Kebijakan Malaysia terhadap Buruh Migran

diselundupkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, ini arahnya sudah masuk kepada trafficking in person, tapi mereka juga bekerja, itupun mereka ilegal. Ada juga yang memang habis kontraknya, habis masa berlakunya tapi juga dia terus berpindah-pindah, sambil bekerja dan tidak pernah mengurus perpanjangan dokumen, inipun juga akhirnya menjadi ilegal. Peran Perwakilan di tempat pemulangan menjadi penting, karena harus melakukan pendataan dan checking terhadap mereka ini, untuk memastikan tentang keaslian kewarganegaraannya, sekaligus tentang kesehatan dan hak-hak dari WNI tersebut. Perlindungan terhadap WNI tersebut, tidak saja mereka harus dilayani secara rutin, tetapi juga munculnya kasus-kasus yang melibatkan WNI, baik mereka yang menjadi korban, tetapi juga mereka yang menjadi pelaku kejahatan.

2.3.5 Kebijakan Malaysia terhadap Buruh Migran

Kebijakan yang dibentuk oleh konteks politik, sosial, dan kultural dari migran, perjanjian regional dan kekuatan lobby dari beberapa kelompok majikan di Malaysia. Setelah kerusuhan rasial yang terjadi tahun 1969 dan penerapan kebijakan ekonomi baru pada tahun 1970, Malaysia dengan melangkah masuk ke liberalisasi ekonomi mulai melakukan proyek-proyek pembangunan berskala besar. 37 Kekurangan tenaga kerja membuat Malaysia membuka pintu untuk masuknya buruh migran ke negara mereka. Berbicara aturan, Malaysia memiliki dua aturan pokok yang mendasari manajemen migrasi buruh migran di Malaysia, yaitu Employment Act tahun 1955 dan The Immigration Act tahun 195219562002. Aturan ini kemudian diamandemen dan diperkuat dengan serangkaian kebijakan dan tindakan khusus guna menghadapi masuknya buruh migran. 37 Riant Nugroho, public Policy, Jakarta : Elex Media Komputindo,2008. Hal 55 Universitas Sumatera Utara Kebijakan ini sebagian ditujukan untuk menangani buruh migran tidak terampil unskilled dan tidak berdokumen. Kebijakan Malaysia di bidang migrasi tenaga kerja secara umum ditujukan untuk tiga hal: mengontrol dan mengatur masuknya buruh migran, mengurangi migrasi ilegal, dan melindungi hak buruh migran. Serangkaian peraturan dan tindakan dibuat pemerintah untuk mengatur arus masuk buruh migran demi menyeimbangkan kebutuhan jangka pendek dengan kebutuhan jangka panjang di bidang ekonomi. Untuk mempekerjakan buruh migran, majikan harus terlebih dahulu membuktikan bahwa tidak ada pekerja lokal yang dapat mengisi pekerjaan yang ada. Selain itu, bila terjadi pengurangan tenaga kerja, pengurangan itu pertama-tama harus dikenakan pada buruh migran. Pemerintah Malaysia pada Agustus 1980 untuk pertama kalinya memberikan izin bagi pendirian agensi perekrut tenaga kerja. Persaingan antar agensi diharapkan dapat menjamin terwujudkan pelayanan yang efektif dengan harga kompetitif. Mereka akan memproses seluruh dokumen kerja dan menyediakan logistik bagi buruh migran yang direkrutnya, dengan demikian akan mempermudah majikan dalam mempekerjakan buruh migran. 38 Hal ini terjadi karena kebanyakan buruh migran tidak mengetahui status dari agensi tersebut, dan juga banyak agensi menawarkan harga yang murah, sehingga mereka terpikat. Padahal, sebenarnya agensi yang tidak terdaftar menarik biaya lebih dari yang ditentukan, melakukan pemalsuan dokumen, memberikan informasi yang tidak akurat tentang upah pekerja, Agensi ini juga berhubungan dengan agensi perekrut di negara asal buruh migran tersebut. Meski begitu, tidak semua agensi di Malaysia terdaftar sebagai agensi resmi, walau agensi dan perekrut tenaga kerja diatur dalam Private Employment Agents Act. Tidak sedikit buruh migran yang memilih menggunakan agensi atau perekrut tenaga kerja yang unregistered. 38 Riant Nugroho, OP.cit, hal 335 Universitas Sumatera Utara dan bermacam-macam modus penipuan lainnya. Di Malaysia juga terdapat sebuah mekanisme yang baru diterapkan pada tahun 2005, yaitu outsourcing. Mekanisme ini mengharuskan sebuah perusahaan apabila ingin hire lebih dari 50 buruh migran, harus menggunakan mekanisme outsourcing. Ada sekitar 58 agensi perusahaan outsourcing yang ditunjuk pemerintah untuk memasok dan mengurus buruh migran. Perusahaan tersebut harus bertanggung jawab pada setiap buruh yang mereka rekrut, dengan menyediakan tempat tinggal dan gaji minimum bila buruh tidak memiliki pekerjaan. Banyak pihak mulai mengkritik kebijakan perekrutan dengan sistem ini karena dirasa tidak menguntungkan bagi buruh migran itu sendiri. Selain Employment Act dan The Immigration Act, terdapat juga The Industrial Relation Act tahun 1967 yang memuat prinsip-prinsip hubungan industrial dalam sektor privat, yang meliputi: prinsip hak berserikat, prinsip pengakuan serikat buruh, prinsip negosiasi kolektif, dan penyelesaian perselisihan. Undang –Undang ini lahir berangkat dari Employment Act, untuk lebih hubungan sektor industri dengan para pekerja, karena memang sektor industri dengan tenaga kerja adalah sektor yang sangat berkaitan. Employment Act berlaku bagi semua tenaga kerja, termasuk tenaga kerja lepas, tenaga kerja temporer dan paruh waktu, apprentice, trainee, tenaga kerja dalam masa percobaan, dan tenaga kerja lainnya. Dengan undang-undang ini, semua buruh migran yang bekerja di Malaysia mendapat hak yang sama sebagaimana pekerja lokal. Selain itu, undang- undang itu juga mengatur tentang kondisi kerja minimum. Undang-undang ini mewajibkan majikan bertanggung jawab atas terwujudnya kondisi minimum dan setiap tenaga kerja, baik yang berserikat atau tidak, baik lokal atau pun migran, berhak atas kondisi kerja minimum sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kondisi kerja yang diatur dalam undang-undang tersebut, antara lain adalah: jam kerja, kerja lembur, libur mingguan, libur resmi, cuti tahunan, cuti karena sakit dan haid, manfaat yang diterima karena cuti hamil, PHK, dll. Universitas Sumatera Utara Undang-undang tersebut juga mengatur tentang kondisi atau prasyarat dalam kontrak kerja yang mengarah pada pembatasan atas hak berserikat, yaitu hak untuk membentuk serikat kerja, bergabung dalam serikat kerja, dan berpartisipasi dalam aktivitas serikat kerja. Tentang jaminan sosial, undang-undang tersebut mengatur sebatas hanya pada asuransi kecelakaan, yang sebagian besar mencakup buruh-buruh berupah rendah. Semua pekerja dan majikan berkontribusi pada dana kesejahteraan sosial pekerja The Employee Provident Fund, yang diberikan kepada pekerja pada usia 55 tahun. Dana ini bisa guna digunakan sebagian untuk pembelian rumah, komputer, dan lainnya. Dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap buruh migran, pemerintah Malaysia telah membuat suatu pedoman khusus yang dikeluarkan pada tahun 1991 sebagai bagian dari kebijakan perekrutan buruh migran. Pedoman khusus ini menguraikan tanggung jawab majikan untuk menyediakan tempat tinggal, pelayanan kesehatan dan fasiltas lainnya, serta kondisi kerja. Majikan diwajibkan menandatangani kontrak kerja dengan pekerja dan menanggung biaya perekrutan dan pemulangan. Ditegaskan juga tentang hak buruh migran untuk mendapatkan upah yang sama, manfaat dan yang lainnya, serta kondisi pelayanan sebagaimana diatur dalam undang-undang perburuhan Malaysia. Majikan harus berkontribusi atas jaminan sosial atau Social Security Scheme SOCSO dan buruh migran dalam hal ini berperan serta dalam Employee Provident Fund EPF. Awal 1998 pemerintah membuat kebijakan yang mewajibkan majikan untuk membayar kontribusi EPF sebesar RM 5 per buruh migran. Akan tetapi, aturan ini dihapus pada tahun 2001 karena hambatan administratif. Sebagai tambahan, majikan diwajibkan juga untuk menyediakan akomodasi bagi para buruh migran. Untuk menjamin agar buruh migran tidak diperlakukan sewenang-wenang dan dapat mudah diintegrasikan ke dalam lingkungan kerja Malaysia, pemerintah menerapkan program orientasi untuk memperkenalkan buruh migran tentang hukum Universitas Sumatera Utara dan kebudayaan Malaysia. Mulai 1 November 2005 pemerintah Malaysia mewajibkan semua negara, terkecuali Indonesia, untuk mengadakan kursus perkenalan bagi buruh migran yang datang ke Malaysia. Jika tidak, mereka tidak akan mendapat visa dan izin kerja. Kebijakan ini diambil untuk menjamin bahwa negara asal buruh migran mengambil tanggung jawab untuk memastikan bahwa buruh migran mereka menerima informasi dasar tentang kebudayaan dan hukum Malaysia sebelum bekerja disana.

2.3.6 Nasib Pembantu Rumah Tangga Indonesia TKI di Malaysia