mengetahui prevalensi penyakit akibat infeksi Mycoplasma pada ayam kampung. Penelitian tentang mycoplasmosis masih sangat jarang dan terbatas dilakukan di
beberapa negara, termasuk Indonesia. Meskipun telah disadari bahwa pengetahuan tentang prevalensi Mycoplasma dapat dijadikan salah satu dasar
pertimbangan untuk melakukan kontrol yang efektif dalam usaha pencegahan infeksi selanjutnya Hossain 2007.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi serologis Mycoplasma pada ayam
kampung di
Kecamatan Cipunegara
Kabupaten Subang
dan merekomendasikan langkah pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi prevalensi serologis Mycoplasma pada ayam kampung di Kecamatan Cipunegara Kabupaten Subang
sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk melakukan tindakan kontrol yang efektif.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Chronic Respiratory Disease CRD
Chronic respiratory disease CRD merupakan salah satu penyakit yang menyerang sistem pernafasan pada unggas. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri Mycoplasma gallisepticum. Penyakit ini dapat menyerang semua umur ayam, tetapi lebih banyak menyerang ayam muda OIE 2008.
2.2 Mycoplasma
2.2.1 Karakteristik
Kingdom : Bacteria
Phylum : Tenericutes atau Firmicutes
Class : Mollicutes
Order : Mycoplasmatales
Family : Mycoplasmataceae
Genus : Mycoplasma
Gambar 1 Gambaran Mycoplasma secara mikroskopis. Anonim 2011
Genus Mycoplasma terdiri atas lebih dari 100 spesies. Sebagian besar Mycoplasma merupakan spesies-spesific-host-organism associations, artinya tiap
spesies Mycoplasma memilki inang yang spesifik. Menurut Angkap 2010 dan Songer 2005 bakteri ini dapat ditemukan pada beberapa jenis hewan,
diantaranya pada babi Mycoplasma hyopneumoniae
,
pada sapi Mycoplasma bovis, pada domba Mycoplasma ovis, pada anjing Mycoplasma haemocanis,
dan pada kucing Mycoplasma haemofelis. Beberapa spesies diantaranya dapat
menyerang unggas, yaitu M. gallisepticum, M. synoviae, M. meleagridis dan M. Iowae. Spesies yang paling patogen terhadap unggas adalah Mycoplasma
gallisepticum Afiff 2010. Mycoplasma merupakan organisme pleomorfik yang tergolong prokaryotik
terkecil yang dapat bereplikasi sendiri Quinn 2005. Bakteri ini memiliki diameter antara 0.2-0.3 µm. Mycoplasma memiliki struktur yang sederhana,
terdiri dari ribosom dan DNA yang dikelilingi oleh tiga lapis membran sitoplasma yang elastis, yaitu sterol, phospolipid, dan protein, serta memiliki dinding sel yang
lunak Songer 2005; Soeripto 2009. Karakteristik ini menyebabkan Mycoplasma sangat resisten terhadap penisilin dan derivatnya yang memiliki target pada
dinding sel Soeripto 2009. Sebagian besar Mycoplasma bersifat fakultatif anaerob, kecuali yang
patogen terhadap manusia, yaitu Mycoplasma pneumonia yang bersifat aerob. Pertumbuhan bakteri ini berjalan lambat, dengan satu waktu generasi 1 sampai 6
jam Songer 2005. Mycoplasma gallisepticum sensitif terhadap disinfektan, pH dan temperatur yang ekstrem, dan lisis oleh detergen. Bakteri ini juga mudah
terpengaruh oleh sejumlah antimikroba termasuk makrolida, aminoglykosida, dan fluoroquinolon Bradbury 2006.
2.2.2 Inang
Ayam, bebek, burung, dan jenis unggas lainnya dapat menjadi inang organisme ini. Infeksi Mycoplasma gallisepticum dapat terjadi pada berbagai
tingkatan umur. Tetapi gejala klinis lebih terlihat pada sebagian besar unggas muda ataupun unggas yang mengalami stres Bradbury 2006.
2.2.3 Penyebaran Infeksi
Penyebaran Mycoplasma terjadi baik secara vertikal maupun horizontal. Penyebaran secara vertikal dapat terjadi secara transovarial atau melalui oviduct
Bradbury 2006; Walker 2004. Embryo yang terinfeksi dapat mengalami kematian, khususnya jika terinfeksi oleh strain Mycoplasma gallisepticum yang
virulen, tetapi sebagian menetas dan menyebarkan infeksi pada keturunan
berikutnya. Mycoplasma gallisepticum mampu bertahan dengan baik pada kandungan telur cairan allantois dan kuning telur. Hal ini menjadi perhatian
penting bagi perusahaan vaksin yang menggunakan telur atupun kultur sel yang berasal dari telur. Karena telur yang terinfeksi dapat mengontaminasi vaksin
Bradbury 2006. Penyebaran secara horizontal dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Unggas yang terinfeksi dapat menjadi sumber penyebaran penyakit dalam suatu kelompok melalui kontak langsung, yaitu hasil dari ekshalasi, batuk,
atau bersin. Hal ini dapat terjadi selama fase akut penyakit. Burung dengan epitel saluran pernafasan yang rusak dapat menjadi target yang baik untuk kolonisasi
Adler 1966. Tingkat penyebaran juga tergantung dari beberapa faktor seperti kepadatan kandang, jumlah mikroba, dan kepekaan individu terhadap strain
Mycoplasma tersebut. Bakteri ini tidak selalu menyerang unggas yang berdekatan kandang, bahkan dinding kandang kemungkinan dapat bertindak sebagai barier
pertahanan terhadap transmisi Bradbury 2006. Penyebaran tidak langsung dapat terjadi melalui pekerja dan peralatan kandang yang terkontaminasi dan
memungkinkan terjadinya penyebaran dari satu kelompok ayam ke kelompok ayam lainnya CFSPH 2007.
Periode inkubasi penyakit ini adalah 6-21 hari Poultry Disease Network 2006. Tetapi pada kondisi alam periode inkubasi tersebut sulit diprediksi secara
pasti karena faktor lingkungan dapat mempengaruhi derajat infeksi. Semakin buruk kondisi lingkungan dan manajemen kesehatan, kandang, dan sebagainya
maka periode inkubasinya dapat berlangsung lebih cepat Poultry Disease Network 2006; Soeripto 2009. Bakteri ini mampu bertahan pada beberapa benda
selama setengah hari. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Mycoplasma gallisepticum dapat bertahan dengan sangat baik pada bulu unggas, rambut
manusia, dan pakaian berbahan katun Bradbury 2006.
2.2.4 Pathogenesis
Mycoplasma gallisepticum masuk ke traktus respiratorius melalui proses inhalasi. Bakteri tersebut menempel pada reseptor epitel yang disebut
sialoglycoprotein. Kemudian ia menempel dan merusak mukosa epitel sambil
memperbanyak diri. Mycoplasma memiliki ciliostatic yang merupakan faktor yang menyebabkan lemahnya aktivitas silia. Di samping itu, Mycoplasma
gallisepticum merupakan salah satu dari beberapa Mycoplasma yang mensekresikan hydrogen peroksida, yang dapat menyebabkan stres oksidatif pada
membran sel inang. Meskipun dipandang sebagai patogen permukaan mukosa, dewasa ini diketahui bahwa Mycoplasma gallisepticum memilki kemampuan
untuk menyerang sel dan mengganggu mekanisme transpor sel. Hal ini menyebabkan mereka mampu mengelabui antibodi dan antimikroba. Rute utama
keluarnya Mycoplasma gallisepticum dari inang adalah melalui traktus respiratorius dan infeksi dari traktus genitalia yang dapat menyebabkan
kontaminasi pada telur atau semen Bradbury 2006.
2.2.5 Gejala dan Lesio
Perkembangan klinis penyakit tergantung pada keberadaan patogen lain ataupun faktor cekaman atau stres, kecuali untuk unggas muda. Gejala klinis
bervariasi bergantung pada derajat keparahan infeksi. Gejala klinis diawali dengan keluarnya cairan eksudat bening catarrhal dari rongga hidung, bersin, batuk,
ngorok, kebengkakan pada kelopak mata, dan radang konjunctiva conjunctivitis. Jika infeksi berlanjut dan disertai dengan infeksi sekunder maka eksudat hidung
dapat menjadi kental. Gejala pernafasan kemudian diikuti dengan turunnya nafsu makan, berat badan, dan produksi telur. Lesio yang sering ditemukan berupa
sinusitis, tracheitis, air sacculitis, dan mucus pada trakhea Avakian 1993; Soeripto 2009; Songer 2005.
2.2.6 Diagnosis
Chronic Respiratory Disease memiliki banyak diagnosa banding, diantaranya yaitu Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis dan
sebagainya. Sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk meneguhkan diagnosa disamping dengan memperhatikan gejala klinis yang terjadi dan lesion
patologis yang ditemukan OIE 2008. Tiga macam pendekatan yang biasanya digunakan antara lain adalah uji serologis, isolasi dan identifikasi organisme, dan
deteksi DNA. Uji-uji serologis ini paling sering digunakan untuk mendeteksi
keberadaan Mycoplasma pada suatu kelompok. Salah satu uji serologis yang sering digunakan adalah uji ELISA. Beberapa kit ELISA komersial dipasarkan
dan beberapa telah mendapat persetujuan dari United State Departement of Agriculture USDA untuk digunakan pada National Poultry Improvement Plan
NPIP. Kit dibuat untuk mendeteksi antibodi ayam secara valid. Satu kit menggunakan monokonal antibodi, dan dapat digunakan untuk serum dari
berbagai inang unggas Bradbury 2006.
2.3 Ayam Kampung
Ayam buras merupakan salah satu jenis unggas lokal yang berpotensi sebagai penghasil telur dan daging. Populasi ayam buras di Indonesia tersebar di
seluruh pelosok pedesaan dengan pola pemeliharaan umumnya bersifat ekstensif- tradisional. Produktivitas ayam buras umumnya rendah karena sistem
pemeliharaan secara ekstensif, pemberian pakan yang belum memperhatikan kualitas dan kuantitas nutriennya, tingkat mortalitas tinggi terutama pada Day Old
Chicken DOC, serta keragaman individu yang cukup besar. Upaya meningkatkan produktivitas ayam buras dapat dilakukan dengan introduksi
teknologi pemeliharaan dari ekstensif-tradisional menjadi semi intensif hingga intensif yang didukung dengan perbaikan teknologi perbibitan, pakan, produksi,
dan pengendalian penyakit. Tersedianya teknologi usaha tani ayam buras spesifik lokasi diharapkan akan mendukung pengembangan ayam buras yang lebih
menguntungkan Suryana 2008. Ayam buras pengertiannya meliputi seluruh ayam bukan ras selain ayam
negeri pedaging dan petelur. Sehingga banyak masyarakat yang menggolongkan ayam kampung ke dalam golongan ayam buras. Ada yang menyamakan
pengertian ayam kampung dengan ayam bukan ras ayam buras. Sementara itu, ada yang mengatakan antara keduanya berbeda. Nurcahyo 2002.
Sampai saat ini belum ada batasan yang pasti tentang pengertian ayam kampung. Penyebutan ayam kampung hanya sekedar untuk menunjukkan jenis
ayam lokal dengan ketidakanekaragaman genetis yang tinggi yang sudah dikenal luas dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Jenis ayam lokal ini
diperkirakan menjadi bervariasi karena pengaruh isolasi tempat. Variasi individu
dalam satu jenis ini tidak hanya terbatas pada bulu, tetapi juga pada ukuran tubuh, produktivitas telur, dan suara. Semua variasi ayam lokal ini ada yang
menyebutnya sebagai ayam bukan ras Nurcahyo 2002. Potensi individu berupa potensi genetik yang dimiliki ayam kampung yang
dapat dilihat dari produktivitasnya meliputi pertumbuhan dan kemampuan bereproduksi Wihandoyo 2009.
Ayam kampung memilki tubuh yang kecil, produktivitas telurnya rendah, pertumbuhan tubuhnya lambat, dan tidak pantas
dijadikan ayam hias, baik dari segi suara maupun penampilan. Meskipun ayam ini banyak dibudidayakan, tetapi pemeliharaannya lebih banyak diserahkan pada
alam. Akibatnya, seleksi alam berperan sangat besar terhadap kelangsungan hidup keturunananya. Sekalipun banyak mendapatkan tantangan yang berat, ayam ini
mampu membuktikan bahwa dirinya dapat lolos dan bertahan di tengah maraknya peternakan ayam ras Sarwono 2003. Sampai saat ini, ayam kampung masih
banyak dijumpai di setiap desa di Indonesia. Pada umur yang sama, ayam kampung memilki bobot badan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ayam
ras. Dengan pemeliharaan yang intensif, pada umur satu bulan ayam ras telah mencapai bobot badan 250 gr, sedangkan ayam kampung baru mencapai 150 gr.
Namun pada umur 4 bulan, perbedaannya tidak terlalu jauh, ayam ras mencapai bobot sekitar 1 570 gr, sedangkan ayam kampung sekitar 1 400 gr Nurcahyo
2002. Di Jawa Barat dan Jawa Timur, pemeliharaan ayam buras berkembang
dengan pesat karena berbagai faktor, antara lain: 1 kesesuaian lokasi geografis, 2 petani-peternak menyenangi memelihara ayam buras, 3 cara pemeliharaan yang
mudah dan tidak membutuhkan modal besar, dan 4 pemeliharaan merupakan usaha sampingan atau tabungan. Petani dan peternak banyak yang memelihara
ayam buras karena mampu memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menopang perekonomian keluarga. Telur dan daging ayam buras mampu bersaing
dengan ayam ras dan harganya relatif stabil serta konsumennya luas. Ayam buras tersebar luas dan sebagian besar masyarakat di pedesaan memiliki dan
memeliharanya, sehingga sangat mendukung untuk dikembangkan dalam menunjang peningkatan pendapatan keluarga petani-peternak di pedesaan serta
cocok untuk usaha sampingan selain bercocok tanam Suryana 2008.
BAB III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian