Latar Belakang Kajian Mekanisme Inisiatif Pembayaran Jasa Lingkungan (Studi Kasus Sub DAS Cikapundung, DAS Citarum, Jawa Barat)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dan merupakan sumber air yang penting bagi masyarakat di sekitarnya yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti keperluan rumah tangga, pertanian, peternakan, perikanan, industri, dan lain-lain. Menurut Rohmat 2010, di dalam kawasan DAS Citarum, saat ini diperkirakan 8 juta penduduk bermukim, dan lebih kurang 1000 buah industri beroperasi. Dari total populasi tersebut terdapat 3.953.207 jiwa 1.729 jiwa km 2 di daerah Citarum hulu Drakel 2008 dengan 832.438 jiwa yang tergolong miskin Kobul Yahya 2011. Dengan jumlah penduduk yang besar dan cenderung untuk terus bertambah, maka kebutuhan akan lahan pun semakin meningkat dan pembukaan lahan hutan merupakan salah satu pilihan. Menurut Haryanto et al 2007, berdasarkan hasil analisis citra satelit tahun 1983-2002 diketahui bahwa luas hutan di DAS Citarum hulu mengalami penurunan sebesar 21,89 begitu pula halnya dengan lahan pertanian mengalami penurunan sebesar 17,83, sedangkan untuk daerah terbangun mengalami peningkatan sebesar 6,36 dan lahan terbuka sebesar 5,86. Hal tersebut menyebabkan koefisien air larian di DAS Citarum hulu sudah mendekati batas kritis koefisien air larian 0,2. Dari enam sub das utama di DAS Citarum hulu, peningkatan koefisien air larian Sub DAS Cikapundung lebih cepat dibanding DAS Citarum Hulu secara keseluruhan, yaitu dari 0,18 pada tahun 1983 menjadi 0,37 tahun 2002. Dari enam Sub DAS utama, maka keadaan Sub DAS Cikapundung sudah mengalami keadaan koefisien air larian yang kritis 0,37, dan pada lima tahun mendatang keadaannya akan menjadi sangat kritis 0,52. Pada Sub DAS ini penggunaan lahan hutan mengalami penurunan presentase luas sangat drastis, yaitu sebesar 50,76 dalam kurun waktu 19 tahun. Sedangkan tipe penggunaan lahan yang menyebabkan naiknya aliran permukaan semakin meningkat dengan kenaikan presentase luas sebesar 42,18 dalam kurun waktu yang sama. Sub DAS Cikapundung sendiri merupakan salah satu bagian dari DAS Citarum yang berfungsi sebagai drainase utama di pusat kota Bandung dan sangat potensial bagi penyediaan air baku, namun kini debit bulanannya telah menurun hingga 20-30 Maria 2008. Pada Sub DAS Cikapundung diketahui terdapat tidak kurang dari 1.058 bangunan yang dihuni oleh kurang lebih dari 71.875 jiwa, dengan kebiasaan menjadikan aliran sungai sebagai saluran penampungan dan pembawa air limbah rumah tangga dan industri dengan kondisi pada tahun 2004 tidak kurang dari 2,5 juta literhari air limbah rumah tangga maupun industri masuk ke dalam badan sungai Ari 2008. Hal tersebut tentunya berdampak pada kualitas air sungai yang semakin memburuk. Menurut Rohmat 2010, pada beberapa hasil pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan kualitas air Sungai Citarum yang tidak memenuhi baku mutu air golongan C atau D. Kondisi kekritisan tersebut tentunya berdampak pada masyarakat hilir yang memanfaatkannya seperti industri pengelola air untuk menjadi air baku untuk air minum penduduk DKI Jakarta. Menurut Tampubolon et al. 2007, PT Aetra Air Jakarta mengalami kenaikan komponen biaya bahan kimia untuk memperbaiki kualitas air sebesar Rp 87,32 juta per tahun selama kurun waktu 1998-2005 10,61 atau Rp 64,00 per m 3 biaya produksi air minum. Penggunaan bahan kimia yang meningkat tersebut menunjukkan semakin rendahnya kualitas air baku air minum yang dimanfaatkan dari Tarum Kanal Barat-Citarum sehingga menimbulkan tambahan biaya marginal cost yang semakin meningkat. Untuk menjamin ketersediaan dan kualitas air sungai maka dibutuhkan pegelolaan DAS secara berkelanjutan Asdak 2004 yang tentunya membutuhkan dana yang besar. Relasi antar organisasi yang sudah ada dalam pengelolaaan DAS Citarum belum terstruktur dengan baik Rahardja 2010 dan pembiayaan pengelolaan DAS selama ini masih belum memadai dan belum maksimal Tampubolon et al. 2007. Untuk itu dibutuhkan suatu mekanisme yang dapat dijadikan sumber pendanaan baru pengelolaan DAS berupa kerjasama antara komponen yang saling mempengaruhi yaitu melibatkan masyarakat hulu dan masyarakat hilir berdasarkan konsep yang memenangkan kedua belah pihak win win solution. Mekanisme yang dapat diadopsi yaitu mekanisme pembayaran masyarakat hilir terhadap jasa masyarakat hulu yang sudah menjaga kelestarian DAS di daerah tangkapan air sebagai biaya pengganti dari biaya tambahan karena rendahnya kualitas air serta meningkatkan kesejahteran masyarakat hulu. Mekanisme tersebut saat ini dikenal sebagai mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau Payment Environmental Services PES. Menurut Tampubolon 2009, jasa lingkungan yang diterima oleh setiap penerima jasa terutama di hilir, seyogyanya dibayar oleh penerima jasa. Mekanisme inisiatif pembayaran jasa lingkungan saat ini sudah berjalan antara PT Aetra Air Jakarta di daerah hilir dengan Kelompok Tani Syurga Air yang berada daerah hulu yang berada di kawasan Sub DAS Cikapundung dan difasilitasi oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial LP3ES dan Yayasan Peduli Citarum YPC. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan sendiri merupakan konsep yang masih baru di Indonesia dan sebagian besar dalam tahap pengembangan konsep dan uji coba implementasi Prasetyo 2009. Untuk itu diperlukan pembelajaran dari mekanisme-mekanisme yang sudah berjalan untuk pembentukan kebijakan lebih lanjut mengenai mekanisme ini apakah keluaran yang ingin direncakan sudah tercapai dilihat dari kinerja berdasarkan realita dan manfaat kedua belah pihak sehingga dapat dihasilkan rekomendasi untuk pelaksanaan mekanisme yang lebih baik lagi.

1.2 Tujuan