Konsep Daya Saing Konsep Faktor Internal dan Eksternal

compounding, sedangkan untuk mengkonversi nilai uang masa depan kenilai sekarang menggunakan metode discounting pada tingkat bunga sosial atau Social Discount Rate SDR yang sama, sedangkan jenis kriteria investasi yang umum dipakai yaitu: 1 Net Present Value NPV, 2 Internal Rate of Return IRR, 3 Net Benefit-Cost Ratio Net BC dan Pay Back Period PBP. Menurut Aliluddin 2006, pada dasarnya kriteria investasi tersebut diatas konsisten satu sama lain, artinya jika dievaluasi dengan kriteria NPV dan kriteria lainnya akan menghasilkan rekomendasi yang relatif sama, tetapi informasi spesifik yang dihasilkan akan berbeda. Oleh karena itu dalam prakteknya masing-masing kriteria sering dipergunakan secara bersamaan dalam rangka mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dari perilaku suatu investasi usaha.

2.1.1.2. Konsep Daya Saing

Konsep keunggulan bersaing dalam perdagangan suatu komoditas atau produk antar wilayah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Konsep yang pertama dimulai dari keunggulan absolut dari Adam Smith 1776 yang menyatakan bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan apabila dengan faktor-faktor alamiahnya masing-masing negara dapat mengadakan suatu produk yang lebih murah dibandingkan dengan memproduksinya sendiri. Dengan kata lain, suatu wilayah dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan apabila total biaya sumber daya untuk memproduksi suatu barang secara absolut lebih rendah dari biaya sumber daya untuk memproduksi barang yang sama di negara lain. Oleh karena itu, menurut konsep tersebut, setiap negara hendaknya mengkhususkan diri untuk memproduksi barang-barang yang paling efisien yaitu barang-barang yang diproduksi dengan biaya paling murah Asheghian dan Ebrahimi, 1990. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa ternyata dua wilayah masih mendapatkan keuntungan dari perdagangan bahkan apabila salah satu negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi semua komoditas atau produk. Dipicu oleh realitas tersebut, kemudian muncul konsep keunggulan komparatif dari David Ricardo 1817 yang menyatakan bahwa apabila suatu wilayah dapat memproduksi masing-masing dua barang dengan lebih efisien dibandingkan dengan wilayah lainnya, dan dapat memproduksi salah satu dari kedua barang tersebut dengan lebih efisien, maka hendaknya wilayah tersebut mengkhususnya diri dan mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih efisien, yaitu komoditas yang memiliki keunggulan absolut terbesar. Sebaliknya, wilayah yang memiliki efisiensi yang lebih rendah hendaknya mengkhususnya diri dan mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih rendah inefisiensinya yaitu komoditas yang paling rendah dalam ketidakunggulannya Asheghian dan Ebrahimi, 1990. Selanjutnya, muncul konsep keunggulan kompetitif yang merupakan penyempurnaan dari konsep keunggulan komparatif. Pada konsep keunggulan kompetitif, keunggulan suatu wilayah tidak hanya bersumber dari faktor alamiah saja. Konsep keunggulan kompetitif yang terkenal adalah konsep yang dicanangkan oleh Porter 1990, yang mengemukakan bahwa daya saing suatu industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada keunggulan dari empat atribut yang dimilikinya, yaitu: 1 kondisi faktor, 2 kondisi permintaan, 3 industri terkait dan penunjang, dan 4 strategi, struktur, dan persaingan perusahaan, yang terkenal dengan sebutan “The Diamond of Porter”. Keempat atribut tersebut secara bersama-sama dan ditambah dengan kesempatan, serta kebijakan pemerintah yang kondusif untuk mempercepat keunggulan dan koordinasi antar atribut tersebut, kesemuanya akan mempengaruhi kemampuan bersaing suatu industri di suatu negara. Sinergis dengan Potter 1990, Cho 1994 mengemukakan bahwa dalam dunia dimana bahan baku, modal dan tenaga kerja bergerak diseluruh batas wilayah, keunggulan komparatif saja tidak menentukan daya saing internasional. Daya saing juga tidak boleh diukur dari pangsa pasar suatu negara dalam pasar dunia, karena suatu negara dapat saja meningkatkan pangsa pasarnya dengan menurunkan harga misalnya melalui subsidi tetapi daya saing internasionalnya tidak selalu menguat. Daya saing juga tidak boleh diukur berdasarkan faktor harga atau bukan harga. Harga yang meningkat terlihat melemahkan daya saing internasional sebuah negara, namun dalam kenyataannya negara dengan daya saing internasional yang kuat dapat meningkatkan harga produknya. Status kualitas, daya tahan, rancangan dan kepuasan konsumen digunakan untuk mengevaluasi daya saing bukan harga, tetapi tidak ada bukti empiris untuk membuktikan pengaruhnya. Faktor harga dan bukan harga bukanlah penyebab tetapi merupakan hasil dari daya saing internasional sebuah negara. Konsep terakhir mengenai daya saing yang dikembangkan Cho dan Moon 2003 dapat menjelaskan mengapa tiap ahli pada zamannya dan pada lokasi berbeda mendefinisikan daya saing secara berbeda pula, konsep ini dikenal sebagai model sembilan faktor yang merupakan model penyempurnaan dari model diamond yang dikemukakan oleh Potter 1990. Model sembilan faktor mengemukaan bahwa daya saing internasional ditentukan oleh 4 faktor fisik- sumber daya yang dianugrahkan yang keseluruhannya dimobilisasi dan dikendalikan oleh keempat faktor manusia. Kedelapan faktor ini memainkan peran yang berbeda dalam tahap yang berbeda dalam pembangunan perekonomian suatu wilayah atau negara yaitu: 1 tahap awal, dimana persaingan terbatas pada sumber daya yang dianugrahkan, dalam kondisi ini suatu industri memperoleh potensi pertumbuhan dengan mengandalkan produk yang memiliki biaya produksi terendah atau berharga lebih rendah, 2 tahap pertumbuhan, industri memerlukan politisi dan birokrat yang bersedia mendukung bisnis secara sistematis melalui berbagai kebijakan yang mendukung, 3 tahap kedewasaan, inovasi muncul dalam proses manufaktur, pengembangan produk dan organisasi bisnis, dimana industri mencakup persaingan penuh dari perusahaan domestik maupun asing dan persaingan akan merangsang pengembangan produk dan perbaikan kualitas, dan 4 tahap penurunan, industri yang gagal mempertahan inovasi akan memasuki tahap penurunan, untuk memperbaiki kondisi ini diperlukan manajer yang profesional. Daya saing internasional suatu industri diperkuat dan diperlemah oleh berbagai peluang dan peristiwa atau faktor eksternal yang merupakan faktor ke sembilan. Untuk lebih jelas pembagian sembilan faktor penentu daya saing dalam tahap pembangunan perekonomian sebuah negara dapat dilihat pada Gambar 1. Ti ng kat daya s ai ng in tern asi o n al Gambar 3. Siklus Hidup Daya Saing Industrial Berdasarkan Model 9 faktor Tahap Tahap awal Tahap bertumbuh Tahap dewasa Tahap Penurunan 4 Faktor Fisik Sumber daya Alam Lingkungan Bisnis Industri terkait dan Pendukung Permintaan domestik 4 Faktor Manusia Pekerja Politisi dan Birokrat Para wirausahawan Para manajer dan profesional Faktor Eksternal Peluang dan peristiwa Peluang dan peristiwa Peluang dan peristiwa Peluang dan peristiwa Contoh: Sebagian besar negara Afrika dan beberapa negara Asia dan Amerika latin Thailand Filipina Indonesia Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura, Spanyol dan Brazilia Amerika Serikat, Jepang dan Negara-negara Eropa barat Gambar 1. Siklus Hidup Daya Saing Industrial Berdasarkan Model 9 faktor Sebagian besar wilayah Indonesia berdasarkan konsep model sembilan faktor berada pada tahap awal dan pertumbuhan, dimana daya saing masih dominan ditentukan olah keunggulan komparatif atau sumber daya yang dianugrahkan dan kebijakan pemerintah yang mendukung. Dalam kondisi ini suatu industri memperoleh potensi pertumbuhan dengan mengandalkan produk yang memiliki biaya produksi terendah atau berharga lebih rendah dan memerlukan kebijakan pemerintah yang mendukung. Oleh karena itu pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif dengan metode DRCR dan PCR masih cukup sesuai untuk menilai daya saing produk industri Indonesia.

2.1.2. Konsep Strategi Pengembangan Usaha