diperoleh dari pengalaman pengembangan skema PES di Amerika Latin, yaitu bahwa:
Hingga sekarang skema PES pada pengelolaan DAS yang dikembangkan masih sangat beragam dengan tahapan kemajuan yang berbeda-beda dan
untuk berbagai tujuan mulai dari tingkatan mikro dengan fokus yang sangat spesifik hingga tingkatan nasional yang dikontrol oleh negara.
Namun banyak pula skema PES yang beroperasi tanpa kerangka peraturan yang spesifik.
Penerapan skema PES di negara-negara America Latin tergolong sudah maju di antara negara-negara berkembang lainnya, namun belum semua
penerapan skema PES tersebut terinventarisasi secara baik dan masih memerlukan kajian-kajian sosial ekonomi dan kaitannya terhadap
lingkungan. Masih adanya ketidakpastian hubungan sebab akibat yang siginifikan
antara penggunaan lahan dan jasa-jasa yang dihasilkan. Pada banyak kejadian, penyedia jasa tertarik dengan skema PES sebagai
instrumen mekanisme informal untuk penguatan hak kepemilikan property rights atas lahan.
Peran pemerintah dalam pengembangan skema PES dalam kerangka pengelolaan DAS masih sangat bervariasi.
Di beberapa kasus, institusi publik yang terlibat kebanyakan adalah institusi lokal dibandingkan dengan institusi yang berskala nasional.
Penerapan skema PES yang berkembang secara potensial dapat direplikasi ke berbagai lokasi.
2.3 Peraturan Perundangan Terkait Jasa Lingkungan
Menurut Prasetyo et al. 2009, UU No 23 Tahun 1997 yang menggantikan UU Lingkungan Hidup No 4 Tahun 1984 menjelaskan pihak yang berwenang,
hak, dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur pengelolaan lingkungan, termasuk delegasi pemerintahan lokal propinsi, kabupaten, dan kota dengan
mempertimbangkan perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan. UU No 41 Tahun 1999 diikuti baru-baru ini oleh PP No 6 Tahun 2007 tentang Kehutanan,
menyediakan pedoman umum pengelolaan sumber daya hutan dengan bagian
tertentu mengatur
pengelolaan jasa
lingkungan. Undang-undang
ini, dikombinasikan dengan UU No 34 Tahun 2000 dan PP 65 Tahun 2001 tentang
Perpajakan Daerah. Sebagai tambahan, jasa air diatur oleh UU No 7 Tahun 2004 mengenai Sumberdaya Air yang dijadikan dasar implementasi mekanisme
pembayaran jasa lingkungan air di Indonesia. Menurut Bapak Subarudi dari Badan Litbang Kehutanan, sebenarnya Indonesia telah memiliki peraturan
perundangan terkait pembayaran jasa lingkungan yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 14 yang banyak terkait
dengan pemanfaatan air, dan PP No. 6 Tahun 2007 dengan PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan Murjani 2010.
2.4 Penelitian Terdahulu 2.4.1 Jasa lingkungan di DAS Citarum
Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan jasa lingkungan DAS Citarum. Nurfitriani Nugroho 2007, telah menghitung nilai
ekonomi manfaat hidrologis hidrologis hutan lindung di hulu DAS Citarum yang memiliki nilai pasar sebagai dasar perhitungan nilai distribusi biaya dan manfaat
di antara para penerima dan penyedia manfaat. Dari hasil penelitian diperoleh besar biaya penuh full cost pengadaan air yang telah memasukkan nilai
lingkungan di Sub DAS Citarum Hulu sebesar Rp 25,33 milyartahun. Dari nilai tersebut diperoleh nilai tarif normal Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air
untuk pemanfaatan PDAM dan industri sebesar Rp 273,38m
3
dan Rp 297,18m
3
dengan nilai lingkungan sebesar Rp 15,87 milyartahun dan Rp 5,265 milyartahun. Nilai tersebut menggambarkan nilai yang perlu dialokasikan
kembali ke pengelola kawasan hutan di hulu DAS sebagai bentuk pembagian keuntungan dan biaya benefit cost sharing di antara penyedia dan penerima
manfaat hidrologis hutan lindung. Drakel 2008, menganalisis persepsi dan kemauan masyarakat perkotaan
WTP untuk jasa perbaikan lingkungan, lahan, dan air pada studi kasus DAS Citarum. Dari hasil penelitiannya, sebesar 70 responden mengeluhkan
ketersedian air saat ini buruk, 65 menyatakan keluhan terhadap air yang keruh, 35 menyatakan keluhan air yang berbau. Sehingga 70 masyarakat menyatakan
hulu berperan untuk perbaikan lingkungan dan 69,45 setuju. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi air semakin buruk sehingga perlu untuk perbaikan
lingkungan. Namun kemauan membayar WTP yang dilihat dari dugaan rataan WTP diatas harga air berlaku yang saat ini masih rendah, yaitu sebesar Rp
62.500orangbulan dengan WTP agregat total kemauan membayar dari populasi adalah sebesar Rp 36.080,618bulan di bawah total harga air yang diterima
pemerintahPDAM per-bulan saat ini. Hal tersebut dipengaruhi oleh pendapatan, umur, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan air, status rumah, dan lebih
memilih sumber air sumur dibanding PDAM.
2.4.2 Implementasi pembayaran jasa lingkungan di Indonesia studi kasus di beberapa DAS
2.4.2.1 DAS Cidanau, Banten
Budhi et al. 2008 melakukan penelitian mengenai konsep dan implementasi dari program PES di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut
menyebutkan bahwa implementasi PES di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan
pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun
terakhir. PES diagggap penting untuk diimplementasikan untuk mengatasi masalah
air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, implementasi dari program tersebut
tidaklah mudah. PT KTI sebagai perusahaan air siap mendanai implementasi tersebut sebagai uji coba PES. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS
Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka. Skema PES yang terjadi di DAS Cidanau dapat dilihat pada
Gambar 3.
PT KTI Kelompok
Tani LP3ES dan
Rekonvasi Bhumi
PDAM
PLN FKDC
Sektor Swasta
Industri
Keterangan : : Komunikasi dan Fasilitasi
: MoU dan PES : Air dan Pembayarannya
Sumber : Budhi et al. 2007
Gambar 3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten. Implementasi PES telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan
dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian
pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan dan kondisi ekonomi petani yang penting untuk keberlanjutan implementasi PES. Namun
ditemui beberapa hambatan dimana konsep PES masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru, karena adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa
konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari implementasi PES di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh
pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan. Implementasi yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek
pembelajaran dimana hak dan kewajiban tiap pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, implementasi PES dapat
di uji coba pada skala nasional.
2.4.2.2 DAS Way Besai, Lampung
Isu yang melatarbelakangi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sumberjaya, Lampung dikemukakan oleh RUPES 2010. Tulisan tersebut
menyebutkan bahwa pemerintah mempercayai bahwa deforestasi yang tidak
terkontrol dan konversi lahan menjadi kebun kopi telah menyebabkan peningkatan erosi tanah. Erosi tersebut mengancam pengoperasian bendungan
Sumberjaya dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Kepercayaan tersebut mengakibatkan pengusiran ribuan petani dari Sumberjaya
antara tahun 1991-1996. Hasil penelitian RUPES sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa kebun kopi
multistrata dapat mengontrol erosi dan meningkatkan taraf hidup petani. Selain itu, menurut Suyanto Khususiyah 2006, petani miskin di Trimulyo sangat
tergantung pada lahan negara. Berdasarkan analisa Gini Rasio, lahan negara merupakan faktor yang menyebakan peningkatan pemerataan pendapatan dan
pemerataan kepemilikan lahan. Pemberian imbalan atas lahan land right akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan di kalangan petani.
Menurut LPM Equator 2011, proses perumusan masalah, pendefinisian jasa lingkungan, aktor yang terlibat, serta indikator keberhasilan PES harus
dipenuhi dalam pengembangan PES. PES yang dikembangkan di Sumberjaya, Lampung merupakan salah satu contoh implementasi PES yang berhasil
mengembangkan indikator keberhasilan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikator mengenai jumlah sedimentasi yang ada di sungai Way Besai. Indikator
yang dikembangkan berasal dari aspek fisik, biologi, dan ekonomi. Berikut adalah skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Way Besai, Sumberjaya
Lampung Gambar 4.
Gambar 4 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung.
PLTA Pembayarana
jasa lingkungan riparian
melalui dinas
pertanian dan
kehutanan Pengelolaan
hutan berbasis masyarakat
kepemilikan lahan Masyarakat hulu
DAS Way Besai
Masyarakat peduli sungai
RUPES intermediary
Pelaksanaan kontrak dimana masyrakat hulu berhasil menurunka sedimen sungai,
kemudian mendapatkan sejumlah insentif Pemberian Pembangkit Listrik
mikrohidro
2.4.2.3 DAS Kali Brantas, Jawa Timur
Mata air utama Sungai Brantas dikenal dengan nama Sumber Brantas. Pada awalnya jumlah mata air sebanyak 13 buah, namun kondisi hutan saat ini
mengalami kerusakan akibat aktivitas masyarakat baik pengusaha, petani maupun penebangan liar sehingga mata air banyak yang menurun fungsinya PSDAL-
LP3ES 2004 diacu dalam USAID 2007. USAID 2007 menyebutkan bahwa pembayaran jasa lingkungan yang
terjadi antara Perum Jasa Tirta PJT-1 dan Yayasan Pengembangan Pedesaan YPP PJT-1 sebagai pihak pertama dengan masyarakat petani di Desa Tlekung
dan Desa Bendosari. Yayasan Pengembangan Pedesaan YPP berperan sebagai intermediary dari proses hubungan hulu-hilir DAS Brantas. Kurun waktu
kesepakatan antara YPP dengan Petani adalah selama 6 bulan. Setelah berakhirnya kesepakatan tersebut, petani akan melakukan pemeliharaan tanaman
dari bantuan tersebut meliputi penyulaman, pemupukan, pendangiran, penyiraman, dan sebagainya secara swadaya sampai tanaman mampu
menghasilkan buah atau produk lainnya. Hasil panen dari tanaman tersebut sepenuhnya menjadi hak petani. Meskipun demikian, hasil kayu dari penanaman
tersebut diperoleh dengan melakukan tebang pilih untuk menghindari degradasi lahan. YPP dengan Petani Petani berkewajiban melakukan upaya penghijauan di
lokasi yang telah disepakati dengan tanaman yang telah ditentukan: Petani ber- swadaya menyediakan ajir tanaman, pupuk kandang, tenaga kerja dan tanaman
sulam dengan petani wajib mematuhi peraturan tebang pohon yang telah ditentukan walaupun pohon tersebut berada di tanah milik petani sendiri. Skema
PES di DAS Kali Brantas tersaji pada Gambar 5.
Sumber : USAID 2007
Gambar 5 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Kali Brantas, Jawa Timur. Anonim
3
2007 menyebutkan dampak yang terjadi setelah adanya pembayaran jasa lingkungan di DAS Brantas antara lain: 1. Terbangunnya
kesadaran masyarakat untuk melakukan perlindungan DAS di lahan pribadi maupun milik Perhutani, 2. Munculnya keswadayaan masyarakat, seperti
membangun kebun bibit, penanaman lahan, dan perawatan tanaman, 3. Terbangunnya hubungan antara kelompok masyarakat dengan dinas terkait,
perguruan tinggi, pengusaha, bank, masyarakat sekitarnya untuk membangun lingkungan lestari, 4. Tercapainya kegiatan-kegiatan produktif dalam upaya
perbaikan lingkungan, 5. Terbentuknya Serikat Petani Hulu sebagai wadah organisasi masyarakat hulu DAS Brantas, 6. Terciptanya mekanisme pertemuan
secara rutin untuk media pembelajaran. Sedangkan permasalahan yang terjadi
Kualitas dan kuantitas air lebih baik untuk
rumah tangga, irigasi, hotel dan industri.
PJB, PDAM, Hotel APHI, HIPAM,
Jasa Tirta
GIRAB Batu Hijau
Lestari
Kegiatan : kepastian hak kelola
masyarakat, pelatihan,
pelayanan kesehatan,
pendidikan, kampanye, patroli,
industri rumah tangga
Pemilikpengelola lahanTahura, LMDH,
Desa, KTT, Fokal Mesra
Hubungan diatur dalam
MoU agreement
dukungan pembiayaan
program CSR
Rehabilitasi, restorasi,
praktek pertanian
ramah lingkungan
DAS Kali
Brantas, Jawa Timur
adalah tidak adanya peraturan yang mengatur secara tegas mekanisme
pembayaran jasa lingkungan yang berlaku di DAS Brantas.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan pada wilayah Sub Das Cikapundung, DAS Citarum. Wilayah Sub DAS Cikapundung sebagai penyedia jasa lingkungan yaitu Desa
Sunten Jaya, Kecamatan Lembang, Bandung dan wilayah hilir yaitu PT Aetra Air Jakarta sebagai pembeli jasa lingkungan, serta Yayasan Peduli Citarum YPC
dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial LP3ES, dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jawa Barat sebagai fasilitator.
Penelitian dilakukan pada bulan September-November 2011.
3.2 Objek dan Alat Penelitian