Hasil Temuan Peneliti Pengumpulan Data

Universitas Sumatera Utara dapat menjumpainya saat mereka sedang berjualan bandrek di simpang jalan raya dekat tempat tinggalnya berada. Dalam pemilihan tempat wawancara, peneliti menyerahkan penentuan tempatnya sesuai dengan keinginan informan. Dua informan yang memilih tempat tinggalnya sebagai tempat pertemuan peneliti dengan informan mengaku lebih nyaman di rumah sembari menjaga anak mereka. Wawancara yang berlangsung bukanlah hanya wawancara yang dilakukan peneliti berdasarkan pertanyaan- pertanyaan yang ada pada pedoman wawancara. Peneliti merasa pertanyaan- pertanyaan tersebut tidak cukup dalam mengumpulkan data sehingga peneliti juga menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan tujuan penelitian guna mendapatkan data yang lebih mendalam. Tak jarang peneliti menanyakan hal-hal yang terkait dengan tujuan penelitian saat melakukan percakapan ringan dengan para informan. Misal, ketika Dewi menceritakan tentang bagaimana awal mereka pindah ke Indonesia, peneliti menanyakan bagaimana Dewi dan suaminya menangani masalah anaknya ketika baru tiba di Indonesia. Anak-anaknya yang mengalami kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan baru. Mengingat pasangan tersebut membina keluarga di Belanda dan baru 2013 silam menginjakkan kaki ke Indonesia sejak menikah.

4.1.2 Hasil Temuan Peneliti

Pasangan 1 Nama Suami : Yahya Suryono Setyowati Belanda Nama Istri : Wina Devianty Rambe Indonesia Jumlah Anak : 4 orang anak Pasangan Wina dan Yahya adalah pasangan yang menjadi informan pertama sekaligus informan kunci pada penelitian ini. Peneliti telah mengenal Wina dan Yahya sejak pra penelitian pada 2014 lalu. Pada saat itu, pasangan Wina dan Yahya mudah berkomunikasi dengan orang baru. Terlebih sang suami yang berkebangsaan negeri kincir angin tersebut, meskipun sudah tahun ketiga berada di Indonesia, Yahya masih mengalami kesulitan dalam mengatakan suatu hal Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dengan bahasa Indonesia. Dia mengaku belum terlalu menguasai bahasa Indonesia. Untung saja Wina, perempuan berdarah mandailing ini sigap dalam menerjemahkan tiap kata yang sulit diucapkan oleh suaminya dalam bahasa Indonesia. Wina adalah sosok ibu rumah tangga yang sabar. Selain mengurusi rumah tangga, keseharian ibu empat anak ini adalah meracik bandrek yang akan dijual suaminya. Wina termasuk cekatan dalam menanggapi keaktifan anak keempatnya yang saat ini menginjak usia 5 tahun. Naya, anak terakhir pasangan Wina dan Yahya kerap membuat ibunya kewalahan karena tingkahnya. Tak hanya itu, berhubung informan penelitian ini adalah pasangan suami istri, maka Wina harus datang bersama kedua anaknya ke simpang jalan raya dekat rumahnya, tempat suaminya berjualan bandrek. Sebab, kedua anaknya masih berada di bawah pengawasannya. Sedangkan anak pertama dan keduanya pergi les di malam hari. Saat melakukan percakapan dengan pasangan suami istri tersebut, tak jarang Naya bahkan Adira, anak ketiga mereka yang juga turut meramaikan percakapan. Mereka aktif baik dalam tingkah laku maupun komunikasi, sehingga peneliti sering mendengar kata “niet doen” yang berasal dari bahasa Belanda yang artinya jangan. Jika dirasa tidak cukup, ayahnya menatap kedua anaknya tersebut dan meletakkan jari yang ditempelkan di bibir yang menandakan bahwa Naya dan Adira harus diam. Ketika peneliti bertanya tentang perbedaan Belanda dan Indonesia, sang istri menjawab terlebih dahulu. “Belanda salah satu negara liberal ya, beda sama Indonesia yang masih memegang norma-norma masyarakat, jadi anak-anak masih terkontrol perga ulannya, tidak ada seks bebas”. Kemudian, sang suami juga ikut menjelaskan. “Kalau Belanda individualisnya tinggi, bahkan antara orangtua dan anak juga tidak seintim di Indonesia. Anak-anak dididik untuk mandiri dan bertanggungjawab dengan dirinya sendiri, jadi kalau ada masalah ya diselesaikan sendiri”. Mendengar penjelasan pasangan tersebut, peneliti bertanya bagaimana cara mereka mendidik anak. Istrinya langsung menjawab. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Kalau kita ya ikut sistem orang Indonesia ya, karenakan saya sebagai ibunya ad alah orang Indonesia. Ya saya ajarin Indonesia”. Suaminya, Yahya juga turut menimpali. “Ya kita pakai cara orang Indonesia dalam mendidik anak”. Saat peneliti mendengarkan jawaban spontan dari sang istri, peneliti bertanya apakah pemilihan cara mendidik anak ini memang ide bersama. Sang istri menjawabnya dengan tegas. “Sayakan ibunya, jadi saya mendidik pakai cara Indonesia. Kalau abang sih untungnya setuju- setuju aja. Penurut dia orangnya”. Kemudian sang suami juga menjelaskan alasannya mengapa menyetujui dalam hal memilih cara orang Indonesia dalam mendidik anak. “Saya setuju aja demi kebaikan. Lagian kalau begitukan anak-anak lebih patuh dengan orangtua. Kalau di Belanda orangtua dengan anak sudah seperti teman, bahkan mereka ada yang memanggil orangtuanya dengan nama saja. Jadi kalau bapaknya John ya dipanggilnya John”. Saat suami menjawab, istrinya juga langsung menjelaskan. “Kalau anak-anak ya diajarin agar manggil papa mama. Kemudian, mereka juga diajarkan untuk minta izin kemana-mana. Bahkan mereka juga tidak kami perbolehkan membawa teman lawan jenis ke rumah apalagi sampai masuk ke kamar tidur mereka. Begitu juga sebaliknya”. Mendengar penjelasan sang istri, peneliti bertanya apakah sejak dari lahir anaknya sudah diajari memanggil kedua orangtuanya dengan sebutan papa mama , atau ada sebutan papa mama dalam bahasa Belanda. Istrinya langsung menjawab. “Papa mama kan dari bahasa Belanda. Kan kita tahunya papa mama karena kita dahulu itu dijajah sama Belanda. Jadi ya sejak lahir memang sudah di ajarkan untuk memanggil papa mama. Bukan nama kita”. Kemudian, sang suami menambahkan penjelasan dari istrinya. “Kalau di Belanda, anak-anaknya jika ingin sesuatu ya harus kerja dulu, makanya disana ada pekerja part time dimana-mana. Jadi, sudah biasa kalau sampai pulang tengah malam karena bekerja part time”. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Penjelasan yang dituturkan oleh sang suami menimbulkan pertanyaan baru bagi peneliti, sehingga peneliti bertanya apakah anak-anaknya juga bekerja paruh waktu seperti halnya anak-anak Belanda pada umumnya. “Sejauh ini mereka tidak ada minta yang diluar dari kebutuhan. Jadi ya belum pernah kerja part time”, jelas sang suami. Peneliti bertanya apakah mereka tidak ada mengadopsi cara orang Belanda dalam mendidik anaknya. Saat itu sang suami sedang membuat minuman bandrek untuk pembelinya, sehingga Weni, sang istri yang menjawabnya. “Ada kok. Seperti dalam pendidikan formal ya. Di Belanda itu ketika anak saya lahir dan pulang ke rumah, perawat datang secara intens ke rumah selama tiga bulan untuk memastika n kondisi kesehatan si bayi”. Disela penjelasan sang istri, Yahya datang dan menyimak sejenak kemudian turut memberikan jawaban. “Pemerintah Belanda memang begitu. Bahkan setelah usia anak mencapai 2,5 tahun, orang pemerintahan datang ke rumah dan mengingatkan bahwa anak kita sudah bisa masuk sekolah”. Kemudian istrinya juga menjawab. “Iya kalau disini sebutannya TK. Disana TK dan SD itu disatukan jadi 8 Group, setelah itu SMP dan SMA 6 Group. Kemudian, lanjut ke universitas atau akademik atau kejuruan. Kalau mau ambil gelar ya di Universitas, kalau mau jadi guru ya di akademik, tapi kalau kejuruan seperti SMK disini”. Saat menjelaskan pendidikan formal yang diterapkan di Belanda, peneliti bertanya bagaimana dengan pendidikan di Indonesia, Medan khususnya. Kemudian, sang istri langsung menjawab dengan dahi dikerutkan. “Disini pendidikannya memang berbeda jauh ya dengan yang disana. Anak saya kan yang pertama sudah ditentukan pemerintah masuk ke universitas sejak tamat SD. Dia bisa 7 bahasa loh, jadi dia kecewa dengan pendidikan formal yang dia dapati di sekolah barunya disini”. Mendengarkan jawaban Weni, peneliti bertanya bagaimana pemerintah Belanda dalam menentukan warganya untuk masuk ke Universitas. Weni langsung menjelaskan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Sejak dari awal sekolah hingga tamat SD, pemerintah mengamati tiap anak-anak sekolah. Dari hasil pengamatan itulah dapat ditentukan apakah si A pantas masuk universitas, atau akademik, atau kejuruan. Tidak semua bisa masuk ke universitas, hanya sedikit saja”. Kemudian, sang suami memberikan penambahan pada penjelasan istrinya. “Makanya kita dari awal sekolah anak-anak terus memantau setiap kegiatannya. Waktu belajarnya, bermainnya, kita kontrol. Kalau pendidikan formal kita pakai cara Belanda. Disiplinnya, bertanggungjawabnya, tapi kalau pergaulan bebasnya gak kita pakai”. Peneliti bertanya kepada pasangan suami istri tersebut apakah anak-anak mereka tidak bertanya mengapa didikan orangtuanya dengan orangtua di Belanda pada umumnya berbeda, kemudian sang istri langsung menjawab. “Mereka paham karena untuk kebaikan, jadi ketika saya melarang mereka, misalnya bermain sampai larut malam, saya memberitahu alasan dan pergaulan bebas juga saya larang dengan menjelaskan ajaran Islam. Anak-anak dan abang kan islam ikut saya”. Penjelasan dari Weni, memberikan pertanyaan baru bagi peneliti tentang agama yang dianut oleh sang suami dahulunya sebelum menikah dengannya. “Iya abang mualaf, sebelum menikah masuk agama Islam dulu, makanya anak-anak juga Islam. Si Adi itu, anak pertama saya tetap shalat walaupun lagi di sekolah. Di kelas dia shalat dikelilingi teman- temannya”. Peneliti bertanya bagaimana awalnya mereka mendidik anak-anaknya untuk patuh pada ajarang agama Islam. Lagi, istrinya langsung menjawab. “Saya mengajarkan dasar-dasar agama Islam seperti berdo’a, mengaji, shalat sejak dari kecil, jadi mereka sudah terbiasa. Di Belanda kan banyak yang muslim tapi ya muslim Eropa. Orang Turki mayoritas muslim di sana”. Peneliti bertanya apakah sang suami juga turut mendidik anak-anak mereka dalam hal religi. Sang istri lagi-lagi menjawabnya. “Kalau abang ya nurut-nurut aja, abang sebagai pendukungnya. Kalau udah waktunya shalat abang mengingatkan, abang juga shalat kok”. Peneliti juga bertanya bagaimana cara mereka mendidik anak terkait dengan pakaian yang dipakai anak-anaknya, terutama untuk anak keduanya, Isra. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Menginjak usia belianya, ternyata anak perempuan dari pasangan Weni dan Yahya mengenakan pakaian yang lebih tertutup, tidak seperti anak seusianya yang tidak mempermasalahkan jika hanya memakai hot pant maupun pakaian you can see. “Isra itu paham kok, pakaian seperti itu tidak cocok untuknya jadi dia kalau keluar rumah khususnya, pakai pakaian yang lebih tertutup, seperti jeans selutut, baju berlengan minimal”. Saat ditanyai bagaimana sikap mereka sebagai orangtua jika anaknya diundang dalam acara-acara temannya seperti pesta di rumah temannya, atau di tempat umum. Weni langsung menjawabnya. “Lihat dulu acaranya dimana dan siapa yang mengundang, kalau di club malam gitu jelas saya larang. Tapi kalau di tempat makan dan temannya yang saya nilai baik ya saya ijinkan. Karena dalam batas yang wajar”. Peneliti juga menanyakan hal yang sama dengan sang suami, dan menanyainya apakah pernah tidak setuju dengan sikap istrinya. “Saya ikut saja, saya yakin itu yang terbaik, karena kalau di club malam walaupun anak kita tidak melakukan hal-hal aneh tapi faktor lingkungannya kan mendukung, takut terpengaruh saja”. Mendengarkan penjelasan Yahya, Weni turut menambahkan. “Kalau abang ikut aja itu hahaha. Walaupun begitu, kitakan sudah membekali anak-anak mana yang baik mana yang tidak, jadi mereka paham. Tapi yang namanya orangtua tetap aja khawatir”. Peneliti juga bertanya bagaimana sikap Weni dan Yahya sebagai orangtua jika melihat anaknya dalam masalah. Kali ini Yahya angkat bicara. “Kita didik mereka untuk bertanggungjawab, jadi kalau ada masalah ya hadapi dan selesaikan sendiri. Kita hanya kasih nasehat-nasehat saja, selebihnya kita serahkan pada anaknya”. Selanjutnya, Weni ikut menambahkan pernyataan dari suaminya. “Memang kita biarkan dia menyelesaikan masalahnya, tapi tetap kita kontrol. Kita tanya bagaimana masalahnya apa telah selesaikah, kita juga memberi saran- saran apa yang harus dilakukan si anak biar mempermudah”. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Mendengar penambahan dari sang istri, Yahya melanjutkan jawabannya tadi. “Iya kita kasih saran, ya kalau orangtua Belanda itu memperlakukan anaknya seperti teman, jadi kalau anak ada masalah ya dibiarkan dia menyelesaikannya sendiri, memang keras tapi mereka dididik untuk lebih mandiri dan bertanggungjawab”. Lanjut, istrinya juga ikut menimpali. “Iya di Belanda gitu. Mereka menghargai privasi, jadi kalau kita punya masalah mereka tidak akan ikut campur, kecuali kita membagi masalah ke mereka, seperti curhat dan sebag ainya”. Lagi, Yahya juga menambahkan apa yang dikatakan oleh istrinya sebelumnya. ”Benar, disana orangnya menghargai privasi. Mereka tidak akan datang ke tetangga kalau tidak buat janji terlebih dahulu”. Istrinya ikut bicara. “Jadi kalau mereka lagi makan siang, kita datang ya kita disuruh tunggu atau pulang, baru buat janji karena makan siangnya dibuat pas, walaupun saudara sendiri”. Yahya, sang suami turut memberikan pernyataan terkait topik yang tengah di bahas. “Disana individualis, sangat menghargai privasi. Makanya banyak yang bunuh diri. Anak saya si Isra sudah dua kali menyaksikan langsung orang bunuh diri. Ada yang jatuh dari balkon atas rumahnya dan jatuh tepat di depan Isra”. Mendengarkan penjelasan sang suami, Weni mengangguk-anggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan suaminya, kemudian memberikan pernyataan. “Makanya kita tidak mau seperti itu, kita didik anak kita untuk tetap terbuka dengan kita agar mereka tidak memikirkannya sendirian. Bukan memanjakan mereka, tapi lebih ke sharing saja, tukar pikiran agar mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi sesuatu”. Yahya juga memberikan pernyataan sebagai orangtua. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Sebagai orangtua, kita hanya inginkan yang terbaik buat anak kita. Kita didik mereka untuk bertanggungjawab atas masalahnya, tapi kita juga turut campur tangan memberikan nasehat, saran, dan perhatian agar mereka kuat menghadapi masalah, baik di pergaulan maupun di akademik”. Pasangan 2 Nama Suami : Azhim Hoftijzer Belanda Nama Istri : Belinda Maharani Indonesia Jumlah Anak : 2 orang anak Belinda dan Azhim adalah pasangan kedua yang diwawancarai oleh peneliti. Meskipun terbilang baru, peneliti dapat mengakrabkan diri dengan pasangan Belinda dan Azhim. Sebagai pasangan berbeda kebangsaan, Belinda dan Azhim memiliki berbagai kesamaan, baik dalam hal hobi maupun makanan. Ketika dijumpai di kediamannya, Belinda menyambut ramah dan menyuguhkan hidangan bagi peneliti. Kami melakukan percakapan ringan sembari menunggu sang suami pulang kerja. Ini merupakan kali pertama peneliti bertemu dengan Belinda dan Azhim. Namun, peneliti berdecak kagum karena Belinda dan Azhim tak kalah ramahnya dengan pasangan sebelumnya. Memang peneliti dan pasangan tersebut sudah menjalin komunikasi melalui media sosial terlebih dahulu. Namun, tak begitu intens karena peneliti juga tidak ingin pasangan Belinda dan Azhim merasa terganggu dengannya. Belinda merupakan perempuan berdarah Tionghoa. Meskipun demikian, aksen bicaranya tidak seperti orang Tionghoa pada umumnya. Memang Belinda dibesarkan di kota kembang Indonesia dengan lingkungan yang mayoritas Sunda. Tak heran jika bicaranya lemah lembut. Sang suami, Azhim yang merupakan warga negara Belanda merupakan pria yang ramah dan pribadi yang santun. Setelah beberapa kali peneliti datang ke tempat tinggal pasangan tersebut, Azhim tidak sungkan-sungkan memberikan oleh-oleh yang dibawanya dari luar kota saat sedang melakukan perjalanan bisnis. Ternyata, Belinda yang mengingatkan sang suami untuk membelikan peneliti Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara oleh-oleh saat itu. Mendengarnya, peneliti sungguh terharu dan tak henti-hentinya kagum dengan pasangan tersebut. Dikaruniai anak kembar, pasangan Belinda dan Azhim mengaku sudah merasa cukup dengan jumlah anak. Mereka khawatir jika lebih banyak anak maka mereka tidak maksimal dalam mendidik anaknya. Jake adalah anak pertama, sedangkan Jane, kembarannya adalah anak kedua dari pasangan Belinda dan Azhim. Awalnya peneliti berpikir bahwa pemberian nama pada anak-anak mereka berasal dari sang suami yang berketurunan Belanda, Amerika. Tapi, setelah beberapa kali melakukan percakapan dengan pasangan tersebut, ternyata asal nama Jake dan Jane adalah dari sang istri sendiri, yang berketurunan Sunda Tionghoa. Belinda mengaku cuma suka saja dengan nama tersebut, seperti karakter Jake and Jill dalam film fantasi anak-anak. Menginjak usia ke sembilan tahun, anak-anak mereka tumbuh seperti anak Indonesia pada umumnya. Bedanya, anak-anaknya mengerti bahasa Belanda dan juga bahasa Inggris, sama seperti pasangan sebelumnya. Hanya saja, anak dari pasangan Belinda dan Azhim belum fasih dalam pengucapannya. “Memang kita ajarin anak-anak dari bayi pakai bahasa Belanda dan Inggris. Apalagi, jika ke tempat tinggal Papa nya, penggunaan bahasa Indonesianya minim”, jelas Belinda. Pasangan tersebut memang menikah di Belanda dan sempat menetap di Belanda selama 2 tahun. Namun, pada pertengahan tahun kedua, keluarga Belinda memintanya untuk kembali ke tanah air dengan alasan rindu. “Saya dari kuliah sampai menikahkan di Belanda, terus papa mama merasa kehila ngan anak semata wayangnya jadi disuruh pulang hahaha”, ujar Belinda. “Setelah satu bulan lebih di Bandung, ternyata Belinda hamil. Ya rezekinya di Indonesia makanya kita netap disini aja ”, jelas Azhim. “Awalnya saya mikir wah keren nih anak-anak saya bakalan kayak bule beneran”, ujar Belinda sambil tersenyum. Mendengarkan hal tersebut, peneliti bertanya apakah Belinda senang jika anaknya dididik gaya orang Belanda. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Saya sih senang-senang aja tapikan anak-anak besarnya di Indonesia ya jadinya pakai gay a orang Indonesia”. Kemudian peneliti menanyakan tanggapan Azhim sebagai orangtua terkait pertanyaan sebelumnya. “Saya mana baiknya aja, yang penting keluarga saya bahagia”. Ketika peneliti bertanya bagaimana sikap pasangan Belinda dan Azhim dalam memperkenalkan anak-anaknya dengan hal baru, Belinda langsung memberikan penjelasan. “Anak saya yang kedua itu banyak tanyanya. Kalau yang laki-laki kalem, kayak papanya. Jadi sama Jane harus jelas memberitahunya. Misalnya saat melihat saya mengupas bawang, dia bertanya kenapa harus dikupas, kenapa tidak dibiarkan saja, jujur saya sering kesusahan menjawabnya”. Mendengar kejujuran sang istri, Azhim memberikan penambahan. “Makanya Belinda jadi suka searching di internet tentang hal-hal sepele, karena anak-anak seperti itu harus dijelaskan dengan benar, takutnya kalau kita jawab ngasal berdampak di kedepannya”. Kemudian, Belinda juga turut menimpali. “Benar, bahkan Jane pernah tanya apa artinya sodom. Saya kaget dan saya tanya dari mana tahunya, ternyata papanya kan kalau pagi sebelum kerja nonton berita, Jane masuk kamar dan mendengar”. Mendengar jawaban Belinda, peneliti bertanya apakah anak-anaknya tidur di kamar sendiri. Belinda langsung menjawab. “Iya, dari umur 4 tahun kita udah pisah kamar. Tapi saat itu, Jake dan Jane masih sekamar. Kemudian, setelah 7 tahun mereka sudah masing- masing”. Kemudian peneliti bertanya apa alasan mereka membiarkan anak-anaknya tidur di kamar masing-masing. Kali ini Belinda lagi yang menjawab. “Saya mau mendidik anak-anak lebih mandiri aja, jadi dari kecil saya udah ajak anak-anak untuk merapikan kamarnya sendiri, walaupun sampai sekarang belum pernah bener rapinya”. Peneliti bertanya apa tanggapan Azhim terkait hal tersebut. Kemudian Azhim menjawab sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Saya dulu juga begitu. Jadi saya rasa itu tidak masalah dan saya dukung istri”. Mendengar jawaban sang suami, Belinda menambahkan penjelesannya. “Saya dulu tidak begitu, saya takut tidur sendirian karena sampe SD saya tidur dengan orangtua, makanya saya didik anak-anak begini biar tidak takut juga”. Kemudian, Belinda juga menjelaskan hal yang dilakukannya saat menidurkan anak-anaknya. “Sebelum tidur, papanya suka bacain cerita untuk mereka, tapi lebih ke cerita yang inspiratif dan memiliki pesan moral. Jadi, tidak melulu baca buku- buku dongeng, kadang papanya bacain dari hape”. Jawaban Belinda memberikan pertanyaan baru bagi peneliti sehingga peneliti bertanya tentang penggunaan barang elektronik untuk anak-anaknya. “Kita kasih mereka hape, tapi hape untuk bermain saja, tidak sampai memiliki akun media sosial. Karena kita menghubungi mereka via sms atau phone call”. Penjelasan Belinda tersebut membuat Azhim turut menambahkan penjelasan istrinya. “Kita juga tidak ingin mereka gaptek, jadi kita berikan hape yang tidak mahal, tapi berfasilitas sesuai dengan anak seusianya”. Peneliti bertanya bagaimana yang dimaksudkan Azhim dengan fasilitas handphone yang sesuai dengan anak-anaknya. “Maksudnya seperti game berhitung, mewarnai, tebak gambar dengan bahasa Inggris tapi offline”. Selanjutnya, Belinda juga menambahkan pernyataan suaminya, Azhim. “Kita tidak berikan paket internet biar anak-anak tidak browsing. Jadi semua game offline. Ada juga game tebak lagu daerah dan game lagu anak-anak Belanda, Jane suka itu”. Pasangan Belinda dan Azhim saling memberikan penjelasan. Kini Azhim juga memberikan kelanjutan dari penjelasan sang istri. “Kalau browsing takut yang aneh-aneh. Apalagi Jane yang tingkat curiousity nya tinggi”. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Kali ini giliran Belinda yang menimpali penjelasan Azhim. “Tapi kita beritahu kalau internet hanya pantas digunakan saat mereka telah SMP nanti. Walaupun gitu, kita juga sering browsing di depan mereka, menunjukkan pengetahuan-pengetahun baru, bahkan mereka yang pegang hape kita tapi dalam pengawasan kita, jadi mereka tahu dan tidak mati penasaran”. Pasangan Belinda dan Azhim mengaku pendidikan seks sejak dini juga wajib diberitahu kepada anak-anaknya agar mereka memahaminya walau tidak begitu mendalam. Berikut penuturan Belinda. “Saya pernah bawa anak-anak ke seminar di Bandung pas tahun lalu tentang pendidikan seks usia dini, disana dijelasin pengetahuan tentang seks dan dampaknya jika dilakukan di usia dini. Kemudian, bagaimana sikap orangtua dalam menanganinya”. Aspek pengetahuan seks sejak dini dirasa penting oleh Belinda, dia mengaku bahwa anak-anaknya perlu tahu dan dia serta suaminya harus tau bagaimana menyikapinya sebagai orangtua. “Sekarang kan lagi musim pedofil itu ya, saya takut saja anak saya jadi korbannya, jadi saya ingatin bagaimana harus bersikap kalau ada orang dewasa yang memperlakukan mereka sedemikian rupa”, ujar Belinda. Belinda mengaku tidak rela jika anak-anaknya menjadi korban, sehingga dia sudah memberikan anak-anaknya pengetahuan tentang hal tersebut terlebih dahulu. Peneliti bertanya bagaimana cara Belinda dalam memberi tahu anak- anaknya terkait masalah tersebut. “Saya jelaskan bahwa perilaku orang dewasa yang ingin melakukan kontak fisik lebih dari sewajarnya itu tidak baik, apalagi jika sampai ke alat vital, mereka harus menghindarinya, lapor ke guru, ke mama papa.” Belinda menyadari bahwa memberitahu anak-anaknya tentang hal tersebut tidaklah gampang, tetapi Belinda selalu berusaha mengingatkan anak-anaknya tentang hal tersebut. “Bukan terlalu over protected, tapi saya tidak mau kalau masa depan anak-anak saya terganggu dengan hal-hal demikian. Makanya saya suruh anak- anak cerita tentang apa saja ke saya tiap hari, jadi saya tahu perkembangan mereka.” Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Mendengar penjelasan istrinya, Azhim menambahkan penjelasan sang istri. “Kita hanya ingin yang terbaik, hal sekecil apapun tetap kita dengarkan dari anak-anak, apalagi masalah mereka. Meskipun masih anak-anak, kita juga menyikapi masalah anak-anak baik dengan dirinya maupun lingkungannya dengan serius.” Kemudian, sang istri, Belinda menimpali penjelasan suaminya. “Kita dengar masalahnya, kasih saran. Misalnya saat Jake tidak ingin sekolah karena temannya suka jahil, kita sarani agar dia menghadapi masalah bukan menghindar.” Selanjutnya Azhim menambahkan penjelasan istrinya. “Dia harus berani menghadapi temannya, kalau temannya salah beritahu ke guru, kalau guru tidak ada lawan tapi tanpa kekerasan maupun makian.” Setelah mendengarkan suaminya, Belinda melanjutkan penjelasan suaminya tersebut. “Jake bilang jangan jahilin Jake kalau mau lawan jake di ujian harian, ternyata nilai Jake lebih bagus, jadi Jake tidak diganggu lagi.” Belinda tidak ingin anak-anaknya merasa sendirian dalam menghadapi masalah-masalahnya. Tapi, Belinda juga tidak ingin ikut campur terlalu dalam, hanya sebatas memberikan saran. “Kalau masalahnya serius ya mau tidak mau kami harus turun tangan. Tapi sejauh ini belum ada alhamdulillah”, tegas Belinda. Mendengarkan penjelasan Belinda, peneliti bertanya apakah Azhim pernah tidak setuju dengan sikap yang diambil oleh istrinya terkait dalam mendidik anak- anaknya. Kemudian, Azhim menjawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tidak pernah ya, saya dukung istri saja karena saya tahu istri pasti melakukan yang terbaik buat anak- anak”. Selanjutnya, Belinda menambahkan penjelasan oleh sang suami. “Kalau papanya setuju-setuju aja, lihat tuh ngangguk-ngangguk aja. Saya bilang pa begini, iya, pa begitu, iya hahaha senangnya punya suami baik begini.” Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Kemudian, peneliti bertanya apakah ada keinginan Azhim untuk mendidik anak-anaknya mengikuti gaya negara asalnya, Belanda. Azhim menjawabnya. “Saya rasa itu tidak perlu dipermasalahkan, yang penting caranya benar dan kasih sayang yang cukup dari kita bisa mendidik anak-anak dengan baik, itu kuncinya”. Setelah itu, peneliti bertanya apakah Azhim pernah merasa bingung saat sang istri mendidik anak-anaknya dengan gaya orang Indonesia, misalnya tidak memanggil nama kepada kedua orangtua seperti halnya yang dilakukan orang Barat pada umumnya. Lalu Azhim menjawabnya. “Awalnya saya cuma bingung dengan ritual saat Belinda hamil dan setelah kelahiran anak-anak. Tapi dengan caranya mengajarkan anak-anak berbicara, bertingkah laku ya hampir sama dengan saya lihat di Belanda, beda beda sedikit saja”. Lebih lanjut, peneliti bertanya bagaimana perbedaan antara cara mendidik anak di Belanda dengan cara mendidik anak di Indonesia, kemudian Azhim menjawabanya. “Bedanya kalau di Belanda individualisme nya tinggi, saya dari kecil dibebaskan dalam bergaul dan bertingkah laku, tapi bebas dengan bertanggungjawab, jadi kalau ada masalah ya selesaikan sendiri”. Mendengar jawaban Azhim, peneliti kembali bertanya apakah Azhim juga menerapkan caranya dahulu dididik kepada kedua anaknya. Kemudian, Azhim menjawab. “Memang saya tidak memanjakan mereka, tapi saya juga tidak serta merta melepaskan mereka bebas, tetap kita kontrol, seperti yang saya bilang, saya setuju aja dengan istri, belum saatnya si kembar dibebaskan pakai internet ya saya setuju aj a”. Tak hanya itu, pasangan Belinda dan Azhim juga membekali anak- anaknya dengan disiplin. Hal ini terbukti dari paparan sang istri, Belinda. “Kita didik anak disiplin. Paling lama setengah 6 sudah bangun, saya datangi kamarnya dan membantunya merapikan kamar. Terus kita lakukan streching sebentar sama anak- anak, papanya juga ikut”. Kemudian, Belinda turut menimpali penjelasan sang suami. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Kalau weekend kita tidak paksakan si kembar bangun subuh, tapi Jane sudah terbiasa bangun subuh jadi tetap bangun terus nyalain televisi nonton kartun”. Ketika ditanyai cara mereka dalam mendidik anak-anaknya belajar di akademik, Belinda menjawabnya. “Kita udah lama memperkenalkan berhitung, alfabet. Kalau siang saya kasih mereka alat tulis dengan buku untuk meniru tulisan, tapi kalau Jane suka menggambar jadi harus ada crayon”. Pasangan 3 Nama Suami : Albert Schoonhoven Belanda Nama Istri : Atika Arisma Siahaan Indonesia Jumlah Anak : 3 orang anak Atika dan Albert adalah pasangan ketiga yang menjadi informan peneliti. Awalnya, peneliti mengaku kesulitan untuk menjalin komunikasi dengan Atika dan Albert karena mereka berdua adalah pekerja keras. Terlebih, jadwal sang suami Albert, yang sering berpergian baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sehingga peneliti mengalami kesulitan dalam mengatur jadwal wawancara. Awalnya peneliti ingin mengganti informan karena alasan tidak menemukan waktu yang tepat untuk mewawancarai pasangan Atika dan Albert. Ditambah dengan fakta bahwa informan dari penelitian ini bukanlah sang istri saja ataupun sang suami saja, melainkan keduanya, sehingga peneliti mencari pasangan berbeda kebangsaan yang lainnya. Tetapi, ketika peneliti bertanya kepada informan kunci yaitu, pasangan Wina Devianty Rambe Indonesia dan Yahya Suryono Setyowati Belanda, Yahya mengaku akrab dengan Albert, dan bisa membantu peneliti untuk mengatur waktu wawancara dengan pasangan Atika dan Albert. Ternyata peneliti dapat bertemu dengan pasangan Atika dan Albert atas bantuan Yahya di kediaman Atika dan Albert pada hari Sabtu 19 Maret 2016, peneliti mendapat sambutan hangat. Ketika ditemui, Atika dan Albert memperkenalkan ketiga anaknya yang sedang berkumpul. Alvino, anak pertama Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara pasangan Atika dan Albert yang berusia 19 tahun. Kemudian adiknya, Tsania yang menginjak usia 14 tahun, serta anak terakhirnya, Geavina yang berusia 13 tahun. Dikaruniai ketiga anak, Atika dan Albert mengaku kesulitan, terlebih dalam mendidik anak-anaknya. Alvino dahulu memiliki pribadi yang cenderung introvert, sehingga sulit dalam mengetahui perkembangan anak sulung mereka. “Kita sempat mikir cuma dikaruniai satu anak, jadi kita melakukan berbagai cara biar Al bisa tumbuh seperti teman-temannya, tidak melulu di kamar saja”, keluh Atika. Kemudian, Albert menambahkan pernyataan istrinya. “Al memang pendiam dulu, sampai kita pakai jasa psikolog agar mengatasi pendiamnya itu”. Selanjutnya, Atika turut menimpali. “Waktu PAUD maupun TK Al juga pendiam, kalau lagi bermain dia duduk di pojokan sendirian mainnya, saya khawatir. Kita sering bawa Al rekreasi, mengajaknya berbicara ringan dengan candaan terus saya suka cerita yang sepele biar dia juga ikut cerita kesehariannya walau sekecil apapun”. Albert, sang suami menambahkan penjelasan istrinya. “Kita tidak melulu menanyainya, karena kita tidak ingin dia merasa tertekan dengan pertanyaan kita, tapi kita justru cerita biar dia ikut cerita”. Lebih lanjut, Atika ikut memberikan penambahan terhadap penjelasan sang suami, Albert. “Kita juga mendekatkan dirinya dengan teman-temannya, biar teman- temannya juga mengajaknya bermain kalau Al lagi asik dengan kesendiriannya”. Mendengarkan penjelasan pasangan Atika dan Albert, peneliti bertanya bagaimana mengatasi masalah Alvino, anak pertamanya. Kemudian, Atika menjawabnya. “Pada usianya 4 tahun, saya mengandung Tsania, sejak itu dia sering bertanya dengan kami tentang kandungan saya, calon adiknya seperti apa dll, jadi lebih banyak cakap”. Selanjutnya, Albert memberikan pernyataan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara “Sejak Tsania ada, Al jadi lebih terbuka dan sudah terbiasa membaur dengan teman-temannya, suka cerita apalagi ketika Tsania baru empat bulan, mamanya hamil Gea, yaudah makin rame”. Ketika ditanyai tentang cara mendidik anak, Atika dan Albert mengaku terbiasa menggunakan cara orang Indonesia mendidik anak karena mereka menikah dan berkeluarga di Indonesia. “Kita kenal saat Albert bertugas di Indonesia, kebetulan kantornya dekat dengan saya di Jakarta dulu. Jadi sejak itu kita dekat dan memutuskan menikah, awalnya saya bimbang karena saya tidak terbiasa hidup di negeri orang, jadi Albert yang mengalah”, ujar Atika. Setelah itu, Albert ikut memberikan pernyataan. “Saya tidak mempermasalahkannya, bahkan ketika saya tahu papa dan mama Atika meminta balik ke Medan, saya setuju saja”. Peneliti bertanya bagaimana cara orang Belanda mendidik anaknya. Kemudian, Albert menjawabnya dengan santai. “Sama saja ya, tapi di Belanda anaknya bebas, individual. Privasi sangat dihargai disana, saking tidak ingin ikut campur dengan privasi orang lain, ada yang tidak tahu bahwa te tangganya telah seminggu meninggal di kamarnya”. Kemudian, peneliti bertanya bagaimana hal yang diceritakan Albert terjadi. Albert menjawabnya. “Karena individualismenya tinggi, saat tetangganya berantam, mereka tidak ingin ikut campur. Jadi saat itu, tetangganya teman saya tidak keluar kamar selama seminggu sampai tercium bau busuk baru panggil polisi”. Selanjutnya, peneliti bertanya apakah Albert juga menghargai privasi anak-anaknya seperti halnya di Belanda. Albert menjawabnya. “Kita menghargai, tapi kita tetap kontrol anak. Seperti Al yang pendiam, awalnya saya tidak permasalahkan sampai sang istri sering membahas sikap Al, dan saya setuju saja ketika Atika membawa Al ke psikolog anak ”. Mendengar penjelasan sang suami, Atika memberikan penjelasan. “Sayakan ingin yang terbaik buat anak. Kalau papanya setuju-setuju saja. Apalagi saat saya larang anak-anak pulang diatas jam 10 malam, awalnya papanya tidak mempermasalahkan, tapi setelah saya tegaskan papanya setuju”. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Kemudian, Albert memberikan penjelasan atas perkataan sang istri sebelumnya. “Mana tahu anak-anak di rumah temannya lagi belajar kelompok kan tidak masalah, tapi kalau mama sudah menegaskan saya sih setuju saja”. Setelah itu, peneliti melihat Albert tersenyum-senyum sambil melirik istrinya Atika yang juga ikut tersenyum. Atika memberikan pernyataan. “Pokoknya kita ingin yang terbaik. Mereka bebas bergaul, bermain namun pada waktunya dan orang yang mana saya harus tahu. Kita bebaskan tapi kita awasi. Kalau mereka ada masalah ya sharing, kita kasih saran, mereka yang selesaikan. Kita tidak ingin memanjakannya juga, harus bertanggungjawab”.

4.2 Pembahasan