3. a. mempergunakan perjanjian ini berdasarkan kontrak dengan Negara yang berbatasan dalam hal fasilitas lalu lintas sektoral.
b. mempergunakan perjanjian ini berdasarkan perdagangan dengan wilayah bebas dari perjanjian oleh Negara yang berdampingan berdasarkan
wilayah tidak dalam keadaan konflik. 4. Kontrak mengcounter keinginan dari perdagangan bebas melalui perjanjian
integrasi ekonomi, yang memfasilitasi perdagangan antara wilayah anggota dan tidak meningkatkan rintangan pada perdagangan ataupun kontrak yang
dibuat. 5. a. Pada wilayah Customs Union diarahkan pada tanggung jawab dan regulasi
perdagangan lainnya dalam hal pengadaan institusi perdagangan. b. Customs Union dan Free Trade Area merupakan rencana kerja dan
penentuan jadwal berdasarkan jangka waktu yang beralasan.
172
C. Daya Saing Rendah
Kinerja ekonomi mikro Indonesia mengalami perbaikan sejak tahun 2000, ditopang oleh penurunan laju inflasi, suku bunga, dan menguatnya nilai rupiah
setidaknya 5.6 tahun 2005, kendati belum mampu memecahkan masalah pengangguran, angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan
ekonomi per tahun selama enam tahun terakhir, yakni 4.6. rekor ini jauh di atas pertumbuhan ekonomi per tahun selama enam tahun terakhir, yakni 4.6. melihat
172
Ibid.,hal. 65.
Universitas Sumatera Utara
pertumbuhan ekonomi tahun 1999 dan 1998, yang masing-masing hanya 0.79 dan-31.
173
Kebijakan industri, selama pemerintahan Pak Harto yang lebih dekat dengan istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun Repelita, menitikberatkan
pada : 1. Industri-industri yang menghasilkan devisa dengan cara memproduksi barang-barang substitusi impor; 2. Industri-industri yang memproses bahan-
bahan mentah industri dasar dalam negeri dalam jumlah besar; 3. Industri- industri padat karya; serta 4. Perusahaan-perusahaan negara untuk tujuan
strategis dan politis. Negara telah terlibat dalam industri-industri manufaktur sebagai investor, pemilik, pengatur, dan pihak yang membiayai. Kendati
demikian, interpretasi neoliberal tentang Indonesia menunjukkan bahwa kebijakan industri dinilai tidak koheren karena dibayangai rent seeking serta tidak relevan
dengan pembangunan dan keberhasilan ekspor Indonesia, yang pada periode kepemimpinan berikutnya menjadi periode rehabilitasi dan stabilisasi.
174
Menurut pandangan Hill, bahwa Indonesia menempuh kebijakan intervensi industri yang salah arah. Dikarenakan sektor perusahaan besar milik
negara secara tidak efisien menggunakan sumber daya yang seharusnya dapat digunakan dengan lebih produktif di tempat lain; komitmen yang besar terhadap
industri berteknologi tinggi walaupun tidak transparan dan tidak dapat dipertanggung jawabkan, sementara perluasan industri-industri dasar dan jasa-
jasa pendukung mengalami kekurangan sumber daya; sistem peraturan dan perizinan yang berbelit-belit dan seolah-olah dirancang untuk mencapai tujuan
173
Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Industri Indonesia, Op.Cit., hal. 408.
174
Ibid., hal. 420.
Universitas Sumatera Utara
nasional; serta program pengembangan perusahaan-perusahaan kecil dan program subkontrak yang diwajibkan selama lebih dari 20 tahun telah mengakibatkan
dampak yang kecil dalam efisiensi atau pemerataan.
175
Di Indonesia, menurut data dari BPS, terdapat 109 juta angkatan kerja. Bila penganggur baik yang menganggur terbuka maupun penganggur yang tidak
terbuka berjumlah 30, sedangkan mereka yang bekerja di sektor formal, yakni mereka yang bekerja sebagai pegawai kantoran ataupun pabrik-pabrik mencapai
30, mereka yang bekerja di bidang usaha UMKM dan koperasi adalah sebanyak 40 atau sebanyak 43.5 juta orang. Jumlah ini hampir sama dengan angka jumlah
unit usaha kecil yang dikeluarkan oleh Menteri Koperasi dan UKM menurut sektor tahun 1997-2000 dengan data yang dikeluarkan oleh BPS, yakni sebesar
39.1 juta orang.
176
Berdasarka Annual Report ASEAN mengenai integrasi dan kerjasama ekonomi mencakup hal perdagangan, investasi, jasa, pariwisata, industri, usaha
kecil dan menengah, dan Hak Intelektual.
177
1. Perdagangan
Pelaksanaan AFTA melalui Common Effective Preferential Tariff CEPT, yaitu berupa penurunan tariff beberapa komoditi tertentu secara bersamaan sampai
mencapai tingkat 0-5, dimana penurunan tariff tersebut dilakukan secara
175
Ibid., hal. 421.
176
Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: RajaGrafindo persada, 2007, hal.147.
177
Annual Report ASEAN 2002—2003. www.digilib.usu.ac.id. Diakses pada 20 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara