Teknik perumusan strategi yang penting menurut David 2002 dapat dipadukan menjadi kerangka kerja pembuatan keputusan tiga tahap, yaitu: 1
tahap input, 2 tahap mencocokkan, dan 3 tahap keputusan. Tahap input merupakan tahap analisis lingkungan, beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam dalam prosedur analisis lingkungan adalah: 1 menentukan relevansi karena tidak semua faktor lngkungan berpengaruh pada suatu usaha dan 2
menentukan tingkat relevansi dari issu strategi strategic issue, yaitu faktor lingkungan yang mempengaruh besar terhadap usaha. Tahap mencocokkan,
mencocokkan faktor-faktor strategis internal dan eksternal merupakan kunci efektif menghasilkan alternatif strategi yang layak. Tahap keputusan, tahap
keputusan menjadi penting jika ada beberapa alternatif strategi dalam pengembangan usaha. Pada umumnya strategi yang terpilih adalah strategi
memiliki peringkat tertinggi atau yang diramalkan dapat memenuhi tujuan dari suatu usaha secara optimal.
2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang minyak cengkeh yang telah banyak dilakukan adalah mengenai pengujian kualitas, teknis produksi, pemisahan unsur-unsur dalam
minyak cengkeh dan pemanfaatan minyak cengkeh untuk berbagai produk industri, sedangkan penelitian tentang terkait dengan daya dukung faktor internal
dan eksternal dalam pengembangan UKM penyulingan minyak cengkeh dan strategi pengembangannya masih sangat terbatas. Oleh karena itu dalam dalam
bagian penelitian-penelitian terdahulu ini menampilkan hasil-hasil penelitian yang memiliki kemiripan produk dan alat analisa.
Menurut Hafsah 2004, pada umumnya permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah UKM, terkait dengan faktor internal UKM
antara lain meliputi: 1 kurangnya permodalan, 2 sumberdaya manusia SDM
yang terbatas 3 sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun, 4 sifat produk dengan lifetime
pendek 5 lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar, sedangkan yang terkait dengan faktor eksternal UKM antara lain meliputi: 1
iklim usaha belum sepenuhnya kondusif, 2 terbatasnya sarana dan prasarana usaha, 3 implikasi otonomi daerah, dan 4 implikasi perdagangan bebas. Oleh
karena itu pengembangan UKM kedepan, perlu menggabungkan keunggulan lokal lingkungan internal dan peluang pasar global, yang disinergikan dengan
era otonomi daerah dan pasar bebas, atau dengan kata lain pemgembangan UKM perlu pemikiran dalam skala global namun implentasi tindakan yang bersifat
lokal think globaly and act locally dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan UKM.
Penelitian yang dilakukan oleh Supriatna 2004, mengenai sistem perencanaan model pengembangan agroindustri minyak cengkeh di Sulawesi
Utara menunjukkan ketersediaan bahan baku, kemudahan pemasaran, kemudahan transportasi, ketersediaan tenaga kerja, adanya sarana listrik,
adanya sarana air, kemudahan investasi, iklim, tersedianya unsur penunjang dan prospek jangka panjang merupakan faktor internal penting yang sangat
berpengaruh pada kelayakan usaha minyak cengkeh pada kapasitas penyulingan 18 ton daun cengkeh kering per harinya dengan prediksi perolehan
minyak 504 kghari pada rendemen penyulingan 2,8. Secara finansial prediksi investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik minyak cengkeh pada
kapasitas tersebut di atas adalah Rp. 863 juta, modal investasi ini diperkirakan akan kembali selama 0.63 tahun atau 7.56 bulan dengan titik pulang pokok
10.515 ton tahun. Hasil analisis kelayakannya menunjukkan NPV sebesar Rp. 5.35 milyar lebih besar dari nol, nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga
yang berlaku 18 yaitu 49,2 dan BC rasionya 1.66 lebih besar dari 1,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengembangan teknologi penyulingan minyak di Sulawesi Utara layak untuk dilaksanakan.
Selanjutnya hasil penelitian Smallfield 2004, mengatakan bahwa ukuran kapasitas produksi dan penggunaan teknologi yang tepat sangat penting dalam
upaya pencapaian efisiensi produksi dalam destilasi minyak atsiri atau dengan kata lain memaksimalkan rendemen yang diperoleh. Rendemen minyak yang
dihasilkan lewat proses destilasi umumnya kecil yaitu berkisar antara 0.1 – 2 persen oleh karena itu dalam pengusahaannya sebaiknya mengolah bahan baku
dari luas areal minimal sebesar 20 hektar per unit investasi agar diperoleh kuantitas minyak dan keuntungan yang layak.
Penelitian MacTavish 2002, mengenai studi ekonomi produksi essensial oil di UK, menunjukkan bahwa subsidi dan tingkat bunga yang rendah berhasil
meningkatkan produksi minyak atsiri, dalam hal ini akses terhadap alat penyulingan yang baik adalah penting mengingat harga peralatan tersebut cukup
mahal. Hal ini memungkinkan dengan melibatkan lembaga riset untuk menciptakan alat suling yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas hasil
penyulingan, memberikan bantuan modal kepada produsen, mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan output dalam skala besar, perbaikan penetrasi
pasar dan posisi tawar, pengembangan infrastuktur, industri terkait, asosiasi pengusaha dan pusat riset minyak atsiri yang baik .
Penelitian yang dilakukan oleh Maarthen 1998, mengenai aspek ekonomi penyulingan minyak kayu putih Pulau Buru, menunjukkan produk minyak kayu
putih Maluku memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai PCR sebesar 0.4574, dimana sebagian besar produksi minyak kayu putih Maluku adalah untuk
memenuhi kebutuhan domestik Indonesia. Gumbira-Said et al. 2003. Pengembangan industri pengolahan sabut
kelapa layak dilaksanakan berdasarkan hasil kriteria investasi dimana di peroleh
NPV bernilai positif, IRR diatas suku bunga komersial 22 dan Net BC di atas satu. Analisisis nilai tambah pada skala optimal menunjukkan pengolahan
mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 135.65 per butir kelapa dengan rasio nilai tambah pada proses pengolahan mencapai 75.35 persen, bagian
tenaga kerja mencapai 62.01 persen dan bagian manajemen mencapai 62.01 persen dan agar distribusi kebutuhan investasi dan modal tersebar luas, skala
optimal sebaiknya dilakukan selama 6 tahun investasi. Analisa daya dukung faktor internal dan eksternal dengan menggunakan analisis matrix IFE dan EFE
yang dipetakan pada diagram SWOT, menunjukkan skor parameter peluang lebih besar dari parameter ancaman dan pengembangan agroindusti pengolahan
sabut kelapa berada pada skenario optimis dan implementasi penuh merupakan alternatif terbaik.
Hasil analisis daya saing komoditas kedelai yang dilakukan oleh Siregar 2003 di DAS Brantas, menyimpulkan bahwa daya saing komoditas kedelai
mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya karena produsen kedelai membayar input lebih tinggi dari harga bayangannya dan menerima harga output
yang lebih rendah dari harga bayangannya sebagai dampak dari stuktur dan sistem pemasaran yang tidak efisien, dan kebijakan pemerintah yang tidak
memihak pada usahatani tersebut. Kondisi berdampak pada menurunnya jumlah petani kedelai, karena tingkat penerimaan bersih yang dicapai tidak mewakili
opportunity cost atau kurang dari 20 persen dari biaya yang dikeluarkan. Selain itu skala usaha yang tidak ekonomis relatif sangat kecil membuat biaya per unit
output yang tinggi sehingga tidak memenuhi kriteria keuntungan yang rasional untuk dilaksanakan usaha tersebut.
Hasil penelitian Astana et al. 2005, terkait jenis komoditas minyak cendana, diketahui bahwa nilai PCR minyak cendana relatif tinggi 0.76
mengindikasikan adanya distorsi pasar, namun minyak cendana masih berdaya
saing ekspor. Ekspor minyak cendana belum tergoncang jika harga inputnya meningkat sampai 84 persen dan harga outputnya menurun sampai 10 persen.
Hasil penelitian Nurasa dan Supriatna 2005, menyimpulkan bahwa komoditi perkebunan rakyat memiliki kelemahan mendasar, yaitu: 1 kualitas,
kuantitas dan kontinueitas pasokan hasil tidak selalu dapat mencukupi permintaan pasar, 2 lokasi, kapasitas dan teknologi pengolahan hasil yang tidak
sesuai dengan kualitas maupun kuantitas bahan baku yang tersedia dan permintaan pasar terhadap hasil olahan, dan 3 sistem pemasaran hasil kurang
efisien. Kelemahan ini menimbulkan beberapa implikasi yaitu: 1 sistem agribisnis menjadi tidak efisien, biaya produk per satuan output menjadi tinggi
sehingga keunggulan komparatif menjadi rendah, dan 2 rendahnya kualitas dan kontinuitas pasokan menyebabkan tingkat kepercayaan pembeli luar negeri
berkurang sehingga keunggulan kompetitif menjadi rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Darmawansyah 2003 mengenai
maksimisasi sektor ekonomi unggulan untuk menunjang peningkatan penerimaan daerah studi kasus di Kabupaten Takalar dengan menggunakan
metode linier programming untuk mencari solusi optimal dalam alokasi pemanfaatan lahan dan sumber daya yang sifatnya terbatas yang pada akhirnya
akan mengoptimalkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan PAD, menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor unggulan yang mampu
memberikan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 22.15 persen terhadap PAD dan PDRB. Di mana kondisi ini dapat dicapai jika penggunaan lahan di optimalkan
untuk komoditas yang memiliki tingkat produktivitas serta nilai ekonomis tinggi dan memiliki potensi untuk dikembangkan di Takalar adalah padi, jagung, kacang
ijo, kelapa, jambu mete, udang, bandeng dan sapi.
2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian