Eksplorasi Potensi Tumbuhan Beracun Sebagai Bahan Biopestisida di Cagar Alam Dolok Saut

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Karakteristik Responden di Hutan Cagar Alam Dolok Saut

No Nama Umur Jenis

kelamin

Pekerjaan Keterangan 1 Jonson Nainggolan 45 Laki-laki Petani Kepala desa 2 Holong Nainggolan 32 Laki-laki Petani Masyarakat 3 Rosenti Panjaitan 37 Perempuan Petani Masyarakat 4 Sudirman Nainggolan 40 Laki-laki Petani Tokoh agama 5 Jonson Nainggolan 34 Laki-laki Petani Masyarakat 6 Daniel H. Nainggolan 38 Laki-laki Petani Masyarakat 7 Raune Gultom 55 Laki-laki Petani Masyarakat 8 Mantap Tambunan 43 Laki-laki Petani Masyarakat 9 Erikson Nainggolan 50 Laki-laki Petani Masyarakat 10 Mentesina N 46 Perempuan PNS/Guru Masyarakat 11 Amin Adat Pakpahan 60 Laki-laki Petani Masyarakat 12 Jonveri Nainggolan 44 Laki-laki Petani Masyarakat 13 Donal Enri Pakpahan 61 Laki-laki Petani Masyarakat 14 Balongsu Pakpahan 55 Laki-laki Petani Masyarakat 15 Dewi Septiani Pakpahan 27 Perempuan Petani Masyarakat 16 Herliana Nainggolan 49 Perempuan Pedagang Masyarakat 17 Jhon Patar Pakpahan 55 Laki-laki Petani Masyarakat 18 Pantas Pakpahan 42 Laki-laki Petani Masyarakat 19 Remon Sinaga 35 Laki-laki PNS Masyarakat 20 Jonner Pakpahan 25 Laki-laki Petani Masyarakat

Lampiran 2. Tumbuhan Beracun di Hutan Cagar Alam Dolok Saut Plot Nama Lokal Jumlah individu Jumlah per plot

1 Tahul-tahul 24

92

Sitanggis 35

Bedi-bedi 1

Modang lalisiak 2

Apus tutung 30

2 Apus tutung 25

36

Dong-dong 5

Sitanggis 6

3 Apus tutung 7

15

Sitanggis 5

Modang lalisiak 1

Dong-dong 2

4 5

6 Sitanggis 5

8


(2)

Plot Nama Lokal Jumlah individu Jumlah per plot

7 Apus tutung 2

4

Sitanggis 2

8 Sitanggis 8

19

Apus tutung 1

Birah 5

9 Antaladan 5 5

10

11 Dong-dong 2

3

Apus tutung 1

12 Sitanggis 5 5

13 Modang lalisiak 1 1

14 15

16 Sitanggis 7

29

Apus tutung 1

17 Sitanggis 9

10

Apus tutung 1

18 Apus tutung 2 2

19 Apustutung 3

6

Sitanggis 3

20

21 Dong-dong 1

4

Langge 3

22 23

24 Apus tutung 2

3

Dong-dong 1

25

26 Sitanggis 2

11

Apus tutung 2

Dong-dong 1

Birah 6

27 Apus tutung 1

4

Langge 3

28 Langge 4 4

29 Sitanggis 2 2

30 Apus tutung 3 3

31

32 Bedi-bedi 1 1

33 Sitanggis 5

8

Dong-dong 3

34 Apus tutung 2

7

Birah 5

35 Sitanggis 4

6

Langge 2

36 Apus tutung 1

2

Dong-dong 1

37 Birah 3

7


(3)

Plot Nama Lokal Jumlah individu Jumlah per plot

38 Sitanggis 7

10

Tahul tahul 2

39 Langge 4

6

Birah 2

40 41

42 Apus tutung 1

3

Bedi-bedi 2

43 Sitanggis 4

5

Bedi-bedi 1

44 Apus tutung 2

5

Sitanggis 3

45 Apus tutung 1

4

Sitanggis 2

Dong-dong 1

46 Modang lalisiak 1

3

Dong-dong 2

47 Bedi-bedi 1

5

Apus tutung 4

48

49 Birah 7

9

Langge 2

50 Apus tutung 1

6

Tahul-tahul 5

51 Sitanggis 8

9

Dong-dong 1

52 Apus tutung 1

2

Birah 1

53 Apus tutung 2

3

Sitanggis 1

54

55 Sitanggis 13

15

Dong-dong 2

56 Apus tutung 3

10

Sitanggis 7

57 Bedi-bedi 2

17

Sitanggis 15

58 Langge 6

14

Birah 8

59 Sitanggis 10

17

Apustutung 7

60 61

62 Modang lalisiak 1

12

Tahul-tahul 11

63 Sitanggis 3

15

Apus tutung 5


(4)

Plot Nama Lokal Jumlah individu Jumlah per plot

64 Antaladan 2

11

Birah 3

Langge 6

65 Tahul-tahul 5

17

Sitanggis 12

66 Bedi-bedi 1

14

Sitanggis 11

Apus tutung 3

67 68

69 Sitanggis 2

6

Apus tutung 4

70 Apus tutung 7 7

71 Apus tutung 6 6

72

73 Modang lalisiak 1

3

Dong-dong 2

74 Apus tutung 4

6

Antaladan 2

75 Sitanggis 11

17

Tahul-tahul 6

76 Apus tutung 9

12

Sitanggis 3

77 Birah 3

12

Antaladan 9

78 Dong-dong 2 2

79 80

81 Apus tutung 7

15

Sitanggis 8

82 Langge 2

3

Dong-dong 1

83 Birah 6

11

Apus tutung 5

84 Apus tutung 7

14

Sitanggis 6

Dong-dong 1

85

86 Apus tutung 4

9

Sitnggis 3

Bedi-bedi 2

87 Langge 5 5

88 Sitanggis 9

13

Apus tutung 4

89

90 Apus tutung 9

17

Sitanggis 8

91


(5)

Plot Nama Lokal Jumlah individu Jumlah per plot

92 Modang lalisiak 1 1

94

95 Apus tutung 1

4

Birah 3

96 Apus tutung 2 2

97 Sitanggis 16

18

Apus tutung 2

98

Lampiran 3. Dokumentasi Kondisi Hutan Cagar Alam Dolok Asaut.

Lampiran 4. Wawancara Dengan Narasumber Di Rumah Kepala Desa Pansur Natolu


(6)

Lampiran 5. Dokumentasi Kegiatan Penelitian Di Hutan Cagar Alam Dolok Saut


(7)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007, Penggolongan Obat Tradisional, http://www.tanaman-obat.com/artikelobat-tradisional/45-penggolongan-obat-tradisional,

diakses Januari 2016.

Ardianto, R. 2013. Mengenali Tumbuhan Beracun/Berbahaya.

Asmaliyah, et al. 2010. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. Terhadap Serangan Hama Spodoptera litura Fabricus (Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol.7 No.5, Desember 2010, 253-263.

Atta-ur-Rahman et al. 1997. New steroidal alkaloids from the roots of buxus

sempervirens. Journal of natural products no.60,pp770-774. American Chemical Society And American Society Of Pharmacognosy

Balai Besar KSDA Sumatera Utara. 2011. Buku Informasi Kawasan Konservasi. Kementrian Kehutanan. Medan

Dahmartha, Wijayakusuma, Setiawan, 1994). Tanaman Berkhasiat Obat. Jakarta Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Depkes RI.

Halaman 322-326.

Gunawan, D. dan S. Mulyani. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Penebar Swadaya. Jakarta.

Hanenson, I. B. 1980. Clinical Toxicology. J. B. Lippincot Company. Toronto. Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Terjemahan: Kosasih Padmawinanto dan

Iwang Suediro. Edisi Ke-2. Bandung: Penerbit ITB. Halaman 147-148, 151, 234.

Heslem, E. (1989). Plant Polyphenol: Vegetal Tannin. Telisted-Chemstry and Pharmacology of Natural products”. 1 st Edn. Cambridge University press, Cambridge, Massachusetts. pp 169.

Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta

Hostettmann,K. dan A.Maston.1995.Saponins. London: Cambridge University Press

Loveless,A.R. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropic. Edisi Kedua. PT Gramedia. Jakarta


(8)

Lubis. A.H, dkk. 2014. Penuntun Dan Laporan Praktikum Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan

Mansur, M. 2006. Nepenthes Kantong Semar Yang Unik. Penebar Swadaya: Jakarta.

Martono, B. dan E. Hadipoentyanti. 2004. Plasma Nutfah Insektisida Nabati. Perkembangan Teknologi TRO XVI Edisi Pertama. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor.

Narayanan, N.; Roychoudhury, P.K. And Srivastava, A. 2004. Isolation of adh

mutant of Lactobacillus rhamnosus for production of L(+) Lactic acid. Electronic Journal of Biotechnology [online]., vol. 7, no. 1]. Available from Internet:

Nasution,M.P,dkk. 2014. Penuntun dan Laporan Praktikum Fitokimia Farmasi. Laboratorium Fitokimia. USU.

Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan dari: Fundamental of

Ecology. Gajah Mada Press.Yogyakarta.

Prabowo, H. (2010). “Pengaruh Ekstrak Daun Nerium oleander L. Terhadap Mortalitas dan Perkembangan Hama. FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Yogyakarta

Purwita, dkk. 2010. Penggunaan Ekstrak Daun Srikaya (Annona squamosa) sebagai Pengendali Jamur Fusarium oxysporum secara In Vitro. http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/lenterabio. ISSN: 2252-3979.

Rizal, S., 2011. Metabolit Sekunder bulan januari 2016].

Seran, E. 2011. Tumbuhan-Tumbuhan Beracun yang Mematikan. . [Diakses pada bulan januari 2016].

Rusli Tsauri . 2011.

Sentra Informasi Keracunan Nasional BPOM. 2012. “Racun Alami pada Tanaman Pangan”. pdf. [Diakses pada bulan Januari 2016]

Siddiqui, B.S.dkk. 2002.Twu New Triterpenods Fraom Azadirachta Iindica And

Their Insecticidal Activity. Journal Of Natural Products No.65.pp.


(9)

Sirait, M. (2007). Penuntun Fitokimia Dalam Farmasi. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 158-159.

Simbala, H.E.I., 2009. Analisis Senyawa Alkaloid Beberapa Jenis Tumbuhan Obat sebagai Bahan Aktif Fitofarmaka. Pacific Journal. Juli 2009. Vol 1

(4):489-494

Soerianegara,I Dan Andri Indrawan. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor.Institut Pertanian Bogor. Bogor

Soekadar Wiryadiputra. 2014. Pengaruh Ekstrak Tanaman Picung (Pangium

edule) sebagai Pestisida Nabati Terhadap Mortalitas Penggerek Buah

Kopi. Universitas Jember. Jawa Timur.

Suin, N. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas Press. Padang

Susanto, G. W. Anggoro dan M. Muchlish Adie. 2008. Penciri Ketahanan Morfologi Genotipe Kedelai terhadap Hama Penggerek Polong. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. http://www.puslittan.bogor.net. [Diakses pada bulan Januari 2016].

Susanto, R. 2002. Penetapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta

Susanto Heri, 2007. Pengaruh Insektisida Nabati Terhadap Viabilitas Jamur

Entomopatogen Beauveria bassiana Bals. ISSN: 2252-3979 http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/lenterabio. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Surabaya. Surabaya

Syahputra, E. 2001. Hutan Kalbar Sumber Pestisida Botani: Dulu, Kini dan Kelak. IPB. Bogor.

Tanasale, V. 2010. Komunitas Gulma Pada Pertanaman Gandaria Belummenhasilkan Pada Ketinggian Tempat Yang Berbeda. UGM Press. Yogyakarta

Tarumingkeng, R.C.2008. Pestisida dan Penggumaannya [Diakses pada bulan januari 2016].

Untung, K. 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarat : UGM Press.

Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. UMM Press. Zulaicha Siti, 2010. Penggunaan Ekstrak Daun Sirsak (Annona Muricata Linn.)

Sebagai Pengendali Jamur Fusarium oxysporum secara in vitro. Skripsi. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya


(10)

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan November 2015 – Desember 2015 di kawasan Cagar Alam Dolok Saut, Desa Pansur Natolu, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara serta dilakukan uji fitokimia di laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara.

B. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis, beaker glass, gelas ukur, kalkulator, kamera, kantung plastik, kertas label, kertas saring, oven, penangas air, pipet tetes, saringan, shaker, spatula, tabung reaksi, dan timbangan analitik, buku identifikasi tanaman.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : HCl 2 N, HCl 10%, Pereaksi Bouchardatd, Pereaksi Maeyer, Pereaksi Dragendorff, Cerium Sulfat 1%, H2SO4 10%, NaOH 10%, FeCl3 1%, Mg-HCl cair, air panas, akuades dan metanol serta simplisia dari setiap tumbuhan yang diuji .

C. Prosedur Penelitian

C.1. Aspek Pengetahuan Lokal

Survey pengetahuan lokal dilakukan untuk mengetahui adanya jenis-jenis tumbuhan beracun pada hutan Cagar Alam Dolok Saut. Narasumber yang dipilih adalah masyarakat lokal yang telah berpengalaman memanfaatkan tumbuhan beracun di kawasan Cagar Alam Dolok Saut serta penetua masyarakat yang telah menggunakan tumbuhan tersebut secara turun temuru sebagai biopestisida alami dan karena gejala yang ditimbulkan dari tumbuhan tersebut berdampak buruk bagi


(11)

kesehatan mereka. Data yang terkumpul di tabulasikan dan di analisis secara deskriptif.

C.2. Aspek Keanekaragaman

Metode yang digunakan adalah dengan pengambilan sampel di lapangan yang dilakukan secara transek yang diletakkan secara purpossive sampling berdasarkan keberadaan tanaman yang mewakili kawasan tersebut. Intensitas

sampling yang diambil adalah 10% atau seluas 3,9 hektar dengan jumlah plot

sebanyak 98 plot.

Gambar 2. Desain petak contah (transek) Pengamatan

Keterangan:

a. Petak A : petak ukur untuk semai dengan ukuran 2 × 2 m b. Petak B : petak ukur untuk pancang dengan ukuran 5 × 5 m c. Petak C : petak ukur untuk tiang dengan ukuran 10 × 10 m d. Petak D : petak ukur untuk pohon dengan ukuran 20 × 20 m

a. Kerapatan suatu jenis (K)

K = ∑ individu suatu jenis Luas petak contoh


(12)

b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) KR =

c. Frekuensi suatu jenis (F) F =

d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR) FR=

e. Indeks Nilai Penting (INP) INP = KR + FR

f. Indeks keragaman (Shannon – Wiener)

H’ = − [(ni/N)ln(ni/N)]

Keterangan :

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon – Wiener S = Jumlah jenis dalam petak utama

ni = jumlah individu jenis ke-i N = Total seluruh individu Kriteria nilai H’ yang digunakan adalah :

a. H’ < 1, keanekaragaman tergolong rendah; b. H’ 1-3, keanekaragaman tergolong sedang; dan c. H’ > 3, keanekaragaman tergolong tinggi (Odum, 1993).

K suatu jenis

∑K seluruh jenis × 100%

∑ Sub-petak ditemukan suatu jenis

∑Seluruh sub-petak K suatu jenis

∑K seluruh jenis × 100%

F Suatu jenis

∑ F Seluruh jenis× 100%

� �=1


(13)

C.3. Aspek Fitokimia

Skrining fitokimia atau disebut juga penapsiran fitokimia merupakan uji pendahuluan dalam menentukan golongan senyawa metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologi dari suatu tumbuhan. Skrining fitokimia tumbuhan dijadikan informasi awal dalam mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam suatu tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan beracum dideteksi kandungan senyawanya yang tergolong metabolit sekunder yaitu alkaloid, terpen, tanin, flavonoid dan saponin. Prosedur pengujian fitokimia yang dilakukan berdasarkan buku Penuntun Dan Laporan Praktikum Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara ( Lubis, 2014), adalah sebagai berikut:

C.3.1. Pengujian Alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanasakan di atas penangas air selama 2 menit. Didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan sebagai berikut: a. Filtrat sebayak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Meyer, akan

terbentuk endapan menggumpal bewarna putih atau kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff, akan terbentuk endapan merah atau jingga.


(14)

HCl 2 N Sampel ( 10 gr)

Pemanasan 2 jam ( 60o C)

pendinginan

penyaringan Filtrat

Filtrat ( 3 tetes)

Pereaksi Meayer ( 2 tetes)

Pengendapan

Endapan putih kekuningan

Filtrat ( 3 tetes)

Pereaksi Dragendarff

( 2 tetes)

Pengendapan

Endapan Merah kebataan

Filtrat ( 3 tetes)

Pereaksi Bouchardatd

( 2 tetes)

Pengendapan

Endapan cokelat Kehitaman

Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruham paling sedikit dua dari tiga percobaan (Depkes RI, 1995).


(15)

Sampel (1 gram) Ekstrak

Pemanasan (15 menit)

n-heksana (10 mL)

penyaringan

Larutan warna ungu dan merah dan/atau hijau biru Filtrat di uapkan dalam

cawan(sampai kering)

Asam asetat anhidrida

Ditetesi H2SO4

C.3.2. Pengujian Terpen

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 10 ml n-heksana selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan 10 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann – Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru hijau menunjukkan adanya terpen (Harborne, 1987).


(16)

Sampel (0,5 gram) Ekstrak

penyaringan

Metanol (10 mL)

Filtrat (1 tetes)

H2SO4 (3 tetes) FeCl3 1%

(3 tetes)

NaOH 10% (3 tetes)

Mg-HCl cair (3 tetes)

Warna hitam / kehitaman

Warna ungu kemerahan

Warna merah muda

Warna jingga kekuningan

C.3.3. Pengujian Flavonoid

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambahkan 20 ml air panas, didihkan selama 10 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Depkes, 1995).

Gambar 4. Skema Pengujian Flavonoid

C.3.4. Pengujian Saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia, dimasukkan kedalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, dinginkan kemudian dikocok selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan asam klorida 2 N bila adanya saponin (Depkes RI, 1989).


(17)

Sampel 0,5 g

Diperoleh fitrat

Terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman Diencerka dengan akuades

Disari dengan 10 ml akuades lalu di saring

Diambil 2 ml larutan

Ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 10 %

Gambar 6. Skema Pengujian Tanin

C.3.5. Pengujian Tanin

Sebanyak 0,5 g sampel yang sudah dihaluskan (simplisia) disari/dimaserasi dengan 10 ml akuades selama 15 menit. Kemudian disaring, fitrat di encerkan dengan akuades sampai hampir tidak berwarna. Diambil 2 ml fitrat, di tambahkan 2 tetes larutan FeCl310%. Perhatikan warna yang terjadi, warna biru atau hijau menujukan adanya tanin. Warna biru menunjukan adanya buah 3 gugus hidroksi pada inti aromatis tanin. Warna hijau menunjukan ada 2 buah gugushidroksil pada anti aromatis tanin (Harborne, 1987).

Sampel 0,5g

Buih/busa 1-3 cm Didinginkan lalu dikocok 10 detik

Ditambahkan 1 tetes asam klorida 2 N Ditambahkan 10 ml air panas


(18)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Aspek Pengetahuan Lokal

Informan kunci dalam penelitian ini adalah bapak Sudirman Nainggolan yang merupakan seorang tokoh agama berumur 40 tahun dari desa Pansur Natolu, Kab. Pangaribuan. Informan lainnya adalah bapak Holong Nainggolan dan Jonson Nainggolan yang merupakan kelompok masyarakat mitra hutan desa Pansur Natolu yang ikut kelokasi pengambilan sampel sehingga mempemudah pengambilan sampel. Berikut disajikan pada Tabel 1 jenis-jenis tumbuhan beracun hasil wawancara dengan juru kunci/pemandu dan masyarakat setempat.

Tabel 1. Jenis tumbuhan beracun hasil wawancara dengan masyarakat No Nama

Tumbuhan Nama ilmiah Ciri Khusus Efek racun

1. Apus tutung Clidemia Hirta Daunnya berbulu halus dan

berwarna hijau, tinggi 5cm-100 cm, Akar : Tunggang, coklat. Biji : Kecil, ungu.

Gatal-gatal

2. Modang lalisiak Ficus sinuata Thunb Daun banyak, buah kecil-kecil,

pohon ber batang besar dan kulit tebal.

Racun untuk nyamuk

3. Sitanggis Seperti rumput teki,

bergerombol, mempunyai rimpang yang menjalar dan akar berserabut, buah berwarna kebiruan. Panjang tanggai daun 2,5-3,5cm.

Racun untuk tikus

4. Dongdong Laportea stimulans

Gaud

Daun berbulu halus dan tajam, tinggi 5-12m, daun tunggal, batang bulat, bunga berwarna putih kebiruan, buah berwarna bening.

Gatal-gatal

5. Antaladan Xanthosoma sp daun hijau berbentuk segitiga,

permukaan atas daun memiliki corak hujau degan garis-garis putih sedangkan dibagian bawah berwarba merah tua, umbi seperti umbi talas.

Gatal-gatal

6. Birah Alocasia arifolia

Hallier

Daun berbentuh segitiga, berwarna hijau tua, akar serabut, tumbuh secara bergerombol.


(19)

Tabel 1 menunjukan bahwa diperoleh sebanyak 6 jenis tumbuhan yang beracun. Wawancara yang dilakukan tersebut diketahui bahwa narasumber mengetahui tumbuhan beracun jika memiliki dampak langsung pada tubuh. Tumbuhan yang ditemukan di lapangan adalah 9 jenis. Dari 9 jenis yang ditemukan semuanya memiliki nama lokal yang diketahui oleh juru kunci/pemandu lapangan dan dibantu oleh masyarakat sekitar untuk mendapat informasi mengenai jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan. Dalam kondisi ini dari 9 jenis ada 3 jenis dinyatakan mereka tidak beracun dan pembukitiannya di laboratorium ternyata mengandung racun. Hal inilah yang membuat perlunya aspek fitokimia dalam identifikasi semua kandungan tumbuhan yang terdapat di dalamnya.

Selain dari 3 jenis tumbuhan yang masyarakat anggap tidak beracun, tumbuhan beracun yang lainnya dikatakan beracun karena memang sangat berbahaya bagi tubuh dan hewan ternak jika terkena baik getah maupun dikonsumsi hewan ternak, misalnya Dong-dong, jika getah dan buluh halus yang dimilikinya terkena mata atau kulit bisa gatal-gatal seperti terbakar, Sitanggis digunakan sebagai racun tikus dan sebagian lainnya juga digunakan untuk menunjang pengobatan tradisional. Contohnya tidak semua getah yang berbahaya ada juga yang digunakan untuk pengobatan penyakit biasa, misalnya obat luka, sengatan lebah , dan lainnya. Jadi pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan beracun belum sepenuhnya diketahui masyarakat. Hal inilah yang membuktikan bahwa pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan untuk aplikasinya di kehidupan bermasyarakat.


(20)

B. Tingkat Keanekaragaman Tumbuhan Beracun Di Cagar Alam Dolok Saut

Tumbuhan beracun yang ditemukan di Hutan Cagar Alam Dolok Saut sebanyak sembilan jenis. Data analisis tumbuhan beracun telah ditunjukkan dalam Tabel berikut ini.

Tabel 3. Analisis tumbuhan beracun di Hutan Cagar Alam Dolok Saut

Jenis Tumbuhan K (ind.ha) KR (%) F FR (%) INP H'

Modang lalisiak 0,02 0,01 0.07 7,07 50,66

Antaladan 4,50 3,64 0.04 4,04 7,68

Apustutung 4,50 11,53 0.23 23,23 34,77

Tahul-tahul 11,5 9,31 0.04 4,40 13,35

Birah 16,00 12,95 0.14 14,14 27,09

Langge 10,25 7,20 0.11 11,11 18,31

Bedi-bedi 2,75 2,22 0.08 8,08 10,30

Dong-dong 0,03 0,03 0.10 10,07 66,55

Sitanggis 64,25 52,02 0.35 35,35 87,37 Total 123,55 100,00 1.18 100,00 200,00 1.54

Hasil analisis tumbuhan beracun pada Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa Sitanggis merupakan jenis dengan nilai KR (Kerapatan Relatif suatu jenis) yang paling tinggi yaitu 52,02% ditunjukan pada Tabel 2. Nilai ini menujukan bahwa jenis Sitanggis banyak tumbuh di hutan C.A c hal tersebut disebabkan karena kondisi hutan C.A Dolok Saut memiliki ketinggian 1,280-1,360 m diatas ini sesuai dengan pernyataan Dahmartha (1994) yang mengatakan bahwa habitat

2000 m diatas

Nilai KR terendah adalah pada jenis Modang lalisiak dengan nilai sebesar 0,01%. Hal ini disebabkan oleh Modang lalisiak adalah pohon yang bijinya sangat susah untuk tumbuh dipermukaan tanah yang ada naungannya mengingat hutan C.A Dolok Saut yang memiliki tutupan tajuk yang rapat, hal ini sesuai dengan pernyataan Rusli (2011) menyatakan bahwa Ficus sinuata membutuhkan cahaya


(21)

matahari yang tinggi untuk dapat tumbuh sehingga Ficus sinuata akan sukar berkembang dengan lahan yang bernaungan tajuk lebat. Keberagaman nilai KR dapat disebabkan oleh kondisi hutan yang memiliki kondisi lingkungan yang beragam dan kemampuan adaptasi setiap jenis tumbuhan yang berbeda-beda, sehingga jenis-jenis tertentu yang mampu beradaptasi cenderung tumbuh. Loveless (1989) menyatakan bahwa sebagian tumbuhan dapat berhasil tumbuh dalam kondisi lingkungan yang beraneka ragam sehingga tumbuhan tersebut cenderung tersebar luas.

Nilai Frekuensi Relatif (FR) paling tinggi yang ditunjukkan pada Tabel 2 adalah Sitanggis sebesar 35.35% yang menunjukan bahwa jenis ini adalah jenis yang penyebarannya paling luas. Frekuensi ini terdapat pada petak sampel yang paling banyak yaitu 35 petak sampel, sedangkan frekuensi yang paling rendah terdapat pada jenis Antaladan yaitu sebesar 4,04% dan Jenis Tahu-tahul yang juga sebesar 4.04% dan kedua jenis ini hanya terdapat pada 4 petak sampel. Nilai ini menujukan bahwa jenis Antaladan dan Tahul-tahul populasinya hanya sedikit tumbuh di hutan Cagar Alam Dolok Saut. Suin (2002) menyatakan bahwa Konstansi atau frekuensi kehadiran organisme dapat dikelompokkan atas empat kelompok yaitu jenis aksidental (frekuensi 0-25%), jenis assesori (25-50%), jenis konstan (50-75%), dan jenis absolut (di atas 75%).

Data dalam Tabel 3 menunjukan bahwa semua tumbuhan yang ada di Hutan Cagar Alam Dolok Saut termasuk dalam kategori jenis aksidental dengan frekuensi 0-25%. Hal ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut daerah penyebarannya terbatas, dan hidup pada daerah tertentu saja.


(22)

Berdasarkan pernyataan Soerianegara (2005) Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR). Kerapatan individu tumbuhan beracun yang memiliki kelimpahan jenis tertinggi berdasarkan INP yang ditunjukan pada Tabel 3 adalah jenis Sitanggis sebesar 87.37%. Dominasi jenis tersebut ditunjukan dengan banyaknya jenis Sitanggis jika dibandingka dari jumlah keseluruhan individu yang ditemukan, yakni 257 jenis dari 585 jenis tumbuhan yang ditemukan. Sedangkan kelimpahan jenis paling rendah adalah jenis Antaladan yaitu sebesar 7.68%. Rendahnya INP spesies ini juga didukung oleh frekuensi penemuan yang cukup jarang atau tumbuh tidak merata pada kawasan hutan Cagar Alam Dolok Saut, dimana frekuensi jenis ini hanya sebesar 4,04%.

Indeks Keanekaragaman Shannon-Winner (H’) tumbuhan beracun yang tumbuh di Hutan Cagar Alam Dolok Saut yang ditunjukkan melalui Tabel 3 adalah sebesar 1,54. Odum (1993) menyatakan bahwa H’ 1-3, menunjukan bahwa keanekaragaman spesies tergolong sedang. Data dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa kesembilan tumbuhan beracun di Hutan Cagar Alam Dolok Saut tergolong ke dalam kategori berkeanekaragaman sedang, sehingga Hutan Cagar Alam Dolok Saut masi dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pengolahan/pemanfaatan tumbuhan racun sebagai biopestisida.


(23)

C. Aspek Fitokimia

Pengujian fitokimia dilakukan terhadap 9 jenis tumbuhan yang ditemukan di Caga Alam Dolok Saut yang bertujuan untuk mengetahui adanya kandungan racun pada tumbuhan yang diuji. Adapun senyawa racun tersebut adalah alkoloid, terpen, saponin dan tanin karena kelima senyawa aktif ini dapat bersifat racun terhadap serangga/hama. Hasi selanjutnya telah disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tumbuhan hasil uji fitokimia di laboratorium fitokimia

No Senyawa

Racun Pereaksi Hasil Jenis tumbuhan Potensi

1. Alkoloid Meyer,

Dragendraff dan Bouchardatd Putih kekuningan Coklat dan Cokelat kehitaman

Birah (Alocasia arifolia),

Langge (Homalonema javanica.).

Dongdong (Laportea stimulans Gaud),

Bedi-bedi (Callicarpa dichotoma),

Sitanggis (Xanthosoma sp)

Antibakteri, insektisa dan fungisida

2. Terpen Asam asetat

anhidrida dan

Asam sulfat pekat

Merah dan biru Apus tutung (Clidemia Hirta), Birah (Alocasia arifolia), Modang lalisiak

(Ficus sinuata Thunb), Langge

(Homalomena cordata Schott.), Dong-dong (Laportea stumulans Gaud),

Bedi-bedi (Callicarpa dichotoma),

Sitanggis (Xanthosoma sp) Antibakteri, antivirus, antimikroba, insektisida, pertahanan tubuh dari herbivora.

3. Saponin Asam

klorida 2 N

Buih/busa 1-3cm

Apus tutung (Clidemia Hirta),

Tahul-tahul (Nephentes renwartiana.),

Langge (Homalomena cordata

Schott.), Dong-dong (Laportea

stumulans Gaud), Bedi-bedi

(Callicarpa dichotoma), Sitanggis

sp), Antaladan

(Xanthosoma sp) Antimikrob,fun gisida antibakteri, antivirus, piscisida, molluscisida dan insektisida

4. Flavonoid FeCl3

NaOH 10% Mg-HCl cair H2SO4

Kuning dan jingga

Apus tutung (Clidemia Hirta),

Tahul-tahul (Nephentes renwartiana.),

Modang lalisiak

(Ficus sinuata Thunb), Birah

(Alocasia arifolia Hallier. F), Langge (Homalomena cordata Schott.), Bedi-bedi (Callicarpa dichotoma), Sitanggis Antimikroba antivirus, antibiotik terhadap kanker dan ginjal, menghambat perdarahan dan insektisida nabati.

5. Tanin FeCl3 10 % Biru kehijauan

dan hijau kehitaman

Modang lalisiak ( Ficus sinuata

Thunb), Birah (Alocasia arifolia

Hallier. F), Langge (Homalomena

cordata Schott.), Sitanggis

Antivirus,

antitumor dan antibakteri


(24)

Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa uji profil fitokimia terhadap kesembilan tumbuhan yang diuji mengandung metabolit sekunder yang dapat dijadikan sebagai bahan biopestisida bahkan dapat juga dijadikan sebagai fungisida nabati karena mengandung senyawa saponin, tanin, terpen, alkoloid dan flavonoid seperti halnya hasil penelitian oleh Purwita (2010) yang melaporkan ekstrak herba daun srikaya yang mengandung saponin, flavonoid, dan tanin mampu menghambat pertumbuhan hifa jamur dan beberapa jenis hama serangga. Hal ini terkait dengan adanya senyawa metabolit sekunder dalam ekstrak daun srikaya seperti saponin,alkoloid, flavonoid, dan tanin yang sifatnya beracun bagi serangga dan jamur.

Penelitian yang dilakukan oleh Susanto (2007) juga melaporkan bahwa ekstrak biji srikaya yang juga mengandung senyawa saponin, flavonoid, dan tanin dapat menghambat pertumbuhan koloni jamur Beauveria bassiana. Pada penelitian tersebut, ekstrak biji srikaya dapat menghambat pertumbuhan koloni dengan rata-rata diameter koloni paling kecil yakni sebesar 6,33 mm pada konsentrasi 10%, sedangakan ekstrak daun srikaya dapat menghambat pertumbuhan koloni F. oxysporum dengan rata-rata diameter koloni paling kecil yakni 2,84 cm pada konsentrasi 6,5%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zulaicha (2011) menyebutkan senyawa tanin, flavonoid, dan terpen dari ekstrak daun sirsak dapat menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum sebesar 32,5 mm pada konsentrasi 5%. Pada penelitian ini dengan menggunakan ekstrak daun srikaya yang juga mengandung senyawa tanin, flavonoid, dan saponin yang dapat menghambat pertumbuhan jamur yakni F. oxysporum secara optimal pada konsentrasi 6,5% sebesar 2,84 cm.


(25)

Hasil pengujian fitokimia menunjukan bahwa terdapat beberapa jenis kandungan metabolit sekunder dari setiap jenis tumbuhan yang ditemukan pada hutan Cagar Alam Dolok Saut, dan tiap jenis tumbuhan memiliki kandungan metabolit sekunder yang berpariasi. Namun demikian kesembilan jenis yang ditemuklan dapat dijadikan bahan pestisida dan memiliki fungsi racun yang berbeda-beda pula tergantung pada penggunaan yang diinginkan salah satu contoh penggunaannya seperti pengujian yang dilakukan oleh Prabowo, (2010) menyatakan bahwa Kematian wereng coklat disebabkan karena terdapat senyawa bioaktif yang mempunyai aktivitas insektisidal dan penghambat daya makan (antifeedant) yang terkandung dalam ekstrak etanol daun kirinyuh, yaitu alkaloid, flavonoid dan terpen.

Hasil pengujian pada Tabel 2 menunjukan bahwa Apus tutung, Tahul-tahul, Langge, Dong-dong, Bedi-bedi, Sitanggis dan Antaladan yang mengandung senyawa saponin dapat disebut tumbuhan beracun karena dapat berbahaya bagi manusia dan dapat dijadikan sebagai bahan biopestisida, hal ini sesuai dengan yang dikatakan Gunawan (2004) menyebut bahwa tumbuhan yang mengandung saponin terasa pahit menusuk, menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin juga bersifat dapat menghancurkan butiran darah merah melalui reaksi hemolisis. Pengaruh terhadap alat pernapasan dapat dibuktikan dengan kenyataan digunakannya obat yang mengandung saponin untuk mencari ikan oleh rakyat yang primitif. Kadar saponin yang sangat kecil pun mampu melumpuhkan fungsi pernafasan dari insang ikan, sehingga tumbuhan yang mengandung saponin dapat dijadikan racun ikan dan tumbuhan yang mengandung saponin sangat berbahaya bagi manusia.


(26)

Tabel 4. Data Hasil Uji Fitokimia Tumbuhan Beracun di Hutan Cagar Alam Dolok Saut

Bagian Hasil Pengujian Skrining Fitokimia

Jenis Tumbuhan Tumbuhan Alkoloid

Flavonoid Saponin Tanin Terpen

yang di uji Mayer Dragendorff Bouchardart

Apus tutung (Clidemia Hirta) Daun - - - ++ +++ - +

Tahul-tahul (Nephentes renwartiana.) Kantung - - - +++ ++ - -

Birah (Alocasia arifolia Hallier. F) Daun - ++ + ++ - - +

Modang lalisiak ( Ficus sinuata Thunb) Kulit Batang - - - +++ - + ++

Langge (Homalomena cordata Schott.) Daun - + - +++ + + +++

Dong-dong (Laportea stumulans Gaud) Daun - ++ - - +++ + +++

Bedi-bedi (Callicarpa dichotoma) Daun ++ - - ++ ++ - -

Sitanggis Akar + + + +++ +++ + ++

Antaladan (Xanthosoma sp) Umbi - - - - +++ - ++

Bouchardart : KI + Aquadest + Iodium Maeyer : HgCl

2+ Aquadest + KI

Dragendorff : BiNO

3 + HNO3 + KI + Aquades

- : Bereaksi negatif terhadap pereaksi ( Tidak mengandung senyawa metabolit sekunder) + : Bereaksi terhadap preaksi (lemah)

++ : Cukup reaktif terhadap pereaksi +++ : Reaktif terhadap pereaksi


(27)

D. Kandungan Metabolit Sekunder Pada Tumbuhan Beracun Di Cagar Alam Dolok Saut Melalui Uji Fitokimia

Metabolit sekunder adalah senyawa-senyawa organik yang berasal dari sumber alami tumbuhan, yang dapat memberikan efek fisiologis terhadap makhluk hidup, pada umumnya merupakan senyawa bioaktif. Senyawa metabolik sekunder tidaklah sepenting metabolik primer dalam kelangsungan hidup organisme, senyawa ini sangat berperan dalam mempertahankan kehidupan organisme. Sebagai contoh detoksifikasi merupakan salah satu bahan kimia untuk pertahanan dan foromon yang memungkinkan hewan berkomunikasi dengan yang lainnya. Senyawa metabolit sekunder dapat berupa alkaloid, flavonoid, terpenoid, saponin dan tanin (Rizal, 2011).

D.1. Uji Alkaloid

Uji alkaloid yang dilakukan menggunakan pereaksi Bouchardart, Meyer, dan Dragendorf. Dari ketiga pereaksi tersebut didapat bahwa Bouchardart membentuk warna colkat, pereaksi Meyer membentuk endapan putih kekuningan, dan pereaksi Dragendorf membentuk endapan berwarna coklat dari pengujian yang dilakukan terlihat perbedaan reaksi tiap jenis tumbuhan yang diuji. Dengan demikian Birah, Langge, Dong-dong dan Sitanggis mengandung senyawa alkaloid. Pengujian alkaloid yang dilakukan terhadap Sitanggis dengan pereaksi Meyer menghasilkan endapan putih menandakan bahwa tumbuhan Sitanggis positif mengandung alkaloid. Berdasarkan hasil uji alkaloid dengan pereaksi Dragendroff menghasilkan endapan berwarna coklat, dimana seharusnya uji alkaloid dengan pereaksi Dragendroff menghasilkan endapan merah kebataan menunjukan reaksi terhadap pereaksi lemah.


(28)

Hasil pengujian yang dilakukan menggunakan alkoloid sesuai dengan pernyataan Atta (1997) yang menyatakan bahwa pereaksi dalam pengujian alkaloid adalah Bouchardart, Dragendorff, dan Meyer. Pada pengujian fitokimia, tumbuhan yang mengandung alkaloid ditandai dengan adanya endapan putih kekuningan jika diberi pereaksi Maeyer pada ekstraksi tumbuhan, endapan merah bata jika diberi pereaksi Dragendroff, dan terjadi endapan cokelat kehitaman jika diberi pereaksi Bouchardart. Fungsi aktivitas senyawa alkaloid menurut Atta (1997) adalah sebagai antibakteri dan anti fungi.

Hasil pengujian alkaloid diperoleh hasil bahwa tidak semua tumbuhan yang diuji mengandung senyawa alkaloid, dan dari hasil pengujian juga diperoleh bahwa hanya tumbuhan Sitanggis yang menghasilkan endapan putih kekuningan saat direaksikan dengan pereaksi meyer, tumbuhan yang direaksikan menghasilkan endapan cokelat kehitaman saat diberikan pereaksi Bouchardart adalah tumbuhan Birah dan Sitanggis, dan tumbuhan yang direaksikan dengan pereaksi Dragendroff menghasilkan endapan merah bata yakni Birah Langge,Dong-dong, dan Sitanggis.

a. Meyer b. Dragendroff c. Bouchardart

Gambar 16 . Alkoloid pada tumbuhan Sitanggis dengan pereaksi meyer, dragendrof dan bouchaedart.


(29)

Harbone (1987) menyatakan bahwa alkaloid merupakan golongan terbesar senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan. Telah diketahui sekitar 5.500 senyawa alkaloid yang terbesar diberbagai famili. Alkaloid seringkali beracun pada manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol sehingga banyak digunakan dalam pengobatan. Simbala (2009) mengatakan alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari racun amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik

D.2. Uji Terpen

Hasil pengujian fitokimia menunjukan bahwa Tumbuhan yang mengandung senyawa terpen adalah Apus tutung, Birah, Modang lalisiak, Langge, Dong-dong, Sitanggis dan Antaladan hampir semua jenis tumbuhan yang diuji memiliki terpen, hal ini menujukan bahwa potensi hutan Cagar Alam Dolok Saut memiliki potensi yang sangat tinggi untuk pemanfaatan pertisida alami.

Senyawa terpen yang dikandung tumbuhan sangat berpotensi untuk digunakan kerna mudah ditemukan pada banyak jenis tumbuhan . Hal ini sesuai dengan pernyataan Siddiqui (2002) yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi aktifitas senyawa terpen adalah sebagai pestisida dan insektisida. terpen merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan terutama terkandung pada getah serta vakuola selnya. Modifikasi dari senyawa golongan terpen, yaitu terpenoid, merupakan metabolit sekunder tumbuhan. Selain telah ditemukannya kamper melalui peneltian mengenai terpen, telah banyak juga ditemukan bahan aktif ideal sebagai pestisida alami.


(30)

D.3. Uji Saponin

Pengujian saponin yang dilakukan dengan menggunakan akuades yang dimasukkan dalam tabung reaksi yang telah berisi simplisia menunjukan hasil bahwa 7 dari 9 tumbuhan tersebut positif mengandung saponin pengujian yang dilakukan menunjukan timbulnya ditandai dengan adanya buih ketika tabung reaksi dikocok yang diisi simplisia dan buih tersebut bertahan hingga 10 menit, setinggi 1 cm sampai 10 cm. Uji saponin yang dilakukan pada tumbuhan beracun seperti pada Tabel diatas menunjukkan Apus tutung, kantong semar, dong dong, Langge, dan Sitanggis yang memiliki saponin.

Gambar 17 . Dong-dong yang memiliki Saponin.

Pengujian saponin pada Gambar 17 terlihat pembentukan busa/buih yang mantap sewaktu mengekstraksi Dong-dong buih yanmg tampak jelas pada tabung reaksi merupakan bukti adanya saponin pada Dong-dong. Fungsi aktifitas senyawa saponin menurut Hostettman (1995) adalah sebagai antimikroba, fungisida, antibakteri, antivirus, piscisida, molluscisida dan insektisida. Saponin yang umumnya larut dalam air beracun bagi ikan dan kebanyakan jenis tumbuhan beracun mematikan seperti Deadly Nightshade (Atropa belladonna L.) mengandung racun golongan senyawa saponin.


(31)

D.4. Uji Flavonoid

Pengujian yang dilakukan menggunakan pereaksi FeCl3 terhadap simplisia menunjukan bahwa Apus tutung, Tahul-tahul, Modang lalisiak, Langge, Bedi-bedi dan Sitanggis positif mengandung flavonoid. Hal tersebut dibuktikan saat simplisia yang di tambahkan FeCl3 mengalami perubahan warna menjadi ungu dan kemerahan. Meskipun secara medikal tumbuhan yang mengandung flavonoid dapat dijadikan sebagai obat bagi manusia, seperti pernyataan dari Sirait (2007) yang menyatakan bahwa bagi manusia falovonoid dalam dosis kecil bekerja seagai stimulas pada jantung dan pembuluh darah kaliper, sebagai diuretik, dan antioksidan pada lemah, dalam dosis yang besar bisa menjadi racun bagi tubuh.

Tumbuhan yang mengandung flavonoid dapat dijadikan sebagai biopostisida, hal tersebut telah dibuktikan dengan laporan penelitian yang dilakukan oleh Vega (2002) penggunaan ekstrak biji Picung yang mengandung flavonoid sebagai insektisida dengan penggunaan konsentrasi 21,5% dalam waktu 60 menit dapat mematikan 50% lalat. Lebih lengkap ia mengatakan bahwa Daun Picung yang mengandung flavonoid juga dapat digunakan sebagai insektisida nabati pada wereng, ulat dan penggerek batang padi. flavonoid dapat masuk ke dalam mulut serangga melalui sistem pernafasan berupa spirakel yang terdapat dipermukaan tubuh dan menimbulkan kelayuan syaraf, sehingga serangga tidak dapat bernafas dan akhirnya mati.


(32)

Gambar 18. Sitanggis yang memiliki flavonoid

D.5. Uji Tanin

Identifikasi tumbuhan beracun penghasil bahan aktif tanin dilakukan pada ke sembilan contoh uji tumbuhan yang ditemukan di hutan Cagar Alam Dolok Saut, dengan harapan dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk membuat biopestisida. Hasil uji kandungan tanin dari sampel yang digunakan, dapat dilihat pada Tabel 4. Tumbuhan yang mengandung tanin diketahui dapat digunakan sebagai bahan biopestisida alami karena diketahui mengandung bahan aktif yang berfungsi sebagai antivirus, antibakteri, dan antitumor. Hal tersebut juga disebutkan oleh Heslem (1989 ) yang menyatakan bahwa kandungan tanin dapat menghambat selektivitas replikasi HIV dan juga digunakan sebagai diuretik tanaman yang mengandung tanin telah diakui memiliki efek farmakologi dan dikenal agar membuat pohon-pohon dan semak-semak sulit untuk dihinggapi/dimakan oleh banyak ulat.

Hasil pengujian fitokimia menunjukan bahwa tumbuhan yang mengandung senyawa tanin adalah Modang Dong-dong, Modang lalisiak dan Sitanggis. Tumbuhan yang mengandung tanin tersebut berpotensi sebagai bahan


(33)

pestisida karena mengandung senyawa yang tidak disukai oleh hewan, kandungan tanin pada ke tiga jenis tumbuhan mengandung tanin tersebut berpotensi sebagai biopestisida.

Gambar 19. Larutan Tanin bereaksi terhadap Sitanggis.

Pengujian tanin seperti pada Gambar 19 dapat diketahui bahwa Sitanggis yang diuji pada penelitian ini memiliki kandungan tanin. Hal ini tampak pada reduksi warna ungu yang berubah menjadi hijau kehitaman. Telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa aktivitas pencernaan akan terganggu dengan adanya kandungan tanin pada tumbuhan salah satunya adalah pernyataan dari Narayanan (2004) melaporkan bahwa amylase larva Tecia solanivora aktifitas menurun sebesar 80% dengan adanya biji Amaranthus hypocondriacus. Mekanisme penghambatan tanin terhadap bakteri dan beberapa enzim belum diketahui secara pasti. Reaksi penyamakan yang terjadi akan menyebabkan jaringan pada hewan akan rusak. Oleh karena itu, sebagaian besar tumbuhan yang mengandung tanin dihindari oleh herbivora karena rasanya yang sepat dan dapat digunakan sebagai biopestisida.


(34)

E. Deskripsi Tumbuhan Beracun yang Ditemukan di Hutan Cagar Alam Dolok Saut

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tumbuhan beracun yang ditemukan di hutan Cagar Alam Dolok Saut ada sebanyak sembilan jenis. Kesembilan jenis tumbuhan beracun tersebut dideskripsikan sebagai berikut:

E.1. Apus tutung (Clidemia hirta)

Clidemia hirta atau sering disebut oleh masyarakat Pansur Natolu dengan

nama Apus tutung merupakan tumbuhan yang termasuk kelompok tumbuhan perdu. Kondisi topografi hutan Cagar Alam Dolok Saut sangat cocok untuk habitat Apus tutung hal ini terbukti saat pengambilan sampel kelapangan yang menemukan banyak spesies tumbuhan tersebut, hal ini dikarenakan Cagar Alam Dolok Saut sangat cocok baik lahan maupun kondisi lingkungannya sebagai tempat tumbuh Apus, seperti yang telah disebutkan Tanasale (2010) menyatakan bahwa Clidemia hirta sering tumbuh dan berkembang didaerah semak belukar, tepi jurang, daerah terbuka dan terganggu seperti pinggiran jalan, padang rumput dan perkebunan. Apus tutung merupakan tumbuhan perdu yang tegak dan naik dengan tinggi 0,5-2 cm, lebar 1-8 cm, ujung dan pangkal daun runcing, tepi daun rata, berbulu dan berwarna hijau. Bunga majemuk, kelopak berlekatan, berbulu dan berwarna ungu kemerahan. Kandungan kimia tumbuhan Apus tutung (Clidemia hirta) adalah senyawa golongan terpen, alkoloid dan tanin .

Pengklasifikasian terhadap tumbuhan ini dapat dijelaskan bahwa Apus tutung merupakan tumbuhan yang masuk dalam Kingdom: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Ordo : Myrtale, Famili: Melastomataceae, Genus: Clidemia dan termasuk dalam Spesies: Clidemia hirta (Tanasale,2010).


(35)

Gambar 7. Apus tutung (Clidemia hirta)

Gambar 7 menujukan bahwa Apus tutung dapat tumbuh pada bermacam-macam kondisi lingkungan, pada pemantauan dilapanga ditemukan Apus tutung pada daerah yang terbuka atau tanpa naungan dan banyak juga yang ditemukan pada daerah yang memiliki naungan, bahkan ditemukan juga pada kondisi yang kandisi tanahnya berair seperti dipinggir sungai. Hal ini menujukan bahwa Apus tutung sangat mudah beradaptasi pada lingkungan dan penyebarannya sangat luas.

E.2. Tahul-tahul (Nephentes renwartiana.)

Tahul –tahul merupakan tumbuhan yang masuk dalam Kingdom: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Ordo: Caryophyllales, Famili: Nepenthaceae, Genus: Nepenthes dan merupakan spesies: Nepenthes renwartiana (Tanasale, 2010).

Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukan bahwa spesies

Nepenthes renwartiana dikenal dengan sebutan Tahul-tahul di daerah Desa Dolok

Saut. Tumbuhan ini secara umum disebut kantung semar karena bentuknya seperti kantong dan berfungsi sebagai penampung makanan atau mangsanya, dan setiap daerah terutama wilayah masyarakat sekitar hutan memiliki nama khusus bagi tumbuhan ini. Seperti halnya tempat tumbuh Tahul-tahul, Mansur (2006) telah


(36)

menyatakan bahwa Kantong semar banyak hidup ditempat-tempat terbuka ataupun terlindung tajuk-tajuk pohon bahkan di habitat yang miskin unsur hara dan memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi. Tanaman ini bisa hidup di hutan hujan tropik dataran rendah, hutan pegunungan, hutan gambut, hutan kerangas, gunung kapur dan padang savana. Berdasarkan ketinggian tempat tumbuhnya, kantong semar dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kantong semar dataran rendah, menengah, dan dataran tinggi.

Mansur (2006) mengatakan bahwa karakter dan sifat kantong semar berbeda pada tiap habitat. Beberapa jenis kantong semar yang hidup di habitat hutan hujan tropik dataran rendah dan hutan pegunungan bersifat epifit, yaitu menempel pada batang atau cabang pohon lain. Pada habitat yang cukup ekstrim seperti di hutan kerangas yang suhunya bisa mencapai 30º C pada siang hari, kantong semar beradaptasi dengan daun yang tebal untuk menekan penguapan air dari daun. Sementara kantong semar di daerah savana umumnya hidup terestrial, tumbuh tegak dan memiliki panjang batang kurang dari 2 m.


(37)

Kandungan kimia yang terkandung pada tumbuhan Tahul-tahul (Nephentes spp) adalah golongan flavonoid dan saponin, memiliki tata daun

alternate, bagun daun berbentuk lanset (lanselatus), daun tungga, pangkal daun

duduk (sessilet),tepi daun rata (entire), ujung daun berpiala, permukaan daun licin (laevis), pertulangan daun sejajar (recctinervis) pialanya berwarna coklat kemerahan dengan sedikit warna kekuningan mulut kantungdengan ukuran tinggi 7-9 cm.

E.3. Birah (Alocasia arifolia Hallier)

Birah dapat diklasifikasikan sebagai berikut; dengan Kingdom: Plantae dan Divisi: Angiosperms, Kelas: Monocots, Order: Alismatales, Famili: Araceae, Genus: Alocasia, Species: Alocasia arifolia Hallier (Asmaliyah, 2010).

Berdasarkan temuan di lapangan Birah merupakan tumbuhan yang tidak dominan pada kawasan Cagar Alam Dolok Saut hal ini terbukti dengan jumlah yang sedikit saat pengamatan yang hanya berjumlah 62 spesies dan tempat tumbuhnya Birah (Alocasia arifolia Hallier) merupakan tumbuhan bawah. Lebih lengkap hal ini telah dijelaskian oleh Asmaliyah (2010) yang menyatakan bahwa Birah (Alocasia arifolia Hallier) termasuk tanaman kelas (rhizomatous) dan berdaun lebar (tuberous) dari keluarga Araceae. Tercatat saat ini yang sudah diketahui terdapat lebih dari 80 species yang berasal dari daerah tropis dan subtropis dari Amerika Selatan, Asia hingga ke Australia Timur. Birah dapat dijadikan bahan pestisida nabati yakni berfungsi sebagai pengusir serangga.

Hasil pengujian fitokimia yang dilakukan terhadap Birah bahwa Kandungan kimia yang terkandung dalam tumbuhan ini adalah flavanoid, terpen, dan alkaloid. Dengan banyaknya kandungan senyawa metabolit sekunder yang


(38)

dimilikinya dapat disimpulkan bahwa Birah dapat dijadikan sebagai bahan pestisida alami. Dari hasil pemantauan di lapangan penampilan Birah dengan daun berbentuk panah, warna hijau tua dengan striping tipis pada daun, daun besar tumbuh dengan panjang 20-90 cm pada tangkai panjang. Warna hijau tua dengan striping tipis. Tipe perakarannya merupakan tipe perakaran serabut, sedangkan bunga dan biji tidak ditemukan pada dilakukan identifikasi.

Gambar 9. Birah (Alocasia arifolia Hallier).

E.4. Modang lalisiak ( Ficus sinuata Thunb)

Modang lalisiak merupakan tumbuhan yang masuk dalam Kingdom: Plantae Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Bangsa: Urticales, Suku: Moraceae, Marga: Ficus, dan Jenis: Ficus sinuata Thunb (Rusli, 2011).

Hasil pengamatan di lapangan yang telah dilakukan menunjukan bahwa tumbuhan yang hidunp di Cagar Alam Dolok Saut ini dikenal dengan nama Modang laisiak Ficus sinuata Thunb. Pohon Modang lalisiak berukuran besar hingga besar, tingginya mencapai 45 meter dan berdiameter hingga mencapai 50-120 cm, kulit batang berwarna coklat dan tebalnya 1-5cm. Rusli (2011) menyatakan Modang lalisiak merupakan pohon Ara (Ficus) kebanyakan berupa tumbuhan tropis yang hijau sepanjang tahun dan menghuni berbagai relung


(39)

ekologi, namun beberapa spesies yang menggugurkan daun tumbuh terbatas didaerah di luar wilayah tropis dan didataran tinggi. Jenis-jenis ara dikenali dari perbungaannya yang unik dan pola penyerbukannya (Pollination syndrome) yang khas dan melibatkan sejenis tawon dari familia Agaonidae untuk menyerbuki bunga-bunganya yang tertutup. Nama daerah tumbuhan ini di lokasi penelitian Cagar Alam Dolok Saut adalah Modang lalisiak (Ficus sinuata Thunb).

Hasil pengujian fitokimia menunjukan kandungan kimia yang terkandung dalam tumbuhan ini adalah golongan flavonoid, terpen, dan saponin. Dan hasil pengamatan di lapangan juga menunjukan hasil identifikasi bahwa Modang lalisiak memiliki ciri daun kuncup, ranting terlindungi oleh sepasang daun penumpu yang lekas rontok, meninggalkan bekas berupa cincin dibuku-buku rantingnya, serta tulang daun lateral yang pertama cenderung lurus dan menyudut terhadap tulang daun dibagian pangkal daun; membentuk pola tiga-cabang

(tri-veined) yang khas. Bunga tertutup yang dikenal sebagai bunga periuk (syconium);

disebut demikian karena bentuknya menyerupai periuk tertutup atau hampir tertutup, dimana pada dinding dalamnya berjejal- jejal kuntum-kuntum bunga ara yang berukuran sangat kecil. Jika bunga-bunga ini telah berkembang menjadi buah, dengan ukuran yang sama kecilnya, barulah tepat dapat disebut sebagai buah, meskipun juga hanya buah semu. Tipe perakaran tumbuhan ini banyak diantaranya yang memiliki akar gantung atau akar udara.


(40)

Gambar 10. Modang lalisiak ( Ficus sinuata Thunb).

E.5. Langge (Homalonema javanica )

Langge merupakan tumbuhan yang masuk dalam Kingdom: Plantae (tumbuhan), Divisi: Angiospermae (tumbuhan berbunga), Kelas: Equisetopsida (Berkeping satu/monokotil), Ordo: Alismatales, Famili: Araceae (suku talas-talasan), Genus: Homalomena dan merupakan Spesies: Homalonema javanica (Susanto, 2009).

Hasil pengamatan di lapangan Langge dapat dideskripsikan sebagai tumbuhan Herba, tinggi 75 cm; batang bulat, panjang pelepah 4- 6 cm, permukaan licin, tegak lurus, warna hijau; daun tunggal, perisai, panjang 30-52 cm x lebar 21-23 cm, ujung meruncing, pangkal berlekuk, tepi rata, permukaan licin, pertulangan menyirip, tangkai 40-46 cm, daging seperti perkamen, warna hijau. Berdasarkan pengamatan di lapangan Langge banyak ditemukan di daerah pinggiran sungai dan kondisi lingkungannya adalah daerah dataran tinggi, hal ini sesuai dengan pernyataan Susanto (2009) yang mengatakan bahwa Homalonema

javanica biasa ditemukan di pegunungan, pinggiran sungai, tepi danau, atau ditanam sebagai tanaman hias di sekitar pekarangan rumah. Kandungan kimia


(41)

yang terkandung adalah dari golongan flavanoid, tanin, terpen, alkaloid, dan saponin. Walaupun mengandung racun tumbuhan Langge biasa digunakan oleh masyaraka baik di desa maupun diperkotaan sebagai tumbuhan hias dan ditanam disekitar pekarangan rumah karena memiliki pemandangan yang unik jika dipadukan dengan tumbuhan hias lainnya.

Gambar 11 . Langge (Homalonema javanica )

E.6. Dong-dong (Laportea stumulans Gaud)

Dong-dong merupakan tumbuhan yang masuk dalam Kingdom: Plantae, Divisi: Spermatophyta, Kelas: Dycotiledoneae, Ordo: Urticales, Famili Urticaceae, Genus: Laportea dan merupakan Spesies: Laportea stimulans Gaud (Mansur, 2006).

Hasil identifikasi dari Mansur, (2006) menyebutkan bahwa Dong-dong adalah jenis pohon dengan tinggi 5-12 meter, daun tunggal, bentuk daun menjorong, melonjong, dan membundar telur, tangkai daun panjang dengan permukaan kasar. Cabang banyak, bentuk batang bulat dan kulit batang berwarna kehijauan. Bunga keluar dari ketiak daun, bunga warna putih kebiruan. Memiliki buah yang berwarna bening.


(42)

Hasil pengamatan dilapanga populasi Dong-dong sangat sedikit jumblahnya di Cagar Alam Dolok Saut. Daun Dong-dong mengandung racun (apabila terkena kulit manusia bisa mengakibatkan gatal-gatal), daunnya memiliki warna hijau terang. Memiliki tulang dan urat daun yang tampak jelas. Pinggir daun mudanya berbentuk gerigi dengan jarak gerigi tidak terlalu rapat. Semakin tua, gerigi semakin menghilang. Bagian atas dan pinggir daun ditumbuhi bulu-bulu halus yang hanya nampak bila dilihat dari jarak sangat dekat. Bila bulu-bulu-bulu-bulu ini dapat tersentuh bagian kulit kita yang halus dan sensitif seperti punggung tangan, lengan, paha atau betis dapat menimbulkan rasa gatal, perih dan panas yang cukup menyengat. Sengatan pulus pada kulit tubuh biasanya baru akan hilang setelah satu atau dua minggu bila tanpa penanganan sehingga masyarakat sekitar hutan menyebut tumbuhan ini sebagai tumbuhan beracun.


(43)

E.7. Bedi Bedi (Callicarpa dichotoma)

Bedi-bedi merupakan tumbuhan yang masuk dalam Kingdom: Plantae: Divisi: Angiosperms, Kelas: Monocots, Order: Lamiales, Famili: Lamiaceae, Genus: Alocasia dan merupakan Species: Callicarpa dichotoma, (Soerianegara 2005).

Hasil pengamatan menunjukan Callicarpa dichotoma yang lebih dikenal dengan nama Bedi-bedi ditemuka didaerah semak belukar atau dilahan yang tidak bertajuk di kawasan Cagar Alam Dolok Saut. Tumbuhan ini hanya sedikit ditemukan di Cagar Alam Dolok Saut dan dapat disimpulkan bahwa tumbuhan ini penyebaran dan pertumbuhannya sangat rendah. Soerianegara (2005) menyebutkan bahwa tumbuhan ini dapat tumbuh pada daerah dengan kelembapan sedang dan basah. Bedi-bedi dapat tumbuh degan tinggi 1 hingga 2 meter, memiliki ciri buah berwarna ungu buah tumbuh dari ketiah daun baru, buah biasanya berada disepanjang dahan disetiap ketiak daun baru. Buah dari tumbuhan ini biasa menjadi makanan burung. Kandungan kimia tumbuhan ini adalah berasal dari kandungan alkoloid, flavonoid dan saponin dan memiliki Aktivitas biologis, seperti anti bakteri, antifungi, anti hama, cytotoxic, dan phytotoxic activities . Tata daun oposite daun majemuk,bunga daun lanset.


(44)

E.8. Antaladan (Xanthosoma sp)

Antaladan merupakan tumbuhan yang masuk dalam klasifikasi: Kingdom Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Liliopsida, Ordo: Arales, Famili: Araceae, Genus: Xanthosoma dan merupakan Spesies : Xanthosoma sp. ( Heyne, 1987)

Hasil pengamatan di lapangan tumbuhan ini sering disebut Antaladan oleh masyarakat sekitar hutan mengenal tumbuhan ini sejak lama dan sering dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias karena tampilan daunnya sangat menarik, namun demikian masyarakat sekitar hutan juga sangat mewaspadai tumbuhan ini karena dipercaya mengandung racun, dampak yang sangat jelas dirasakan adalah gatal-gatal dan umbinya yang berbau amis menyengat. Hal ini juga telah dijelaskan oleh Suin (2002) yang menyatakan bahwa Xanthosoma sp adalah jenis tumbuhan dari wilayah dibawah naungan tajuk hutan, namun dalam kultivasi ia dapat tumbuh baik dilahan-lahan pertanian terbuka dengan sinar matahari penuh. Umumnya Antaladan merupakan tanaman wilayah dataran rendah dan membutuhkan rata temperatur harian diatas 21 °C. Curah hujan tahunan rata-rata sekitar 1400 mm, tetapi lebih disukai 2000 mm, yang merata-rata disepanjang tahun, dengan kelembaban tanah cukup. Meskipun cukup tahan dengan tanah yang mengandung memerlukan tanah yang berdrainase baik

Heyne (1987) menyatakan bahwa tumbuhan ini biasa tumbuh di daerah lembab seperti pinggiran sungai yang tenang ditengah hutan dan tidak bergerombol seperti jenis keladi lainnya. Memiliki ciri khas daun lebar bercorak putih terang dan dibagian bawah daun berwarna merah marun. Tumbuhan ini bisa


(45)

menyebabkan iritasi pada mulut, terasa terbakar/panas pada bagian mulut, lidah, bibir, bisa menyebabkan ileran yang parah, mual dan susah menelan. Hal tersebut dikarena ditanaman sebangsa ini punya zat yang namanya Kalsium oksalat yang tidak dapat larut, kalsium oksalat ini yang beracun untuk kucing.

Gambar 14. Anataladan (Xanthosoma sp)

E.9. Sitanggis)

Dahmartha (1994) mengatakan bahwa Sitanggis merupakan tumbuhan yang masuk dalam klasifikasi Kingdom: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Liliopsida, Ordo: merupakan Spesies:

Hasil pengamatan di lapangan, tumbuhan yang hidup di Cagar Alam Dolok Saut ini dikenal dengan nama Sitanggis merupakan tumbuhan tahunan yang tumbuh tegak dengan tinggi 50 hingga 120 cm, tumbuhan ini biasanya tumbuh liar di daerah sekitar hutan Cagar Alam Dolok Saut yang merupakan daerah pegunungan dan seperti yang telah dinyatakan oleh Dahmartha (1994) bahwa berkembang didataran tinggi dan terdapat dari


(46)

diatas pangkal yang membelah berbentuk pelepah tinggi, dengan bentuk garis atau lanset yang miring, hijau kebiruan, bertepi transparan serta yang terendah 30 - 60 kali 2 4 cm, yang tinggi kecil dan agak berjarak. Tumbuhan ini mempunyai bunga majemuk dengan jumlah 6-12 kuntum, Buah bulat berwarna hijau dan jika sudah matang berwarna biru donker berbuah di ujing tangkai dengan panjang 2,5 hingga 3,5 cm dengan

Sitanggis sangat banyak tumbuh didalam hutan Cagar Alam Dolok Saut bahkan di lahan sekitaran pekarangan masyarakat Desa Pancur Natolu yang berada didekat hutan Cagar Alam Dolok Saut sangat banyak tumbuh secara liar sehingga masyarakat dapat memanfaatkan Sitanggis sebagai racun tikus di lahan pertanian masyarakat sekitar hutan karena masyarakat tersebut percaya bahwa akar tumbuhan ini mengandung racun yang dapat membunuh tikus karena sejak zaman nenek moyang mereka telah menggunakan tumbuhan ini sebagai racun tikus.


(47)

F. Potensi Pengembangan Tumbuhan Beracun di Hutan Cagar Alam Dolok Saut

Hasil pengujian skrining metabolit sekunder di laboratorium dari kesembilan tumbuhan beracun diperoleh data bahwa kesembilan tumbuhan beracun tersebut merupakan tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pestisida walaupun dari hasil wawancara dengan masyarakat diperoleh tiga jenis tumbuhan tidak beracun yaitu Tahul-tahul, Birah dan Tahul-tahul, namun setelah dilakukan pengujian di laboratorium ketiga jenis tumbuhan tersebut beracun dan dapat digunakan sebagai bahan biopestisida.

Kebutuhan akan pestisida alami pada saat ini memang belum populer dan masih belum menjadi pertimbangan pada kegiatan pertanian khususnya pada masyarakat desa, penelitian dan pengembangan mengenai penggunaan pestisida alami sangat di butuhkan pada zaman yang serba modern ini dikarenakan hampir semua penggunaan pestisida pada lahan pertanian masi mengandalkan pestisida kimiawi. Kesembilan tumbuhan beracun ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pestisida alami karena sangat tersedia di alam sehingga perlu lagi untuk dieksplorasi karena kekayaan alam terutama di hutan Cagar Alam Dolok Saut sangat beragam dan melimpah. Jenis tumbuhan beracun yang diteliti untuk dikembangkan juga sangat mudah untuk dibudidayakan dan sebagian besar jumlahnya melimpah. Jenis Sitanggis, Antaladan, dan Tahul-tahul adalah jenis tumbuhan yang paling berpotensi dikembangkan sebagai bahan pestisida dari pada jenis yang lainnya karena mudah dibudidayakan dan tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit.


(48)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Jenis tumbuhan beracun yang ditemukan di Hutan Cagar Alam Dolok Saut dan telah dibuktikan secara uji fitokimia adalah sebanyak sembilan jenis, enam diantaranya merupakan tumbuhan yang telah diketahui oleh masyarakat bahwa tumbuhan tersebut adalah beracun sedangkan tiga jenis dibuktikan beracun setelah dilakukan uji fitokimia.

2. Hasil analisis data keanekaragaman terhadap kesembilan tumbuhan beracun yang ditemukan di Hutan Cagar Alam Dolok Saut menunjukkan bahwa Indeks Keanekaragaman Shannon-Winner (H’) adalah sebesar 1,54 yang berarti keanekaragaman spesies tergolong sedang

3. Pengujian fitokimia yang dilakukan di laboratorium menunjukan kesembilan tumbuhan yang diuji memiliki kandungan metabolit sekumder yang berbeda-beda tiap jenisnya baik kadar maupun reaksi yang timbul pada pereaksi yang diberikan, namun kesembilan jenis yang diuji dapat dikategorikan beracun karena memiliki kandungan yang dapat dijadikan sebagai biopestisida maupun racun lainnya.

Saran

Diharapkan dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi pemanfaatan tumbuhan beracun sebagai biopestisida dan penanggulangan hama agar penerapannya tepat sasaran.


(49)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Beracun

A.1. Definisi Tumbuhan Beracun

Racun adalah zat atau senyawa yang dapat masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respon pada sistem biologis sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Umumnya berbagai bahan kimia yang mempunyai sifat berbahaya atau bersifat racun, telah diketahui. Namun tidak demikian halnya dengan beberapa jenis hewan dan tumbuhan, termasuk beberapa jenis tanaman pangan yang ternyata dapat mengandung racun alami, walaupun dengan kadar yang sangat rendah. Tanaman pangan seperti sayuran dan buah-buahan memiliki kandungan nutrien, vitamin, dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta merupakan komponen penting untuk diet sehat. Meskipun demikian, beberapa jenis sayuran dan buah-buahan dapat mengandung racun alami yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Racun alami adalah zat yang secara alami terdapat pada tumbuhan, dan sebenarnya merupakan salah satu mekanisme dari tumbuhan tersebut untuk melawan serangan jamur, serangga, serta predator (BPOM, 2012).

Foray (1954) mendefinisikan tumbuhan beracun sebagai tumbuhan yang menyebabkan kesehatan normal terganggu apabila bagian-bagian tertentu darinya digunakan oleh manusia atau hewan yang dapat menerima dampaknya. Syahputra (2001) pernah meneliti lebih kurang 700 spesies tumbuhan yang beracun dan masih banyak lagi yang belum diketahui. Tumbuhan yang digolongkan ke dalam


(50)

tumbuhan beracun terdiri daripada kumpulan rumpair, kulat, paku-pakis dan tumbuhan tinggi

Tumbuh-tumbuhan yang ada di alam sangat banyak jenisnya. Dari berbagai jenis tumbuhan tersebut ada sebagian besarnya dimanfaatkan oleh manusia. Namun ada beberapa yang jarang bahkan tidak dimanfaatkan oleh manusia karena berbahaya terutama bagi kesehatan manusia. Mungkin saja tanaman yang dibeli ataupun didapat dari teman-teman merupakan tanaman yang beracun. Keracunan yang ditimbulkan oleh tanaman-tanaman ini, umumnya belum ada penawar. Jadi sebaiknya diusahakan jangan sampai terpapar racun tumbuhan-tumbuhan tersebut (Seran, 2011).

Terdapatnya racun atau anti nutrisi pada tumbuhan pada umumnya terjadi karena faktor dalam (faktor intrinsik) yaitu suatu keadaan dimana tumbuhan tersebut secara genetik mempunyai atau mampu memproduksi anti nutrisi tersebut dalam organ tubuhnya. Zat-zat anti nutrisi alkaloid, asam amino toksik, saponin dan lain-lain adalah beberapa contohnya. Faktor lainnya adalah faktor luar (faktor lingkungan) yaitu keadaan dimana secara genetik tumbuhan tidak mengandung unsur anti nutrisi tersebut, tetapi karena pengaruh luar yang berlebihan ataumendesak, zat yang tidak diinginkan mungkin masuk dalam organ tubuhnya. Contohnya adalah terdapatnya Se (Selenium) berlebihan pada tanaman yang mengakumulasi Se dalam protein misalnya pada Astralagus sp. Juga unsur radioaktif yang masuk dalam rantai metabolik unsur yang kemudian terdeposit sebagai unsur-unsur berbahaya (Widodo, 2005).

Beberapa ciri tumbuhan beracun sebagai berikut : 1. Memiliki duri tajam hampir di semua bagian.


(51)

2. Memiliki rambut atau bulu yang sangat lebat di bagian daun atau batang. 3. Memiliki getah yang pahit.

4. Memiliki bunga atau buah berwarna kuat atau gelap. 5. Beraroma tidak enak atau menyengat dan berasa pahit 6. Daun terlihat utuh, tidak ada bekas-bekas serangan serangga. (Ardianto, 2013).

A.2. Komponen Senyawa Beracun dalam Tumbuhan

Racun dapat diidentifikasi pada tumbuhan beracun dan kemungkinan dapat disebabkan oleh hasil metabolisme sekunder yang terkandung di dalam tumbuhan beracun tersebut. Setiap jenis tumbuhan beracun pada umumnya mengandung zat-zat atau senyawa kimia yang berbeda-beda. Senyawa racun yang bersifat alami dalam tumbuhan beracun belum sepenuhnya diketahui dan belum semuanya dimanfaatkan secara aplikatif. Beberapa jenis tumbuhan beracun mengandung dua atau lebih senyawa racun yang berbeda komponen kimianya satu dengan lainnya. Hanenson (1980) menyatakan bahwa komponen-komponen kimia yang dihasilkan tumbuhan beracun melalui metabolit sekunder terbagi atas beberapa macam seperti alkoloid, glikosida, tanin, saponin, asam oksalat, phytotoxin, resin, polipeptida dan asam amino serta mineral lainnya.

A.2.1. Alkaloid

Kandungan alkaloid dalam setiap tumbuhan 5-10% dan efek yang ditimbulkan hanya dalam dosis kecil. Kadar alkaloid pada tumbuhan berbeda-beda sesuai kondisi lingkungannya, dan alkaloid tersebar di seluruh bagian tumbuhan. Efek terkontaminasi alkaloid adalah pupil yang membesar, kulit terasa


(52)

panas dan memerah, jantung berdenyut kencang, penglihatan menjadi gelap dan menyebabkan susah buang air.

A.2.2. Polipeptida dan asam amino

Hanya sebagian polipeptida dan asam amino yang bersifat racun. Bila terkontaminasi polipeptida, hypoglycin, akan menyebabkan reaksi hypoglycemic.

A.2.3. Glikosida

Glikosida adalah salah satu komponen yang dihasilkan melalui proses hidrolisis, yang biasa disebut aglikon. Glikosida adalah senyawa yang paling banyak terdapat pada tumbuhan daripada alkaloid. Gejala yang ditimbulkan apabila terkontaminasi glikosida adalah iritasi pada mulut dan perut, diare hingga menyebabkan overdosis.

A.2.4. Asam Oksalat

Kadar asam oksalat pada tumbuhan tergantung dari tempat tumbuh dan iklim, yang paling banyak adalah saat akhir musim panas dan musim gugur. Karena oksalat dihasilkan oleh tumbuhan pada akhir produksi, yang terakumulasi dan bertambah selama tumbuhan hidup. Gejala yang ditimbulkan adalah mulut dan kerongkongan terasa terbakar, lidah membengkak hingga menyebabkan kehilangan suara selama dua hari, dan hingga menyebabkan kematian jika terhirup.

A.2.5. Resin

Resin dan resinoid termasuk ke dalam kelompok asam polycyclic dan penol, alkohol dan zat-zat netral lainnya yang mempunyai karakteristik fisis tertentu. Efek keracunan yaitu iritasi langsung terhadap tubuh atau otot tubuh.


(53)

Termasuk juga gejala muntah-muntah. Apabila terkontaminasi dengan air buahnya menyebabkan bengkak dan kulit melepuh.

A.2.6. Phytotoxin

Phytotoxin adalah protein kompleks terbesar yang dihasilkan oleh sebagian kecil tumbuhan dan memiliki tingkat keracunan yang tinggi. Akibat terkontaminasi adalah iritasi hingga menyebabkan luka berdarah dan pembengkakan organ tubuh setelah terhirup.

A.2.6. Saponin

Saponin adalah glikosida tanaman yang ditandai dengan munculnya busa dipermukaan air bila dicampurkan atau diaduk, yang telah dikenal serta diakui sebagai sabun alami dan telah menyebabkan beberapa tanaman seperti soapwort (Saponaria officinalis) umum digunakan sebagai sabun untuk waktu yang lama. Saponin ketika dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar dari pada yang diizinkan, senyawa ini menjadi tergolong beracun. Gejala yang ditimbulkan bagi manusia apabila dikonsumsi secara berlebihan adalah dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa pencernaan sehingga menderita muntah-muntah, sakit perut, perdarahan, pusing, maag dan begitu terkontaminasi ke sistem peredaran darah, senyawa ini dapat merusak ginjal dan hati serta mempengaruhi sistem saraf bahkan dapat mengakibatkan serangan jantung.

A.2.7. Tanin

Tanin adalah senyawa polifenol yang bersifat terhidrolisa dan kental. Senyawa ini telah dikembangkan oleh tanaman sebagai bentuk pertahanan terhadap seranga eksternal dari predator yang memiliki rasa pahit atau kelat. Jika terkonsumsi lebih dari 100 mg bisa menghsilkan masalah pada saluran pencernaan


(54)

seperti diare, sakit perut, urin bercampur darah, sakit kepala, kurang napsu makan dan lain-lain.

B. Pestisida

Tarumingkeng (2008) menyatakan bahwa pembasmi hama atau pestisida adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan, menolak, memikat, atau membasmi organisme penggangu. Pestisida seringkali disebut racun dalam bahasa sehari-hari. Nama ini berasal dari pest (hama) dan memiliki akhiran – cide (pembasmi).

Sasaran pestisida bermacam-macam seperti serangga, tikus, gulma, burung, mamalia, ikan atau mikroba yang dianggap menggangu. Pestisida digolongkan berdasarkan sasarannya dapat berupa akarisida/ mitesida (tungau atau kutu), alvisida (burung), bakterisida (bakteri), fungisida (jamur atau cendawan), herbisida (gulma), insektisida (serangga), larvasida (ulat atau larva), molluksisida (siput), nematisida (nematoda yaitu semacam cacing yang hidup di akar), ovisida (telur), pedukulisida (kutu atau tuma), piscisida (ikan), rodentisida ( binatang pengerat seperti tikus) dan termisida (rayap) (Tarumingkeng, 2008).

Pestisida yang digolongkan berdasarkan cara penggunaannya dapat berupa Atraktan (zat kimia pembau sebagai penarik serangga dan menangkapnya dengan perangkap), komosterilan (zat yang berfungsi untuk mensterilkan serangga serta hewan bertulang belakang), defoliant (zat yang dipergunakan untuk menggugurkan daun supaya memudahkan panen pada tanaman kapas dan kedelai), desiccant (zat yang digunakan untuk mengeringkan daun atau bagian tanaman lainnya), desinfektan (zat yang digunakan untuk membasmi mikroorganisme), zat pengatur tumbuh (zat yang dapat memperlambat atau


(55)

mempercepat pertumbuhan tanaman), Repellent (zat yang berfungsi sebagai penolak atau penghalau serangga atau hama yang lainnnya; contohnya kamper untuk penolak kutu, minyak sereb untuk penolak nyamuk), sterilan tanah (zat yang berfungsi untuk mensterilkan tanah dari jasad renik atau biji gulma), pengawet kayu (biasanya digunakan pentaclilorophenol/PCP), Stiker (zat yang berguna sebagai perekat pestisida supaya tahan terhadap angin dan hujan), Surfaktan/agen penyebar (zat untuk meratakan pestisida pada permukaan daun), Inhibitor (zat unuk menekan pertumbuhan batang dan tunas) dan Stimulan tanaman (zat yang berfungsi untuk menguatkan pertumbuhan dan memastikan terjadinya buah) (Martono, 2004).

Untung (2001) menyatakan bahwa prinsip penggunaan pestisida adalah harus kompatibel dengan komponen pengendalian lain seperti komponen hayati, efesien untuk mengendalikan hama tertentu, harus minim residu, tidak

persitent/harus mudah terurai, dalam perdagangan (transport, penyimpanan,

pengepakan, labelin) harus memenuhi persyaratan keamanan yang maksimum, harus tersedia antidote untuk pestisida tersebut, sebisa mungkin aman bagi lingkungan fisik dan biota, relatif aman bagi pemakai (LD 50 dermal dan oral relatif tinggi) dan harga terjangkau bagi petani.

C. Biopestisida

Biopestisida adalah bahan yang berasal dari alam, seperti tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk mengendalikan Organisme Pengganggu Tanaman atau juga disebut dengan pestisida hayati. Biopestisida merupakan salah satu solusi ramah lingkungan dalam rangka menekan dampak negatif akibat penggunaan pestisida non hayati yang berlebihan. Saat ini Biopestisida telah


(56)

banyak dikembangkan di masyarakat khususnya para petani. Namun belum banyak petani yang menjadikan biopestisida sebagai penangkal dan pengedali hama penyakit untuk tujuan mempertahankan produksi, (Anonim, 2007).

Menurut Sutanto (2002) mengatakan bahwa sesungguhnya penggunaan biopestisida ini telah lama dikenal dan diterapkan oleh nenek moyang kita sebagai salah satu kearifan lokal. Sangat disayangkan bahwa kearifan lokal ini sudah banyak dilupakan oleh masyarakat kita, padahal keuntungan dari penerapannya dapat dirasakan dalam jangka panjang. Bahan-bahan pembuatannya pun mudah dan relatif murah, bahkan terkadang melimpah di alam. Dalam kaitannya dengan program penerapan Sistem Pertanian Berkelanjutan pun, biopestisida merupakan salah satu komponen teknologi yang direkomendasikan oleh banyak ahli. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan biopestisida berasal dari Bahan-bahan hidup seperti tumbuh-tumbuhan (empon-empon, jarak, jengkol, biji srikaya, tembakau, nimbi, dll) dan mikroba (cendawan, bakteri, virus dan protozoa). Berdasarkan penelitian, sebagian tumbuhan mengandung bahan kimia yang dapat membunuh, menarik dan menolak serangga, sebagian juga menghasilkan racun, mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem pencernaan atau mengubah perilaku serangga.

Cakupan biopestisida sangat luas, yaitu mencakup semua organisme hidup yang dapat difungsikan sebagai agen pengendali hayati organisme penganggu tanaman. Sementara jenis dan macamnya disesuaikan dengan sasaran target organisme penganggu. Misalnya untuk hama serangga disebut bioinsektisida, untuk jamur atau fungi disebut biofungisida, dan untuk gulma disebut dengan bioherbisida, (Sutanto 2002).


(57)

D. Kondisi Umum Cagar Alam Dolok Saut

Cagar Alam Dolok Saut ditetapkan menjadi cagar alam berdasarkan GB. Nomor 36 Tanggal 4 Februari 1922 seluas 39 Ha dan direncanakan sebagai hutan tutupan (lindung) berdasarkan Surat Nomor 637/70 tanggal 28 Juli 1922. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Sumatera Utara tahun 2003-2018, kawasan hutan Dolok Saut tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka alam. Dan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 44 tahun 2005 tentang Penunjukan Luas Kawasan Hutan Propinsi Sumatera Utara, Cagar Aalam Dolok Saut juga tetap dipertahankan sebagai kawasan suaka alam.

Kawasan Cagar Alam Dolok Saut berbatasan langsung dengan kawasan hutan lindung Dolok Saut register 17. Pada bagian barat batas cagar alam dengan hutan lindung Aek Raut. Letak geografis Cagar Alam Dolok Saut berada di koordinat 99o11’10” Bujur Timur dan 01o54’45” Lintang Utara dan pada ketinggian 1.280 s/d 1.360 mdpl. Secara administrasi pemerintah Cagar Alam Dolok Saut terletak di Desa Pansur Natolu, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara.

Penataan batas cagar alam dolok saut berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan adalah sepanjan 1,4 km. Berdasarkan informasi dari balai pemantapan kawasan hutan wilayah I medan dan dari dokumen yang ada di kawasan ini belum dilakukan penataan batas. Berdasarkan data yang diperoleh dari dinas kehutanan tapanuli utara bahwa proses verbal tentang pengumuman batas-batas hutan yang telah dibuat diatur berdasaekan kebulatan mufakat pada tangal 25 oktober 1935 dengan catatan bahwa terdapat 5 buah pal yaitu NM. 5, namun dokumen tersebut saat ini belum ditemukan. (BBKSDASU, 2011).


(58)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini banyak dilakukan eksplorasi terhadap bahan tanaman yang mengandung bahan bioaktif dan bermanfaat sebagai pengendali hama yang ramah lingkungan, seperti penggunaan tanaman perangkap dan pestisida/insektisida nabati. Cara terbaik untuk mengatasi atau mengurangi dampak bahaya penggunaan pestisida kimia terhadap manusia maupun lingkungan perlu dicari alternatif pengendalian dengan menggunakan bahan alam yang bersifat racun bagi hama tanaman atau yang disebut dengan biopestisida.

Masalah besar yang dihadapi petani atau pengusaha hutan dalam kegiatan produksi adalah hama penyakit tanaman dan bencana alam. Untuk menanggulangi serangan hama dan penyakit tanaman petani menggunakan pestisida kimia. Pestisida kimia merupakan bahan beracun yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan, hal ini disebabkan pestisida bersifat polutan dan menyebarkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh seperti mutasi gen dan gangguan syaraf pusat. Disamping itu residu kimia yang beracun tertinggal pada produk pertanian dapat memicu penyakit pada manusia.

Biopestisida merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama tanpa bahan kimia. Penggunaan biopestisida juga digunakan untuk meminimalisir penggunaan bahan kimia yang dapat merusak lingkungan. Usaha penggunaan bahan biopestisida dapat dimulai dengan bahan-bahan tumbuhan yang telah diketahui/dikenal baik, misalnya bahan ramuan obat tradisional atau jamu, bahan-bahan berkemampuan tertentu misalnya mengandung rasa gatal, pahit, langu, tidak disenangi hama/serangga serta bahan-bahan


(59)

tumbuhan yang memang jelas memiliki kemampuan racun terutama bagi hama dan penyakit tanaman.

Penelitian ini memilih tempat di CA.Dolok Saut, karena penulis menduga bahwa hutan tersebut memiliki potensi flora yang tinggi dan diduga memiliki potensi sebagai sumber bahan biopestisida yang melimpah dan belum pernah dilakukan penelitian di lokasi ini. Secara administrasi pemerintah Cagar Alam Dolok Saut terletak di Desa Pansur Natolu, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu, penulis melalukan eksplorasi tumbuhan yang terdapat di CA.Dolok Saut, terutama yang termasuk tumbuhan beracun, agar nantinya dapat diaplikasikan sebagai bahan biopestisida.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi potensi tumbuhan beracun serta mengetahui jenis kandungan metabolit sekunder dari jenis-jenis tumbuhan beracun yang berpotensi sebagai sumber biopestisida di kawasan Cagar Alam Dolok Saut terletak di Desa Pansur Natolu, Kecamatan Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara.

B. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah observasi awal untuk memberi informasi mengenai jenis-jenis tumbuhan beracun yang terdapat di Cagar Alam Dolok Saut. dengan adanya informasi jenis-jenis tanaman yang berpotensi sebagai bahan penghasil biopestisida dan pemanfaatannya akan membantu masyarakat dan pihak lain dalam mengenal dan memanfaatkan jenis-jenis tersebut dalam pengendalian hama dan penyakit pada tanaman.


(1)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Besitang pada tanggal 03 Maret 1993 dari Ayah J

Sihombing dan Ibu Delima Siregar. Penulis merupakan anak ke lima dari

sembilan bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan formal di Sekoleh Dasar (SD) Negeri

058129 bebas dan lulus tahun 2005. Penulis juga melanjutkan pendidikan di

sekolah Menengah Pertama (SMP) Dharma Bakti Besitang) dan lulus tahun 2008.

Pada tahun 2011 penulis lulus dari SMA Swasta Dharma Bakti Besitang dan pada

tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui

jalur ujian tertulis Ujian Masuk Bersama (UMB). Penulis memilih minat

Teknologi Hasil Hutan program studi Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan

Mahasiswa Silva (HIMAS) USU, sebagai anggota aktif Rimbawan Pecinta Alam

(RIMBAPALA) dan UKM KMK USU.

Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di

Tahura, sibolangit dari tanggal 22 Agustus sampai 31 Agustus 2013. Penulis juga

telah melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani Kesatuan

Pemangkuan Hutan Cianjur Divisi Regional Jawa Barat dan Banten dari 28


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis telah menyelesaikan penyusunan skripsi

yang berjudul Eksplorasi Potensi Tumbuhan Beracun Sebagai Bahan Biopestisida

Di Cagar Alam Dolok Saut

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kepada Ibu Irawati Azhar,

S.Hut, M.Si dan Ibu Yunus Afifuddin,S.Hut, M.Si yang telah meluangkan waktu

dan tenaga dalam membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung

jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya

skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, serta

teman-teman mahasiswa kehutanan terkhusus angkatan 2011 yang selalu

memberikan dukungan dan motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian ini. Kemudian penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Balai

Besar KSDA Sumatera Utara yang telah mengijinkan dan membantu penulis

melakukan penelitian di lapangan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum

sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga

skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang kehutanan.

Medan, April 2016


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Tumbuhan Beracun ... 3

Defenisi Tumbuhan Beracun ... 3

Komponen Senyawa Beracun dalam Tumbuhan ... 5

Alkaloid ... 5

Polipeptida dan asam amono ... 6

Glikosida ... 6

Asam Oksalat ... 6

Resin ... 6

Phytotoxin ... 7

Saponin ... 7

Tanin ... 7

Pestisida ... 8

Biopestisida ... 9

Kondisi Umum Cagar Alam Dolok Saut ... 11

METODE PENELITIAN ... 12

Waktu dan Tempat Penelitian ... 12

Alat Dan Bahan ... 12

Prosedur Penelitian ... 12

Aspek Pengetahuan Lokal ... 12

Aspek Keanekaragaman ... 13


(4)

Pengujian Alkaloid ... 15

Pengujian Terpen ... 16

Pengujian Flavonoid ... 18

Pengujian Saponin ... 18

Pengujian Tanin ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Pengetahuan Lokal ... 20

Tingkat Keanekaragaman Tumbuhan Beracun Di Cagar Alam Dolok Saut ... 22

Aspek Fitokimia ... 25

Kandungan Metabolit Sekunder Pada Tumbuhan Beracun Pada Pengujian Fitokimia ... 29

Uji Alkaloid ... 29

Uji Terpen ... 31

Uji Saponin ... 32

Uji Flavonoid ... 33

Uji Tanin ... 34

Deskripsi Tumbuhan Beracun yang Ditemukan di Hutan Cagar Alam Dolok Saut ... 36

Apus Tutung (Clidemia Hirta) ... 36

Tahul-tahul (Nephentes renwartiana.) ... 37

Birah (Alocasia arifolia Hallier. F ... 39

Modang Lalisiak ( Ficus sinuata Thunb) ... 40

Langge (Homalonema propinqua Ridl ... 42

Dong-dong (Laportea stumulans Gaud) ... 43

Bedi Bedi (Callicarpa dichotoma) ... 45

Antaladan (Xanthosoma sp) ... 46

Sitanggis 47 Pengujian Fitokimia Tumbuhan Beracun Di Hutan Cagar Alam Dolok Saut ... 49

Potensi Pengembangan Tumbuhan Beracun di Hutan Cagar Alam Dolok Saut ... 50

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51

Saran ... ... 51

DAFTAR PUSTAKA


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jenis tumbuhan beracun di Cagar Alam Dolok Saut ... 20

2. Analisis tumbuhan beracun di Hutan Cagar Alam Dolok Saut ... 22

3. Tumbuhan hasil uji fitokimia di laboratorium fitokimia ... 25

4. Data hasil Uji Fitokimia Tumbuhan Beracun di Hutan Cagar Alam

Dolok Saut ... 41


(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Petak contah transek ... 13

2. Skema pengujian alkoloid ... 16

3. Skema pengujian Terpen ... 17

4. Skema Pengujian Flavonoid ... 18

5. Skema Pengujian Saponin ... 19

6. Skema pengujian Tanin ... 19

16. Alkoloid pada tumbuhan sitanggis dengan pereaksi meyer, dragendrof dan bouchaedad. ... 30

17. Dong-dong yang memiliki saponin... 32

18. Sitanggis yang memiliki flavonoid ... 34

19. Larutan tanin bereaksi terhadap sitanggis. ... 35

7. Apus tutung (Clidemia Hirta) ... 37

8. Tahul-tahul (Nephentes renwartiana) ... 38

9. Birah (Alocasia arifolia Hallier. F) ... 40

10. Modang Lalisiak ( Ficus sinuata Thunb) ... 42

11. Langge Homalonema propinqua Ridl ) ... 43

12. Dong-dong (Laportea stumulans Gaud) ... 44

13. Bedi Bedi (Callicarpa dichotoma) ... 45

14. Anataladan (Xanthosoma sp) ... 47