Perdagangan Bebas China-AFTA 1. Latar Belakang Perundingan

BAB III KESIAPAN HUKUM INDONESIA MENGHADAPI

AFTA CINA-INDONESIA

A. Perdagangan Bebas China-AFTA 1. Latar Belakang Perundingan

Konsep perdagangan bebas multilateral melalui organisasi perdagangan dunia yaitu WTO dimana Indonesia merupakan anggotanya, didasarkan pada pasal 1 dalam konsep GATTWTO ”negara-negara yang paling disukai” most favoured nations clause atau MFN di mana pengurangan tarif atau pemberian keuntungan yang serupa diberikan pada satu anggota GATTWTO harus diberikan pula untuk semua negara anggota. Di bawah perlindungan kepabeanan dan resi pengiriman barang yang diistilahkan FOB, CIF, CISG, dan badan arbitrase nasional menjadi aktor non-negara yang berperan besar dalam perdagangan bebas ini. Dalam konteks regional ASEAN diadakan kerjasama Free Trade Area antara negara ASEAN dengan China. Industrialisasi yang berorientasi ekspor di negara-negara ASEAN di dahului oleh suatu tahap substitusi impor. Di semua negara ASEAN, kecuali Singapura, industri yang bergerak di bidang impor terus berkembang dengan industri yang berorientasi ekspor. Kebijakan-kebijakan yang dimaksud terutama untuk industri substitusi-substitusi impor cenderung merugikan kegiatan-kegiatan ekonomi yang berorientasi ekspor. Untuk mendorong ekspor seperti manufaktur, negara-negara ASEAN telah mengambil langkah-langkah yang berorientasi Universitas Sumatera Utara ekspor, yang akan membenahi atau menetralkan pengaruh-pengaruh buruk dari kebijakan-kebijakan substitusi impor. Sebagai contoh, struktur tarif yang anti ekspor di Filipina diimbangi dengan efek pemurahan modal Capital Cheapering Effect dari sistem perpajakan preferensi di Malaysia yang menurunkan barang modal, diimbangi dengan efek pemurahan tenaga kerja misalnya dengan labour utilization Relief. 181 Sektor manufaktur ASEAN juga menunjukkan dampak kebijakan- kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pendalaman industri industrial deepening dengan penekanan sektoral yang berbeda antarnegara. Singapura menekankan pada produksi bahan-bahan kimia, produk baja, mesin, peralatan, meskipun negara ini telah meninggalkan perakitan kenderaan pada tahun 1979. Di negara lainnya, fokus pendalaman industri terletak pada industri-industri besi dan baja serta kimia dasar yang terutama berorientasi ke pasar dalam negeri. Pada sektor manufaktur ASEAN tumbuhnya industri-industri yang berdasarkan sumberdaya, yang mencerminkan relatif tingginya kawasan tersebut akan sumber daya. Industri-industri yang berdasar pada pertanian agro based industri yang mengolah karet, kayu, dan bahan mentah pertanian lainnya terutama untuk pasar ekspor sejak lama telah merupakan industri yang penting di kawasan tersebut, sementara Malaysia dan Muangthai juga mepunyai rencana untuk membangun industri-industri petro kimia yang berdasar pada gas alam setempat, di samping itu, pupuk kimia kawasan ASEAN segera akan menjadi pengekspor yang cukup 181 Mohamed Ariff Hall Hill, Industrialisasi di ASEAN, Jakarta: LP3ES, 1988, hal. 96. Universitas Sumatera Utara besar, peleburan aluminium Indonesia, peleburan tembaga Filipina dan peleburan seng Muangthai, dimana semuanya berkembang dengan cepat. 182 Globalisasi produksi saat inipun sudah mempengaruhi komposisi suatu produk. Saat ini, sulit menentukan dari mana suatu produk sebenarnya berasal sebab akibat globalisasi produksi, suatu produk bisa merupakan kumpulan komponen yang diproduksi oleh banyak negara. Dan banyak negara dapat pula memproduksi suatu jenis produk yang memiliki merek dan spesifikasi sama persis dengan yang diproduksi oleh Malaysia dengan merek dan spesifikasi yang sama pula. Demikian pula, komputer dari Taiwan tersusun dari berbagai komponen yang berasal dari Malaysia, Amerika, dan negara lainnya. 183 Permasalahan lain akibat globalisasi hal yang patut dipertimbangkan adalah resiko globalisasi terhadap stabilitas ekonomi suatu negara. Timbulnya transisi sistem ekonomi yang akan dialami oleh suatu negara dari perencanaan negara menuju sistem pasar tentunya akan memunculkan berbagai resiko, baik sosial maupun ekonomi. Bagaimana menjaga stabilitas ekonomi dalam konteks ekonomi global merupakan masalah konkret yang sangat penting pada saat ini. Saat ini, belum ada suatu sistem untuk membatasi risiko ketidakstabilan pada tingkat yang wajar. 184 Bisa bertambah jika digabung dengan kekhawatiran kelompok-kelompok antiglobalisasi internasional terhadap timbulnya globalisasi dunia. Kekhawatiran akan punahnya kultur dan ekonomi lokal, perlidungan konsumen dari produk-produk global, kerusakan lingkungan, eksploitasi pekerja 182 Ibid., hal. 37. 183 Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Industri Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset, 2007, hal.20. 184 Ibid., hal. 22. Universitas Sumatera Utara anak, pelanggaran hak buruh, beban hutang negara-negara miskin, imperialisme gaya baru perusahaan multinasional, dan kerusakan lingkungan. Kekhawatiran di atas merupakan keluhan-keluhan yang sah dan masih dalam batas kewajaran. 185 Untuk mengetahui seperti apakah industri Indonesia tidaklah terlepas dari keadaan bahwa industri internasional yang telah mengalami perubahan mendasar pada teknologi dan proses tenaga kerja, yakni perubahan dari pendekatan produksi massal menjadi pendekatan produksi fleksibel. Produksi massal dalam literatur ekonomi pembangunan disebut fordisme yang ditandai adanya lini produksi perakitan yang mengandung tingkat pembagian kerja demikian tinggi, sehingga mempermudah tugas para pekerja menjadi operasi rutin yang tidak banyak memerlukan keahlian maupun pelatihan. Dengan cara semacam ini, ketepatan dan kecepatan dikendalikan oleh mesin, bukan oleh seorang pekerja. Dalam hal ini Kenneth S. Ferber 186 menyatakan bahwa sebuah korporasi bisa saja membuat batasan-batasan terhadap sumber daya yang ada, hak terhadap stok, pilihan yang berlaku umum dalam jangka waktu tertentu dan bisa dalam jangka waktu terhingga. Dengan profit share yang transparan bagi masing- masing pihak, dan bisa dalam bentuk berbagi stokpersediaan antar negara.

2. Isi Perjanjian Perdagangan Bebas China-AFTA

Menurut C. S. T. Kansil, 187 Agreement adalah suatu perjanjian internasional yang lebih bersifat lebih teknis atau administratif. Agreement lazimnya dilegalisir oleh wakil-wakil departemen serta tidak perlu diratifikasi. 185 Ibid. 186 Kenneth S. Ferber, Corporation Law, New Jersey: Prentice Hall, 2001, hal. 99. 187 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Op. Cit, hal. 99. Universitas Sumatera Utara