Pembahasan Apakah anda selalu jujur membicarakan permasalahan tentang anak dengan pasangan anda?

Universitas Sumatera Utara Kemudian, Albert memberikan penjelasan atas perkataan sang istri sebelumnya. “Mana tahu anak-anak di rumah temannya lagi belajar kelompok kan tidak masalah, tapi kalau mama sudah menegaskan saya sih setuju saja”. Setelah itu, peneliti melihat Albert tersenyum-senyum sambil melirik istrinya Atika yang juga ikut tersenyum. Atika memberikan pernyataan. “Pokoknya kita ingin yang terbaik. Mereka bebas bergaul, bermain namun pada waktunya dan orang yang mana saya harus tahu. Kita bebaskan tapi kita awasi. Kalau mereka ada masalah ya sharing, kita kasih saran, mereka yang selesaikan. Kita tidak ingin memanjakannya juga, harus bertanggungjawab”.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti selama masa penelitian, maka peneliti membuat pembahasan sebagai berikut : Pasangan 1 Wina Devianty Rambe dan Yahya Suryono Setyowati Wina dan Yahya merupakan pasangan berbeda kebangsaan. Wina merupakan perempuan berkebangsaan Indonesia, sedangkan Yahya, sang suami adalah pria berkebangsaan Belanda. Saat diperkenalkan pertama kali dengan pasangan Wina dan Yahya, peneliti merasa disambut dengan hangat. Terlebih anak-anak dari pasangan Wina dan Yahya, yaitu Adira dan Naya merupakan anak yang periang dan mudah akrab dengan orang baru. Peneliti tidak merasa kesulitan dalam mewawancarai keduanya karena sang suami, berjualan bandrek di simpang jalan raya dekat rumahnya, sehingga peneliti dan Wina, sang istri mendatangi Yahya dan mewawancarai mereka di tempatnya berjualan. Pasangan Wina dan Yahya hanya dapat dijumpai ketika malam hari, karena padatnya rutinitas mereka di siang hari. Sebab, selain mengurusi rumah tangga, keseharian ibu empat anak ini adalah meracik bandrek yang akan dijual suaminya. Sebagai seorang ibu, Wina termasuk cekatan dalam menanggapi keaktifan anak keempatnya yang saat ini menginjak usia 5 tahun. Naya, anak terakhir pasangan Wina dan Yahya kerap membuat ibunya kewalahan karena tingkahnya. Naya yang cenderung hiper aktif merupakan anak yang bijak. Setiap Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara melihat hal yang orang yang baru dikenal, Naya selalu melontarkan pertanyaan- pertanyaan kepada orang tersebut, tak khayal jika peneliti mudah akrab dengan Naya. Tanggung jawab suami dan istri Wina adalah seorang ibu rumah tangga, sehingga segala pekerjaan rumah diemban olehnya, sedangkan Yahya sebagai seorang suami mendukung finansial keluarga dengan berjualan bandrek. Namun, tak jarang Yahya juga turut serta dalam melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci piring dan membantu Wina dalam mengantar jemput Adira dan Naya sekolah dikala Wina sedang meracik bandrek atau sibuk dalam melakukan pekerjaan rumah lainnya. Masalah Ekonomi Keluarga Ekonomi keluarga yang hanya ditopang oleh usaha bandrek milik Yahya memberikan kehidupan sederhana bagi mereka. Padahal, di negeri asalnya, Yahya adalah seorang insinyur mesin yang berpenghasilan cukup besar. Namun, karena alasan keluarga, Yahya rela melepaskan pekerjaannya dan pindah ke Indonesia. Begitu juga Wina. Sebelum menikah, Wina adalah seorang pegawai negeri yang akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Namun, setelah mengenal Yahya dan hidup dalam ikatan pernikahan, Wina melepas profesinya dan berkeluarga di Belanda. Walaupun demikian, mereka tetap hidup berkecukupan. Anak-anak mereka tidak pernah mengeluh meskipun tinggal di rumah kontrakan yang berbeda saat mereka tinggal di Belanda. Penghasilan yang didapat dari hasil jualan bandrek diserahkan sepenuhnya kepada sang istri, Wina. Kemudian, Wina membelanjakan keperluan rumah tangga dan keperluan anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Tak hanya itu, Wina juga menyisihkan uangnya untuk membelanjakan bahan-bahan pembuatan bandrek bersama dengan Yahya. Mereka mengaku transparan dalam masalah keuangan sehingga Yahya dan Wina saling mengetahui bagaimana keuangan di dalam keluarga mereka. Masalah Membesarkan dan Mendidik Anak Seiring berjalannya waktu, keluarga Wina dan Yahya semakin akrab dengan peneliti. Hal ini mendukung peneliti untuk menggali data yang lebih mendalam. Menurut pengakuan Wina Belanda merupakan salah satu negara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara liberal, berbeda dengan Indonesia yang masih memegang norma-norma masyarakat. Pergaulan bebas, seks bebas menjadi hal yang lumrah di Negara kincir angin tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pasangan Wina dan Yahya tidak mengadopsi budaya Belanda tersebut. Wina dan Yahya mendidik anaknya agar tidak terpengaruh dengan pergaulan bebas disana. Salah satunya dengan membekali anak-anaknya tentang ajaran Agama Islam. Wina mengaku bahwa dengan menjelaskan dampak negatif dari pergaulan bebas dan seks bebas, anak-ananya menjadi paham mengapa orangtuanya melarang mereka mengikuti pergaulan bebas maupun seks bebas. Yahya yang merupakan seorang mualaf tentu saja mendukung tindakan sang istri demi kebaikan anak-anaknya, terutama Adi dan Isra. Menurut pengakuan Wina, Yahya, sang suami setuju saja atas tindakannya yang mendidik anak-anaknya dengan mengikuti cara orang Indonesia, bukannya orang Belanda. Wina menegaskan bahwa suaminya tidak mempermasalahkan hal tersebut, hal ini diperkuat dengan pernyataan Yahya sebelumnya, yaitu Yahya setuju saja demi kebaikan anak-anaknya. Dia mempercayai bahwa apa yang dilakukan sang istri demi kebaikan anak-anaknya. Tak hanya itu, Yahya juga mengaku bahwa di negara asalnya, orang-orang memiliki sifat individualis sehingga antara orangtua dan anak juga tidak seintim di Indonesia. Anak-anak dididik untuk mandiri dan bertanggungjawab dengan dirinya sendiri, jadi kalau ada masalah diselesaikan sendiri. Wina juga berpendapat demikian. Di Belanda sangat menghargai privasi, jadi jika kita mempunyai masalah, mereka tidak akan ikut campur, kecuali kita membagi masalah kepada mereka, seperti curhat dan sebagainya. Mereka tidak akan datang ke tetangga kalau tidak buat janji terlebih dahulu, jadi jika mereka sedang makan siang disaat kita datang, kita disuruh menunggu atau pulang, kemudian buat janji bertemu karena makan siang mereka dibuat pas, walaupun yang datang saudara sendiri. Mereka juga memberikan contoh akibat dari individualisme yang berlaku di Belanda, yaitu kesaksian anak kedua mereka, Isra yang telah melihat dengan mata kepalanya sendiri orang yang jatuh bunuh diri lompat dari balkon atas rumahnya. Hal ini telah dua kali disaksikan Isra. Oleh karena itu, Wina dan Yahya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sebagai orangtua tidak ingin anak-anaknya merasa sendirian. Mereka mendidik anak-anaknya untuk tetap terbuka, terlebih jika mempunyai masalah. Mereka melakukan hal tersebut agar anak-anaknya tidak memikirkannya sendirian. Wina dan Yahya menerima cerita anaknya agar dapat tukar pikiran. Mereka tetap membiarkan anak-anaknya menyelesaikan masalahnya sendiri, namun tetap dalam pengawasan mereka melalui pertanyaan bagaimana masalahnya, apa telah selesaikah, mereka juga memberi saran-saran apa yang harus dilakukan si anak biar mempermudah anaknya dalam mengatasi masalahnya. Sebagai orangtua, mereka hanya menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya. Mereka mendidik anak-anaknya untuk bertanggungjawab atas masalahnya, tetapi mereka juga turut campur tangan memberikan nasihat, saran, dan perhatian agar anak-anaknya kuat menghadapi masalah, baik di perga ulan maupun di akademik”. Melalui observasi dan wawancara, pola komunikasi pasangan Wina dan Yahya adalah pola pemisah tidak seimbang. Hal ini dibuktikan dengan jawaban Wina saat ditanyai cara apa yang digunakannya dalam mendidik anak-anaknya, Wina menjawab bahwa dia menggunakan cara orang Indonesia mendidik anak, karena dia sebagai ibunya adalah orang Indonesia. Terlebih dengan pernyataannya Bahwa sang suami setuju-setuju saja dengan pilihannya tersebut karena suaminya adalah orang yang penurut. Kemudian, sang suami juga menjelaskan alasannya mengapa menyetujui dalam hal memilih cara orang Indonesia dalam mendidik anak. Terlihat bahwa Wina lebih dominan daripada Yahya dalam mendidik anak- anak mereka. Pasangan 2 Belinda Maharani dan Azhim Hoftijzer Sebagai pasangan berbeda kebangsaan, Belinda dan Azhim memiliki berbagai kesamaan, baik dalam hal hobi maupun makanan. Belinda yang berasal dari negara Indonesia sedangkan Azhim berasal dari negara Belanda. Belinda merupakan perempuan berdarah Tionghoa. Meskipun demikian, aksen bicaranya tidak seperti orang Tionghoa pada umumnya. Memang Belinda dibesarkan di kota kembang Indonesia dengan masyarakat yang mayoritas Sunda. Tak heran jika bicaranya lemah lembut. Sang suami, Azhim yang merupakan warga negara Belanda merupakan pria yang ramah dan pribadi yang santun. Setelah beberapa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kali peneliti datang ke tempat tinggal pasangan tersebut, Azhim tidak sungkan- sungkan memberikan oleh-oleh yang dibawanya dari luar kota saat sedang melakukan perjalanan bisnis. Ternyata, Belinda yang mengingatkan sang suami untuk membelikan peneliti oleh-oleh saat itu. Mendengarnya, peneliti sungguh terharu dan tak henti-hentinya kagum dengan pasangan tersebut. Pasangan Belinda dan Azhim memiliki anak kembar. Jake adalah anak pertama, sedangkan Jane, kembarannya adalah anak kedua dari pasangan Belinda dan Azhim. Menginjak usia ke sembilan tahun, anak-anak mereka tumbuh seperti anak Indonesia pada umumnya. Bedanya, anak-anaknya mengerti bahasa Belanda dan juga bahasa Inggris, sama seperti pasangan sebelumnya. Hanya saja, anak dari pasangan Belinda dan Azhim belum fasih dalam pengucapannya. Mereka memang membiasakan berbicara dengan bahasa Belanda maupun Inggris pada anak-anaknya sejak bayi. Pasangan Belinda dan Azhim memang menikah di Belanda dan sempat menetap di Belanda selama 2 tahun. Namun, pada pertengahan tahun kedua, keluarga Belinda memintanya untuk kembali ke tanah air dengan alasan rindu. Sejak kuliah, Belinda yang merupakan anak tunggal dari keluarganya, tinggal di negara kincir angin tersebut. Tak khayal kedua orangtuanya merindukannya dan memintanya untuk pulang ke tanah kelahirannya, Bandung. Namun, karena alasan pekerjaan, kini pasangan Belinda dan Azhim menetap di Medan. Tanggung jawab suami dan istri Azhim yang bekerja di perusahaan properti harus pindah karena sedang menangani proyek di Medan. Rutinitas Azhim yang cukup padat membuatnya lebih sedikit berinteraksi dengan keluarga. Oleh karena itu, Belinda yang lebih berperan penting dalam pertumbuhan anaknya. Tugasnya yang mengurusi rumah tangga dan mendidik anak-anaknya membuatnya lebih memahami anaknya, terlebih jika ada masalah. sedangkan Azhim yang merupakan kepala rumah tangga menanggungjawabi finansial keluarga. Masalah Ekonomi Keluarga Hidup serba berkecukupan membuat mereka lebih detail dalam memperhatikan kebutuhan anak-anaknya. Ekonomi rumah tangga di atur oleh Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara sang ibu rumah tangga, Belinda. Azhim mengaku mempercayai istrinya dalam mengatur segala kebutuhan rumah tangga, sehingga dia menyerahkan uang belanja bulanan kepada sang istri. Tanggung jawab sang istri dalam mengatur segala keperluan rumah tangga dan kedua anaknya. Namun, Azhim juga tidak mempermasalahkan jika ternyata uang belanja bulanan yang dia berikan kurang, sehingga dia memberikannya lagi. Tak hanya itu, Azhim juga tidak mempermasalahkan kegiatan sang istri yang membuka usaha butik. Meskipun terbilang baru, butik milik Belinda tidak terlalu menyita waktu dan perhatiannya, sebab dia mengaku tidak mengganggu statusnya sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan dari butik masih dialokasikan pada pengembangan butiknya, sehingga beban finansial keluarga hanya ditanggung oleh Azhim. Walaupun demikian, Azhim mendukung sang istri selama tidak membebaninya dalam membagi waktu dan perhatiannya kepada rumah tangga. Sebab, toko butik milik Belinda hanya buka pada senin hingga jumat dari pukul 09.00 – 17.00 WIB. Belinda tidak sendirian dalam menangani butiknya, dia juga dibantu kakaknya yang juga memiliki basic dalam dunia fashion. Masalah Membesarkan dan Mendidik Anak Awalnya, Belinda sempat memikirkan bahwa dia dan suaminya akan memiliki anak dan membina rumah tangga di Belanda, namun karena anak- anaknya lahir di Indonesia maka Belinda mendidik anak-anaknya seperti layaknya orang Indonesia, bukan Belanda. Mengenai hal tersebut, Azhim tidak mempermasalahkan. Azhim mengaku setuju saja, yang penting yang penting keluarganya bahagia. Jane, anak kedua dari pasangan Belinda dan Azhim merupakan anak yang cenderung hiperaktif. Berbeda dengan Jake yang lebih pendiam seperti ayahnya, Jane adalah anak yang suka bertanya. Bahkan, Jane pernah bertanya apa artinya sodom pada ibunya. Setelah ditanyai, ternyata Jane masuk ke kamar orangtuanya dan mendengar berita yang sedang ditonton oleh ayahnya. Melalui penjelasan di atas diketahui bahwa Jane dan Jake telah tidur di kamar yang berbeda dengan orangtuanya. Belinda menjelaskan bahwa anak- anaknya sudah pisah kamar dengan mereka sejak umur 4 tahun. Tapi saat itu, Jake dan Jane masih sekamar. Kemudian, setelah 7 tahun mereka sudah tidur di kamar Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara masing-masing. Belinda mengaku ingin mendidik anak-anak lebih mandiri. Belinda dulu tidak begitu, dia takut tidur sendirian karena sampai menginjak SD Belinda tidur dengan orangtua, makanya Belinda mendidik anak-anak biar tidak merasakan hal yang sama dengan dirinya. Azhim, sebagai seorang ayah tidak mempermasalahkan tindakan yang dilakukan istrinya tersebut. Sebab Azhim juga tidur terpisah dengan orangtuanya sejak kecil, jadi dia tidak mempermasalahkan aturan yang diberlakukan istrinya kepada anak kembarnya. Terkait dengan telepon genggam atau handphone, Belinda dan Azhim memberikan anak-anaknya handphone dengan alasan agar si kembar tidak gagap teknologi, tetapi ternyata handphone untuk bermain saja, seperti seperti permainan berhitung, mewarnai, tebak gambar dengan bahasa Inggris tapi offline, sehingga anak-anaknya tidak sampai memiliki akun media sosial. Karena mereka sebagai orangtua hanya menghubungi si kembar melalui sms atau phone call. Mereka tidak memberikan paket internet agar anak-anaknya tidak browsing dengan alasan anak-anaknya akan browsing yang aneh-aneh. Terlebih Jane yang memiliki rasa penasaran yang lebih dari Jake. Meskipun demikian, mereka memberitahu jika internet hanya pantas digunakan saat anak-anaknya telah SMP nanti. Walaupun begitu, Belinda dan Azhim juga sering browsing di depan si kembar guna menunjukkan pengetahuan-pengetahun baru, bahkan si kembar dibiarkan memegang handphone namun dalam pengawasan, jadi si kembar tahu dan tidak mati penasaran, terutama Jane. Awalnya Belinda yang menyarankan agar anak-anaknya dibelikan handphone. Gagasan ini terinspirasi dari temannya saat mengunjungi kediaman mereka. Tanpa pikir panjang, Belinda menyarankan Azhim agar memberikan handphone kepada anak kembar mereka. Belinda menjelaskan apa saja manfaat handphone dalam memberikan pengetahuan dan mengasah otak kedua anaknya dengan permainan mendidik, sehingga Azhim menyetujui gagasan sang istri. Pasangan Belinda dan Azhim mengaku pendidikan seks sejak dini juga wajib diberitahu kepada anak-anaknya agar mereka memahaminya walau tidak begitu mendalam. Belinda mengaku pernah membawa anak-anak ke seminar tentang pendidikan seks usia dini di Bandung tahun lalu. Disana mereka Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara dijelaskan pengetahuan tentang seks dan dampaknya jika dilakukan di usia dini. Kemudian, bagaimana sikap orangtua dalam menanganinya. Aspek pengetahuan seks sejak dini dirasa penting oleh Belinda, dia mengaku bahwa anak-anaknya perlu tahu dan dia serta suaminya harus mengerti bagaimana menyikapinya sebagai orangtua. Sebab, pedofil sedang marak terjadi di Indonesia, sehingga karena merasa khawatir anak-anaknya akan menjadi korban, Belinda mengingatkan anak-anaknya bagaimana harus bersikap jika ada orang dewasa yang memperlakukan anak-anaknya sedemikian rupa. Belinda mengaku tidak rela jika anak-anaknya menjadi korban, sehingga dia sudah memberikan anak-anaknya pengetahuan tentang hal tersebut terlebih dahulu. Belinda menyadari bahwa memberitahu anak-anaknya tentang hal tersebut tidaklah gampang, tetapi Belinda selalu berusaha mengingatkan anak-anaknya tentang hal tersebut. Dia merasa hal tersebut bukan terlalu over protected, tapi dia tidak ingin jika masa depan anak-anaknya terganggu dengan hal-hal demikian. Maka dari itu, dia mengingatkan anak-anaknya terbuka dan cerita padanya tentang apa saja setiap hari, sehingga dia sebagai ibu mengetahui perkembangan anak- anaknya. Azhim juga menambahkan bahwa mereka sebagai orangtua hanya menginginkan yang terbaik, hal sekecil apapun tetap mereka dengarkan dari anak- anak, apalagi jika si kembar memiliki masalah. Meskipun masih anak-anak, mereka juga menyikapi masalah anak-anaknya dengan serius, baik dengan dirinya maupun lingkungannya. Misalnya saat Jake tidak ingin sekolah karena temannya jahil, mereka memberikan saran agar Jake menghadapi masalah bukan menghindar. Jake harus berani menghadapi temannya, jika temannya salah beritahu pada guru, jika guru tidak ada, maka lawan namun tanpa kekerasan maupun makian. Akhirnya, Jake memberitahu temannya untuk melawannya di ujian harian, ternyata nilai Jake lebih bagus, sehingga Jake tidak diganggu lagi. Berdasarkan observasi dan wawancara, pola komunikasi pada pasangan Belinda dan Azhim adalah pola pemisah tidak seimbang, dimana Belinda lebih dominan daripada Azhim dalam mendidik anak mereka. Hal ini dibuktikan dengan tindakan Belinda yang mendidik anak-anaknya agar tidur di kamar yang terpisah sejak kecil. Kemudian, terlebih dengan pernyataan Belinda yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara mengatakan bahwa sang suami setuju-setuju saja atas tindakannya. Meskipun Belinda cenderung dominan dalam keluarga, terlebih dalam mendidik anak kembar mereka, Jake dan Jane, Azhim mengaku tidak pernah merasa tidak cocok dengan tindakan istrinya. Azhim yakin bahwa istrinya melakukan hal yang terbaik untuk si kembar, sehingga Azhim menurut dan mendukung istrinya. Pasangan 3 Atika Arisma Siahaan dan Albert Schoonhoven Pasangan Atika dan Albert adalah pasangan ketiga yang diwawancarai oleh peneliti. Atika dan Albert juga merupakan informan terakhir dalam penelitian ini. Saat perkenalan dengan pasangan Atika dan Albert, peneliti merasa kesulitan dalam membangun komunikasi yang baik. Sebab, Atika dan Albert adalah pekerja keras, sehingga mereka memiliki jadwal yang padat. Terlebih sang suami, Albert sering berpergian baik dalam negeri maupun luar negeri. Maka dari itu, peneliti sempat berpikiran untuk mengganti pasangan berbeda kebangsaan yang lainnya. Atika adalah perempuan berdarah batak yang dibesarkan di Medan. Namun, karena ingin mencari penghasilan yang lebih baik, sejak usai pendidikan akademiknya, Atika merantau ke ibukota. Saat itulah Atika dan Albert bertemu. Pada waktu itu, Albert memiliki urusan pekerjaan di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin dalam dan berakhir di pelaminan. Atika mengaku sulit menentukan pilihan karena alasan tidak terbiasa hidup di negeri orang. Albert yang berketurunan Belanda awalnya memiliki niat untuk membina bahtera rumah tangga di negara asalnya. Namun, melihat sang istri yang tidak siap, Albert mengalah dan menetap di Indonesia, tepatnya Medan, tanah kelahiran sang istri. Tanggung jawab suami dan istri Albert yang bekerja sebagai pebisnis memiliki rutinitas yang cukup padat. Tak hanya Albert, sang istri, rutinitas Atika sebagai seorang broker juga tak kalah padatnya. Oleh karena itu, mereka mempercayakan anak-anaknya kepada pengasuh. Meskipun demikian, Atika tidak serta merta melepaskan statusnya sebagai ibu tangga. Dia juga membagi waktunya dalam mengurusi keperluan rumah tangga dan mendidik ketiga anaknya. Tanggung jawabnya sebagai seorang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara ibu dan seorang istri mengharuskannya membagi kesibukannya di kantor maupun di rumah. Meskipun demikian, Albert tetaplah sebagai kepala rumah tangga yang menopang finansial keluarganya. Masalah Ekonomi Keluarga Dengan profesi yang dimiliki istrinya, Albert tidak membatasi karir istrinya karena dia mempercayai istrinya mampu membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Meskipun Atika berpenghasilan, finansial rumah tangga tetap diemban kepada sang suami, Albert. Albert tidak pernah mempermasalahkan keuangan dan melibatkan penghasilan istrinya dalam membiayai rumah tangga mereka. Serta, barang-barang yang dibeli Atika melalui hasil keringatnya sendiri juga tidak dipermasalahkan olehnya, meskipun barang-barang tersebut untuk anak-anak mereka. Albert mengaku bahwa dia mendukung karir istrinya selama sang istri mampu membagi waktu. Masalah Membesarkan dan Mendidik Anak Keluarga kecil Atika dan Albert semakin lengkap sejak kehadiran Alvino. Meskipun Al merupakan sosok yang pendiam, Atika dan Albert tidak henti- hentinya memberikan perhatian kepada Al agar anak yang sempat dianggap mereka semata wayang ini dapat lebih terbuka dan membaur bersama teman- temannya. Tak hanya itu, jika Atika dan Albert menghadiri acara keluarga, Al juga tidak ingin bermain bersama anak-anak seusianya, sehingga Al hanya menempel dengan ibunya, Atika. Hal ini semakin membuat Atika dan Albert khawatir, ketika Al masuk ke PAUD dan menyaksikan anaknya bermain sendiri di pojok ruangan. Atika bertanya kepada gurunya dan mendengarkan penjelasan guru Al yang sudah terbiasa dengan kebiasaan anak laki-lakinya itu. Akhirnya Atika memutuskan untuk mengajak anaknya ke psikolog anak. Awalnya, Albert pikir hal tersebut telah berlebihan. Namun, ketika Atika menjelaskan dampak yang akan terjadi jika Al terlalu nyaman dengan dunianya sendiri dan menegaskan Al harus dibawa ke psikolog anak, jadi mau tidak mau Albert menurutinya. Sebagai sosok ayah, Albert mengaku setuju saja atas tindakan istrinya dalam mendidik anak mereka, terlebih Al. Meskipun awalnya Albert menganggap bahwa membawa Al ke psikolog anak adalah hal yang berlebihan, namun pada Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara akhirnya Albert mendukung tindakan istrinya. Bahkan, tak jarang Albert yang menemani Al ke psikolog anak jika Atika sedang ada urusan pekerjaan. Albert mendukung karir sang istri meskipun memiliki rutinitas yang padat, dia tidak ingin membatasi istrinya dalam hal pekerjaan selama sang istri mampu membagi waktu dengan baik antara pekerjaannya dan keluarganya. Keluarga Albert dan Atika sering berkumpul pada hari weekend saja. Namun, Atika sebaik mungkin memberikan perhatian pada anak-anaknya, agar mereka tidak merasa sendirian, terutama Al. Atika menjelaskan bahwa dia dan suaminya mendidik Al dengan sangat hati-hati. Jika Al sedang asik bermain, maka Atika dan Albert tidak akan memaksa Al untuk belajar berhitung maupun menulis. Atika dan Albert lebih sering mengajak Al bercerita guna memancing si anak untuk bercerita juga. Memiliki kepribadian yang cenderung introvert, Al memang tidak suka dengan keramaian. Dia lebih memilih bermain di kamarnya. Al juga bukan sosok yang suka bicara, bahkan Al tidak mudah akrab dengan orang baru. Perhatian dan kasih sayang yang terus dicurahkan orang kedua orangtuanya membuat Al sedikit terbuka. Hanya saja hal tersebut bukanlah perubahan yang berarti, sebab Al masih asik dengan dunianya sendiri dan hanya memandangi teman-temannya yang sedang bermain tanpa ingin ikut bermain bersama. Menginjak usia ke empat, akhirnya Alvino berubah ketika kehadiran adiknya, Tsania. Ketika mengandung Tsania, Atika mengaku bahagia karena pasangan Atika dan Albert sempat berpikir hanya dikaruniai satu anak saja yaitu Alvino. Kebahagiaan Atika dan Albert semakin bertambah ketika adanya perubahan drastis dari kepribadian Al. Al kini lebih terbuka dan dapat membaur dengan teman-temannya bahkan lingkungannya. Atika dan Albert mendidik anak- anaknya untuk tetap terbuka dengan kedua orangtuanya, walaupun hal sepele yang terjadi baik di lingkungan bermain, maupun akademik. Meskipun sebagai pekerja keras, Atika mampu membagi waktunya dengan ketiga anaknya. Al kini tumbuh menjadi seorang remaja periang yang memiliki banyak teman dibandingkan Tsania maupun Gea. Tak jarang teman anak-anaknya bermain bahkan menginap di rumahnya. Atika tidak melarang anaknya selama Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara anaknya memiliki alasan yang dapat dimengerti olehnya. Namun, Atika menekankan kepada ketiga anaknya bahwa mereka tidak diperbolehkan pulang di atas jam 10 malam dengan berbagai alasan. Albert mengaku tidak mempermasalahkan hal tersebut karena jika anaknya sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya, larangan untuk pulang di atas jam 10 akan membebani anaknya yang sebenarnya sedang mengerjakan tugas kelompok hingga larut malam. Tapi, sang istri yang telah tegas memberikan larangan tersebut kepada ketiga anaknya membuat Albert mengikuti aturan yang telah di buat istrinya. Meskipun sang istri lebih dominan dalam keluarganya, Albert mendukung istrinya karena dia yakin bahwa yang dilakukan Atika demi kebaikan anak-anaknya. Dalam hal mendidik anak dengan menggunakan gaya orang Belanda maupun orang Indonesia, Atika dan Albert tidak pernah mempermasalahkannya. Albert mengaku bahwa dia setuju saja atas pilihan sang istri karena dia yakin bahwa pilihan Atika adalah pilihan yang terbaik untuk ketiga anaknya. Mengingat mereka membina keluarga di Indonesia, Atika mendidik anaknya sesuai dengan norma-norma masyarakat yang berlaku di Indonesia. Atika mengajarkan anak- anaknya untuk menyebut mama papa, bukannya menyebut nama Atika dan Albert seperti yang berlaku di Belanda pada umumnya. Tak hanya itu, Atika tidak memberikan ketiga anaknya kebebasan dalam bergaul dalam arti seks bebas. Dia melarang ketiga anaknya dan menjelaskan dampak negatif dari seks bebas, namun dia tidak melarang ketiga anaknya jika memiliki teman dekat dalam tanda kutip. Atika juga membiasakan anak-anaknya untuk berbagi cerita keseharian mereka. Terlebih jika mereka memiliki masalah, Atika dengan penuh perhatian mendengarkan keluh kesah anak-anaknya dan memberikan mereka nasehat agar mereka dapat menyelesaikan masalahnya. Namun, Atika dan Albert tidak mendidik anak-anaknya manja, mereka tetap harus bertanggungjawab jika masalah tersebut terjadi akibat dari kesalahan mereka sendiri. Dari hasil wawancara dan observasi, peneliti menyimpulkan bahwa pola komunikasi antara Atika dan Albert dalam mendidik anak-anaknya adalah pola pemisah tidak seimbang. Sebab, sang istri lebih dominan dalam hal mendidik anaknya. Seperti saat membawa anaknya, Alvino ke psikolog anak saat Al Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara memiliki kepribadian yang cenderung introvert. Kemudian, saat Atika melarang ketiga anaknya untuk tidak pulang di atas jam 10 malam. Albert sebagai suami tidak mempermasalahkan tindakan sang istri dalam mendidik anak mereka. Albert mengaku setuju saja dengan istrinya karena keputusan istrinya dianggap untuk kebaikan anak-anaknya.

4.3 Penyajian Data Penelitian