V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Daya Dukung Faktor Internal dan Ekternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku
Menurut Kotler 1997 daya dukung faktor internal – eksternal akan menentukan posisi kelayakan, persaingan, peluang dan ancaman dalam
pengembangan suatu usaha pada suatu lokasi, dengan demikian dapat dikatakan pendapat ini menegaskan bahwa kondisi kelayakan usaha
Penyulingan Minyak Cengkeh PMC dan daya saing minyak cengkeh Maluku dapat menggambarkan daya dukung faktor internal dan eksternal Provinsi
Maluku terhadap pengembangan usaha PMC. Oleh karena itu analisis kelayakan usaha PMC dan daya saing minyak cengkeh Maluku penting untuk dilakukan.
5.1.1. Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh
Untuk mengukur kelayakan usaha PMC di Provinsi Maluku dilakukan 2 analisis yaitu analisis kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial. Analisis
kelayakan ekonomi didasarkan pada harga ekonomi dan opportunity cost yang harus diterima dan dikeluarkan dalam aktivitas usaha PMC, sedangkan analisis
kelayakan finansial didasarkan pada harga dan biaya faktual yang diterima dan dikeluarkan dalam aktivitas usaha PMC. Analisis kelayakan usaha dalam
penelitian ini dilakukan pada 4 kategori usaha PMC yaitu: usaha PMC yang menggunakan jenis alat suling nonstainless steel PMCns dengan 1 ukuran
Kapasitas Alat Suling KAS yaitu KAS 100 kilogram dan usaha PMC yang menggunakan jenis alat suling stainless steel PMCs
1-3
dengan 3 ukuran KAS yaitu 30, 40 dan 100 kilogram. Usaha PMCns dominan ditemui di Provinsi
Maluku sebelum implementasi tahap I program pengembangan usaha PMC memperkenalkan usaha PMCs
1-3.
Adapun karakteristik dari keempat kategori usaha PMC tersebut, seperti yang terlihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Karakteristik Usaha PMC Karakteristik
Unsur Usaha PMCns
Usaha PMCs
1-3
1. KAS kilogram 100
30, 40, dan 100 2. Jenis Alat
Nonstainless steel Stainless steel
3. Status kepemilikan Perorangan
Kolektif 4. Sistem
Bagi hasil Iuran Kelompok
5. Frekwensi produksiRTUTahun 120 kali
120 kali 6. Frekwensi produksiKASTahun
120 kali 120 kali
7. Pasar produk Pedagang pengumpul Pedagang pengumpul
8. Warna minyak cengkeh Hitam
Jernih agak kekuningan 9. Harga produk aktual Rp.ribukg
Relatif lebih rendah Relatif lebih tinggi
Sumber: Analisis data primer, 2008 Hasil analisis kelayakan ekonomi usaha PMC pada siklus umur ekonomis
10 tahun dan tingkat suku bunga atau social discount rate SDR sebesar 13.5 persen, menunjukkan bahwa semua kategori usaha PMC layak untuk dilakukan.
Berdasarkan Tabel 15, diketahui NPV usaha PMCns lebih kecil dari NPV usaha PMCs, dimana selisih NPV atau incremental benefit usaha PMCns dengan usaha
PMCs berkisar antara Rp. 3.17 – 28.59 juta. Nilai Net BC usaha PMCns juga lebih kecil dibandingkan dengan dan Net BC usaha PMCs, ini berarti tingkat
keuntungan investasi pada usaha PMCns lebih kecil yaitu hanya sebesar Rp. 2.68 dari tiap Rp 1 yang diinvestasikan pada usaha tersebut, sedangkan tingkat
keuntungan investasi pada usaha PMCs lebih besar yaitu mencapai Rp. 5.30 – 9.46 dari tiap Rp 1 yang diinvestasikan pada usaha tersebut. Nilai Net BC
tertinggi diberikan oleh usaha PMCs
1
atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram jenis stainless. Nilai tingkat pengembalian maksimum atas
pemakaian modal atau Internal Rate of Return IRR dan masa pengembalian atas pemakaian modal atau Pay Back Period PBP usaha PMCns juga
menunjukkan kondisi yang relatif sama, dimana nilai IRR usaha PMCns lebih kecil dari nilai IRR usaha PMCs, dan PBP usaha PMCns relatif lebih lama
dibandingkan PBP usaha PMCs. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan
oleh perbedaan harga produk dan biaya produksi dari masing-masing KAS. Harga produk minyak cengkeh sangat dipengaruhi oleh warna produk, dimana
harga produk berwarna hitam dari usaha PMCns relatif lebih rendah dari harga produk berwarna jernih dari usaha PMCs. Adapun biaya produksi per kilogram
minyak cengkeh dipengaruhi oleh ukuran KAS, makin besar KAS maka makin kecil biaya produksi per kilogram produk.
Tabel 15. Hasil Analisis Kelayakan Ekonomi usaha PMC
Tahun R
ns
C
ns
B
B
ns
R
s1
C
s1
B
B
s1
R
s2
C
s2
B
B
s2
R
s3
C
s3
B
B
s3
0 0.00 2.27
-2.27 0.00
1.81 -1.81
0.00 2.06 -2.06
0.00 3.93 -3.93 1 10.18
8.78 1.39 3.89 2.46
1.42 5.18
2.91 2.27 12.95 7.73 5.22
2 9.59
8.28 1.31 3.66 2.32
1.34 4.88
2.75 2.14 12.21 7.28 4.93
3 8.79
8.04 0.75 3.45 2.32
1.14 4.60
2.72 1.89 11.51 7.00 4.51
4 8.04
7.36 0.68 3.26 2.06
1.19 4.34
2.44 1.90 10.85 6.47 4.38
5 7.35 7.82
-0.47 3.07
2.06 1.01
4.09 2.41
1.68 10.23 6.22 4.01 6
7.58 6.54 1.04 2.81
1.83 0.98
3.75 2.17
1.58 9.37 5.75 3.61
7 7.14
6.35 0.79 2.57 1.83
0.74 3.43
2.15 1.28
8.57 5.53 3.05 8
6.54 5.81 0.73 2.35
1.63 0.72
3.13 1.93
1.21 7.84 5.11 2.72
9 5.99
5.64 0.34 2.15 1.63
0.52 2.86
1.91 0.96
7.39 4.91 2.48 10
5.47 5.17 0.31 1.96
1.45 0.51
2.61 1.71
0.90 6.75 4.54 2.20
Total 76.66 72.06 4.61
29.16 21.40 7.77 38.89 25.15 13.74 97.67 64.47 33.19
NPV 4.60
7.77 13.74
33.19 Net BC
2.68 5.30
7.69 9.46
IRR 41.25
70.74 103.32
126.73 PBP Tahun
1.63 1.28
0.91 0.75
Sumber: Analisis data primer, 2008 Keterangan:
R... = Penerimaan usaha PMC tahun ke t Rp.juta C... = Biaya usaha PMC tahun ke t Rp.juta
B... = Keuntungan usaha PMC tahun ke t Rp.juta ns = usaha PMCns, s1=usaha PMCs
1
, s2 = usaha PMCs
2
, s3 = usaha PMCs
2
Hasil analisis kelayakan finansial usaha PMC juga menunjukan kondisi yang relatif sama dengan hasil analisis kelayakan ekonomi, dimana usaha
PMCns memiliki NPV dan Net BC yang relatif lebih kecil dari NPV dan Net BC usaha PMCs, adapun selisih NPV atau inremental benefit usaha PMCns dengan
usaha PMCs secara finansial berkisar antara Rp. 1.22 – 30.34. Berdasarkan Tabel 16, diketahui bahwa NPV usaha PMCs
1
, mengalami penurunan hal ini disebabkan adanya keharusan membayar iuran kelompok sebesar Rp 5 ribu per
penyulingan, walaupun pada usaha PMCs
2
dan PMCs
3
juga berlaku yang sama
namun dengan tingkat biaya produksi yang relatif sama kecuali untuk pemakaian bahan baku, namun tingkat produksi atau penerimaan usaha PMCs
2
dan PMC
3
yang lebih besar menyebabkan NPV usaha PMCs
1
menjadi relatif lebih kecil. Tabel 16. Hasil Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMC
Tahun R
np
C
np
B
B
np
R
p1
C
p1
B
B
p1
R
p2
C
p2
B
B
p2
R
p3
C
p3
B
B
p3
0.00 1.00
-1.00 0.00 0.67 -0.67 0.00
0.67 -0.67 0.00 1.30
-1.30 1 8.33
7.35 0.98
3.33 2.44 0.89 4.44
1.19 3.25 11.10 3.67 7.43
2 7.85 6.93
0.92 3.14 2.26 0.88
4.19 2.61
1.58 10.47 6.47 3.99 3 7.19
6.52 0.67
2.96 2.23 0.73 3.95
2.55 1.39
9.87 6.34 3.53 4 6.58
6.14 0.44
2.79 1.96 0.83 3.72
2.25 1.47
9.30 5.65 3.65 5 6.01
5.78 0.24
2.63 1.94 0.69 3.51
2.21 1.29
8.77 5.57 3.19 6 6.20
5.47 0.73
2.41 1.70 0.71 3.31
1.95 1.35
8.27 4.94 3.33 7 5.84
5.16 0.68
2.20 1.69 0.52 3.12
1.92 1.19
7.79 4.91 2.88 8 5.35
4.86 0.50
2.02 1.48 0.53 2.94
1.70 1.24
7.35 4.32 3.02 9 4.90
4.57 0.33
1.84 1.47 0.37 2.77
1.68 1.09
6.93 4.41 2.52 10 4.48
4.30 0.18
1.68 1.29 0.39 2.61
1.48 1.13
6.53 3.79 2.73 Total 62.73 58.08
4.65 25.0019.13 5.87 34.55 20.21 14.33 86.36 51.38 34.99
NPV 4.65 5.87 14.33
34.99 Net BC
5.65 9.82
22.56 28.02
Sumber: Analisis data primer, 2008
Jika kedua hasil analisis kelayakan dibandingkan, dapat diketahui bahwa NPV dan Net BC kelayakan ekonomi relatif lebih kecil dari NVP dan Net BC
kelayakan finansial, walaupun harga ekonomi minyak cengkeh lebih tinggi dari harga faktualnya. Kondisi ini dikarenakan secara faktual pengusaha PMC tidak
dibebani biaya pemasaran sebagai kompensasi dari penetapan harga minyak cengkeh yang rendah ditingkat pedagang pengumpul, dengan demikian dapat
dikatakan sistem pemasaran minyak cengkeh secara faktual cukup efisien karena dapat meningkatkankan pangsa yang diperoleh pengusaha PMC.
5.1.2. Daya Saing Minyak Cengkeh Maluku
Salah satu unsur lingkungan strategis dalam pengembangan suatu komoditas yang diperlu diperhatikan terkait dengan liberalisasi perdagangan
yang memberikan peluang dan ancaman adalah daya saing komoditas tersebut,
dalam hal ini minyak cengkeh Maluku. Untuk melihat daya saing minyak
cengkeh Maluku digunakan analisis keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif.
Suatu komoditas dikatakan memiliki keunggulan komparatif apabila memiliki koefisien DRC DRCR atau k 1, artinya untuk menghasilkan nilai
tambah pada harga sosial, diperlukan tambahan biaya lebih kecil dari satu. Hasil perhitungan faktor produksi domestik D, faktor produksi tradeable T dan BSD
DRC minyak cengkeh pada ukuran KAS dan jenis alat suling yang berbeda, menunjukan bahwa nilai ekonomi faktor produksi domestik yang digunakan untuk
memproduksi 1 kilogram minyak cengkeh berkisar antara Rp 17.61 – 20.62 ribu. Nilai ekonomi faktor produksi tradeable minyak cengkeh berkisar antara US
0.35 – 0.62, dengan memakai harga jual ekspor sebesar US 2.91 - 3.83 per kilogram dan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9.45 ribu per US, diketahui nilai
DRC minyak cengkeh Maluku berkisar antara Rp 5.36 – 8.27 ribuUS atau k koefisien DRC 1 yaitu berkisar antara 0.57 – 0.87, ini menunjukkan bahwa
minyak cengkeh Maluku memiliki keunggulan komparatif Tabel 17. Ini berarti minyak cengkeh Maluku memiliki prospek yang baik saat ini dan dimasa yang
akan datang, karena dengan nilai DRCR yang berkisar antara 0.57 – 0.87 berarti masih ada rentang sekitar 0.13 – 0.43 untuk menjadikan DRCR bernilai 1 tidak
memiliki keunggulan komparatif. Jika faktor biaya produksi dan nilai tukar Rupiah terhadap US tetap, maka keunggulan komparatif minyak cengkeh
Maluku akan hilang pada harga jual dibawah US 2.63 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCns dan US 2.55 per kilogram untuk produk
minyak cengkeh dari usaha PMCs
1
, US 2.25 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs
2
dan US 2.34 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs
3
.
Tabel 17. Hasil Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Minyak Cengkeh Maluku Berdasarkan Kategori Usaha PMC
PMC KAS
kg D P T
DRC p k G R I
PCR Ns 100 18.96
2.91 0.62
8.27 9.45 0.87
16.10 22.50 2.99 0.83
s1 30 20.62
3.70 0.37
6.19 9.45 0.66
17.91 30.00 0.80 0.61
s2 40 17.95
3.70 0.35
5.36 9.45 0.57
15.25 30.00 0.64 0.52
s3 100 17.61 3.70
0.48 5.46
9.45 0.58 14.94
30.00 1.82 0.53 Sumber : Analisis data primer, 2008
Keterangan : D
= nilai ekonomi faktor produksi domestik yang dikorbankan untuk memproduksi satu unit output Rp.000
P = nilai ekonomi satu unit output US,
T = nilai ekonomi faktor produksi tradeable yang digunakan untuk memproduksi satu
unit output US DRC = DP-T, nilai ekonomi biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk
menghasilkan satu unit devisaRp.000 p
= Nilai tukar Rupiah 9.45 ribuUS, rata-rata nilai tukar Rp.US tahun 2006-2007 Lampiran 10.
k = DRCp, koefisien DRC DRCR
G = nilai finansial biaya faktor produksi domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit output Rp.000.
R = nilai finansial satu unit output Rp.000.
I =
nilai finansial biaya faktor produksi tradeable yang digunakan untuk memproduksi satu unit output Rp.000.
PCR = GR-I rasio nilai finansial biaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit output.
Suatu komoditas dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila memiliki koefisien PCR 1, artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga aktual,
diperlukan tambahan biaya lebih kecil dari satu. Hasil perhitungan PCR minyak cengkeh berdasarkan nilai faktor produksi domestik G, faktor produksi tradeable
I pada Tabel 21, menunjukkan bahwa PCR minyak cengkeh Maluku berkisar antara 0.52 – 0.83. Kondisi ini berarti masih ada rentang sekitar 0.17 – 0.48
untuk menjadikan PCR bernilai 1 minyak cengkeh Maluku tidak memiliki keunggulan kompetitif. Jika diasumsikan faktor biaya produksi dan nilai tukar
Rupiah terhadap US tetap, maka keunggulan kompetitif minyak cengkeh Maluku akan hilang pada harga jual dibawah Rp. 19.09 ribu per kilogram untuk
produk minyak cengkeh dari usaha PMCns, Rp. 18.71 ribu per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs
1
, Rp. 15.89 ribu per kilogram untuk
produk minyak cengkeh dari usaha PMCs
2
dan Rp. 16.58 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs
3
.
5.1.3. Faktor-faktor Strategis dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku
Analisis matriks evaluasi faktor internal dan faktor ekternal adalah analisis yang umum digunakan untuk mengetahui faktor-faktor strategis internal dan
eksternal apa saja yang menjadi daya dukung pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku. Langkah awal dari analisis matriks ini adalah mengidentifikasi
faktor berdasarkan kajian pustaka, analisis kelayakan usaha PMC dan daya saing minyak cengkeh yang disertakan dalam isian kusioner dan wawancara,
dengan beberapa tokoh responden penentu faktor strategis internal dan eksternal yang dianggap mengetahui tentang karakteristik usaha PMC dan
terlibat langsung dalam kegiatan pengembangan usaha PMC di Maluku, dimana dari hasil identifikasi diperoleh 10 faktor strategis internal yang menjadi faktor
kekuatan dan kelemahan, dan 8 faktor strategis eksternal yang menjadi faktor peluang dan ancaman dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku,
seperti yang terlihat pada Tabel 18. Tabel 18. Faktor Strategis Internal - Eksternal Dalam Pengembangan Usaha
PMC di Provinsi Maluku Faktor Internal
Faktor Eksternal Faktor Kekuatan
Faktor Peluang 1. Ketersediaan bahan baku
1. Daya Saing dan Potensi pasar 2. Dukungan Non pribumi
2. Kesempatan bermitra 3. Tingkat Keuntungan Usaha
3. Ketersediaan Teknologi 4. Ketersediaan infrastruktur
4. Tingkat suku bunga turun dan skim kredit UKM tersedia
Faktor Kelemahan Faktor Ancaman
1. Sifat Bahan baku dan topografi daerah 1. Fluktuasi harga produk 2. Sumberdaya Manusia
2. Produk sejenis dari lain daerah 3. Sosial budaya masyarakat
3. Politik dan Keamanan Opini 4. Modal Usaha
4. Standar mutu dan kuantitas produk 5. Kebijakan Pemerintah Daerah
6. Kelembagaan Sumber: Analisis data primer, 2008
5.1.3.1. Faktor Kekuatan
Faktor kekuatan adalah faktor strategis internal yang menjadi kekuatan dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, oleh karena itu faktor-
faktor ini harus dapat dipergunakan seoptimal mungkin dalam upaya pengembangan usaha PMC. Ada 4 faktor strategis internal yang menjadi
kekuatan dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku meliputi: 1. Ketersedian bahan baku
Jenis bahan baku yang dominan digunakan oleh pengusaha PMC di Provinsi Maluku adalah daun beserta ranting cengkeh kering, jika ada persediaan
gagang cengkeh kering maka ketiga bahan baku ini biasanya akan di suling secara bersamaan, namun ada juga yang menyuling secara terpisah jika gagang
cengkeh yang terkumpul cukup banyak. Walaupun demikian hampir sebagian besar penyuling mengaku bahwa produk yang mereka hasilkan adalah minyak
berbahan baku gagang. Hal ini mungkin dikarenakan harga minyak gagang yang relatif lebih tinggi dari minyak berbahan baku daun. Namun setelah diklarifikasi
lebih lanjut rata-rata penyuling menjual produk mereka dengan harga minyak daun, maka dapat dipastikan bahwa minyak yang dihasilkan adalah dominan
minyak berbahan daun atau berbahan baku campuran gagang dan daun. Kondisi ini sesuai dengan yang dikemukakan Guenther 1990, bahwa
perbedaan minyak gagang dan minyak daun tidak dapat digambarkan secara tajam, seringkali gagang dan daun cengkeh disuling secara bersama-sama untuk
menghasilkan minyak cengkeh. Namun berdasarkan ketersediaan bahan bakunya dapat dipastikan hampir 80 persen minyak cengkeh yang dihasilkan di
daerah-daerah sentra produksinya adalah minyak yang berasal dari daun dan hanya 15 – 20 persen yang merupakan minyak gagang.
Potensi ketersediaan bahan baku minyak cengkeh di Provinsi Maluku cukup besar, jika rata-rata setiap pohon cengkeh dapat menghasilkan daun
kering sebesar 0.72 kg per minggu Guenther 1990, maka dalam satu tahun potensi bahan baku daun yang dapat dihasilkan dari luas areal tanam sebesar
35.18 ribu hektar dengan kepadatan 105 pohon per hektar akan mencapai 127.64 ribu ton, sedangkan tersediaan bahan baku gagang cengkeh kurang lebih
setara 30 persen produksi bunga cengkeh per tahunnya yaitu mencapai 3.83 ribu ton pada tahun 2005. Pada saat ini dengan kapasitas produksi 480 ton
minyak cengkeh per tahun maka baru 11 persen bahan baku yang diolah menjadi minyak cengkeh, seperti yang terlihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Luas Areal dan Produksi Cengkeh, Potensi Ketersedian Bahan Baku Minyak Cengkeh Per Kabupaten Tahun 2005.
Potensi Ketersediaan Bahan Baku Minyak Cengkeh
Kabupaten Luas Areal
Tanaman Cengceh ribu ha
Produksi Cengkeh
ribu ton daun
ribu ton Gagang
ribu ton 1 Maluku
Tenggara 1.60
0.30 5.81
0.09 2 Maluku
Tengah 10.07
4.58 36.54
1.37 3 Pulau
Buru 6.71
1.93 24.36
0.58 4
Seram Bagian Barat 6.05
1.26 21.95
0.38 5
Seram Bagian Timur 8.33
4.38 30.24
1.31 6 Ambon
2.41 0.32
8.76 0.10
Total 35.18
12.77 127.64
3.83 Sumber: BPS, 2005 diolah
Walaupun potensi bahan baku minyak cengkeh yang dapat dihasilkan cukup besar namun ketersediaan bahan baku pembuatan minyak cengkeh
hanya terbatas pada waktu panen. Kondisi tersebut dikarenakan setelah panen cengkeh usai ketersedian tenaga kerja pengumpul relatif sangat rendah karena
beberapa faktor antara lain: 1 sifat bahan baku yang kamba dan tersebar pada topografi pengunungan membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar, 2
harga bahan baku yang dianggap relatif rendah, 3 budaya pertanian yang tidak pernah melakukan perawatan tanaman secara rutin, dimana sebagian besar
petani cengkeh hanya datang ke kebun mereka pada saat panen saja dan alternatif pekerjaan lain yang dianggap lebih mudah dan menguntungkan. Faktor-
faktor tersebut menyebabkan pengumpulan bahan baku dominan dilakukan
bersamaan dengan panen bunga cengkeh karena dianggap lebih ekonomis. Berdasarkan informasi di lapangan untuk 1 kg cengkeh dapat dikumpulkan
minimal 3 kg kering bahan baku untuk pembuatan minyak cengkeh. Ini berarti probabilitas ketersediaan bahan baku minyak cengkeh riil di lapangan adalah
sebesar 38.31 ribu ton dan baru 36 persen dari jumlah tersebut yang dimanfaatkan untuk memproduksi minyak cengkeh.
2. Dukungan non pribumi Bahan baku minyak cengkeh berdasarkan jenis tanaman dan lokasi tanam
relatif membutuhkan waktu dan tenaga kerja yang cukup besar dalam pengumpulannya. Terkait dengan hal ini ketersediaan tenaga kerja pribumi relatif
rendah karena pilihan kegiatan pertanian lain yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi ataupun karena faktor budaya.
Keberadaan penduduk non pribumi yang relatif cukup banyak sangat membantu kegiatan produksi minyak cengkeh, karena hampir 70 persen tenaga
kerja panen cengkeh di Maluku adalah penduduk non pribumi khususnya dari Suku Buton. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan usaha PMC yang
kontinu berproduksi, relatif diusahakan oleh non pribumi atau pendatang. Pengusaha non pribumi umumnya tidak memiliki tanaman cengkeh atau
tanaman perkebunan lainnya, mereka memperoleh bahan baku dengan cara membeli dari penduduk sekitar tempat usaha yang sebagian besar juga bukan
pemilik tanaman cengkeh. Kondisi ini memungkinkan pengusaha PMC non pribumi lebih dapat berkonsentrasi pada usaha PMCnya.
3. Tingkat keuntungan usaha Tingkat keuntungan usaha merupakan pertimbangan dalam melaksanakan
usaha baik secara ekonomi maupun finansial. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha PMC pada siklus umur ekonomis, diketahui tingkat keuntungan
ekomomi usaha PMC berkisar antara Rp 4.61-33.19 juta, sedangkan tingkat
keuntungan finansial usaha PMC berkisar antara Rp.4.65 – 34.99 juta. Tingkat keuntungan usaha terkecil diberikan oleh usaha PMCns, sedangkan tingkat
keuntungan usaha terbesar diberikan oleh usaha PMCs
3.
Dalam analisa benefit – cost yang selalu digunakan dalam acuan adalah keuntungan yang diperoleh sebagai akibat investasi, dimana kriteria Net BC
secara umum digunakan sebagai dasar penilaiannya Kadariah et al .,1999. Tingkat keuntungan investasi usaha PMC berkisar antara Rp. 2.68 – 9.46 untuk
Rp. 1 yang diinvestasikan pada usaha PMC, sedangkan berdasarkan analisa kelayakan finansial usaha PMC diketahui bahwa tingkat keuntungan investasi
usaha PMC berkisar antara Rp. 5.65 – 28.02 untuk Rp. 1 yang diinvestasikan pada usaha tersebut. Keuntungan akibat investasi terbesar diberikan oleh usaha
PMCs
3
atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram dengan jenis alat suling stainless, sedangkan keuntungan akibat investasi terkecil diberikan oleh
usaha PMCns atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram dengan jenis alat suling nonstainless.
4. Ketersediaan infrastruktur Ketersediaan infrastruktur berupa: jalan, pelabuhan dan alat transportasi
merupakan faktor penting dalam kegiatan pengembangan ekonomi, khususnya dalam pertimbangan keputusan lokasi produksi karena ketersediaan infastuktur
akan mampu memperlancar proses produksi Gumbira Said, 2001. Proses produksi dalam industri pertanian meliputi berbagai aktivitas, mulai dari
pengadaan bahan baku sampai distribusi hasil relatif sangat memerlukan dukungan infrastuktur yang baik, kondisi ini juga berlaku dalam pengembangan
usaha PMC. Keadaan infrastruktur di Provinsi Maluku saat ini semakin baik, ini terlihat dari kondisi jalan ditiap desa, pelabuhan dan alat transportasi yang
tersedia. Walaupun demikian, karena kepadatan dan mobilitas penduduk yang
relatif rendah pada daerah-daerah pedesaan menyebabkan aktivitas transportasi relatif lebih rendah.
5.1.3.2. Faktor Kelemahan
Faktor kelemahan adalah bagian dari faktor strategis internal yang menjadi kelemahan karena merupakan kendala dalam pengembangan usaha PMC di
Provinsi Maluku. Faktor kelemahan yang teridentifikasi menjadi kendala dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, meliputi:
1. Sifat bahan baku dan topografi daerah Produk pertanian umumnya memiliki sifat kamba dan tersebar, kondisi ini
menyebabkan biaya tinggi dalam penanganannya khususnya dalam biaya tranportasi, tenaga kerja, penyimpanan dan lainnya Gumbira Said, 2001.
Bahan baku minyak cengkeh juga memiliki sifat kamba dan tersebar pada topografi pegunungan yang menyebabkan biaya tinggi dalam pengadaan dan
penanganannya, khususnya dalam biaya tenaga kerja, transportasi dan penyimpanan.
Sebagian besar penduduk disekitar usaha PMC menganggap pekerjaan pengumpulan bahan baku minyak cengkeh hanya akan menguntungkan jika
dilakukan bersamaan dengan panen cengkeh, karena dapat memberikan penghasilan tambahan selain penghasilan dari panen cengkeh itu sendiri.
Pengumpulan bahan baku minyak cengkeh diluar masa panen cengkeh relatif sangat minim, hal ini dikarenakan harga bahan baku minyak cengkeh yang relatif
rendah, faktor ini juga yang menyebabkan penyimpanan bahan baku untuk jangka waktu yang lama tidak dilakukan karena biaya penyimpanannya relatif
lebih tinggi dari penerimaan yang diperoleh dari penjualan bahan tersebut. Kondisi ini juga yang meyebabkan ketersediaan bahan baku minyak cengkeh
terbatas pada saat panen cengkeh.
2. Sumberdaya manusia SDM Keberhasilan dari suatu pengembangan kegiatan ekonomi sangat
tergantung dari SDM yang tersedia baik dari kuantitas dan kualitas, atau dapat dikatakan bahwa karakteristik SDM pada usaha, terlebih untuk usaha kecil
sangat menentukan karakter dan perkembangan usaha tersebut. Karakteristik SDM pada usaha PMC di Provinsi Maluku secara umum karekteristik pengusaha
PMC meliputi: umur, pendidikan formal, jumlah anggota keluarga dan luas penguasaan lahantanaman, seperti yang terlihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Karakteristik Pengusaha PMC Maluku No. Karakteristik
Pengusaha PMC
Rata-rata 1.
2. 3.
4. 5.
Pengalaman usaha Umur Responden tahun
Pendidikan formal Jumlah anggota keluarga orang
Luas penguasaan lahantanaman Ha 1 – 13
25 – 45 SMP
2 – 8 0.25 – 7.00
Sumber: Analisis data primer, 2008 Pengalaman usaha responden berkisar antara 3 – 13 tahun, dimana ada
responden yang telah melalui tahapan penyulingan dengan alat suling yang terbuat dari kayu, dari drum nonstainless sampai yang terbuat dari stainless.
Lamanya pengalaman usaha merupakan faktor pendukung utama dalam melakukan proses produksi dan pengenalan mutu produk. Rata-rata pengusaha
dengan pengalaman usaha diatas 3 tahun, mengetahui kiat mendapatkan mutu minyak cengkeh yang baik dan dapat membedakan kualitas minyak cengkeh
secara fisik, seperti tinggi-rendahnya kandungan air dalam minyak cengkeh yang dihasilkan, namun untuk penguasaan teknologi penyulingan terbaru relatif masih
sangat terbatas. Umur merupakan variabel yang perlu diketahui karena berhubungan erat
dengan kekuatan fisik, pengalaman, ketrampilan, dan sikap positif terhadap inovasi. Semakin muda umur responden diasumsikan lebih kuat, lebih kreatif dan
terbuka terhadap masuknya ide-ide baru dibandingkan dengan yang berumur
tua, sehingga lebih mudah meningkatkan ketrampilan dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan produksi.
Tingkat pendidikan formal secara relatif juga berhubungan dengan kemampuan dalam adopsi inovasi atau pun mengakses kemajuan teknologi.
Rata-rata tingkat pendidikan responden penyuling minyak cengkeh berada di jenjang Sekolah Menengah Pertama SMP, rendahnya tingkat pendidikan
responden dan jauhnya lokasi tempat tinggal dari pusat kota, menyebabkan terbatasnya akses mereka terhadap informasi dan iptek.
Jumlah anggota keluarga dalam persepsi petani atau pengusaha berbasis rumahtangga seringkali dihubungkan dengan harapan untuk memperoleh tenaga
kerja, rata-rata jumlah anggota keluarga responden 4 - 5 orang. Lazim seperti usaha rumahtangga lainnya usaha PMC di Provinsi Maluku juga dominan
menggunakan tenaga kerja keluarga. Adapun luas penguasaan lahan atau tanaman cengkeh relatif tidak begitu mempengaruhi produksi minyak cengkeh,
faktor yang sangat berpengaruh adalah luas areal tanaman cengkeh secara keseluruhan pada satu daerah, besarnya produksi cengkeh, dan ketersediaan
tenaga kerja untuk mengumpulkan bahan baku yang sifatnya kamba dan tersebar dan musim yang sedang berlangsung. Dari segi kuantitas ketersediaan
tenaga kerja pengumpul bahan baku terlihat masih terbatas sangat terbatas ini terlihat dari selisih antara potensi 125.9 ribu ton dan probabilitas ketersediaan
bahan baku minyak cengkeh 38.31 ribu ton yang mencapai 87.68 ribu ton. 3. Sosial budaya masyarakat
Budaya pertanian masyarakat Maluku yang berbasis pada perkebunan multikomoditi dengan tingkat pendapatan yang relatif cukup tinggi per tahunnya
menyebabkan petani selektif dalam pemilihan kegiatan ekonomi dan cenderung puas dengan apa yang mereka peroleh dari kegiatan perkebunan yang
dilakukan. Disisi lain penilaian sosial yang rendah terhadap pemanfaatan limbah
cukup dominan dimana pengumpulan bahan baku daun cengkeh kering dianggap sebagai pekerjaan rendah dan relatif kurang diminati bahkan oleh
petani cengkeh itu sendiri. 4. Modal usaha
Modal usaha merupakan salah satu kendala dalam pengembangan usaha, jika modal yang dibutuhkan untuk usaha relatif besar maka agak sulit
usaha tersebut dapat berkembang khususnya dikalangan petani yang berpendapatan rendah Soekartawi et al., 1986. Kebutuhan modal usaha dapat
diperoleh dari berbagai sumber, pengusaha ekonomi lemah umumnya menggunakan 2 sumber modal yaitu yang berasal dari lembaga formal maupun
nonformal Ibrahim, 1998. Pada usaha PMCns modal usaha sebagian besar berasal dari pemilik alat suling yang dalam kasus ini merangkap sebagai
pedagang pengumpul khususnya terkait pengadaan peralatan penyulingan. Sistem pengembalian atas pemakaian modal pada usaha PMCns secara
finansial dikenal dengan sistem bagi hasil, yaitu sebesar 5 persen dari total penerimaan. Adapun pada usaha PMCs modal usaha sebagian besar berasal
dari pemerintah khususnya terkait pengadaan peralatan penyulingan, dimana sistem pengembalian atas pemakaian modal berbentuk iuran kelompok untuk
menjamin kelangsungan produksi dalam hal ini ketersediaan alat, yang besarnya berkisar antara Rp. 5 – 10 ribu per produksi.
Pada usaha PMC, besarnya modal usaha yang dibutuhkan relatif sangat tergantung pada KAS dan jenis alat suling. Sebenarnya kendala ini dapat diatasi,
dengan pendapatan dari panen cengkeh namun karena pertimbangan pemilihan kegiatan ekonomi, faktor sosial budaya, harapan untuk mendapatkan bantuan
usaha cuma-cuma dari pemerintah, belum terbinanya kemitraan dalam berusaha, minat berinvestasi pada usaha PMC yang relatif rendah, membuat modal usaha
tetap menjadi kendala dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.
5. Kebijakan pemerintah daerah Kebijakan adalah intervensi pemerintah untuk merubah prilaku produsen
dan konsumen, dimana secara umum tujuan dari kebijakan pemerintah adalah tercapainya efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi tercapai apabila
alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan yang maksimum, alokasi barang dan jasa dapat menghasilkan tingkat kepuasan
konsumen yang tinggi, pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan yang lebih merata, dan ketahanan diartikan sebagai ketersediaan kebutuhan pada
tingkat harga yang stabil dan terjangkau Pearson et al., 2005. Kebijakan pemerintah terkait pengembangan usaha PMC adalah program
pengembangan usaha PMC yang merupakan bagian dari program pengembangan Agroindustri Minyak Cengkeh AMC nasional, dimana Provinsi
Maluku menjadi salah satu provinsi sasaran pengembangan usaha PMC karena dianggap berpotensi besar dalam ketersediaan bahan baku. Berdasarkan hasil
wawancara dengan responden terkait diketahui bahwa program yang sedang berjalan adalah tahap I program dalam rangka mencari strategi terbaik dalam
pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku. Implementasi program pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku
dikelola oleh dinas departermen perindustrian dan perdagangan Deperindag dengan 3 tujuan utama yaitu: 1 meningkatkan pendapatan masyarakat melalui
usaha penyulingan minyak cengkeh, 2 meningkatkan produksi dan mutu minyak cengkeh melalui pengenalan dan distribusi teknologi baru, dan 3
memberikan insentif bagi penyuling untuk mengembangkan usahanya. Penetapan tiga tujuan utama program pengembangan usaha PMC di Propinsi
Maluku adalah berdasarkan hasil survei industri kecil-menengah berbahan baku tanaman lokal di Provinsi Maluku tahun 2004, dimana diketahui bahwa rata-rata
produk minyak cengkeh Maluku berwarna hitam akibat penggunaan alat suling
nonstainless dan memiliki harga jual yang relatif rendah. Berdasarkan kondisi ini program pengembangan usaha PMC yang dianggap sesuai adalah
pengembangan teknologi penyulingan dengan jenis alat suling stainless steel yang menghasilkan minyak cengkeh dengan warna jernih.
Total investasi pemerintah pusat dalam program pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku adalah sebesar Rp. 1.25 milyar, dengan ketentuan dana
tahap I program sebesar 20 persen dari total investasi pemerintah pusat merupakan dana cost sharing dari Pemerintah Daerah Propinsi Maluku yang
bersumber dari dana APBD. Investasi pemerintah pusat akan dicairkan setelah 1-3 tahun setelah pelaksanaan tahap I program dan sangat tergantung dari hasil
evaluasi pelaksanaan tahap I program tersebut. Bekerja sama dengan Baristand sebagai instansi yang dianggap kompeten,
pelaksanaan kegiatan tahap I program pengembangan usaha PMC ditekankan pada pelatihan penyulingan melalui pengenalan teknologi penyulingan dengan
jenis alat suling stainlees. Dalam implementasinya ada 3 ukuran kapasitas alat suling KAS yang akan dievaluasi kinerjanya dalam pencapaian tujuan program
yaitu KAS 30, 40 dan 100 kilogram per produksi masing-masing sebangyak 10 unit yang didistribusikan ke 30 kelompok usaha PMC atau 150 RTU PMC. KAS
30 dan 40 kilogram merupakan ukuran yang digunakan masing-masing oleh lembaga Japan International Coorporation Agency JICA dan United Nation
Industrial Development Organization UNIDO dalam pegembangan usaha penyulingan minyak kayu putih di Pulau Ambon karena memiliki tingkat
mobilisasi tinggi dan dinilai sesuai dengan kondisi fisik geografi Propinsi Maluku, sedangkan KAS 100 kilogram merupakan ukuran yang mengikuti ukuran alat
suling nonstainless steel terbuat drum yang dominan digunakan oleh pengusaha PMC di Propinsi Maluku.
Pemberian bantuan dalam tahap I program pengembangan usaha PMC dilakukan secara kolektif atau kelompok adalah sebagai upaya memperkecil
dana bantuan per RTU, mempermudah pembinaan dan membina kerjasama antar anggota kelompok, dan merupakan hanya merupakan insentif bagi
pengusaha PMC untuk mandiri. Berdasarkan nilai alat suling yang berkisar antara Rp 1.14 – 2.63 juta, maka bantuan langsung per RTU hanya berkisar
antara Rp 228 – 526 ribu , seperti yang terlihat pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai per Unit Alat Suling, Nilai Bantuan per RTU dan Frekwensi
Produksi per Tahun KAS
kg Nilai Alat unit
Rp. juta Nilai Bantuan RTU
Rp.juta Frekwensi
ProduksiRTUtahun 30 1.14 0.228
24 40 1.39 0.278
24 100 2.63 0.526
24 Sumber : Analisa data primer , 2008
Keterangan : dalam 1 tahun masa produksi = 6 bulan Setelah program berjalan 1 tahun tidak banyak informasi yang dapat
diperoleh dari instansi terkait, karena data pelaksanaan program tidak terarsipkan pada intansi terkait dan evaluasi untuk melihat keberhasilan program
dilapangan belum dilakukan dengan alasan keterbatasan dana. Disisi lain sebagian besar kelompok binaan mengeluh sulitnya membangun koordinasi dan
komunikasi dengan lembaga-lembaga pemberi bantuan usai pelaksanaan program, terkait upaya memperoleh pelatihan dan hasil standarisasi atas produk,
yang telah dijanjikan karena tiap instansi saling melepaskan tanggung jawab. Kondisi diatas mengindikasikan bahwa pelaksanaan tahap I program
pengembangan usaha PMC tidak berjalan sebagaimana mestinya dapat dilihat dari: 1 paket bantuan alat yang terdiri dari: bantuan alat suling, pengetahuan
teknis pengoperasian alat, teknis produksi dan pasca produksi umumnya tidak dilakukan secara menyeluruh, bahkan sebagian besar implementasi program
sebatas distribusi alat, 2 tidak tersedianya data pada instansi terkait
implementasi program dan tindak lanjut yang akan dilakukan padahal program yang dijalankan merupakan program dengan sistem tahapan, 3 kebijakan antar
instansi tidak terkait dan tidak saling mendukung menyebabkan besarnya biaya program, walaupun masing-masing instansi memiliki program yang hampir sama
tidak ada kerjasama sehingga menimbulkan kesan tumpang tindih, dan jika ada kerja sama masing-masing instansi saling melimpahkan tanggungjawab, dan
4 kelemahan kebijakan pemerintah lainnya adalah dalam pemberian bantuan tidak disertai dengan sistem yang menjamin keberlanjutan program atau usaha
PMC yang diintroduksi, seperti penghimpunan dana dari anggota kelompok untuk menjamin ketersediaan alat suling atau pengembangan usaha PMC lebih lanjut.
6. Kelembagaan Keberadaan kelembagan pendukung sangat penting dalam menciptakan
integritas usaha dalam mewujudkan tujuan pengembangan usaha. Kelembagaan seperti asosiasi pengusaha PMC, kelompok usaha PMC, pemerintah, koperasi,
lembaga pembiayaan, litbang dan lainnnya di desa relatif terbatas dan perannya sangat minim. Terbatasnya transfer pengetahuan antar anggota kelompok dan
akses pada pendanaan biaya investasi dan operasional menjadi penyebab kurang berkembangnya usaha PMC di Provinsi Maluku. Pada saat ini sebagian
besar kelompok usaha PMC adalah merupakan kelompok usaha yang dibentuk oleh dinas terkait sehubungan dengan program yang akan mereka jalankan dan
pengusaha PMC relatif masih sulit mengakses kebutuhan mereka dalam pengembangan usaha melalui lembaga-lembaga pendukung terkait.
5.1.3.3. Faktor Peluang
Faktor yang dianggap sebagai peluang adalah faktor yang bisa dimanfaatkan dalam upaya pencapaian tujuan. Dari hasil wawancara dengan
responden teridentifikasi 4 faktor yang menjadi peluang dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu:
1. Daya saing dan Potensi pasar Berdasarkan nilai koefisien DRC yang berkisar antara 0.52 – 0.84 dan nilai
PCR 0.54 – 0.93, dapat dikatakan bahwa minyak cengkeh Maluku memiliki prospek pasar yang baik saat ini dan dimasa yang akan datang. Disisi lain
peningkatan daya saing minyak cengkeh Maluku masih dapat dilakukan dengan pengembangan teknologi dan kapasitas alat suling yang tepat. Berdasarkan
hasil analisis kelayakan usaha diketahui usaha PMC menggunakan KAS 40 dan100 kilogram jenis stainless steel dapat menghasilkan produk minyak
cengkeh dengan daya saing tinggi hal ini ditunjukkan nilai koefisien DRC masing- masing sebesar 0.52 dan 0.53, dan PCR masing-masing sebesar 0.57 dan
0.58. Sebagian besar pengusaha PMC di lokasi penelitian menjual produk
mereka ke pedagang pengumpul setempat, pedagang pengumpul yang datang dan produsen minyak gosok terdekat seperti UD Yala Karya di Tamilow atau
Perusahaan Jamu Toko Sinar Baru, Mutiara dan lainnya di Kota Ambon. Penjualan produk umumnya dilakukan setelah 1 – 2 bulan produksi atau sangat
tergantung pada kebutuhan RTU PMC, dengan demikian jumlah produk yang dijual relatif kecil. Kondisi ini menyebabkan pengusaha PMC menganggap
menjual produk ke pedagang pengumpul merupakan alternatif sebagai upaya memperkecil biaya pemasaran yang harus mereka keluarkan terkait lokasi
produksi yang jauh dari pusat pasar minyak cengkeh. Saat ini Pasar minyak cengkeh sebagian besar 80 diserap di dalam negeri sebagai dampak dari
permintaan domestik yang cenderung meningkat dimana kondisi ini menyebabkan tingkat harga minyak cengkeh domestik relatif stabil, adapun
pemain konsumen utamanya adalah PT. Indesso Aroma dengan kebutuhan 20 tonhari.
2. Kesempatan bermitra Permintaan minyak cengkeh yang tinggi baik di tingkat dunia maupun
nasional dapat menciptakan kesempatan bermitra diberbagai kalangan yaitu petani cengkeh sebagai pemasok bahan baku bagi pelaku usaha PMC, industri
teknologi penyulingan dengan pelaku usaha PMC, industri berbahan baku minyak cengkeh dengan pelaku usaha PMC, investor yang tertarik pada usaha
PMC, pemerintah dan pihak terkait lainnya. Kemitraan yang telah ada saat yaitu kemitraan antara pengusaha PMC dengan pedagang pengumpul yang
merangkap sebagai pemilik alat suling khususnya untuk jenis alat suling nonstainlees dengan sistem bagi hasil, sedangkan untuk jenis alat suling
stainlees kemitraan yang terbentuk dengan pedagang pengumpul hanya sebatas penjual dan pembeli tetap.
Peluang bermitra dengan lembaga keuangan sebenarnya cukup besar dengan adanya Inpres No.6 tahun 2005 tentang dana bergulir bagi UKM yang
pada tahun 2008 mencapai Rp. 403 Milyar, namun peluang ini belum dapat digunakan dengan optimal oleh pelaku usaha PMC di Provinsi Maluku karena
aksesibilitas mereka yang rendah terhadap lembaga keuangan formal baik karena keterbatasan pendidikan maupun informasi. Peluang bermitra antara
instansi pemerintah ataupun non pemerintah juga cukup besar, karena masing- masing instansi memiliki spesialisasi pada bidang masing-masing yang
terkadang saling terkait satu dengan lainnya, misalnya instansi Baristand memiliki spesialisasi keahlian dalam teknologi produksi dapat bekerja sama
dengan instansi dinas perindag dalam mengembangkan industri tertentu dengan menggunakan teknologi yang dikembangkan oleh pihak Baristand terkait potensi
yang dimiliki suatu wilayah. Jika pada tingkat penyuling peluang kemitraan belum
dapat dimanfaatkan dengan baik karena keterbatasan pendidikan dan informasi, maka pada tingkat lembaga atau instansi peluang kemitraan seringkali belum
dimanfaatkan karena tidak adanya koordinasi, faktor belum adanya kepercayaan dan gap yang terjadi antara lembaga atau intansi sehingga tiap program yang
dijalankan walaupun saling terkait namun masih dilakukan secara terpisah. 3. Ketersediaan teknologi
Teknologi penyulingan minyak cengkih berupa alat dan prosedur pembuatan minyak cengkeh dengan tingkat produksi dan mutu yang relatif lebih
baik telah tersedia pada dinas Baristand Provinsi Maluku. Teknologi penyulingan minyak cengkeh relatif sederhana dan mudah dipelajari, dengan satu unsur
penting yang harus diperhatikan yaitu jenis alat suling yang dipakai yang menyebabkan perbesaan warna produk, seperti yang terlihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Perbedaan Minyak Cengkeh Berdasarkan Jenis Alat Suling Jenis Alat Suling
Non stainlees Komponen
perbandingan Kayu Besi
Drum Stainlees
1. Warna Keruh coklat
Hitam Jernih kekuningan
2. Proses Produksi 12 jam
8-9 6-7
3. Rendemen 3
3 – 4 3 – 4
4. Umur Ekonomis 5
5 10
Sumber: Balai Industri dan Standarisasi Provinsi Maluku, 2007 Proses penyulingan minyak cengkeh diawali dengan sortasi bahan baku,
dimana selama proses penyulingan sistem pemanasannya harus dikontrol agar tetap stabil sebagai upaya untuk mendapatkan rendemen yang tinggi. Setelah
proses penyulingan limbah bahan baku ini dikeringkan dan kemudian dipakai sebagai bahan bakar pada proses penyulingan selanjutnya Lampiran 22.
4. Tingkat suku bunga dan skim kredit tersedia bagi UKM Dalam upaya menggerakkan sektor riil pemerintah mengambil kebijakan
menurunkan tingkat suku bunga komersil dan menyediakan skim kredit untuk UKM. Tingkat suku bunga komersil sebelumnya 21 persen turun menjadi 13.5
persen, sedangkan kredit lunak untuk UMKM telah mencapai angka 6 persen. Namun peluang ini belum dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha PMC untuk
mengembangkan usahanya ataupun masyarakat lain yang ingin membangun usaha PMC baru karena keterbatasan informasi ataupun karena faktor birokasi
kembaga pembiayaan yang sulit untuk diakses.
5.1.3.4. Faktor Ancaman
Faktor ancaman adalah faktor yang dapat menghambat pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui ada 4
faktor ancaman bagi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu: 1. Fluktuasi harga
Harga minyak cengkeh dalam kurun waktu 1999 – 2005 di pasar dunia relatif fluktuatif, harga minyak cengkeh dunia terendah terjadi pada tahun 2000
yaitu sebesar US 0.77 US 1 = Rp 10.27 ribu per kilogram dan tertinggi pada tahun 2001 yaitu sebesar US 7.11 US 1 = Rp 9.26 ribu. Harga minyak
cengkeh nasional relatif lebih stabil yaitu kisaran harga Rp 35 – 50 ribu per kilogram, dengan harga tertinggi sebesar Rp 60 ribu pada tahun 2001, harga
minyak cengkeh di pasar lokal Maluku juga relatif stabil pada kisaran harga Rp 30 – 45 ribu per kilogram, seperti yang terlihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Perkembangan Harga Cengkeh dan Minyak Cengkeh Tahun 1999 – 2005
Ekspor USDKg Nasional Rp.000Kg Maluku
Rp.000Kg Tahun
Cengkeh Minyak
cengkeh Cengkeh
Minyak cengkeh
Cengkeh Minyak
cengkeh 1999 15.81 2.98 123.46 50 104.94 45.00
2000 3.86 0.77 32.95 50 28.01 45.00 2001 5.62 7.11 57.70 60 49.05 50.00
2002 6.95 5,42 64.32 40 54.67 30.70 2003 1.46 1.85 12.50 35 10.63 32.50
2004 3.90 4.30 35.00 42 29.75 35.50 2005 4.63 5.00 45.00 47 38.25 41.00
Sumber: Departemen pertanian RI 2006, BPS Propinsi Maluku 2006, PT Jasulawangi dan PT. Indesso Aroma, 2006 diolah
Harga komoditi minyak cengkeh di pasar dunia relatif fluktuatif mengikuti kondisi perdagangan cengkeh dunia, namun penurunan harga minyak cengkeh
relatif tidak setajam penurunan harga bunga cengkeh. Selama kurun waktu 3 tahun terakhir berdasarkan data harga ekspor PT Jasulawangi penurunan harga
ekspor tidak lebih dari 10 persen, jika pun melewati angka 10 persen relatif cepat kembali ke harga sebelumnya.
2. Produk sejenis dari daerah lain Berdasarkan kajian tentang Agribisnis Cengkeh oleh Departemen
Pertanian 2005, diketahui ada 12 Provinsi yang potensial dalam menghasilkan minyak cengkeh termasuk Provinsi Maluku. Jika harga yang ditawarkan daerah
penghasil lain lebih rendah pada standar mutu yang sama maka hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan usaha PMC Maluku, namun untuk
saat ini harga minyak cengkeh hitam Maluku relatif bersaing dengan disparitas harga yang cukup besar untuk dari harga produk minyak cengkeh hitam pada
daerah Pabrik Rokok Kretek yaitu mencapai Rp. 7.5 – 10 ribu per kilogramnya melampaui disparitas harga produk minyak cengkeh hitam dan jernih pada
daerah PRK yang hanya berkisar Rp 1.5 – 2 ribu. 3. Politik dan keamanan
Kondisi politik dan keamanan yang stabil sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi khususnya investasi. Terkait dengan peristiwa konflik sosial
yang terjadi di Propinsi Maluku tahun 1998 – 2002, minat investasi swasta hingga saat ini relatif rendah. Saat ini kondisi politik dan keamanan di Maluku dapat
dikatakan 100 persen telah pulih, oleh karena itu opini tentang kondisi politik dan keamanan Maluku yang tidak kondusif harus segera diubah.
4. Standar mutu dan kuantitas hasil Standar mutu dan kuantitas sering menjadi kendala dalam pemasaran
produk minyak cengkeh. Menurut Mangunwidjaja 2002, standar mutu dapat
bersifat nasional maupun internasional, di Indonesia standar baku mutu harus memenuhi Standar Nasional Indonesia SNI yang dikeluarkan oleh Dewan
Standarisasi Nasional DSN sejak tahun 1994. Berdasarkan hasil penelitian Baristand 1997 minyak cengkeh Maluku sudah memenuhi kualifikasi SNI,
seperti yang terlihat pada Tabel 24. Tabel 24. Standar Mutu Minyak Daun Cengkeh Menurut SNI 1991 dan Minyak
Cengkeh Maluku 1997 Parameter Uji
Karakteristik SNI Karakteristik Minyak
Cengkeh Maluku 1. Berat Jenis pada 15
o
C 1,03 - 1,06
1. 05 2. Putaran Optik ad
- 1
o
35 - 2
o
5 3. Indeks Refraksi pd 20
o
C nd20 1,52 - 1,54
1.532 4. Kadar eugenol
78 - 93 80
5. Minyak pelikan Negatif
Negatif 6. Minyak lemak
Negatif Negatif
7. Kelarutan dalam Alkohol 70 Dalam dua volume
dalam dua volume Sumber : Baristand Provinsi Maluku, 1997
Berdasarkan standar mutu Tabel 24, diketahui warna minyak cengkeh tidak termasuk sebagai salah satu parameter uji, namun pada kenyataan warna
produk juga mempengaruhi tingkat permintaan dan harga, baik di pasar lokal maupun non lokal, dimana semakin jernih warna minyak cengkeh maka harga
jualnya relatif semakin tinggi. Penjernihan minyak cengkeh hitam sebagian besar dilakukan oleh para eksportir, penjernihan di tingkat penyuling jarang ditemui baik
karena keterbatasan teknologi, pertimbangan waktu, rendemen hasil yang akan menurun dan biaya yang dibutuhkan. Sebagian besar produk minyak cengkeh
yang dihasilkan di Provinsi Maluku berwarna hitam, minyak cengkeh dengan warna jernih agak kekuningan baru dihasilkan pada tahun 2006, melalui tahap I
program pengembangan usaha PMC tetapi jumlahnya masih sangat kecil dan belum mendapatkan sertifikasi standarisasi dari lembaga yang kompeten.
Jumlah produksi total minyak cengkeh Provinsi Maluku masih relatif kecil jika dibandingkan dengan ketersediaan bahan bakunya. Disisi lain usaha PMC di
Provinsi Maluku tersebar dengan skala produksi yang relatif kecil. Kondisi ini
menjadi kendala bagi para pelaku usaha PMC sulit menjalin kemitraan dengan konsumen luar daerah yang kuantitas permintaannya besar.
5.3. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh 5.3.1. Penentuan Prioritas Alternatif Strategi Pengembangan Usaha
Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku
Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha PMC dan identifikasi faktor internal dan eksternal dilakukan analisis lanjutan untuk menyusun strategi
kebijakan terkait dengan alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas guna mencapai tujuan dan sasaran yang optimal dengan menggunakan analisis linier
programing. Penentuan prioritas strategi pengembangan usaha PMC efektif dan efisien dalam analisa LP ditujukan pada keuntungan yang optimal yang dapat
diperoleh melalui program pengembangan KAS secara lebih merata di tiap kabupaten dengan kendala antara lain:
1. Kendala ketersediaan bahan baku Sifat bahan baku dan topografi daerah Maluku memerlukan biaya
penanganan yang cukup besar dalam penyediaannya, agar efsiensi produksi dapat tercapai maka pengembangan usaha PMC harus berorientasi sumberdaya
karena semakin kecil ruang mobilisasi bahan baku diharapkan biaya pengadaan bahan baku akan semakin kecil. Oleh karena itu, kendala bahan baku yang
digunakankan adalah kendala ketersediaan bahan baku di tiap kabupaten upaya ini juga diarahkan untuk pengdistribusian bantuan yang lebih merata.
2. Kendala alokasi biaya investasi Alokasi investasi pemerintah dalam kegiatan pengembangan usaha PMC
terbatas yaitu hanya sebesar Rp 1.25 Milyar. Untuk menjamin tercapai tujuan pemerataan maka dana tersebut akan dialokasikan ke tiap kabupaten sesuai
dengan perkiraan ketersediaan bahan baku yang dimiliki. Jika diasumsikan implementasi penggunaan dana dalam program pengembangan usaha PMC di
Provinsi Maluku akan mengikuti ketentuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM, maka alokasi dana harus memenuhi ketentuan yaitu: 90
persen berbentuk bantuan langsung fisik dan 10 persen untuk kegiatan operasional, seperti yang terlihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Ketersediaan Bahan Baku dan Alokasi Dana Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh pada Enam Kabupaten di Provinsi
Maluku. Alokasi Dana Pengembangan
Rp juta Kabupaten
Ketersediaan Bahan Baku riil
ribu ton Fisik Opersional
Maluku Tenggara Maluku Tengah
Pulau Buru Seram Bagian Barat
Seram Bagian Timur Ambon
0.90 13.72
5.79 3.78
13.14 0.95
51.17 322.04
214.67 193.46
266.48
77.17 2.93
44.80 18.91
12.33 42.90
3.22 Total 38.30
1124.99 125.00
Sumber: Analisis data primer, 2008 3. Kendala target produksi
Produksi minyak cengkeh dengan mutu produk yang lebih baik diperkirakan akan lebih kecil dari jumlah produksi minyak cengkeh hitam yang
mencapai 480 ton per tahun karena keterbatasan dana investasi pemerintah untuk program pengembangan usaha tersebut.
Berdasarkan hasil analisis kelayakan ekonomi dan sesuai kendala yang ada telah diuraikan diatas, langkah awal dalam analisis ini adalah menyusun
model matematematis ketidaksamaan program linier sesuai fenomena dan kendala yang ada. Selanjutnya model analisis yang telah disusun diolah dengan
menggunakan software LINDO untuk memperoleh solusi optimal dari penggunaan sumberdaya Lampiran 23.
Hasil analisis LP menunjukkan bahwa usaha PMCs
3
atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram jenis stainless steel merupakan alternatif
strategi pengembangan usaha PMC prioritas utama dalam program pengembangan usaha PMC di Propinsi Maluku, dimana masing-masing
kabupaten memperoleh jumlah yang berbeda sesuai dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Berdasarkan Tabel 25, diketahui konsentrasi usaha
PMCs
3
tertinggi pada Kabupaten Maluku Tengah dan terendah pada Kabupaten Maluku Tenggara. Kondisi ini jika dikaitkan dengan realita di lapangan adalah
sesuai karena berdasarkan Tabel 25, diketahui bahwa Kabupaten Maluku Tengah memiliki ketersediaan bahan baku minyak cengkeh paling besar dan
Kabupaten Maluku Tenggara memiliki ketersediaan bahan baku minyak cengkeh paling kecil dibandingkan dengan kabupaten lainya.
Tabel 26. Hasil Analisis Optimalisasi Keuntungan Usaha PMCs KAS Jenis Stainless Steel dengan Sofware LINDO
X
i
Lokasi j
Kabupaten X
1
X
2
X
3
1 2
3 4
5 6
Maluku Tenggara Maluku Tengah
Pulau Buru Seram Bagian Barat
Seram Bagian Timur Ambon
1 2
2 2
16 122
82 71
99 29
Total Unit 7
419 Total Keuntungan Rp. Milyar
1.396 Sumber: Analisis data primer, 2008
Keterangan: X
1
= Jumlah usaha PMCs
1
X
2
= Jumlah usaha PMCs
2
X
3
= Jumlah usaha PMCs
3
Selain memiliki tingkat keuntungan investasi yang tinggi dibandingkan usaha PMC lainnya Tabel 15, usaha PMCs
3
juga relatif lebih dapat diterima oleh perserta tahap I program pengembangan usaha PMC walaupun memiliki
tingkat mobilisasi yang rendah dibandingkan usaha PMCs
1
dan usaha PMCs
2
. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa alternatif usaha PMCs
1
dan PMCs
2
diikutkan sebagai alternatif pengembangan KAS karena dianggap memiliki tingkat mobilisasi tinggi yang sesuai dengan kondisi perkebunan
cengkeh di Provinsi Maluku, namun dari hasil pengamatan dilapangan diketahui bahwa penyulingan minyak cengkeh selalu dilakukan pada suatu tempat,
khususnya pada lokasi yang dekat dengan sumber mata air atau dekat tempat tinggal pengusaha PMC penyuling. Hal ini dikarenakan sebagian besar
penyuling beranggapan relatif lebih mudah dan tidak berisiko memobilisasi bahan baku daripada memobilisasi alat suling. Pelaku usaha PMCs
1
dan PMCs
2
juga sering mengeluhkan kecilnya KAS stainless steel bantuan yang mereka terima
dari tahap I program pengembangan usaha PMC dibandingkan dengan KAS nonstainless steel yang dulu mereka digunakan, padahal waktu produksi ketiga
alat tersebut relatif sama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program pengembangan usaha PMC dengan introduksi teknologi melalui pengembangan
KAS 100 kilogram jenis alat suling stainless steel usaha PMCs
3
relatif cukup efektif dan efisien dibandingkan introduksi lainnya.
5.3.2. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku
Analisis matriks internal-ekternal I-E dapat digunakan untuk mencari strategi umum grand strategy dalam pengembangan usaha PMC ataupun
menilai strategi yang telah dijalankan dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku. Matriks I-E didasarkan pada dua dimensi kunci yaitu skor total
Evaluasi Faktor Internal EFI pada sumbu x dan skor total Evaluasi Faktor Eksternal EFE pada sumbu y.
Hasil analisis matriks EFI menunjukkan bahwa total skor faktor internal sebesar 2.21, dimana total skor terboboti variabel faktor kekuatan lebih besar
dibandingkan skor terboboti variabel faktor kelemahan 1.400.81. Faktor yang menjadi kekuatan utama dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku
yaitu faktor ketersediaan bahan baku dan dukungan non pribumi ini ditunjukan oleh rating faktor tersebut sebesar 4, sedangkan faktor yang menjadi kekuatan
kecil adalah faktor tingkat keuntungan usaha dan ketersediaan infrastruktur. Pada kelompok faktor kelemahan hanya 2 faktor yang menjadi kelemahan kecil
yaitu memiliki rating 2, yakni sifat bahan baku dan topografi daerah, dan sumberdaya manusia sedangkan 4 faktor lainnya merupakan faktor kelemahan
utama, seperti yang terlihat pada Tabel 27. Tabel 27. Matriks EFI Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku
Faktor Internal Bobot
Rating Nilai Terbobot
Kekuatan 1 Ketersediaan bahan baku
0.09 4
0.37 2 Dukungan
Non pribumi
0.13 4
0.50 3 Tingkat
Keuntungan Usaha
0.07 3
0.22 4 ketersediaan
infrastruktur 0.10
3 0.30
Jumlah 0.39
1.40 Kelemahan
1 Sifat Bahan baku dan topografi daerah 0.11
2 0.22
2 Sumberdaya Manusia
0.10 2
0.19 3 Sosial budaya masyarakat
0.10 1
0.10 4 Modal
Usaha 0.09
1 0.09
5 Kebijakan Pemerintah Daerah 0.09
1 0.09
6 Kelembagaan 0.13
1 0.13
Jumlah 0.61
0.81 Total 1.00
2.21 Sumber : Analisis data primer, 2008
Hasil analisis matriks EFE menunjukkan bahwa total skor faktor eksternal sebesar 2.21, dimana total skor terboboti variabel faktor peluang lebih besar
dibandingkan skor terboboti variabel faktor ancaman 1.55 0.92. Pada faktor peluang, potensi pasar dan dan ketersediaan teknologi direspon sangat baik,
sedangkan 2 faktor lainnya yaitu kesempatan bermitra dan tingkat suku bunga turun dan skim kredit untuk UKM tersedia direspon agak baik. Faktor ancaman
juga terdiri atas 4 faktor, dimana faktor fluktuasi harga dan politik dan keamanan masing-masing memiliki pengaruh kuat dan sangat kuat dalam pengembangan
usaha PMC di Provinsi Maluku terlihat dari nilai ratingnya sebesar 3 dan 4, sedangkan 2 faktor lainnya yaitu produk sejenis dari daerah lain dan standar
mutu dan kualitas kurang kuat pengaruhnya terhadap pengembangan usaha PMC, seperti yang terlihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Matriks EFE Pengembangan Usaha PMC Faktor Eksternal
Bobot Peringkat
Nilai Terbobot Peluang
1 Daya Saing dan Potensi pasar 0.11
4 0.44
2 Kesempatan bermitra
0.15 2
0.30 3 Ketersediaan Teknologi
0.14 4
0.58 4 Tingkat suku bunga turun dan skim
kredit UKM tersedia 0.12 2
0.23 Jumlah
0.52 1.55
Ancaman 1 Fluktuasi harga produk
0.12 3
0.35 2 Produk sejenis dari lain daerah
0.17 1
0.17 3 Politik dan Keamanan Opini
0.07 4
0.27 4 Standar mutu dan kuantitas produk
0.13 1
0.13 Jumlah
0.48 0.92
Total 1.00
2.47 Sumber : Analisis data primer, 2008
Berdasarkan perhitungan matrik IFE dan EFE pada Tabel 27 dan 28, diketahui skor total IFE dan EFE masing-masing sebesar 2.21 dan 2.46, yang
jika dipetakan pada matrik IE maka posisi strategi usaha pengembangan PMC Maluku berada pada zona V. Posisi strategi pada zona V berarti usaha PMC di
Provinsi Maluku dalam posisi strategi pertumbuhan melalui integrasi horisontal dan stabilitas, seperti yang terlihat pada Gambar 5.
Kuat 3.0 - 4.0
Rata-rata 2.0 – 2.99
Lemah 1.0 - 1.99
4.0 3.0
2.0 1.0
I II
III
IV IFE = 2.21
V EFE = 2.47
VI
VII VIII
IX 3.0
Rendah 2.0
1.0 - 1.99 Sedang
2.0 – 2.99 Tinggi
3.0 - 4.0
1.0 Gambar 5. Matriks I – E untuk Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku
Menurut Rangkuti 2006, strategi pertumbuhan melalui integrasi horisontal dapat dilakukan melalui kegiatan memperluas usaha pada lokasi yang berbeda,
memperluas pasar, fasilitas produksi dan teknologi melalui joint ventures atau kemitraan, sedangkan strategi stabilitas adalah menjalankan strategi yang telah
ditetapkan tanpa mengubah arah strategi. Jika dikaitkan dengan tujuan program pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu: 1 meningkatkan
pendapatan masyarakat melalui usaha penyulingan minyak cengkeh, 2 meningkatkan produksi dan mutu minyak cengkeh melalui pengenalan dan
distribusi teknologi baru, dan 3 memberikan insentif bagi penyuling untuk mengembangkan usahanya, maka strategi memperbaiki mutu minyak cengkeh
melalui introduksi teknologi dalam hal ini pengembangan usaha PMCs
3
pada tiap kabupaten sesuai ketersediaan bahan baku yang dimiliki relatif cukup efektif.
Wujud dari strategi memperluas usaha pada lokasi yang berbeda adalah strategi pengembangan usaha PMC pada tiap kabupaten sesuai ketersediaan
bahan baku, karena berdasarkan data jumlah usaha PMC Tabel 2, diketahui usaha PMC saat ini masih terkonsentrasi pada Kabupaten Maluku Tengah dan
Seram Bagian Barat. Adapun strategi memperbaiki mutu produk minyak cengkeh merupakan salah satu bentuk dari strategi memperluas pasar, selama ini
produksi minyak cengkeh Maluku hanya terbatas untuk memenuhi permintaan pasar domestik dengan penggunaan yang terbatas yaitu dominan sebagai
produk subtitusi bunga cengkeh pada PRK karena tidak memenuhi syarat untuk penggunaan lainnya seperti untuk aroma terapi, kosmetik dan obat-obatan
karena mengandung unsur Fe yang tinggi terlihat dari produk yang berwarna hitam dan tidak mampu menembus pasar ekspor, sedangkan produk minyak
cengkeh berwarna jernih memiliki pasar yang relatif lebih luas. Disisi lain perbaikan mutu produk minyak cengkeh juga berdampak pada peningkatan
pendapatan pengusaha PMC yang merupakan insentif bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya lebih lanjut.
Walaupun strategi yang diambil dinilai relatif cukup efektif, namun keefektifannya hanya berlaku dalam jangka panjang karena memerlukan waktu
dalam implementasi, sedangkan strategi jangka pendek yang diterapkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh usaha PMC dengan produk minyak
cengkeh hitam dalam masa peralihan teknologi belum terlihat, seperti memperkecil disparitas harga produk antara daerah Pabrik Rokok Kretek PRK
dan bukan daerah PRK belum dilakukan padahal peluang tersebut cukup besar. Seperti yang diketahui bahwa pasar minyak cengkeh hitam sebagian besar
adalah untuk Pabrik Rokok Kretek, dan Provinsi Maluku juga merupakan daerah pasar rokok kretek yang potensial ini terlihat dengan adanya agen pemasaran
produk rokok yang meliputi lokasi Maluku – Papua yang bertempat di kota Ambon, dengan kondisi ini seharusnya pemerintah dapat membangun pola
kemitraan antara Pengusaha PMC dengan Pengusaha PRK khususnya untuk memperkecil disparitas harga produk yang terjadi. Oleh karena itu strategi
membangun pola koordinasi dan kemitraan antara berbagai lembaga terkait menjadi penting disamping strategi lainnya karena dengan strategi koordinasi
dan kemitraan efektivitas, efisiensi dan pemerataan pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku akan memiliki tingkat keberhasilan yang besar.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN