sumur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 22 sampai 27 °C. Kemudian dilakukan kembali langkah dan prosedur pencucian.
Sebanyak 100 µ l substrat ditambahkan ke dalam tiap sumur. Kemudian microplate ditutup dengan alumunium foil. Setelah itu, microplate diinkubasi
pada suhu ruangan 22 sampai 27 °C selama 15 menit. Saat penambahan substrat sebaiknya dilakukan dalam kondisi intensitas cahaya yang rendah atau matikan
lampu ruangan. Hal ini dikarenakan substrat sangat reaktif terhadap cahaya. Setelah 15 menit berlalu, dilakukan penambahan 100 µ l stop solution untuk
menghentikan reaksi. Kemudian dilakukan pembacaan dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm.
3.4 Pembacaan Hasil Hasil yang valid ditunjukkan dengan nilai absorban kontrol negatif harus
terbaca di bawah 0.30 dan perbedaan nilai rata-rata negatif kontrol dengan positif kontrol lebih besar dari pada 0.15.
3.5 Interpretasi Hasil
Sampel dengan nilai SP sebesar 0.5 atau lebih artinya mengandung anti antibodi terhadap Mycoplasma gallisepticum
dan hasil uji berarti “positif”. Perhitungan rasio SP:
Nilai sampel yang diuji - nilai rataan kontrol negatif = SP Nilai rataan kontrol positif - nilai rataan kontrol negatif
Nilai SP Status antibodi
0.499 atau kurang Negatif
0.500 atau lebih Positif
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara menggunakan 291 sampel darah ayam kampung. Pengambilan sampel dilakukan
dengan metode purposive. Sampel tersebut diambil dari 5 desa yang merupakan wilayah yang paling dekat dengan sentra peternakan ayam komersil. Jumlah
sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda. Desa Tanjung didapatkan sebanyak 146 sampel, Desa Jati sebanyak 43 sampel, Desa Pada Mulya sebanyak
12 sampel, Desa Parigi Mulya sebanyak 56 sampel, dan Desa Wanasari sebanyak 34 sampel. Sehingga didapatkan total sampel sebanyak 291 Tabel 1. Jumlah
sampel yang diambil merupakan jumlah proporsional yang didapatkan dari perhitungan berdasarkan populasi ayam kampung yang dipelihara secara
tradisional sektor 4 di masing-masing desa.
Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum
Nama Desa Jumlah
Positif Negatif Persentase
Persentase Sampel
Positif Negatif
Tanjung 146
42 104
28,77 71,23
Jati 43
15 28
34,88 65,12
Pada Mulya
12 3
9 25,00
75,00 Parigi
Mulya 56
15 41
26,78 73,21
Wanasari 34
8 26
23,53 76,47
Total Sampel
291 83
208 28,52
71,48
Pengujian serologis menunjukkan hasil bahwa dari 291 sampel, 83 sampel 28.52 menunjukkan hasil positif terhadap Mycoplasma gallisepticum.
Sedangkan 208 sampel 71.48 menunjukkan hasil negatif Tabel 1. Jika dilakukan perbandingan terhadap prevalensi serologis mycoplasmosis antar desa,
maka didapatkan bahwa Desa Jati memilki persentase yang lebih besar
dibandingkan dengan desa lainnya, yaitu sebesar 34.88. Sedangkan desa yang lainnya relatif hampir sama besar. Tanjung sebesar 28.77 , Pada Mulya sebesar
25, Parigi
Mulya sebesar 26.78, dan Wanasari sebesar 23.53 Tabel 1.
Gambar 2 Serum yang diuji ELISA di dalam microplate.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara cukup tinggi. Pengujian ini dilakukan
pada sampel darah ayam kampung dari peternakan sektor 4 yang merupakan peternakan skala rumah tangga. Ayam-ayam pada sektor ini umumnya hanya
mendapatkan vaksinasi terhadap Newcastle Disease ND dan jarang atau hampir tidak pernah mendapatkan vaksin terhadap penyakit lain termasuk CRD. Apabila
hasil uji menunjukkan positif terhadap Mycoplasma gallisepticum, artinya kemungkinan
besar ayam-ayam
tersebut telah
terpapar Mycoplasma
gallisepticum. Menurut Bradbury 2006 gejala klinis penyakit ini lebih sering terlihat pada ayam muda umur 4 sampai 9 minggu. Apabila penyakit menyerang
ayam usia relatif tua, maka gejala klinis jarang terlihat. Sehingga keberadaan penyakitpun sulit untuk diketahui.
Chronic Respiratory Disease memiliki banyak diagnosa banding, diantaranya yaitu Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis dan
sebagainya. Sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk meneguhkan diagnosa di samping dengan memperhatikan gejala klinis yang terjadi dan lesion
Warna biru=
positif Tidak
berwarna= negatif
patologis yang ditemukan OIE 2008. Salah satu uji serologis yang sering digunakan adalah uji ELISA.
Sampel darah ayam kampung yang digunakan diambil dari peternakan sektor 4, yaitu peternakan tradisional yang dipelihara oleh masyarakat setempat.
Sampel darah ayam diambil di 5 desa dari 10 desa di kecamatan Cipunagara. Berdasarkan data Pemkab Subang 2010b desa-desa di kecamatan ini yaitu
Simper, Kosambi, Jati, Tanjung, Parigi Mulya, Pada Mulya, Wanasari, Manyingsal, Sidamulya, dan Sidajaya. Sampel yang diambil berasal dari wilayah
desa yang berdekatan langsung dengan area peternakan sektor 1, 2, dan 3.
Gambar 3 Hasil pengujian serologis ayam kampung Kecamatan Cipunegara.
Angka prevalensi Mycoplasma gallisepticum di kelima desa Kecamatan Cipunegara ini relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sato 1996, yang menyebutkan bahwa angka prevalensi mycoplasmosis di Indonesia dengan menggunakan sampel dari 7 breeding farm, rata-rata
menunjukkan hasil pada rentang 0 sampai 74 positif mycoplasmosis. Selain itu, survei serologis terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum juga telah
dilakukan pada bebek di daerah Indramayu, Sumedang, dan Cirebon. Hasil tersebut menunjukkan angka prevalensi sebesar 17.4 di Indramayu, 7.7 di
Sumedang, dan 4.1 di Cirebon Soeripto 1988. Infeksi Mycoplasma gallisepticum telah dilaporkan sebagai masalah yang
signifikan pada flok-flok ayam di negara-negara lainnya di Asia, diantaranya yaitu Jepang, Banglades, India, China, Korea, Malaysia, Philipina, Vietnam, Thailand,
Positif Negatif
dan Israel Levisohn et al. 2000; Sato 1996. Penelitian infeksi Mycoplasma gallisepticum juga dilakukan di beberapa negara di Asia. Salah satu diantaranya
adalah Korea. Penelitian ini telah dilakukan semenjak tahun 1967 pada flok-flok ayam dengan pengujian secara serologis dan isolasi Mycoplasma gallisepticum
dari ayam-ayam yang terinfeksi secara alami. Pada tahun 1977, tingkat insidensi mycoplasmosis pada 20 flok breeder dari 6 wilayah di Korea menunjukkan hasil
yang berada pada rentang 20 sampai 67 positif mycoplasmosis, dengan rata- rata 47,4. Penelitian infeksi Mycoplasma gallisepticum di Malaysia dilakukan
pada tahun 1976 dengan hasil lebih kurang 50 dari 224 peternakan ayam terinfeksi avian mycoplasmosis. Kemudian dilakukan survei serologis terhadap
prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada tahun 1987 sampai 1989 di 79 peternakan unggas dari 6 wilayah terpilih di Malaysia. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil sebesar 17,2 sampel positif Mycoplasma gallisepticum Sato 1996.
Tingkat infeksi Mycoplasma gallisepticum di Philipina tidak jauh berbeda dengan negara asia lainnya. Sekitar 75 000 kasus CRD dilaporkan terjadi di
industri ternak di Bureau. Infeksi ini juga dilaporkan terjadi di pulau Ruson pada tahun 1958 dan 1971. Pada tahun 1977 dilakukan pengujian serologis pada 156
sampel ayam dari 9 flok yang terdapat di pulau Palawan. Hasil uji menunjukkan persentase ayam yang positif Mycoplasma gallisepticum adalah sebesar 35.9.
Tetapi hasil ini relatif lebih rendah dibandingkan hasil pengujian yang dilakukan di China Taipei. Kemudian dilakukan pengujian serologis selama 3 tahun
berturut-turut dari tahun 1990 sampai tahun 1992 pada flok unggas di China Taipei. Pengujian tersebut menunjukkan hasil positif sebesar 52.7 pada tahun
1990, 81.65 pada tahun 1991, dan 79 pada tahun 1992. Diantara 18 flok yang diuji, 16 flok menunjukkan hasil yang positif mengandung antibodi Mycoplasma
gallisepticum pada tahun 1990. Dan 11 dari 12 flok breeder yang diuji pada tahun 1991 menunjukkan hasil yang positif Sato 1996.
Penelitian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum juga telah dilakukan di Banglades. Pada 2005 penelitian dilakukan pada peternakan breeder
di wilayah Banglades. Hasil pengujian menunjukkan hasil angka prevalensi serologis sebesar 58.90 positif infeksi Mycoplasma gallisepticum dari 382
sampel serum yang diuji Sarkar et al. 2005. Pada tahun 2006, dilakukan penelitian yang sama untuk mengetahui prevalensi serologis Mycoplasma
gallisepticum dengan menggunakan 400 sampel serum yang terdiri atas 200 sampel serum ayam petelur dan 200 sampel serum ayam pedaging. Hasil
pengujian menunjukkan angka prevalensi serologis total sebesar 58 Barua et al. 2006. . Hasil ini relatif hampir sama dengan hasil pengujian pada tahun 2007 di
wilayah Rajashi, Banglades yang menunjukkan hasil sebesar 55.13 Hossain et al. 2007. Jika dibandingkan ketiga hasil tersebut, maka dapat dilihat bahwa
ketiganya memiliki nilai yang hampir sama, yaitu 50. Angka ini cukup tinggi untuk tingkat prevalensi suatu penyakit. Hal inilah yang mendorong negara
Banglades untuk lebih memperhatikan pergerakan kejadian penyakit ini. Karena penyakit ini dianggap salah satu masalah penting di peternakan unggas di
Banglades Hossain et al. 2007. Masyarakat Indonesia selalu berpendapat bahwa ayam kampung relatif lebih
tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan ayam ras. Namun demikian, bukan berarti bahwa masalah pengendalian penyakit dapat diabaikan begitu saja. Hal ini
dapat mempengaruhi laju populasi dan produktivitas ayam kampung, disamping akan menurunkan berat badan ayam kampung pedaging Suryana 2008. Beberapa
faktor yang dapat memicu berkembangnya penyakit pada ayam antara lain lingkungan kandang yang kotor, kekurangan vitamin, keracunan pakan dan
minuman yang kotor, cacat, dan sifat kanibal. Sanitasi kandang merupakan faktor lain yang perlu diperhatikan, terutama pada musim hujan.
Angka prevalensi serologis infeksi Mycopasma gallisepticum pada ayam kampung tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena dapat menyebabkan kerugian
ekonomi yang sangat besar. Menurut Soeripto 2009 estimasi kerugian ekonomi yang disebabkan oleh Chronic Respiratory Disease mencapai milyaran rupiah
pertahun di Indonesia sedangkan di Amerika kerugiannya mencapai ratusan juta dollar pertahun. Di samping itu, jika penyakit benar-benar telah berada di
lingkungan peternakan sektor 4 peternakan tradisional, ayam yang terinfeksi dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi ayam-ayam lain di peternakan
sektor 4 maupun ayam-ayam di peternakan sektor lainnya. Lokasi peternakan sektor 4 terletak berdekatan dengan peternakan sektor lainnya dan sistem
pemeliharaannya sebagian besar masih bersifat tradisional-ekstensif. Ayam-ayam tersebut dilepas secara bebas di lingkungan. Sehingga perlu dilakukan tindakan-
tindakan pencegahan. Menurut Suryana 2008, ada dua cara untuk mengatasi penyakit pada ayam buras, yaitu dengan program pengendalian dan pembasmian.
Program pengendalian meliputi: 1 menjauhkan ternak dari kemungkinan tertular penyakit yang berbahaya, 2 meningkatkan daya tahan tubuh ternak dengan
vaksinasi, pengelolaan dan pengawasan yang baik, dan 3 melakukan diagnosis dini secara cepat dan tepat. Program pembasmian penyakit dapat dilakukan
melalui: 1 test and slaughter, yaitu apabila ternak dicurigai positif menderita penyakit pulorum, CRD atau lainnya harus dimusnahkan, 2 test and treatment,
bila diketahui ada penyakit dilakukan pengobatan, dan 3 stamping out, yaitu bila terjadi kasus penyakit menular dan menyerang seluruh ayam di peternakan, maka
ayam, kandang, dan peralatan harus dimusnahkan. Menurut Hadi 2001 salah satu usaha untuk mencegah dan
mengendalikan penyakit pada ayam adalah melalui program biosecurity. Program ini dipandang sebagai cara termurah dan efektif. Bahkan tidak satupun program
pengendalian penyakit dapat berjalan baik tanpa disertai program biosecutity. Asal kata biosecurity yaitu bio artinya hidup dan security artinya perlindungan atau
pengamanan. Jadi biosecurity adalah sejenis program yang dirancang untuk melindungi kehidupan. Dalam arti yang sederhana kalau untuk peternakan ayam
adalah membuat kuman atau agen penyakit jauh dari tubuh ayam dan menjaga ayam jauh dari kuman. Pelaksanaan program biosecurity meliputi kontrol lalu
lintas hewan, vaksinasi, pencucian kandang ayam, kontrol terhadap pakan, kontrol air, kontrol limbah sisa-sisa produksi dan ayam mati.
Salah satu cara pengendalian yang dianggap mampu menekan kejadian mycoplasmosis pada ayam adalah dengan cara vaksinasi. Salah satu vaksin yang
pernah diuji lapang dapat mencegah infeksi Mycoplasma gallisepticum pada ayam, adalah vaksin inaktif Mycoli. Vaksin ini memilki efektifitas yang baik
untuk perlindungan terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum dari luar, meningkatkan berat badan, dan meningkatkan efisiensi pakan Soeripto 2006.
Menurut Soeripto 2009 salah satu vaksin yang baru ditemukan adalah vaksin Mutan MGTS 11, yang merupakan isolat Mycoplasma gallisepticum yang telah
diproses dengan kondisi tertentu. Menurut Withear 1996 baik vaksin aktif maupun inaktif Mycoplasma gallisepticum dapat digunakan untuk menekan
kejadian mycoplasmosis. Pada umumnya hampir semua vaksin bertujuan untuk mencegah penurunan produksi telur, menghindari kerugian akibat tindakan
eradikasi, dan mencegah transmisi penyakit ke ayam sehat lainnya CFSPH 2007. Tetapi vaksin aktif MGTS-11 dinilai lebih efektif dibandingkan dengan vaksin
inaktif karena vaksin ini memiliki daya proteksi yang lebih baik, bersifat avirulen, dan daya sebar ke unggas lainnya yang rendah Kleven 2005.
Salah satu program pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian antibiotik. Beberapa antibiotik yang sering digunakan antara lain, yaitu
makrolida, tetrasiklin, dan fluoroquinolon. Tetapi bakteri ini resisten terhadap antibiotik yang memiliki target pada dinding sel Songer 2005.
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan