5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Penelitian  ini  dilakukan  sebagai  langkah  awal  untuk  klasifikasi  dasar perairan  dengan  akurasi  yang  tinggi  dengan  menggunakan  metode  hidroakustik
yang  dioperasikan  secara  stasioner.    Beberapa  hal  yang  diduga  mempengaruhi nilai  backscattering  dasar  perairan  seperti  densitas,  porositas  dan  komposisi
substrat  berusaha  untuk  dipertimbangkan  pada  penelitian  ini.    Hasil  penelitian menunjukkan bahwa perhitungan nilai  volume backscattering strength  Sv dasar
perairan  untuk  substrat  pasir  berkisar  antara  -10,25  dB  sampai  -17,13  dB  dan substrat pasir berlumpur berkisar antara -18,25 dB sampai -23,60 dB, sedangkan
nilai  surface  backscattering  strength  SS  dasar  perairan  untuk  substrat  pasir memiliki nilai yang berkisar antara -20,32 dB sampai -27,20 dB dan substrat pasir
berlumpur  berkisar  antara  -28,32  dB  sampai  -33,66  dB.    Hasil  perhitungan  nilai echo level EL menunjukkan bahwa untuk substrat pasir memiliki nilai echo level
EL sebesar 177,94 ± 8,61 dB dan substrat pasir berlumpur sebesar 167,23 ± 6,07 dB dengan nilai source level SL sebesar 214 dB split beam transducer seri ES
120-7C.    Adanya  perbedaan  nilai  backscattering  pada  tiap  jenis  dasar  perairan salah  satunya  disebabkan  karakteristik  fisik  sedimen  tersebut,  dimana  sedimen
yang  memiliki  kenampakan  makroskopis  tentunya  akan  memberikan  nilai backscattering yang lebih besar.
Keberadaan cangkang kerang dan pecahan karang di dasar perairan diduga mempengaruhi  nilai  backscattering  dasar  perairan,  sehingga  keberadaannya
diduga  turut  serta  dalam  memberikan  pantulan  dasar  perairan.    Kondisi  sampel yang  sudah  berada  dalam  keadaan  terganggu  turut  mempengaruhi  nilai
pengukuran  densitas  dan  porositas  sehingga  mungkin  hasil  yang  diperoleh  di laboratorium tidak sesuai dengan kondisi in situ.
5.2. Saran
Penelitian  ini  hanya  mendapatkan  beberapa  tipe  substrat  di  lokasi penelitian pasir dan pasir berlumpur.  Oleh karena itu sebaiknya perlu dilakukan
penelitian  lanjutan  dengan  tipe  substrat  yang  lebih  beragam  sehingga  diperoleh hasil  yang  akurat.    Selain  itu,  ada  baiknya  dilakukan  perlakuan  integrasi  dengan
ketebalan  lapisan  dasar  perairan  yang  berbeda-beda  yang  disertai  dengan pengambilan contoh sedimen dengan ketebalan berbeda-beda pula.
Kondisi  sampel  sebaiknya  tidak  mengalami  gangguan  sehingga  dapat meminimalkan  pengaruh  yang  berasal  dari  faktor  luar  sedimen  itu  sendiri
sehingga  dapat  dihasilkan  pengukuran  yang  akurat  terhadap  hasil  pengukuran sedimen.
DAFTAR PUSTAKA
Brown CJ et al. 2005. Mapping seabed habitats in the Firth of Lorn off the west coast  of  Scotland:  Evaluation  and  comparison  of  habitat  maps  produced
using  the  Acoustic  Ground  Discrimination  System,  RoxAnn,  and  Side Scan Sonar. ICES Journal of Marine Science, 62:790-802.
Burczynski J.  2002.  Bottom Classification.  BioSonics, Inc. USA. Collins W,  McConnaughey  RA.  1998.  Acoustic  classification  of  the  sea  floor  to
address  essential  fish  habitat  and  marine  protected  area  requirements. Proceedings  of  the  Canadian  Hydrographic  Conference.  Victoria,  B.C.
369-377.
Dale  EI,  William  JW.    1989.    Oceanography:  An  Introduction.  3th  Edition. Wadsworth Publishing Company. Belmart.
Dewi  KT,  Darlan  Y.  2008.  Patikel  Mikroskopis  –  Dasar  Laut  Nusantara.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung.
Deswati  SR.  2009.  Evaluasi  Metode  Akustik  Untuk  Pemantauan  Padang  Lamun [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Fronsesca  L,  Mayer  L.  2007.  Remote  estimation  of  surficial  seafloor  properties though  the  application  Angular  Range  Analysis  to  multibeam  sonar  data.
Mar Geophys Res, 28:119-126.
Hamilton  LJ.  2001.  Acoustic  Seabed  Classfication  Systems.  DSTO-TN-0401. DSTO Aeronautical and Maritime Research Laboratory. Australia.
Hamouda AZ, Abdel-Salam KM. 2010. Acoustic seabed classification of  marine habitats: Studies in the Abu-Qir Bay, Egypt. Journal of Oceanography and
Marine Science, 1:011-022.
Jackson DR, Richardson MD. 2006. High Frequency Seafloor Acoustic. Springer Science Business Media. New York.
Kagesten  G.  2008.  Geological  Seafloor  Mapping  with  Backscatter  Data  from  A Multibeam  Echosounder.  Department  of  Earth  Science,  Gothenburg
University. Kim  GY  et  al.  2004.  Sediment  types  determination  using  acoustic  techniques  in
the Northeastern Gulf of Mexico. Geosciences Journal, 8:95-103.
Kloser  RJ,  Bax  NJ,  Ryan  T,  Williams  A,  Baker  BA.    2001.    Remote  sensing  of seabed  types  in  the  Australian  South  East  Fishery  –  development  and
application  of  normal  incident  acoustic  techniques  and  associated  ground truthing.  Journal of Marine and Freshwater Research, 552:475-489.
Krastel  S  et  al.  2006.  Mapping  seabed  morphology  and  shallow  sediment structure  of  the  Mauritania  continental  margin,  Northwest  Africa:  some
implications  for  geohazard  potential.  Norwegian  Journal  of  Geology, 86:163-176. ISSN 029-196X.
Lambert DN, Kalcic MT, Fass RW. 2002. Variability in the acoustic response of shallow-water  marine  sediments  determined  by  normal-incident  30  kHz
and 50 kHz sound. Marine Geology, 182:179-208.
Legendre  L,  Legendre  L. 1998. Numerical Ecology, 2
nd
. Elsevier Publishing Co. Amsterdam.
Lurton  X.  2002.  An  Introduction  to  Underwater  Acoustics.  Praxis  Publishing. Chichester.
MacLennan DN, Simmonds E J.  2005.  Fisheries Acoustics.  Blackwell Science. United Kingdom.
Medwin H, Clay CS. 1998. Fundamentals of Acoustical Oceanography. Academic Press Limited. London.
Manik HM, Furusawa M, Amakasu K. 2006. Measurement of Sea Bottom Surface Backscattering Strength by Quantitative Echo Sounder. Fisheries Science,
72:503-512.
Penrose JD et al.  2005.  Acoustic Techniques for Seabed Classification.  Coastal for Coastal Zone Estuary and Waterway Management.  Technical Report.
Poerbondono,  Djunasjah  E.  2005.  Survei  Hidrografi.  PT.  Refika  Aditama. Bandung.
Preston  JM,  Christney  AC,  Beran  LS,  Collins  WT.  2004.  Statistical  seabed segmentation  –  from  images  and  echoes  to  objective  clustering.
Proceedings  of  the  Seventh  European  Conference  on  Underwater Acoustics, ECUA 2004 Delft, The Netherlands.
Pujiyati  S.    2008.    Pendekatan  metode  hidroakustik  untuk  pendugaan  klasifikasi tipe  substrat  dasar  perairan  dan  hubungannya  dengan  komunitas  ikan
demersal  [disertasi].  Bogor:  Program  Pascasarjana,  Institut  Pertanian Bogor.
Pujiyati  S,  Hartati  S,  Priyono  P.  2010.  Efek  ukuran  butiran,  kekasaran,  dan kekerasan  dasar  perairan  terhadap  nilai  hambur  balik  hasil  deteksi
hydroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2:59-67.
Purnawan S. 2009. Analisis Model Jackson Pada Sedimen Berpasir Menggunakan Metode  Hidroakustik  di  Gugusan  Pulau  Pari,  Kepulauan  Seribu  [thesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Richardson MD, Briggs KB, Bently SJ, Walter DJ, Orsi TH. 2002. The effects of biological  and  hydrodynamic  processes  on  physical  and  acoustic
properties  of  sediments  off  the  Eel  River,  California.  Marine  Geology, 182:121-139.
Siemes K, Mirjam S, Simons DG, Hermand JP. 2009. Using MBES  Backscatter Strength  Measurements  for  Assesing  A  Shallow  Water  Soft  Sediment
Environment. IEEE: 4244-2523.
Schlagintweit  GEO.  1993.  Real-time  acoustic  bottom  classification:  a  field evaluation  of  RoxAnn.    Proceedings  of  Ocean  ’93:  214-219
http:www.coastalcrc.com .
Simrad.  1993.  Simrad EP 500 Operational Manual.  Horten. Siwabessy  J,  Penrose  J,  Kloser  R,  Fox  D.  1999.  Seabed  habitat  classification.
Shallow  Survey  ’99  –  International  Conference  on  High  Resolution Surveys in Shallow Water. Sydney.
Siwabessy  PJW.  2001.  An  investigation  of  the  relationship  between  seabed  type and  benthic  and  bentho-pelagic  biota  using  acoustic  techniques  [thesis].
Australia: Curtin University of Technology. Smith  LI.  2002.  A  tutorial  on  Principal  Components  Analysis.  Technical  report.
USA. Soemartini.  2008.  Principal  Component  Analysis  PCA  sebagai  salah  satu
metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Universitas Padjajaran. Bandung.
Taruk  Allo  OA,  Pujiyati  S,  Jaya  I.  2009.  Klasifikasi  Habitat  Dasar  Perairan dengan  Menggunakan  Instrumen  Hidroakustik  SIMRAD  EY-60  di
Perairan  Sumur,  Pandeglang-Banten.  Jurnal  Kelautan  Nasional,  1  Edisi Khusus: 129-130.
Tsemahman AS, Collins WT, Prager BT. 1997. Acoustic seabed classification and correlation analysis of sediment properties by QTC VIEW. In: Proceedings
of the OCEANS’97 MTSIEEE Symposium. Halifax.
Urick  RJ.  1983.  Principles  of  Underwater  Sound,  3
rd
ed.  Mc-Graw-Hill.  New York.
Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.
Lampiran 1. Scientific echosounder Simrad EY 60
Lampiran 2. Alat pengambilan sampel sedimen
GPS GPT
Laptop Transducer
Kabel Transducer
Lampiran 3. Kapal survei
Lampiran 4. Echoview 4,00 dan dongle
Lampiran 5. Alat pengukur parameter fisik sedimen
Shaker ASTM E – 11. USA Standard
Timbangan                                Alat pengukur densitas sedimen
Alat pengukur porositas
Lampiran 6. Listing program Matlab_Rick Towler Untuk menampilkan echo envelope
readEKRaw_EY60.m ----------------------------------------------------------
Rick Towler National Oceanic and Atmospheric Administration
Alaska Fisheries Science Center Midwater Assesment and Conservation Engineering Group
rick.towlernoaa.gov ----------------------------------------------------------
readEKRaw_ChunkExample.m define paths to example raw and bot files
rawFile = nama_file.raw
; botFile =
nama_file.bot ;
ping_awal = input masukkan ping awal =
; ping_akhir = input
masukkan ping akhir = ;
disp Reading .raw file...
; read in the first chunk of the file using PingRange to define
chunk size. Note that we specify the optional 3rd return argument rstat
that will contain the reader state when the function exits.
also note that we do not read in angle data [header, firstRaw, rstat] = readEKRawrawFile,
Frequencies ,
120000, ...
SampleRange ,[1 800],
PingRange ,[ping_awal
ping_akhir], Angles
,false; extract calibration parameters from the first raw data
structure calParms = readEKRaw_GetCalParmsheader, firstRaw;
disp Reading .bot file...
; read in the .bot file - by passing the optional 3rd argument we
force readEKBot to only return data for pings contained in the
firstRaw structure. again, we set the rstat return argument.
[header, firstBot, rstat] = readEKBotbotFile, calParms, firstRaw, ...
ReturnRange , true;
convert power to Sv firstRaw = readEKRaw_Power2SvfirstRaw, calParms;
plot up the two blocks of data disp
Plotting... ;
plot the first chunk echogram readEKRaw_SimpleEchogramfirstRaw.pings1.Sv,
firstRaw.pings1.number, ...
firstRaw.pings1.range, Threshold
, [-70,0], Title
, ...
[ Sv
]; hold
on plot the bottom
plotfirstRaw.pings1.number, firstBot.pings.bottomdepth1,:, c
; hold
off colorbar;
colorbar YTickLabel
,{ -70 dB
, -58 dB
, -47 dB
, -35 dB
, -23
dB ,
-12 dB }
xlabel Ping
ylabel Depth m
plot echo envelope digunakan setelah selesai menampilkan echogram
Sv1=firstRaw.pings.Sv; Sv1mean=meanSv1;
plotSv1mean; xlabel
Time ms ylabel
Intensitas energi backscattering strength dB
Untuk menampilkan grafik Sv dan SS Purnawan, 2009
readEKRaw_EY60.m ----------------------------------------------------------
Rick Towler National Oceanic and Atmospheric Administration
Alaska Fisheries Science Center Midwater Assesment and Conservation Engineering Group
rick.towlernoaa.gov ----------------------------------------------------------
readEKRaw_ChunkExample.m define paths to example raw and bot files
rawFile = nama_file.raw
; botFile =
nama_file.bot ;
awal=input masukkan ping awal =
; akhir=input
masukkan ping akhir = ;
membaca file .raw - hanya pada frekuensi 120 kHz disp
membaca .raw file... ;
[header, rawData] = readEKRawrawFile, SampleRange
, [1 500], ...
PingRange , [awal akhir];
calParms = readEKRaw_GetCalParmsheader, rawData; membaca file .bot - data yang kembali sebagai range
disp membaca .bot file...
; [header, botData] = readEKBotbotFile, calParms, rawData,
... ReturnRange
, true; konversi power ke Sv
data = readEKRaw_Power2SvrawData, calParms; konversi sudut electrical ke sudut physical
data = readEKRaw_ConvertAnglesdata, calParms; mensortir kembali data yang digunakan
sehingga mempermudah dalam pengolahan data dasar perairan c=1546.35;
kecepatan suara tau=0.000128;
panjang gelombang x=data.pings.number;
y=data.pings.range; Z=data.pings.Sv;
Z= Sv logaritma z=10.Z10;
ss=zctau2; ini untuk cari ss
SS=10log10ss; in untuk cari SS log
along=data.pings.alongship; sudut alongship
athw=data.pings.athwartship; sudut athwartship
Svbottom=Z; along1=along;
bd=botData.pings.bottomdepth; [k l]=sizeZ;
data tbd pada 1 ping terakhir memberikan nilai yang tidak akurat sehingga perlu dihilangkan
l=l-1; for
ll=1:l; m=0;
for kk=1:k;
mengambil data dasar perairan, dari permukaan hingga 12 meter data yang lainnya diberikan pada kedalaman lain adalah nol
if ykk,1bd1,ll+0.05;
Svbottomkk,ll=-1000; svbottomkk+1,ll=0;
along1kk,ll=0; elseif
ykk,1bd1,ll+0.5; Svbottomkk,ll=-1000;
along1kk,ll=0; else
svbottomkk,ll=Zkk,ll; along1kk,ll=alongkk,ll;
mengambil data hanya pada dasar perairan hingga setengah meter, svbonly
m=m+1; Svbottomonlym,ll=Zkk,ll;
along2m,ll=alongkk,ll; end
; end
; end
; agar jumlah data tiap kolom sama
ditentukan ketebalan lapisan yang digunakan, hlyr hlyr=0.1;
for ll=1:l;
for i=1:m;
if yi,1=hlyr;
Svbonlyi,ll=Svbottomonlyi,ll; along3i,ll=along2i,ll;
end ;
end ;
end Svbottommean=meanmeanSvbonly;
[i l]=sizeSvbonly; for
ll=1:l;Zmaxll=-999; for
ii=1:i; if
Svbonlyii,ll  Zmaxll ; Zmaxll = Svbonlyii,ll;
alongmaxll=along3ii,ll; end
end end
zmax=10.Zmax10; linier  func
ratazmax=meanzmax; ssmax=zmaxctau2;
ssmean=meanssmax; SSmax=10log10ssmean
stdsv=stdzmax; rataZmax=10log10ratazmax
stdSv=10log10stdsv; membuat gambar echogram dan anglogram
disp Plotting...
; nFreqs = lengthdata.pings;
for n=1:nFreqs
plot echogram readEKRaw_SimpleEchogramSS,x,y,
Threshold , [-50,0];
disini ngerubahnya plot the bottom
hold on
plotdata.pingsn.number, botData.pings.bottomdepthn,:, c
; hold
off plot anglogram
readEKRaw_SimpleAnglogramdata.pingsn.alongship, ...
data.pingsn.athwartship, data.pingsn.number, ...
data.pingsn.range, Title
, ...
[ Angles
num2strcalParmsn.frequency]; plot bottom
hold on
plotdata.pingsn.number, botData.pings.bottomdepthn,:, c
; hold
off end
akhir=akhir-1; mengembalikan nilai dari akhir di atas
Zmax1=0; alongmax1=0; untuk merubah kembali pingnya sp=akhir-l;
selisih ping yang dimasukkan dengan untuk looping for
ll=awal:akhir; Zmax1ll=Zmaxll-sp;
alongmax1ll=alongmaxll-sp; end
figure subplot2,1,1; plotZmax1;
axis[awal akhir -30 0] xlabel
ping ,
fontsize ,16;
ylabel Scattering volume dB
, fontsize
,16; legend
Sv max dB subplot2,1,2; plotalongmax1;
axis[awal akhir -10 10] xlabel
ping ,
fontsize ,16;
ylabel sudut derajat
, fontsize
,16; legend
sudut alongship derajat figure
plot SS:,1,y, r
hold on
plot Z:,1,y, b
legend SS
, Sv
xlabel Intensitas acoustic backscattering strength dB
ylabel Depth m
Lampiran 7. Foto tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian
Substrat Pasir
Substrat Pasir berlumpur
Lampiran 8. Tampilan echogram Lanjutan Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 5                                                    Stasiun 6
Stasiun 8
Lampiran 9. Grafik pola Sv dan SS Lanjutan Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 5                                                    Stasiun 6
Stasiun 8
Lampiran 10. Grafik intensitas energi acoustic backscattering dasar perairan Lanjutan
Stasiun 1 Stasiun 2
Stasiun 5 Stasiun 6
Stasiun 8
Lampiran 11. Cluster data sedimen
Cluster Analysis of Observations: Pasir, Debu, Liat, Densitas, Porositas, Koef.
Euclidean Distance, Average Linkage Amalgamation Steps
Step Number of Similarity  Distance  Clusters   New   Number of obs. clusters    level      level     joined  cluster in new cluster
1      8       80.61       5.765     5    9     5           2 2      7       78.51       6.391     5    7     5           3
3      6       76.92       6.863     3    4     3           2 4      5       76.67       6.938     1    2     1           2
5      4       68.68       9.315     5    8     5           4 6      3       62.72      11.087     1    3     1           4
7      2       48.20      15.403     1    6     1           5 8      1       35.31      19.236     1    5     1           9
Final Partition Number of clusters:   1
Number of    Within cluster  Average distance Maximum distance
observations  sum of squares   from centroid    from centroid Cluster1         9            1107.010           10.461           16.568
Cluo  Pasir-BL;
Lampiran 12. Cluster data akustik
Cluster Analysis of Observations: E1, E2, SS, EL
Euclidean Distance, Average Linkage Amalgamation Steps
Step Number of Similarity  Distance  Clusters   New   Number of obs. clusters    level      level     joined  cluster in new cluster
1      8       90.23       3.445     6    8     6           2 2      7       88.81       3.944     2    4     2           2
3      6       87.12       4.541     2    3     2           3 4      5       76.16       8.406     1    2     1           4
5      4       73.48       9.348     5    9     5           2 6      3       73.37       9.387     1    6     1           6
7      2       52.58      16.716     1    5     1           8 8      1       21.17      27.790     1    7     1           9
Final Partition Number of clusters:   1
Number of    Within cluster  Average distance Maximum distance
observations  sum of squares   from centroid    from centroid Cluster1         9            1233.479           10.209           24.067
Cluo E1-EL;
Lampiran 13. Hasil olahan fraksi sedimen di Balai Penelitian Tanah, Laboratorium Fisika Tanah Bogor Nomor
Tekstur Urut
Seri Contoh
Liat Lumpur  Lumpur  Lumpur
Pasir Pasir
Pasir Pasir
Pasir 0 - 2
m 2 - 10
m 10 - 20
m 20 - 50
m 50 - 100
m 100 - 200
m 200 - 500
m 500 - 1000
m 1000 - 2000
m
1 11 F
STA 1 0,90
3,27 5,67
12,98 7,58
11,27 23,57
29,87 4,89
2 11 F
STA 2 0,82
4,31 6,83
15,67 4,57
13,61 20,15
31,26 2,78
3 11 F
STA 3 1,15
2,63 5,61
8,25 12,78
15,65 29,33
17,85 6,75
4 11 F
STA 4 0,89
2,39 6,62
11,74 4,56
7,88 53,57
7,84 4,51
5 11 F
STA 5 1,08
2,13 4,55
9,84 6,41
5,58 23,65
31,28 15,48
6 11 F
STA 6 1,28
3,67 6,88
15,31 14,64
19,84 21,38
12,36 4,64
7 11 F
STA 7 0,24
0,95 4,25
7,58 4,43
18,47 34,12
17,58 12,38
8 11 F
STA 8 0,73
1,25 2,13
5,63 20,34
16,94 31,26
18,45 3,27
9 11 F
STA 9 0,38
1,78 3,60
9,35 5,16
13,62 35,41
22,14 8,56
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi  bermacam-macam  makhluk  hidup  yang  kehidupannya  berasosiasi  dengan
lingkungan  perairan.    Hal  ini  dapat  dilihat  dari  seberapa  besarnya  dasar  perairan tersebut  memberikan  kontribusi  bagi  pertumbuhan  dan  perkembangan  makhluk
hidup yang berada di dasar perairan. Dewasa  ini  metode  baru  untuk  mendapatkan  informasi  mengenai  tipe
dasar,  sedimen  dasar  dan  vegetasi  bawah  air  dengan  menggunakan  echosounder dan  pengolahan  data  secara  digital  sudah  mulai  berkembang.    Penelitian  untuk
melihat hubungan tipe substrat dengan biota bentik, bento-pelagik dengan metode akustik telah dilakukan di perairan Tasmania Australia.  Alat  yang dipergunakan
dalam penelitian ini adalah echosounder Simrad EK 500 dengan frekuensi 12, 38, 120  kHz.    Hasil  dari  penelitian  tersebut  adalah  diperoleh  adanya  empat  tipe
substrat  yang  diklasifikasikan  sebagai  substrat  lembut  halus,  keras  halus,  keras kasar dan lembut kasar Siwabessy, 2001.
Beberapa  penelitian  mengenai  klasifikasi  dasar  perairan  dengan  metode hidroakustik di  Indonesia sendiri sudah dilakukan melalui pengukuran dasar laut
berdasarkan  nilai  surface  backscattering  strength  dengan  teknik  integrasi  echo dasar  dan  pengembangan  model  numerik  ring  surface  scattering  menggunakan
Quantitative  Echo  Sounder  di  perairan  selatan  Jawa  Manik  et  al.,  2006. Pujiyati  2008  mengukur  nilai  backscattering  volume  E1  dan  E2  dari  dasar
perairan  yang  berlokasi  di  perairan  Laut  Jawa  bagian  Timur,  perairan  Belitung, Kalimantan  Timur  dan  perairan  Laut  Jawa.  Taruk  Allo  et  al.,  2009  melakukan
penelitian  di  perairan  Sumur,  Pandeglang  –  Banten  untuk  melihat  nilai backscattering  volume  yang  dikaitkan  dengan  komposisi  sedimen.    Deswati
2009  melakukan  penelitian  dengan  menggunakan  teknologi  akustik  untuk mendeteksi lamun di wilayah Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu.  Berdasarkan
penelitian yang disebutkan diatas metode yang digunakan masih terpisah-pisah. Pemahaman  akan  sinyal  suara  yang  dihasilkan  dari  dasar  perairan  akibat
transmisi  gelombang  akustik  adalah  sangat  sulit.  Hal  ini  dikarenakan  adanya
perbedaan  parameter  fisik  pada  skala  yang  berbeda.    Untuk  karakterisasi  dasar perairan,  incidence  beam  normal  incidence  yang  vertikal  dari  sistem
echosounding telah lama diakui sebagai proses pengukuran yang sangat berguna. Parameter seperti ukuran butir sedimen, relief permukaan antar muka air-sedimen,
dan  variasi  dalam  sedimen  secara  umum  mengendalikan  sinyal  backscattering dari dasar perairan.
Pengukuran  sifat  akustik  dari  dasar  laut  sangat  menarik  untuk  dikaji  baik dari  segi  akustik  kelautannya  maupun  aplikasi  geofisiknya.    Kecepatan  suara
akustik  dan  impedansi  dasar  laut  memiliki  kaitan  langsung  dengan  propagasi gelombang  akustik  dimana  nilai-nilai  tersebut  diperlukan  untuk  analisis  yang
lebih lengkap seperti masalah propagasi suara. Bentuk  dasar  perairan  cukup  beragam  serta  jenis  dasar  perairan  berbeda.
Pengetahuan  akan  jenis  dasar  perairan  sangat  berguna  untuk  kepentingan geoteknik, perikanan dan lingkungan laut.
1.2. Perumusan masalah
Penerapan  teknologi  akustik  di  Indonesia  dalam  penelitian  dan pengembangan bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas.  Minimnya
sarana  dan  prasarana  menjadi  salah  satu  faktor  penghambat  perkembangan teknologi  akustik  di  Indonesia.    Pada  kurun  waktu  terakhir  ini  teknik  akustik
mulai banyak digunakan untuk memetakan dasar perairan  dan kandungan sumber daya hewan bentik yang ada di daerah dasar perairan Siwabessy et al. 1999.
Kemajuan  teknik  pemetaan  dasar  perairan  saat  ini  yang  dipicu  oleh perkembangan  yang  berkesinambungan  dari  sistem  akustik  side  scan  sonar,
multibeam  sonar,  acoustic  discrimination  systems  menawarkan  potensi  untuk pekerjaan  pemetaan  dan  monitoring  ekosistem  dasar  laut  Brown  et  al.  2005.
Beberapa  tahun  belakangan  ini,  aplikasi  metode  pemetaan  akustik,  khususnya penggunaan  “Acoustic  Ground  Discrimination  System”  ADGS  dikombinasikan
dengan data sampling lapangan ground truth, telah menjadi kegiatan yang biasa dalam  pemetaan  dan  monitoring  habitat  dasar  laut  di  sejumlah  daerah
perlindungan  laut  di  pesisir  Inggris.    Pendekatan  ini  memiliki  keunggulan  yang lebih  baik  dibandingkan  cara-cara  lama  yang  menggunakan  grab,  dimana