Hambatan Regulasi Isi Perjanjian Perdagangan Bebas China-AFTA

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN

YANG DIHADAPI HUKUM INDONESIA

A. Hambatan Regulasi

Perbedaan ekonomi dan tekhnologi di antara Negara-negara di dunia, menyebabkan semakin meningkatnya saling ketergantungan interdependensi ekonomi di dunia. Ketergantungan ini dikarenakan bervariasinya sumber-sumber alam atau faktor-faktor dominan lainnya. Misalnya, jumlah penduduk, teknologi, atau ekonomi, antara satu Negara dengan Negara lainnya. 149 Dalam pengaturan nasional, regional dan dunia, hubungan-hubungan ekonomi transnasional acapkali dibedakan antara 5 kategori utama transaksi– transaksi internasional. 150 a. pergerakan barang-barang secara lintas batas Negara international movement of goods atau biasa disebut dengan perdagangan internasional di bidang barang; b. pergerakan jasa-jasa secara lintas batas negara, biasanya disebut sebagai perdagangan jasa invisible trade melalui transaksi- transaksi yang melintasi batas-batas Negara the cross-border supply of service, misalnya saja telekomunikasi, juga pergerakan lintas batas konsumen-konsumen jasa consumers of the service, seperti pariwisata; pergerakan lintas batas dari pihak-pihak yang 149 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 5. 150 Ibid. Universitas Sumatera Utara memberikan jasa misalnya transportasi, dan pendirian badan- badan usaha komersial guna memproduksi, mengeluarkan, menjual, atau mengirimkan suatu jasa misalnya jasa perbankan dan asuransi; c. Pergerakan orang-orang yang melintasi batas-batas Negara international movement of persons, misalnya kebebasan bergerak untuk pekerja, kebebasan bekerja bagi orang atau badan hukum di negara lain; d. Pergerakan atau aliran modal antarnegara yang mensyaratkan investor-investor asing untuk dapat mengawasi secara langsung modalnya penanaman modal asing dan bukan port-polio investment seperti jual-beli saham, jual-beli internasional dan bantuan pembangunan; dan e. Pembayaran internasional dalam transaksi-transaksi ekonomi tersebut di atas yang biasanya menyangkut tukar-menukar mata uang asing atau foreign exchange transaction. Kemampuan mengadakan hubungan luar-negeri mencakup kemampuan suatu Negara untuk membuat kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian internsional. Perjanjian dapat dilaksanakan dengan Negara atau subjek hukum internasional manapun baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral. 151 151 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Op.Cit., hal. 221. Universitas Sumatera Utara Manakala sutau Negara terikat pada perjanjian, maka prinsip hukum umum yang berlaku adalah bahwa Negara tersebut harus melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Konvensi Wina 1969 menegaskan pula bahwa suatu Negara wajib untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merusak objek dan maksud dari suatu perjanjian apabila: 152 1. Negara tersebut telah menadatangani perjanjian atau telah saling menukar instrument perjanjian yang masih harus diratifikasi, akseptansi penerimaan atau persetujuan, sampai Negara tersebut menyatakan keinginannya secara tegas bahwa ia tidak jadi menjadi anggota kepada perjanjian; atau 2. Negara tersebut telah menyatakan persetujuannya untuk terikat oleh suatu perjanjian sambil menunggu berlakunya perjanjian tersebut tidak ditunda pasal 18 konvensi. Keterikatan suatu Negara terhadap perjanjian internasional merupakan konsekuensi dari keinginan dan tindakan berdaulat Negara untuk membuat perjanjian. Mahkamah Internasional Permanen PCIJ dalam sengketa the Wimbledon 1924 menyatakan bahwa “the right of entering into international engagements is an attribute of state sovereignty.” 153 Keterikatan suatu Negara terhadap suatu perjanjian internasional mensyaratkan Negara tersebut untuk menyesuaikan peraturan hukum nasionalnya. Misalnya, pasal XXVI 4 Perjanjian WTO Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization menyatakan : “Each member shall ensure the conformity of it’s laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed Agreements.” 154 152 Boer Mauna, Op.Cit., hal. 110 153 John W. Head., Op.Cit., hal. 55. 154 Huala Adolf, Op.Cit., hal. 89. Universitas Sumatera Utara Kewajiban serupa terdapat pada PCIJ dalam sengketa the exchange of Greed and Turkish populations, yang menyatakan: “A State which has contracted valid international obligations is bound to make in it’s legislation such modifications as may be necessary to ensure the fulfillment of the obligations undertaken.” 155 Konvensi Wina 1969 menyatakan pula bahwa suatu Negara tidak dapat menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan pembenaran untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian. Hal ini termuat dalam pasal 17 konvensi Wina yang menyatakan bahwa: “a state may not invoke the provision of it’s internal law as justification for it’s failure to perform a treaty.” 156 Disamping perjanjian internasional, perjanjian-perjanjian privat pun dapat mendorong kearah perubahan hukum. Globalisasi telah mempermudah aktivitas manusia melewati batas-batas territorial negaranya. Berbagai transaksi bisnis terjadi dan tidak jarang transaksi yang lahir dari perjanjian privat tersebut adalah jenis transaksi yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem hukum suatu Negara. Namun, akibat kepentingan ekonomi, transaksi-transaksi tersebut telah dikenal luas dalam praktek bisnis masyarakatnya, maka pemerintah melakukan upaya- upaya untuk mempositifkan transaksi-transaksi bisnis tersebut dalam peraturan perundang-undangan. 157 Komitmen Indonesia untuk berperan secara aktif dalam perdagangan bebas membutuhkan harmonisasi hukum dengan memperhatikan aturan-aturan 155 John W. Head, Op.Cit., hal. 93. 156 Huala Adolf, Op.Cit., hal. 41. 157 Mahmul Siregar, Transaksi Hukum Bisnis Internasional, PPS Ilmu Hukum USU, Tanggal 22 November 2009. Universitas Sumatera Utara yang bersifat memaksa secara internasional. Berkenaan dengan hal tersebut dalam pembaharuan hukum terkait transaksi bisnis di Indonesia, perlu diperhatikan sejumlah konvensi-konvensi internasional, lex marcatoria yang berlaku diantara para pedagang, dan model law yang ada, seperti CISG, Incoterm, Unidroit, UCP 600, Uncitral, Konvensi New York, ICISD, UN Convention of the Use of Electronic Cimmunications in International Contracts 2005, dan sebagainya. Harmonisasi hukum juga sepertinya perlu dilakukan diantara Negara-negara ASEAN, seperti yang dilakukan Uni Eropa dengan Principles of European Contract Law yang sebagian besar mengadopsi Unidroit Principles of International Commercial Contract UPICcs yang bertujuan mengatasi disparitas system hukum antara Common Law dan Civil Law agar transaksi bisnis tidak terhalangi oleh kendala perbedan konsepsi. 158 Yang menjadi perhatian khusus hukum ekonomi internasional di Indonesia tampaknya adalah tingkat pertumbuhan ekonomi suatu Negara, bahwa bila suatu Negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian. Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidak pastian hukum sebagai faktor yang menghambat ketidak pastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung direct investment maupun portfolio investment. Studi Bank Dunia tahun 2005 mencatat bahwa pada tataran perusahaan firm level ditemukan sejumlah hambatan investasi yang masuk 158 Mahmul Siregar, Transaksi Hukum Bisnis Internasional, PPS Ilmu Hukum USU. Tanggal 22 November 2009. Universitas Sumatera Utara dalam kategori instabilitas makro ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi. Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya akses terhadap pembiayaan, rendahnya suplai energy listrik, rendahnya skill tenaga kerja, regulasi di bidang ketenaga kerjaan, dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan investasi pada tingkat pemerintahan daerah seperti telah disinggung dalam UU No. 25 Tahun 2007. Lebih jauh dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya reformasi fiskal, liberalisasi perdagangan, reformasi sektor keuangan, perpajakan, ketenagakerjaan dan reformasi regulasi bisnis. Namun political will Pemerintah dengan implementasi di lapangan, ternyata adanya gap antara peraturan dengan kenyataan penerapannya. 159 Regulasi ataupun deregulasi ekonomi hakikatnya adalah untuk membebaskan pasar dari berbagai kendala atau ketentuan yang dibuat pemerintah yang mengungkung kegiatan ekonomi. Tujuan diadakannya regulasi atupun deregulasi adalah adanya perubahan ataupun tidak berlakunya ketentuan pemerintah yang berlaku sebelumnya, sehingga dengan cara tersebut diharapkan mekanisme pasar dari produk tertentu danatau produk-produk yang berhubungan dengan produk yang dideregulasi menjadi lancar dan bebas dari ketentuan tersebut. Ketentuan pemerintah tersebut dapat mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Izin atau larangan bagi investasi atau sektor-sektor tertentu; 2. Penentuan tarif atau pajak yang akan mempengaruhi biaya produksi dari perusahaan- 159 Ibid. Universitas Sumatera Utara perusahaan atau produktivitas masyarakat; 3. Penetapan tarif atau larangan non- tarif terhadap barang-barang impor yang akan, atau dapat digunakan, sebagai produk ataupun produk akhir di dalam pasar barang dan jasa yang terkait dengan bidang yang dideregulasi tersebut; 4. Ketentuan atau aturan yang bersifat mencukai atau larangan bagi ekspor-ekspor barang-barang tertentu yang diproduksi di dalam negeri; 5. Ketentuan baik yang tertulis maupun berupa kiasan yang mempunyai dampak pada biaya produksi sehingga berakibat ekonomi biaya tinggi high cost economy, sehingga menurunkan daya beli masyarakat pada umumnya dan biaya produksi pada umumnya. 160

B. Iklim Investasi dan Iklim Usaha Tidak Kondusif