5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal untuk klasifikasi dasar perairan dengan akurasi yang tinggi dengan menggunakan metode hidroakustik
yang dioperasikan secara stasioner. Beberapa hal yang diduga mempengaruhi nilai backscattering dasar perairan seperti densitas, porositas dan komposisi
substrat berusaha untuk dipertimbangkan pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan nilai volume backscattering strength Sv dasar
perairan untuk substrat pasir berkisar antara -10,25 dB sampai -17,13 dB dan substrat pasir berlumpur berkisar antara -18,25 dB sampai -23,60 dB, sedangkan
nilai surface backscattering strength SS dasar perairan untuk substrat pasir memiliki nilai yang berkisar antara -20,32 dB sampai -27,20 dB dan substrat pasir
berlumpur berkisar antara -28,32 dB sampai -33,66 dB. Hasil perhitungan nilai echo level EL menunjukkan bahwa untuk substrat pasir memiliki nilai echo level
EL sebesar 177,94 ± 8,61 dB dan substrat pasir berlumpur sebesar 167,23 ± 6,07 dB dengan nilai source level SL sebesar 214 dB split beam transducer seri ES
120-7C. Adanya perbedaan nilai backscattering pada tiap jenis dasar perairan salah satunya disebabkan karakteristik fisik sedimen tersebut, dimana sedimen
yang memiliki kenampakan makroskopis tentunya akan memberikan nilai backscattering yang lebih besar.
Keberadaan cangkang kerang dan pecahan karang di dasar perairan diduga mempengaruhi nilai backscattering dasar perairan, sehingga keberadaannya
diduga turut serta dalam memberikan pantulan dasar perairan. Kondisi sampel yang sudah berada dalam keadaan terganggu turut mempengaruhi nilai
pengukuran densitas dan porositas sehingga mungkin hasil yang diperoleh di laboratorium tidak sesuai dengan kondisi in situ.
5.2. Saran
Penelitian ini hanya mendapatkan beberapa tipe substrat di lokasi penelitian pasir dan pasir berlumpur. Oleh karena itu sebaiknya perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan tipe substrat yang lebih beragam sehingga diperoleh hasil yang akurat. Selain itu, ada baiknya dilakukan perlakuan integrasi dengan
ketebalan lapisan dasar perairan yang berbeda-beda yang disertai dengan pengambilan contoh sedimen dengan ketebalan berbeda-beda pula.
Kondisi sampel sebaiknya tidak mengalami gangguan sehingga dapat meminimalkan pengaruh yang berasal dari faktor luar sedimen itu sendiri
sehingga dapat dihasilkan pengukuran yang akurat terhadap hasil pengukuran sedimen.
DAFTAR PUSTAKA
Brown CJ et al. 2005. Mapping seabed habitats in the Firth of Lorn off the west coast of Scotland: Evaluation and comparison of habitat maps produced
using the Acoustic Ground Discrimination System, RoxAnn, and Side Scan Sonar. ICES Journal of Marine Science, 62:790-802.
Burczynski J. 2002. Bottom Classification. BioSonics, Inc. USA. Collins W, McConnaughey RA. 1998. Acoustic classification of the sea floor to
address essential fish habitat and marine protected area requirements. Proceedings of the Canadian Hydrographic Conference. Victoria, B.C.
369-377.
Dale EI, William JW. 1989. Oceanography: An Introduction. 3th Edition. Wadsworth Publishing Company. Belmart.
Dewi KT, Darlan Y. 2008. Patikel Mikroskopis – Dasar Laut Nusantara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung.
Deswati SR. 2009. Evaluasi Metode Akustik Untuk Pemantauan Padang Lamun [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Fronsesca L, Mayer L. 2007. Remote estimation of surficial seafloor properties though the application Angular Range Analysis to multibeam sonar data.
Mar Geophys Res, 28:119-126.
Hamilton LJ. 2001. Acoustic Seabed Classfication Systems. DSTO-TN-0401. DSTO Aeronautical and Maritime Research Laboratory. Australia.
Hamouda AZ, Abdel-Salam KM. 2010. Acoustic seabed classification of marine habitats: Studies in the Abu-Qir Bay, Egypt. Journal of Oceanography and
Marine Science, 1:011-022.
Jackson DR, Richardson MD. 2006. High Frequency Seafloor Acoustic. Springer Science Business Media. New York.
Kagesten G. 2008. Geological Seafloor Mapping with Backscatter Data from A Multibeam Echosounder. Department of Earth Science, Gothenburg
University. Kim GY et al. 2004. Sediment types determination using acoustic techniques in
the Northeastern Gulf of Mexico. Geosciences Journal, 8:95-103.
Kloser RJ, Bax NJ, Ryan T, Williams A, Baker BA. 2001. Remote sensing of seabed types in the Australian South East Fishery – development and
application of normal incident acoustic techniques and associated ground truthing. Journal of Marine and Freshwater Research, 552:475-489.
Krastel S et al. 2006. Mapping seabed morphology and shallow sediment structure of the Mauritania continental margin, Northwest Africa: some
implications for geohazard potential. Norwegian Journal of Geology, 86:163-176. ISSN 029-196X.
Lambert DN, Kalcic MT, Fass RW. 2002. Variability in the acoustic response of shallow-water marine sediments determined by normal-incident 30 kHz
and 50 kHz sound. Marine Geology, 182:179-208.
Legendre L, Legendre L. 1998. Numerical Ecology, 2
nd
. Elsevier Publishing Co. Amsterdam.
Lurton X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics. Praxis Publishing. Chichester.
MacLennan DN, Simmonds E J. 2005. Fisheries Acoustics. Blackwell Science. United Kingdom.
Medwin H, Clay CS. 1998. Fundamentals of Acoustical Oceanography. Academic Press Limited. London.
Manik HM, Furusawa M, Amakasu K. 2006. Measurement of Sea Bottom Surface Backscattering Strength by Quantitative Echo Sounder. Fisheries Science,
72:503-512.
Penrose JD et al. 2005. Acoustic Techniques for Seabed Classification. Coastal for Coastal Zone Estuary and Waterway Management. Technical Report.
Poerbondono, Djunasjah E. 2005. Survei Hidrografi. PT. Refika Aditama. Bandung.
Preston JM, Christney AC, Beran LS, Collins WT. 2004. Statistical seabed segmentation – from images and echoes to objective clustering.
Proceedings of the Seventh European Conference on Underwater Acoustics, ECUA 2004 Delft, The Netherlands.
Pujiyati S. 2008. Pendekatan metode hidroakustik untuk pendugaan klasifikasi tipe substrat dasar perairan dan hubungannya dengan komunitas ikan
demersal [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pujiyati S, Hartati S, Priyono P. 2010. Efek ukuran butiran, kekasaran, dan kekerasan dasar perairan terhadap nilai hambur balik hasil deteksi
hydroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2:59-67.
Purnawan S. 2009. Analisis Model Jackson Pada Sedimen Berpasir Menggunakan Metode Hidroakustik di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [thesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Richardson MD, Briggs KB, Bently SJ, Walter DJ, Orsi TH. 2002. The effects of biological and hydrodynamic processes on physical and acoustic
properties of sediments off the Eel River, California. Marine Geology, 182:121-139.
Siemes K, Mirjam S, Simons DG, Hermand JP. 2009. Using MBES Backscatter Strength Measurements for Assesing A Shallow Water Soft Sediment
Environment. IEEE: 4244-2523.
Schlagintweit GEO. 1993. Real-time acoustic bottom classification: a field evaluation of RoxAnn. Proceedings of Ocean ’93: 214-219
http:www.coastalcrc.com .
Simrad. 1993. Simrad EP 500 Operational Manual. Horten. Siwabessy J, Penrose J, Kloser R, Fox D. 1999. Seabed habitat classification.
Shallow Survey ’99 – International Conference on High Resolution Surveys in Shallow Water. Sydney.
Siwabessy PJW. 2001. An investigation of the relationship between seabed type and benthic and bentho-pelagic biota using acoustic techniques [thesis].
Australia: Curtin University of Technology. Smith LI. 2002. A tutorial on Principal Components Analysis. Technical report.
USA. Soemartini. 2008. Principal Component Analysis PCA sebagai salah satu
metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Universitas Padjajaran. Bandung.
Taruk Allo OA, Pujiyati S, Jaya I. 2009. Klasifikasi Habitat Dasar Perairan dengan Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY-60 di
Perairan Sumur, Pandeglang-Banten. Jurnal Kelautan Nasional, 1 Edisi Khusus: 129-130.
Tsemahman AS, Collins WT, Prager BT. 1997. Acoustic seabed classification and correlation analysis of sediment properties by QTC VIEW. In: Proceedings
of the OCEANS’97 MTSIEEE Symposium. Halifax.
Urick RJ. 1983. Principles of Underwater Sound, 3
rd
ed. Mc-Graw-Hill. New York.
Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.
Lampiran 1. Scientific echosounder Simrad EY 60
Lampiran 2. Alat pengambilan sampel sedimen
GPS GPT
Laptop Transducer
Kabel Transducer
Lampiran 3. Kapal survei
Lampiran 4. Echoview 4,00 dan dongle
Lampiran 5. Alat pengukur parameter fisik sedimen
Shaker ASTM E – 11. USA Standard
Timbangan Alat pengukur densitas sedimen
Alat pengukur porositas
Lampiran 6. Listing program Matlab_Rick Towler Untuk menampilkan echo envelope
readEKRaw_EY60.m ----------------------------------------------------------
Rick Towler National Oceanic and Atmospheric Administration
Alaska Fisheries Science Center Midwater Assesment and Conservation Engineering Group
rick.towlernoaa.gov ----------------------------------------------------------
readEKRaw_ChunkExample.m define paths to example raw and bot files
rawFile = nama_file.raw
; botFile =
nama_file.bot ;
ping_awal = input masukkan ping awal =
; ping_akhir = input
masukkan ping akhir = ;
disp Reading .raw file...
; read in the first chunk of the file using PingRange to define
chunk size. Note that we specify the optional 3rd return argument rstat
that will contain the reader state when the function exits.
also note that we do not read in angle data [header, firstRaw, rstat] = readEKRawrawFile,
Frequencies ,
120000, ...
SampleRange ,[1 800],
PingRange ,[ping_awal
ping_akhir], Angles
,false; extract calibration parameters from the first raw data
structure calParms = readEKRaw_GetCalParmsheader, firstRaw;
disp Reading .bot file...
; read in the .bot file - by passing the optional 3rd argument we
force readEKBot to only return data for pings contained in the
firstRaw structure. again, we set the rstat return argument.
[header, firstBot, rstat] = readEKBotbotFile, calParms, firstRaw, ...
ReturnRange , true;
convert power to Sv firstRaw = readEKRaw_Power2SvfirstRaw, calParms;
plot up the two blocks of data disp
Plotting... ;
plot the first chunk echogram readEKRaw_SimpleEchogramfirstRaw.pings1.Sv,
firstRaw.pings1.number, ...
firstRaw.pings1.range, Threshold
, [-70,0], Title
, ...
[ Sv
]; hold
on plot the bottom
plotfirstRaw.pings1.number, firstBot.pings.bottomdepth1,:, c
; hold
off colorbar;
colorbar YTickLabel
,{ -70 dB
, -58 dB
, -47 dB
, -35 dB
, -23
dB ,
-12 dB }
xlabel Ping
ylabel Depth m
plot echo envelope digunakan setelah selesai menampilkan echogram
Sv1=firstRaw.pings.Sv; Sv1mean=meanSv1;
plotSv1mean; xlabel
Time ms ylabel
Intensitas energi backscattering strength dB
Untuk menampilkan grafik Sv dan SS Purnawan, 2009
readEKRaw_EY60.m ----------------------------------------------------------
Rick Towler National Oceanic and Atmospheric Administration
Alaska Fisheries Science Center Midwater Assesment and Conservation Engineering Group
rick.towlernoaa.gov ----------------------------------------------------------
readEKRaw_ChunkExample.m define paths to example raw and bot files
rawFile = nama_file.raw
; botFile =
nama_file.bot ;
awal=input masukkan ping awal =
; akhir=input
masukkan ping akhir = ;
membaca file .raw - hanya pada frekuensi 120 kHz disp
membaca .raw file... ;
[header, rawData] = readEKRawrawFile, SampleRange
, [1 500], ...
PingRange , [awal akhir];
calParms = readEKRaw_GetCalParmsheader, rawData; membaca file .bot - data yang kembali sebagai range
disp membaca .bot file...
; [header, botData] = readEKBotbotFile, calParms, rawData,
... ReturnRange
, true; konversi power ke Sv
data = readEKRaw_Power2SvrawData, calParms; konversi sudut electrical ke sudut physical
data = readEKRaw_ConvertAnglesdata, calParms; mensortir kembali data yang digunakan
sehingga mempermudah dalam pengolahan data dasar perairan c=1546.35;
kecepatan suara tau=0.000128;
panjang gelombang x=data.pings.number;
y=data.pings.range; Z=data.pings.Sv;
Z= Sv logaritma z=10.Z10;
ss=zctau2; ini untuk cari ss
SS=10log10ss; in untuk cari SS log
along=data.pings.alongship; sudut alongship
athw=data.pings.athwartship; sudut athwartship
Svbottom=Z; along1=along;
bd=botData.pings.bottomdepth; [k l]=sizeZ;
data tbd pada 1 ping terakhir memberikan nilai yang tidak akurat sehingga perlu dihilangkan
l=l-1; for
ll=1:l; m=0;
for kk=1:k;
mengambil data dasar perairan, dari permukaan hingga 12 meter data yang lainnya diberikan pada kedalaman lain adalah nol
if ykk,1bd1,ll+0.05;
Svbottomkk,ll=-1000; svbottomkk+1,ll=0;
along1kk,ll=0; elseif
ykk,1bd1,ll+0.5; Svbottomkk,ll=-1000;
along1kk,ll=0; else
svbottomkk,ll=Zkk,ll; along1kk,ll=alongkk,ll;
mengambil data hanya pada dasar perairan hingga setengah meter, svbonly
m=m+1; Svbottomonlym,ll=Zkk,ll;
along2m,ll=alongkk,ll; end
; end
; end
; agar jumlah data tiap kolom sama
ditentukan ketebalan lapisan yang digunakan, hlyr hlyr=0.1;
for ll=1:l;
for i=1:m;
if yi,1=hlyr;
Svbonlyi,ll=Svbottomonlyi,ll; along3i,ll=along2i,ll;
end ;
end ;
end Svbottommean=meanmeanSvbonly;
[i l]=sizeSvbonly; for
ll=1:l;Zmaxll=-999; for
ii=1:i; if
Svbonlyii,ll Zmaxll ; Zmaxll = Svbonlyii,ll;
alongmaxll=along3ii,ll; end
end end
zmax=10.Zmax10; linier func
ratazmax=meanzmax; ssmax=zmaxctau2;
ssmean=meanssmax; SSmax=10log10ssmean
stdsv=stdzmax; rataZmax=10log10ratazmax
stdSv=10log10stdsv; membuat gambar echogram dan anglogram
disp Plotting...
; nFreqs = lengthdata.pings;
for n=1:nFreqs
plot echogram readEKRaw_SimpleEchogramSS,x,y,
Threshold , [-50,0];
disini ngerubahnya plot the bottom
hold on
plotdata.pingsn.number, botData.pings.bottomdepthn,:, c
; hold
off plot anglogram
readEKRaw_SimpleAnglogramdata.pingsn.alongship, ...
data.pingsn.athwartship, data.pingsn.number, ...
data.pingsn.range, Title
, ...
[ Angles
num2strcalParmsn.frequency]; plot bottom
hold on
plotdata.pingsn.number, botData.pings.bottomdepthn,:, c
; hold
off end
akhir=akhir-1; mengembalikan nilai dari akhir di atas
Zmax1=0; alongmax1=0; untuk merubah kembali pingnya sp=akhir-l;
selisih ping yang dimasukkan dengan untuk looping for
ll=awal:akhir; Zmax1ll=Zmaxll-sp;
alongmax1ll=alongmaxll-sp; end
figure subplot2,1,1; plotZmax1;
axis[awal akhir -30 0] xlabel
ping ,
fontsize ,16;
ylabel Scattering volume dB
, fontsize
,16; legend
Sv max dB subplot2,1,2; plotalongmax1;
axis[awal akhir -10 10] xlabel
ping ,
fontsize ,16;
ylabel sudut derajat
, fontsize
,16; legend
sudut alongship derajat figure
plot SS:,1,y, r
hold on
plot Z:,1,y, b
legend SS
, Sv
xlabel Intensitas acoustic backscattering strength dB
ylabel Depth m
Lampiran 7. Foto tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian
Substrat Pasir
Substrat Pasir berlumpur
Lampiran 8. Tampilan echogram Lanjutan Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 5 Stasiun 6
Stasiun 8
Lampiran 9. Grafik pola Sv dan SS Lanjutan Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 5 Stasiun 6
Stasiun 8
Lampiran 10. Grafik intensitas energi acoustic backscattering dasar perairan Lanjutan
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 5 Stasiun 6
Stasiun 8
Lampiran 11. Cluster data sedimen
Cluster Analysis of Observations: Pasir, Debu, Liat, Densitas, Porositas, Koef.
Euclidean Distance, Average Linkage Amalgamation Steps
Step Number of Similarity Distance Clusters New Number of obs. clusters level level joined cluster in new cluster
1 8 80.61 5.765 5 9 5 2 2 7 78.51 6.391 5 7 5 3
3 6 76.92 6.863 3 4 3 2 4 5 76.67 6.938 1 2 1 2
5 4 68.68 9.315 5 8 5 4 6 3 62.72 11.087 1 3 1 4
7 2 48.20 15.403 1 6 1 5 8 1 35.31 19.236 1 5 1 9
Final Partition Number of clusters: 1
Number of Within cluster Average distance Maximum distance
observations sum of squares from centroid from centroid Cluster1 9 1107.010 10.461 16.568
Cluo Pasir-BL;
Lampiran 12. Cluster data akustik
Cluster Analysis of Observations: E1, E2, SS, EL
Euclidean Distance, Average Linkage Amalgamation Steps
Step Number of Similarity Distance Clusters New Number of obs. clusters level level joined cluster in new cluster
1 8 90.23 3.445 6 8 6 2 2 7 88.81 3.944 2 4 2 2
3 6 87.12 4.541 2 3 2 3 4 5 76.16 8.406 1 2 1 4
5 4 73.48 9.348 5 9 5 2 6 3 73.37 9.387 1 6 1 6
7 2 52.58 16.716 1 5 1 8 8 1 21.17 27.790 1 7 1 9
Final Partition Number of clusters: 1
Number of Within cluster Average distance Maximum distance
observations sum of squares from centroid from centroid Cluster1 9 1233.479 10.209 24.067
Cluo E1-EL;
Lampiran 13. Hasil olahan fraksi sedimen di Balai Penelitian Tanah, Laboratorium Fisika Tanah Bogor Nomor
Tekstur Urut
Seri Contoh
Liat Lumpur Lumpur Lumpur
Pasir Pasir
Pasir Pasir
Pasir 0 - 2
m 2 - 10
m 10 - 20
m 20 - 50
m 50 - 100
m 100 - 200
m 200 - 500
m 500 - 1000
m 1000 - 2000
m
1 11 F
STA 1 0,90
3,27 5,67
12,98 7,58
11,27 23,57
29,87 4,89
2 11 F
STA 2 0,82
4,31 6,83
15,67 4,57
13,61 20,15
31,26 2,78
3 11 F
STA 3 1,15
2,63 5,61
8,25 12,78
15,65 29,33
17,85 6,75
4 11 F
STA 4 0,89
2,39 6,62
11,74 4,56
7,88 53,57
7,84 4,51
5 11 F
STA 5 1,08
2,13 4,55
9,84 6,41
5,58 23,65
31,28 15,48
6 11 F
STA 6 1,28
3,67 6,88
15,31 14,64
19,84 21,38
12,36 4,64
7 11 F
STA 7 0,24
0,95 4,25
7,58 4,43
18,47 34,12
17,58 12,38
8 11 F
STA 8 0,73
1,25 2,13
5,63 20,34
16,94 31,26
18,45 3,27
9 11 F
STA 9 0,38
1,78 3,60
9,35 5,16
13,62 35,41
22,14 8,56
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan
lingkungan perairan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besarnya dasar perairan tersebut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk
hidup yang berada di dasar perairan. Dewasa ini metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe
dasar, sedimen dasar dan vegetasi bawah air dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital sudah mulai berkembang. Penelitian untuk
melihat hubungan tipe substrat dengan biota bentik, bento-pelagik dengan metode akustik telah dilakukan di perairan Tasmania Australia. Alat yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah echosounder Simrad EK 500 dengan frekuensi 12, 38, 120 kHz. Hasil dari penelitian tersebut adalah diperoleh adanya empat tipe
substrat yang diklasifikasikan sebagai substrat lembut halus, keras halus, keras kasar dan lembut kasar Siwabessy, 2001.
Beberapa penelitian mengenai klasifikasi dasar perairan dengan metode hidroakustik di Indonesia sendiri sudah dilakukan melalui pengukuran dasar laut
berdasarkan nilai surface backscattering strength dengan teknik integrasi echo dasar dan pengembangan model numerik ring surface scattering menggunakan
Quantitative Echo Sounder di perairan selatan Jawa Manik et al., 2006. Pujiyati 2008 mengukur nilai backscattering volume E1 dan E2 dari dasar
perairan yang berlokasi di perairan Laut Jawa bagian Timur, perairan Belitung, Kalimantan Timur dan perairan Laut Jawa. Taruk Allo et al., 2009 melakukan
penelitian di perairan Sumur, Pandeglang – Banten untuk melihat nilai backscattering volume yang dikaitkan dengan komposisi sedimen. Deswati
2009 melakukan penelitian dengan menggunakan teknologi akustik untuk mendeteksi lamun di wilayah Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Berdasarkan
penelitian yang disebutkan diatas metode yang digunakan masih terpisah-pisah. Pemahaman akan sinyal suara yang dihasilkan dari dasar perairan akibat
transmisi gelombang akustik adalah sangat sulit. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan parameter fisik pada skala yang berbeda. Untuk karakterisasi dasar perairan, incidence beam normal incidence yang vertikal dari sistem
echosounding telah lama diakui sebagai proses pengukuran yang sangat berguna. Parameter seperti ukuran butir sedimen, relief permukaan antar muka air-sedimen,
dan variasi dalam sedimen secara umum mengendalikan sinyal backscattering dari dasar perairan.
Pengukuran sifat akustik dari dasar laut sangat menarik untuk dikaji baik dari segi akustik kelautannya maupun aplikasi geofisiknya. Kecepatan suara
akustik dan impedansi dasar laut memiliki kaitan langsung dengan propagasi gelombang akustik dimana nilai-nilai tersebut diperlukan untuk analisis yang
lebih lengkap seperti masalah propagasi suara. Bentuk dasar perairan cukup beragam serta jenis dasar perairan berbeda.
Pengetahuan akan jenis dasar perairan sangat berguna untuk kepentingan geoteknik, perikanan dan lingkungan laut.
1.2. Perumusan masalah
Penerapan teknologi akustik di Indonesia dalam penelitian dan pengembangan bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas. Minimnya
sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan teknologi akustik di Indonesia. Pada kurun waktu terakhir ini teknik akustik
mulai banyak digunakan untuk memetakan dasar perairan dan kandungan sumber daya hewan bentik yang ada di daerah dasar perairan Siwabessy et al. 1999.
Kemajuan teknik pemetaan dasar perairan saat ini yang dipicu oleh perkembangan yang berkesinambungan dari sistem akustik side scan sonar,
multibeam sonar, acoustic discrimination systems menawarkan potensi untuk pekerjaan pemetaan dan monitoring ekosistem dasar laut Brown et al. 2005.
Beberapa tahun belakangan ini, aplikasi metode pemetaan akustik, khususnya penggunaan “Acoustic Ground Discrimination System” ADGS dikombinasikan
dengan data sampling lapangan ground truth, telah menjadi kegiatan yang biasa dalam pemetaan dan monitoring habitat dasar laut di sejumlah daerah
perlindungan laut di pesisir Inggris. Pendekatan ini memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan cara-cara lama yang menggunakan grab, dimana