek kebijakan publik pemerintah Malaysia sendiri secara eksplisit tidak berkeinginan untuk melindungi para PRT migran. Dalam Employment Act section 57, menegaskan bahwa hak PRT yang diakui hanyalah yang terkait dengan pemutusan hubungan kerja dengan mereka. Tidak ada pasal lain dalam undang-undang tersebut yang terkait dengan PRT. Kondisi itu membuat mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif, karena memang hak-hak mereka sebetulnya tidak ada., dan kondisi ini juga berbeda sekali dengan para buruh migran di sektor Universitas Sumatera Utara lain, maupun dari negara lain. Untuk mengacu pada pekerja rumah tangga, Employment Act itu sendiri masih menggunakan kata Inggris “servants” yang konotasinya kurang etis. Dalam prakteknya, konotasi ini tak berbeda dengan definisi “budak”, karena sekalipun dibatasi oleh kontrak waktu kerja dua tahun, mereka pada dasarnya adalah properti dari dan tunduk pada majikan yang bersangkutan. Dalam Immigration Act tahun 195219562002, tidak banyak disinggung tentang perlindungan PRT. Salah satu aturan yang dimuat dalam undang- undang tersebut adalah single entry policy, yang menetapkan bahwa PRT migran yang masuk ke Malaysia hanya boleh didaftarkan pada satu orang majikan saja. Ini berarti PRT tidak dapat dan tidak memiliki hak untuk memilih majikan yang dikehendakinya. Hal sebaliknya terjadi pada majikan, mereka berhak mengganti pekerja yang tidak disukainya. Kekuasaan majikan terhadap PRT adalah mutlak. Jika seorang PRT ingin pindah majikan, ia harus kembali ke Indonesia terlebih dulu. Setelah itu, ia barulah diizinkan kembali ke Malysia dengan izin kerja yang baru. Kekuasaan mutlak yang diberikan undang-undang imigrasi membuat PRT yang diperlakukan sewenang-wenang oleh majikan tidak punya akses untuk mendapatkan keadilan. Hal ini terjadi karena visa dan izin kerja yang dimilikinya terkait dengan nama majikannya. Majikan yang tidak menyukai PRT bisa dengan mudah mengakhiri kontrak dan melaporkannya pada pihak imigrasi untuk membatalkan visa dan ijin kerja PRT tersebut, karena hanya majikan yang memiliki kuasa untuk mengurus visa dan izin kerja. PRT yang dibatalkan visa dan izinnya oleh majikan kehilangan haknya untuk tinggal dan bekerja di Malaysia. Meskipun PRT lari dari majikan karena mengalami tindak kekerasan misalnya, PRT tersebut akan menjadi ilegal dan dapat dikenakan hukuman penjara, denda, dan akhirnya dideportasi. Ketentuan imigrasi dalam hal ini tidak pandang bulu. Ini berarti, tidak ada kesempatan bagi PRT untuk mendapatkan keadilan, karena ketentuan imigrasi Malaysia memiliki kecenderungan untuk menghukum korban, Universitas Sumatera Utara bukannya pelaku. Pada saat yang sama, ketika PRT mendapat jalan untuk membuat pengaduan tentang tindak kekerasan atau yang gajinya tidak dibayarkan, yang dilakukan oleh majikannya, pengaduan itu akan diproses dan diputuskan oleh pengadilan. Dalam hal ini, pengadilannya sendiri membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Parahnya lagi, pada kasus ini ada klausul dalam Employment Act yang menetapkan bahwa pekerja asing yang tengah menyelesaikan kasusnya di pengadilan tidak diperbolehkan bekerja. Pekerja asing juga tetap harus membayar visa khusus sebesar RM100 untuk setiap bulan selama menunggu kasus tersebut selesai. Situasi ini terjadi pada Nirmala Bonat yang diproses di pengadilan pada 21 Mei 2004 di Sessions Court dan baru pada November 2010 lalu kasusnya diputus pengadilan. Majikan Nirmala dikenai hukuman 18 tahun penjara. Akan tetapi karena membayar jaminan sebesar RM200.000, majikan Nirmala bisa bebas tinggal di luar penjara. Pihak Malaysia tidak hanya menutup mata terhadap kondisi yang dialami PRT migran kita, tetapi secara tidak langsung melegalkannya. Kepedulian Malaysia terhadap kebijakannya semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan para majikan. Sebab bagi Malaysia, PRT migran adalah orang asing yang bukan saja harus dikontrol, tetapi juga tidak layak untuk mendapat perlindungan. Tidak heran jika kebijakan negaranya dalam hal PRT migran cenderung melegalkan perbudakan dan menghukum para korban yang mencari keadilan. Ketika pemerintah Malaysia tidak punya keinginan untuk melindungi PRT kita, harapan untuk perlindungan mereka seharusnya disandangkan kepada pemerintah Indonesia. 39 39 http:sambelala. Wordpress.com 20101017 Jurnal Tenaga Kerja Indonesia – Malaysiia, diakses pada tanggal 21 Mei 2011 Universitas Sumatera Utara Ironisnya, posisi pemerintah justru mendukung kebijakan yang dibuat Malaysia. Pemerintah memberikan izin kepada majikan untuk menahan paspor PRT yang dipekerjakannya, sesuai dengan MoU Tahun 2006 Mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Malaysia. Dalam MoU yang dibuat pemerintah Indonesia dan Malaysia ini, terdapat dua hal krusial yang merugikan buruh migran. Pertama, masalah paspor tadi dan kedua, pemberian kewenangan kepada majikan di sektor formal untuk merekrut buruh migran secara langsung. Ini bertentangan dengan UU No. 39 tahun 2004 yang melarang perekrutan oleh perseorangan. Ini bisa diartikan merestui kebijakan-kebijakan diskriminatif yang diterapkan Malaysia terhadap PRT Indonesia. Alasan pemerintah adalah karena ingin melindungi PRT. Dikhawatirkan PRT yang awam tentang paspor, rawan kehilangan, mengurangi kemungkinan PRT menjadi ilegal, dan beberapa pertimbangan praktis lainnya. Alasan melindungi PRT dari kehilangan paspor justru menunjukkan sikap pemerintah yang memandang rendah warganya yang berstatus PRT. PRT dipandang bodoh karena tidak mampu mengurus paspornya sendiri. Alasan ini sangat mengada-ada karena pemerintah tahu bahwa selama ini PRT selalu dikurung majikannya di dalam rumah, sehingga kecil peluang baginya untuk kehilangan paspor. Begitu juga dengan alasan mengurangi kemungkinan PRT menjadi ilegal. Hal ini malah menyiratkan keinginan pemerintah untuk memaksa PRT bertahan di rumah majikan dalam segala kondisi, termasuk jika disiksa. Dengan perspektif seperti ini, nampaknya pilihan untuk bertahan dalam situasi diskriminatif di rumah majikan dinilai pemerintah menjadi pilihan yang jauh lebih rasional daripada lari dari majikan dengan konsekuensi menjadi PRT ilegal. Universitas Sumatera Utara Dalam kondisi hukum di Malaysia yang diskriminatif, membiarkan paspor di tangan majikan justru menjadikan PRT semakin rentan terhadap praktek perdagangan orang. Pertimbangan praktis pemerintah bisa diartikan dalam tiga kemungkinan. Ini menegaskan ketidakberdayaan pemerintah dalam menghadapi Malaysia atau sebaliknya, menegaskan minimnya kehendak pemerintah untuk mewujudkan perlindungan maksimal bagi PRT. Atau juga bisa dua-duanya: pemerintah tidak mau terlalu direpotkan dengan urusan PRT yang lari dari majikan, sekaligus tidak berdaya dalam menghadapi tekanan Malaysia. Menyerahkan tanggung jawab perlindungan PRT pada majikan di Malaysia adalah pilihan paling praktis yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia. Sungguh menyedihkan menyadari adanya realitas bahwa sebuah negara sebesar Indonesia harus menyerahkan kedaulatannya pada para majikan PRT di Malaysia. Bukan hanya martabat PRT yang direndahkan, tetapi martabat bangsa juga dilecehkan. Sulit dibayangkan perlindungan macam apa yang bisa diberikan KBRI kepada para PRT, jika hidup matinya mereka bergantung pada majikan yang mendapat legitimasi dari otoritas pemerintahan. Resiko di eksploitasi dan dianiaya majikan adalah bagian dari harga yang harus dibayar PRT bila bekerja di Malaysia. UU No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan buruh migran di luar negeri, yang diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk mengupayakan perlindungan PRT di luar negeri, pada kenyataannya tidak bisa banyak bicara. UU ini lebih banyak bicara tentang persiapan penempatan para calon buruh migran ke luar negeri oleh PJTKI. Mengenai aspek perlindungannya, hanya diatur dalam pasal 78 yang mengamanatkan KBRI atau atase tenaga kerja di KBRI untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran di luar negeri sesuai dengan aturan yang berlaku di negara tujuan. Universitas Sumatera Utara UU ini tidak mengatur, misalnya, tentang apa yang harus dilakukan atase tenaga kerja apabila terjadi konflik antara majikan dan buruh migran atau antara buruh migran dan agensi di luar negeri. Banyaknya kelemahan di UU No. 39 ini membuat Indonesia tidak memiliki acuan hukum nasional yang memadai dalam mengupayakan perlindungan bagi PRT di Malaysia. Memang harus diakui ada perbaikan pasca UU No. 39 lahir, akan tetapi kekerasan terhadap PRT kita tetap terjadi. Menyikapi situasi demikian, pada tahun 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 tahun 2006 tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Salah satu program yang diagendakan dalam Inpres tersebut adalah penguatan fungsi Perwakilan Republik Indonesia dalam perlindungan para buruh migran melalui pembentukan Citizen Service atau Atase Ketenagakerjaan di negara-negara penerima buruh migran. Di KBRI Malaysia sendiri telah ada atase tenaga kerja, akan tetapi selama ini banyak keluhan terhadap kinerja KBRI Malaysia. Bagi para buruh migran, kinerja buruk KBRI ini sangat dirasa, terutama masalah pelayanan yang lambat dan birokratis, calo dan korupsi yang merajalela, dan perlakuan yang kurang manusiawi terhadap mereka adalah keluhan umum yang dirasakan buruh migran Indonesia di Malaysia. Universitas Sumatera Utara

BAB III ANALISIS DATA