Sintesis Pemecahan Masalah STRATEGI KONSERVASI HUTAN KERANGAS A. Permasalahan Konservasi

masyarakat desa Guntung Ujung umumnya berada dalam tahap prekontemplasi dan kontemplasi kategori tingkat perilaku terhadap perubahan yang dikembangkan AFAO 1996; Prochaska DiClemente 2005. Prekontemplasi adalah tingkatan perilaku seseorang yang belum merasa penting atau tidak mempertimbangkan adanya perubahan, sedangkan kontemplasi adalah tingkatan perilaku seseorang yang mempertimbangkan perubahan jika ada ajakan atau mengetahui adanya perubahan. Seleksi tingkatan perilaku individu masyarakat perlu dilakukan untuk membentuk kader konservasi pelaksana pemanfaatan lestari N.gracilis. Paling tidak untuk tahap awal, masyarakat dengan tingkatan perilaku kontemplasi dapat dididik dan dibimbing menjadi kader pemanfaatan lestari N.gracilis. Membangun stimulus manfaat menuntut terealisasi pemanfaatan N.gracilis menjadi produk yang laku dijual, memiliki daya saing dan bernilai ekonomi tinggi. subyek pelaku dari masyarakat yang berjiwa kewirausahaan entrepreneurship. Subyek pelaku yang memiliki jiwa kewirausahaan mengindikasikan bagian dari anggota masyarakat yang siap menerima stimulus manfaat dan mau melakukan perubahan perilaku. Day et al. 2006 menyatakan bahwa kewirausahaan pada hakikatnya adalan sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki kemampuan dalama mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif. Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda ability to create the new and different thing. Carson et al. 2008 mengemukakan bahwa kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, inovasi, dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Kreativitas yang dimaksud di sini adalah berfikir sesuatu yang baru, dan inovasi adalah bertindak melakukan sesuatu yang baru. Johan and Hampus 2006 mengemukakan bahwa perilaku kewirausahaan tercermin dari beberapa karakteristik individu, di antaranya: i memiliki motivasi untuk menemukan, menciptakan dan memproduksi, ii memiliki semangat dan dorongan untuk bekerja keras, iii memiliki visi akan sesuatu yang terkadang berada di luar batas kebiasaan, iv berani menerima tantangan tetapi realistis dan menghindari kegiatan dengan resiko terlalu banyak, v memiliki komitmen, kebulatan tekat dan ketekunan, vi dapat belajar dari kesalahan, toleransi terhadap kegagalan tertentu, dan menggunakannya sebagai umpan balik bagi sesuatu yang positif ke depan, vii percaya diri dan bertanggung jawab, viii fokus pada tugas, ix efisien. Hidayati 2009 mengungkapkan bahwa kualitas profesionalisme seseorang akan semakin kokoh dan terpelihara apabila pada dirinya melekat perilaku dan jiwa kewirausahaan. Kewirausahaan ini terbentuknya dapat melalui bakat dan bawaan dari lahir maupun diciptakan melalui transfer pengetahuan. Modal kemampuan kewirausahaan yang dimiliki kader yang tergolong dalam tingkatan kontemplasi akan menjadi agen perubahan bagi penduduk lainnya. Melalui proses fasilitasi dan pedampingan para kader tersebut diharapkan akan berkembang tingkatan perilakunya terhadap perubahan menjadi persiapan preparation, aksi action, memelihara maintanance dan menganjurkan advocation untuk pemanfaatan lestari N.gracilis. Keberhasilan kader konservasi N.gracilis akan dapat menjadi dasar bagi penduduk lain untuk berperan aktif dalam pemanfaatan berkelanjutan N.gracilis. Proses perubahan sikap masyarakat tersebut dapat melalui proses imitasi Walgito 2003 maupun hasil advokasi dari para kader konservasi N.gracilis dengan cara bujukanajakan persuasive ataupun pengulangan pervasion Mardikanto, 2010. Bila stimulus manfaat telah terbangun, maka stimulus manfaat yang terbentuk harus terus dikawal, dibimbing, dan diarahkan. Langkah ini diperlukan untuk mendorong kembali pemahaman tentang stimulus alamiah dan stimulus religus dari berbagai individu. Fasilitasi, pengarahan atau pendampingan dalam membangun stimulus amar pro konservasi masih terus memerlukan fasilitator atau penyuluh. Menciptakan fasilitator yang handal dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan melalui capacity building. Belajar dari kasus pemanfaaatan rambuhatap. masyarakat berperan dalam pemanenan dan pemasaran secara langsung, tidak ada aturan mengenai hak dan akses terhadap sumber daya, sehingga siapa saja boleh mengambil tanpa batas. Kegiatan masyarakat tersebut dibiarkan berjalan dengan sendirinya tanpa ada pendampingan, bimbingan, fasilitasi dan binaan dari fasilitator atau penyuluh, sehingga tidak tercapai aksi pemanfaatan lestari. Fasilitator atau penyuluh harus memiliki kemampuan baik dalam menginterpretasi, menganalisis, menyusun program konservasi dan membangkitan inovasi terbentuknya pemanfaatan berkelanjutan biodiversitas. Fasilitator juga harus memiliki pengetahuan komunikasi yang handal dan efektif dalam menyampaikan pesan terhadap masyarakat. Terkait pengetahuan komunikasi, fasilitator harus mampu memilih model komunikasi yang efektif dalam memfasilitasi proses pembimbingan atau pendampingan terhadap masyarakat lokal. Lubis 2010 mengemukakan bahwa komunikasi yang memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk berbagi informasi seperti yang ditawarkan dalam komunikasi konvergensi. Keunggulan komunikasi konvergensi dibandingkankan model linear adalah tingkat keberhasilan komunikasi ditentukan oleh tingkat keaktifan penerima dalam hal ini masyarakat lokal di dalam memberikan respon terhadap pesan yang disampaikan oleh sumbernya Mardikanto 2010. Media lain seperti elektronik, media tulis, pendidikan sekolah, pengajian keagamaan merupakan pilar penting dalam proses pemahaman dan pengembangan tri-stimulus amar konservasi N.gracilis dan hutan kerangas. Lubis 2010 mengemukakan dalam kasus pembelajaran suatu komunitas masyarakat di Kalimantan Selatan, proses pembelajaran dan saling berbagi informasi antara komunitas transmigran suku Jawa dan transmigran lokal suku Banjar dimediasi oleh media informal melalui ―Yasinan‖ yang diadakan setiap minggu. Pertemuan ini tidak hanya membicarakan masalah keagamaan, tetapi juga mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dalam bertani dan masalah- masalah sosial. Keberhasilan sosialisasi yang didukung oleh komunikasi yang efektif akan menjadi perangkat penting dalam mengintensifkan dan memperluas sebaran informasi dalam membangun stimulus manfaat untuk sikap konservasi terhadap N.gracilis. Konsep membangun tri-stimulus amar yang diawali dengan membangun stimulus manfaat merupakan konsep yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‗Alaihi Wassalam, para sahabat dan beberapa ulama besar dalam membangun masyarakat yang sejahtera secara lahir dan batin. Introduksi nilai alamiah bio-ekologi dan nilai religius ke dalam masyarakat relatif mudah di saat terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. Penggunaan nilai manfaat sebagai langkah awal membangun tri stimulus amar konservasi diibarat proses membangun dan memupuk keyakinan dengan kesejahteraan. Terbentuknya stimulus manfaat yang besar dan kuat akan memupuk stimulus religius dan alamiah dengan mekanisme positivisme manifestasi syukur nikmat akan kebesaran dan rahmat Allah. Mengawali pembangunan tri-stimulus amar konservasi dengan mengidentifikasikan dan berusaha meningkatkan nilai manfaat N.gracilis juga merupakan langkah dalam mensiasati kecenderungan masyarakat modern sekarang yang berinteraksi dengan lingkungan secara materi. Ketika materi tersebut dapat dirasakan manfaatnya barulah diikat interaksi tersebut dengan aturan-aturan hukum dan etika yang dibangun dari nilai-nilai alamiah dan nilai religius agama, budaya dan spiritual. Strategi ke depan untuk bioprospeksi di hutan kerangas mensyaratkan untuk bisa menempatkan pemanfaatan N.gracilis dan potensi biodiversitas lainnya di hutan kerangas menjadi bagian dari mata pencaharian pokok atau sejajar dengan mata pencaharian pokok masyarakat yang sudah ada. Brand image N.gracilis harus dibangun agar nilai ekonomi produk N.gracilis menjadi tinggi. Kotler et al. 2007 mengungkapkan brand image yang baik dipengaruhi oleh keunggulan dari produk dan pencitraan atau image dibentuk dari persepsi yang relatif konsisten dalam jangka panjang enduring perception. Membentuk brand image produk N.gracilis memerlukan sosialisasi intensif agar informasi produk N.gracilis dapat menjadi memori bagi khalayak luas dalam membentuk suatu persepsi akan produk tersebut. Brand image yang terbentuk akan mempengaruhi hubungan emosional individu, dari kecenderungan bertindak, menggunakan sampai tingkat loyalitas terhadap produk tertentu. Brand image yang baik tentang produk N.gracilis akan meningkatkan nilai ekonomi produk. Tingginya nilai ekonomi akan berdampak pada tingginya ketergantungan masyarakat terhadap tersedianya biodiversitas secara lestari stimulus mengenai ketersediaan, regenerasi dan kelangkaan dan menentukan sikap dan perilaku masyarakat untuk rela melakukan aksi konservasi. Diversifikasi pemanfaatan dan peningkatkan nilai tambah untuk membentuk brand image N.gracilis dapat dilakukan dengan landasan pengetahuan etnobotani masyarakat dan pendekatan hasil-hasil penelitian modern. Strategi bisnis harus dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan mekanisme suplly-demand agar terbentuk harga yang kompetitif dari produk N.gracilis. Strategi bisnis yang tepat akan meningkatkan dan mempertahankan harga atau nilai ekonomi produk N.gracilis. Ketersediaan bahan tumbuhan menjadi hal penting terkait dengan potensi pemanfaatan lestari N.gracilis sebagai bahan pengobatan. Perlu dilakukan aktivitas untuk meningkatkan potensinya dan menjamin ketersediaan bahan baku dalam pemanfaatan lestari melalui pengaturan pemanenan, perlindungan terhadap spesies dan kawasan, upaya penangkaran dalam habitat aslinya atau pembudidayaan yang mempertimbangkan karakter spesifik dari habitat N.gracilis. Pengaturan jumlah tumbuhan yang dapat dipanen harus berdasarkan nilai Minimum Viable Population MPV agar tidak terjadi kelebihan pemakaian over using terhadap sumberdaya tumbuhan yang ada. Sebagai dasar awal nilai MPV yang digunakan dapat memakai hasil riset tentang MPV tumbuhan secara umum jumlahnya adalah 4.824 individu Trail et al. 2007. Bila N.gracilis dimanfaatkan untuk kepentingan industri dalam jumlah yang besar dengan kontinyuitas yang terjamin, pembudidayaan secara konvensional pemisahan individu dari rumpun, perundukan, stek batang maupun kultur jaringan dapat dilakukan. Faktor yang harus dipertimbangkan adalah habitat tumbuh spesifik dari N.gracilis agar dapat memberikan bioaktivitas yang serupa dengan N.gracilis dari habitat aslinya. Sebagai langkah awal, penangkaran secara in situ menjadi alternatif yang dapat dipilih dalam proses budidaya N.gracilis oleh penduduk lokal. Nilai bio-ekologi tumbuhan harus menjadi stimulus alamiah yang menjadi dasar bagi sikap dan implementasi dalam pemanfaatan lestari N.gracilis. Bervariasinya karakteristik lahan dan penutupan hutan kerangas sebagai habitat N.gracilis, mengindikasikan perlunya pengaturan keruangan atau kawasan dalam penangkaran atau pembudidayaan N.gracilis. Penerapan sistem ―zonasi dinamis‖ dalam manajemen kawasan hutan kerangas dalam pemanfaatan N.gracilis. Pengaturan zonasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan lindung sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 12 ayat 1 pembagian hutan ke dalam blok-blok yang terdiri dari : a. blok perlindungan; blok b. pemanfaatan; c. blok lainnya; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan; dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Walaupun pada beberapa substansi pasalnya perlu adanya revisi yang sifatnya membangun. Terbentuknya stimulus amar untuk sikap dan aksi konservasi para pihak harus terus didorong hingga menjadi suatu kebiasaan atau perilaku konservasi. Pendidikan dan pelatihan yang terprogram kontinyu mutlak diperlukan agar terjadi proses pembiasaan untuk melakukan aksi konservasi. Pembiasaan- pembiasaan yang dibangun dengan kontinyu akan membentuk suatu perilaku konservasi dari para pihak yang berkepentingan dengan hutan kerangas. Dokumentasi menjadi bagian terpenting agar aliran informasi dalam pembentukan stimulus amar untuk sikap dan aksi konservasi. Dokumentasi yang baik juga menjadi modal penting agar pendidikan dan pelatihan yang kontinyu dalam mendukung terbentuknya perilaku konservasi N.gracilis dan hutan kerangas. b Menjalin konektivitas pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern Transfer pengetahuan yang terhambat sebagai akibat kaderisasi keilmuwan dan pengetahuan yang kurang berjalan dengan baik, dokumentasi yang buruk, dan intervensi nilai dan budaya luar menjadikan rendahnya pemahaman generasi penerus terhadap pengetahuan tradisional yang posisinya semakin terpinggirkan. Menjalin konektivitas yang dimaksudkan adalah suatu upaya menyambung, mengembangkan dan mempersatukan pengetahuan tradisional masyarakat dengan pengetahuan luar atau pengetahuan modern, sehingga pengetahuan tradisional menjadi pengetahuan yang penting dan diperhitungkan, serta adaptif terhadap perkembangan terkini. Pembuktian empiris modern dalam penelitian ini melalui identifikasi senyawa fitokimia dan pengujian skala laboratorium secara in vitro merupakan upaya untuk memperkuat pengetahuan tradisional tentang kekhasiatan dari N.gracilis sebagai bahan alam untuk pengobatan. Identifikasi senyawa fitokimia kualitatif menunjukkan bagian-bagian tumbuhan N.gracilis seperti cairan kantong, daun, batang, kantong dan akar memiliki kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan pengobatan. Bioaktivitas juga ditunjukkan dari nilai toksisitas bagian-bagian tumbuhan. Semua bagian tumbuhan dari N.gracilis memiliki kapasitas sebagai antibakteri. Akar tumbuhan ini melalui pengujian daya inhibisi terhadap α glukosidase terbukti memiliki kapasitas antidiabetes yang potensial. Pembuktian empiris melalui pengujian skala laboratorium dan identifikasi pengetahuan etnobotani masyarakat terhadap N.gracilis yang berasal dari hutan kerangas menjadi suatu informasi baru dalam rangka meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan N.gracilis. Biomassa yang relatif tinggi, keragaman genetika relatif tinggi dan aman untuk dimanfaatkan, serta potensi pemanfaatan yang prospektif menjadikannya sebagai salah satu pilihan spesies pentingkunci di hutan kerangas. Secara khusus dalam implementasi konservasi, peran perguruan tinggi melalui program Tri Dharma Perguruan Tinggi dituntut untuk memediasi, membangkitkan informasi dan mentransfer atau mensosialisasikan pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kemampuan dan membangun sikap penduduk dan pemerintah. Implementasi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat haruslah mendapatkan proporsi yang seimbang. Program penelitian yang dilakukan dapat menjadi mediasi bagi terjalinnya pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern. Program pengabdian masyarakat adalah kelanjutan dari proses pendidikan dan penelitian yang telah dilakukan, sehingga manfaat ilmu pengetahuan dapat direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Dengan demikian perguruan tinggi memegang peranan penting dalam implementasi konservasi. Perguruan tinggi melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat berperan sebagai pembangkit informasi, fasilitator yang mensosialisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pihak yang mampu melakukan dokumentasi, dan sebagai pihak yang dituntut untuk bisa melakukan pendidikan, pelatihan dan pendampingan agar terbentuk sikap dan aksi konservasi masyarakat. 2 Pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi lestari Pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi lestari yang mencakup prasyarat adanya 1 kerelaan berkorban 2 property right yang jelas 3 dukungan peraturan perundangan 4 dukungan multipihak 5 penerapan dan penegakan hukum 1 Kerelaan berkorban Kerelaan berkorban merupakan prasyarat mendasar agar suatu sikap tertentu dapat berkembang menjadi aksi tertentu. Kerelaan berkorban secara umum yang paling bisa dipenuhi oleh individu adalah atas dasar manfaat yang akan diterima. Pada kasus tumbuhan N.gracilis, masih belum teridentifikasikan sikap masyarakat lokal dan pemerintah pengelola yang rela berkorban untuk kelestarian pemanfaatan N.gracilis di hutan kerangas. Pernyataan sederhana berikut merupakan contoh bentuk kerelaan berkorban dari individu atau masyarakat karena nilai manfaat besar yang akan diperoleh: ―orang rela menanam dan memelihara pohon durian‖, ―orang rela menanam dan memelihara karet‖. Berdasarkan pembuktian empiris modern dan pengetahuan tradisional masyarakat sangat strategis untuk membangun image stimulus N.gracilis sebagai tumbuhan dengan multi-fungsi, baik dipandang dari aspek ekologi, sosial budaya, kesehatan masyarakat dan potensi pengembangan ekonomi masyarakat. Pembangunan image bahwa N.gracilis merupakan jenis tumbuhan dengan berbagai fungsi nilai manfaat yang dimilikinya antijamur, antibakteri, antidiabetes, penyerap logam berat, sumber bakteri untuk industri dll. perlu dilakukan melalui berbagai bentuk sosialisasi yang efektif. Nilai-nilai manfaat sosial budaya, ekologi tentang N.gracilis perlu dibangkitkan dan disosialisasikan kembali agar meningkatkan kerelaan berkorban untuk kelestarian N.gracilis dan hutan kerangas. Kerelaan tertinggi adalah didasarkan pada nilai religius. Kerelaan yang didasarkan pada nilai religius merupakan wujud pertanggungjawaban setiap individu manusia kepada alam itu sendiri dan kepada Sang Pencipta Lillahi ta‘ala. Perspekstif ilmu tauhid menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada pada diri dan sekeliling kita semata-mata adalah pemberian, rahmat dan atas ridha Allah, sehingga perbuatan atau aktivitas yang kita lakukan terhadap diri dan sekeliling kita semata-mata didasarkan atas kerelaan dan mengharapkan keridhaan Alla h Subhana wa ta‘ala. Bertindak pro konservasi adalah suatu tindakan yang bermanfaat bagi umat manusia dan lingkungan. Tindakan tersebut bukan lagi mengharapkan pahala, tetapi menjadi suatu kepatutan dan keharusan manusia sebagai khalifah, manifestasi syukur nikmat dan semata-mata mengharapkan keridhaan Allah. Kerelaan yang dibangun dengan aspek religius seperti inilah merupakan wujud kerelaan tertinggi dalam pelaksanaan konservasi. Allah memerintahkan agar manusia menggunakan semua panca indera dan nuraninya, serta pengetahuan-pengetahuan dari manusia pendahulunya yang Allah telah berikan untuk mengenal dan membaca fenomena kehidupan alam, yang harus meresap ke setiap diri sanubari menjadi stimulus yang kuat dan kenyal untuk bersikap dan berperilaku konservasi. Fenomena alam atau sinyal alamiah adalah firman Sang Pencipta yang tak tertulis, pasti mutlak benar, pastilah sangat paling ilmiah, secara global mengingatkan setiap individu manusia agar mau mengoreksi kesalahannya terhadap mengelola dan memanfaatkan lingkungan alam hidupnya. Kalau manusia mengingkarinya, maka individu manusia tersebut dapat sangsi kesusahan di masa hidupnya di dunia berupa rusaknya alam dan sangsi siksaan azab kubur dan neraka di alam akhirat sebagai wujud pertanggungjawaban secara individual . Inilah sistem hukum yang diciptakan Allah yang harus diyakini belief, pasti terlaksana dengan sangat adil. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang selayaknya kita jadikan dan tumbuh-kembangkan sebagai stimulus utama dalam melakukan keberlanjutan konservasi alam, khususnya konservasi taman nasional di Indonesia dan di dunia. Akhirnya konservasi itu baru dapat diwujudkan di dunia nyata, apabila pada setiap diri individu manusia memiliki keikhlasan dan kerelaan berkorban untuk konservasi Amzu 2007. Bagi masyarakat Kalimantan Selatan yang dominan beragama Islam, pendekatan keagamaan melalui pembimbingan dan penyampaian nasihat lewat pengajian agama merupakan modal sosial yang penting dalam membangun sikap pro-konservasi. Pengajian agama dan peranan ulama yang memimpin pengajian Tuan Guru menjadi institusi transformatif yang efektif dalam permasalahan sosiokultural. Fungsi pengajian sebagai institusi tranformatif dapat dilihat melalui proses reproduksi nilai-nilai, baik yang bersumber dari ajaran Islam maupun budaya setempat dan peranan tuan guru sebagai pialang budaya. Nilai-nilai general yang dibentuk melalui pengajian tidak hanya membawa perubahan dalam pemahaman keislaman, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lebih luas melalui bidang pendidikan dan ekonomi. Materi pengajian yang mendukung pembentukan etika dan tingkah laku yang sangat diperlukan dalam pembangunan telah menjadikan institusi itu berperanan penting dalam proses transformasi. Nilai-nilai yang berhubungan semangat untuk mengumpulkan kekayaan, kewirausahaan, kebebasan berusaha, kemajuan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan selaras dengan karakteristik sosiokultural yang melekat dalam kehidupan masyarakat Banjar Alfisyah 2009. Kombinasi dan sinergisitas peran ulama, cendikiawan, pemimpin formal dan nonformal dalam menyampaikan atau mensosialisasikan moral dan sosiokultural berpeluang besar dan efektif dalam membangun sikap pro konservasi. 2 Property right yang jelas Property right merupakan suatu hak yang pengertiannya mencakupi hak mengakses memasuki kawasan fisik dan menikmati keuntungan nonsubstraktif, memiliki unit sumberdaya atau hasil dari sistem sumberdaya, mengelola sumberdaya, menentukan siapa yang berhak mengakses dan, hak untuk memindahkan kepemilikan atau hak mengelola atas sumber daya Schlager and Ostrom 1992. Kebiasaan umum yang berlangsung pada masyarakat hutan, property right tidak dipandang terbatas pada hak secara ekslusif mengambil keputusan mengontrol sumberdaya, tetapi juga menerima manfaat dan mengelola sumber daya tersebut. Di Indonesia, terdapat berbagai hak atas tanah di antaranya hak milik merupakan hak terkuat dan pemiliknya mempunyai kontrol penuh atas tanah, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa dan hak memungut hasil hutan Siagian dan Neldysavrino 2007. Kasus di hutan kerangas Desa Guntung Ujung, pengaturan property right hanya terbatas pada hak kepemilikan atas lahan kerangas lahan desalahan milik pribadi dan lahan milik pemerintah dalam kawasan hutan lindung. Belum ada pengaturah mengenai property right dalam pengertian lainnya. Beberapa pihak mengartikan bahwa property right adalah hak kepemilikan, baik hak milik negara atau pribadi. Pandangan property right sebagai suatu hak kepemilikan lahantanah dapat dipakai untuk kasus kepemilikan lahan di hutan kerangas. Sebagian areal hutan kerangas merupakan hutan lindung milik negara dan sebagian merupakan areal di luar kawasan hutan milik pribadi atau kelompok. Property right merupakan prasayat mutlak bagi keberlanjutan suatu kegiatan. Property right berbanding lurus terhadap keberhasilan pengelolaan. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa prasyarat tentang property right yang jelas baik pengertian property right sebagai hak kepemilikan maupun pengertian yang lebih luas dalam kawasan hutan kerangas Desa Guntung Ujung sebagai habitat N.gracilis adalah tidak dapat terpenuhi. Terkait hak kepemilikan atas tanah, salah satu kegiatan yang mendukung bagi penerapan property right adalah penatabatasan dan pengukuhan kawasan hutan. Kejelasan batas wilayah menjadi prasyarat keberlangsungan dan keberlanjutan suatu aksi. Permasalahan tata batas merupakan bagian dari masalah pengelolaan hutan kerangas secara keseluruhan. Fakta yang terjadi di lapangan, tata batas kawasan hutan dan lahan kerangas tidak jelas. Penatabatasan ini belum tersosialisasikan sampai level pemerintahan desa dan masyarakat lokal setempat. Kegiatan penatabatasan hutan pernah dilakukan dengan pemberian patok tata batas secara sepihak melalui bantuan South and Central Kalimantan Production Forest Project SCKPFP bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kab. Banjar dan Balai Pemetaan Kawasan Hutan Banjarbaru. Perkembangan selanjutnya dari patok batas tersebut sekarang telah hilang dan tidak pernah dilakukan pemeliharaan tata batas ulang. Sosialisasi pernah dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar ke pemerintah Kecamatan Gambut dengan mendistribusikan peta kawasan hutan lindung, akan tetapi sosialisasi tersebut tidak sampai pada tingkat aparat desa. Output peta yang dihasilkan tidak mudah dipahami dan diinterpretasikan pada level desa, kelurahan bahkan kecamatan. Permasalahan tata batas ini yang menjadi pemicu klaim atas tanah di kawasan hutan kerangas. Banyak ditemukan klaim tanah oleh masyarakat terutama kepemilikan tanah kavling yang banyak dimiliki oleh penduduk dari luar desa Guntung Ujung atau desa terdekat lainnya. Preseden buruk masalah klaim tanah adalah yang datangnya dari instansi pemerintah di luar pengelola Dinas Kehutanan seperti kasus pembuatan rencana tempat pemakaman keluarga besar Korpri dan Wredhatama Provinsi Kalimantan Selatan di hutan lindung Kabupaten Banjar. Penatabatasan kembali perlu dilakukan berdasarkan kondisi sekarang, yaitu kemungkinan adanya enclave pada desa tertentu atas dasar permintaan Dinas Kehutanan dan selanjutnya wewenang penatabatasan kawasan akan diserahkan kepada BPKH Sumber: Dinas Kehutanan Banjar 2011. Implementasi penatabatasan partisipatif yang melibatkan masyarakat dapat diterapkan dan sekaligus menjadi media sosialisasi tentang tatabatas yang dibuat. Pemenuhan property right yang lainnya atas sumberdaya memerlukan peraturan hukum atau perundangan sebagai legal aspek pelaksanaan atau aktifitas yang sedang dan akan berlangsung dalam kawasan hutan kerangas. 3 Dukungan peraturan perundangan Dukungan peraturan perundangan prasyarat yang menjadi legal aspek penerapan suatu kegiatan. Peraturan perundangan merupakan alat untuk membuat keteraturan dalam implementasi bioprospeksi maupun pengelolaan hutan lindung. Pemerintah perlu membuat kebijakan pengelolaan bioprospeksi dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan berwawasan masa depan Riyadi 2008. Belum ada dukungan Peraturan Daerah Perda dan Petunjuk Teknis tentang pengelolaan hutan lindung dan pemanfaatan keanekaragaman hayati termasuk bioprospeksi merupakan faktor penghambat upaya pengelolaan hutan kerangas dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Kelemahan implementasi di tingkat daerah yang paling sering dijumpai adalah ketergantungan aparat akan Petunjuk Teknik yang implementasinya terkadang kaku dan tidak berorientasi pada local specific site. Kasus serupa dengan kasus pembentukan KPHP kabupaten Banjar yang satu permasalahan internalnya adalah belum adanya dukungan Perda. Padahal di tingkat nasional beberapa kebijakan sudah diterbitkan seperti Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan. Ketiadaan Perda yang mengatur pengelolaan hutan lindung merupakan bentuk kurangnya apresiasi pemerintah daerah terhadap fungsi ekologis dari hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan mencegah intrusi air laut. Peraturan perundangan dibuat harus dapat membuat landasan hukum legal bagi masyarakat yang memanfaatkan secara lestari N.gracilis. Kebijakan pengelolaan hutan terhadap sumberdaya hutan harus menjadikan masyarakat lokal sebagai subyek yang ikut mengelola hutan kerangas. Nilai-nilai yang menerangkan karakter bio-ekologi dan manfaat N.gracilis baik bersumber dari pengetahuan modern dan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat tentang N.gracilis harus menjadi dasar penyusunan peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan lestari N.gracilis atau sumberdaya lainnya. Penjabaran dan implikasi lebih lanjut dari peraturan perundangan yang sifatnya masih umum harus segera disusun. Mungkin diperlukan propovokasi besar yang didukung data empiris agar membentuk image yang kuat akan multi manfaat N.gracilis yang tidak saja berdampak pada sosial ekonomi masyarakat tetapi juga menyangkut pandangan politis masyarakat, sehingga memunculkan kesungguhan yang besar bagi para pembuat kebijakan dalam menyusun peraturan yang lebih spesifik semisal peraturan daerah tentang pemanfaatan hutan lindung dan pemanfaatan biodiversitas dalam kawasan hutan tertentu. 4 Dukungan multipihak Dukungan multipihak baik dari pemerintah eksekutif, legislatif, dunia usaha, perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga donor atau lembaga lainnya belum terbentuk dengan baik dalam mengupayakan implementasi bioprospeksi N.gracilis di hutan kerangas. Keterbatasan informasi, ketidaktahuan dan belum terealisasinya nilai manfaat ekonomi secara langsung menjadi pemicu minimnya dukungan akan sikap dan aksi pro konservasi di hutan kerangas. Membangun komitmen pemerintah terutama pemerintah lokal akan pentingnya N.gracilis dari hutan kerangas dapat dilakukan dengan cara menginformasikan manfaat keanekaragaman sumberdaya hutan kerangas. Selain dukungan secara parsial dari pemerintah yang berwenang mengelola hutan kerangas Dinas Kehutanan, koordinasi dan sinergisitas dengan berbagai pihak seperti BPKH, Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perindustrian, Dinas Perikanan, Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Pariwisata dan lainnya diperlukan untuk memfasilitasi terbentuknya berbagai unit usaha yang bisa mengoptimalkan pemanfaatan hutan kerangas tanpa merusak fungsi utama dari hutan lindung tipe kerangas. Pengembangan kawasan hutan secara lebih luas dapat dlilakukan dengan sistem multiuse management atau multi usaha yang berbasis kelestarian lingkungan. Koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dengan sektor lain, seperti perikanan darat, peternakan dan ekowisata merupakan langkah yang harus diambil dalam pengembangan multiuse management. Pemerintah dituntut untuk bisa memfasilitasi masyarakat dalam membuat rangkaian konektivitas terhadap dunia usaha sehingga penerapan bioprospeksi dapat terus berlanjut dan berkeadilan. Perkembangan terbaru memberikan sinyal positif untuk kegiatan konservasi hutan kerangas, khususnya hutan lindung desa Guntung Ujung. Pertemuan antara pemerintah kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut sepakat membangun kawasan sekitar hutan lindung dengan motto ―Banjar Bakula‖ dan tetap mempertahankan status fungsi hutan kerangas dengan fungsi lindung Mendapatkan dukungan politis dari pelaksana dan penentu kebijakan eksekutif dan legislatif atau penguasa menjadi prasyarat penting dalam upaya mencapai tujuan implementasi bioprospeksi lestari. Dukungan politis yang terjalin dapat mempercepat aliran pendanaan, memfasilitasi terbentuknya hubungan dengan lembaga pendonor di luar pemerintah, menambah kekuatan, kekuasaan dan keleluasaan dalam pelaksanaan program konservasi. Menggiring konservasi yang didukung oleh penguasa merupakan langkah penting yang harus dilakukan. Sebagai salah satu langkah teknis untuk mendapatkan dukungan politis adalah dengan jalan membangun image bahwa dengan keberhasilan melestarikan N.gracilis akan meningkatkan pencitraan politis yang positif dari masyarakat terhadap penguasa adalah sangat diperlukan. Dukungan perguruan tinggi, Dewan Riset Daerah dan lembaga-lembaga penelitian sangat penting dalam menyambungkan pengetahuan masyarakat berbasis kepada karakteristik sumberdaya keanekaragaman alam hayati lokal dengan pengetahuan modern. Kombinasi pengetahuan ini akan menjadi pondasi bagi pembentukan komponen cognitive, affective dan overt actions dalam setiap individu masyarakat yang memelihara kestabilan tri-stimulus amar dan sikap konservasi. 5 Penerapan dan penegakan hukum .Prasyarat penting agar suatu kegiatan berjalan pada koridor yang telah ditentukan dan disepakati adalah penerapan dan penegakan hukum. Penerapan hukum juga merupakan alat untuk menciptakan keteraturan dalam implementasi pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya hutan berbasis informasi bioprospeksi. Pengalaman membuktikan bahwa tidak berjalannya mekanisme kontrol, penerapan dan penegakan hukum menjadi salah satu pemicu utama ketidakteraturan dan kekacauan diberbagai apek pembangunan dan kehidupan, termasuk kegiatan pengelolaan atau konservasi hutan. Sebagai langkah awal penyelesaian masalah hukum kepemilikan tanah di hutan kerangas posisinya sangat penting untuk diselesaikan. Penegakan hukum menjadi bagian dari stimulus manfaat dalam penerapan konservasi berbasis pemanfaatan berkelanjutan dari sumberdaya. Terdapatnya sanksi-sanksi bagi pelanggar aturan dalam penegakan hukum akan mengeliminir free riders dan menjadi stimulus manfaat yang membangun kesadaran individu masyarakat untuk bersikap konservasi terhadap hutan kerangas. Penyelesaian masalah hukum kepemilikan tanah di hutan kerangas posisinya sangat penting untuk diselesaikan. Penerapan dan penegakan hukum bagi para pencaplok lahan negara hutan lindung belum intensif dilakukan. 3 Katalisasi aksi kolektif bagi penerapan pemanfaatan biodiversitas lestari Aksi kolektif suatu aksi yang dilakukan sekelompok individu baik secara langsung maupun melalui suatu organisasi, untuk mencapai kepentingan bersama Marshall 1998. Kelompok dapat terbentuk sendiri secara sukarela maupun dibangun oleh institusi-institusi eksternal baik fomal maupun nonformal. Aksi kolektif mengandung pengertian suatu kerjasama antara beberapa orang atau kelompok. Kerjasama adalah salah satu bentuk interaksi sosial yang mana pengertiannya merupakan suatu usaha bersama antar orang-perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama adalah keterlibatan secara pribadi di antara kedua belah pihak demi tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi atau demi tercapainya tujuan. Aksi kolektif akan timbul, bila dalam mencapai suatu tujuan perlu kontribusi lebih dari satu individu Ostrom 2004. Katalisasi aksi kolektif menurut Colfer 2007 mengandung pengertian: mendorong munculnya kembali aksi kolektif. Katalisasi aksi kolektif bagi implementasi bioprospeksi lestari dapat menjadi kunci keberhasilan penerapan konservasi jenis N.gracilis dan kawasan hutan kerangas. Katalisasi aksi kolektif untuk penerapan pemanfaatan berkelanjutan biodiversitas termasuk N.gracilis relatif efektif apabila memberdayakan kelompok atau institusi lokal yang sudah terdapat dalam masyarakat. Kelompok atau institusi yang terdapat di dalam masyarakat telah memiliki modal sosial yang sudah terbangun. Rasa saling percaya, pola komunikasi, bahasa, hubungan kerjasama telah terbentuk dalam kelompok lokal baik formal maupun informal. Pemberdayaan kelompok atau institusi lokal juga suatu bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai dari sebagian cara hidup mereka yg telah berjalan selama ini. Pengakuan seperti ini sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri mereka dan juga penting untuk menghasilkan aksi kolektif yang efektif. Kelembagaan tradisional pemanfaatan biodiversitas sudah terbentuk dalam masyarakat lokal sekitar hutan kerangas. terutama dalam pemanenan dan pengumpulan hasil dari daun rambuhatap Baeckea frutescens dan buah galam Melaleuca cajuputi. Contoh dalam pengumpulan daun rambuhatap, setelah daun dirontokkan dari batang tumbuhan, menjadi keharusan bagi pemungut daun untuk mengembalikan batangranting tumbuhan tersebut ke dalam kawasan hutan kerangas. Tidak pernah terjadi kasus perebutan wilayah dalam pemungutan rambuhatap. Menjadikan kelembagaan tradisional sebagai pilar dalam aksi kolektif untuk penerapan bioprospeksi merupakan proses penguatan kembali kelembagaan yang lebih spesifik dalam pengelolaan sumberdaya hutan terutama yang menggunakan sumberdaya tumbuhan obat. Bentuk kelompok spesifik untuk kasus di hutan kerangas di antaranya dapat berupa kelompok masyarakat tumbuhan obat rambuhatap Baeckea frutescens, Kelompok masyarakat tumbuhan obat galam Melaleuca cajuputi, Kelompok masyarakat tumbuhan obat Kantong semar N.gracilis atau tumbuhan obat lainnya. Mengaitkan, menyambungkan dan menyatukan pengetahuan luar dan pengetahuan lokal penting dilakukan, misalnya pengetahuan dari akademisi, pedagang, pengusaha, pemerintah atau lainnya. Proses tersebut bisa berjalan baik jika terdapat pengakuan terbuka terhadap nilai pengetahuan lokal. Ketika pengetahuan masyarakat setempat dipandang memberi sumbangan yang bernilai dan bermanfaat, maka kepercayaan diri mereka akan semakin kuat dan akan mendorong aksi kolektif yang lebih efektif. Amzu 2009 mengungkapkan bahwa: ―Orientasi pengembangan sumberdaya hutan sepatutnya mengacu kepada pengetahuan dan teknologi indigenous masyarakat lokal dalam skala unit-unit pengelolaan. Pengembangan pemanfaatan sumberdaya hutan harus berakar dari pengetahuan etnobotani masyarakat kecil etnis sebagai masyarakat inti yang mandiri‖. Masyarakat lokal hutan yang dimaksud merupakan manifestasi dari kumpulan kelompok-kelompok yang mengelola sumberdaya secara spesifik, misalnya masyarakat gaharu, masyarakat gemor, masyarakat rotan, masyarakat madu dan lain-lain. Free rider merupakan permasalahan dalam pelaksanaan aksi kolektif. Free rider memiliki sifat hanya menikmati ketersediaan barang atau jasa tetapi tidak memikirkan atau berbuat sesuatu supaya keberlanjutan dan ketersediaan barang dan jasa tersebut tetap berjalan. Individu akan dapat secara aktif dan efektif melakukan aksi kolektif, jika jumlah free rider dapat ditekan. Kembali ke konsep pertama bahwa jumlah free rider dapat diminimalkan jika tri-stimulus amar untuk sikap dan aksi konservasi sudah terbentuk kokoh pada setiap komponen yang berperan dan menentukan konservasi hutan kerangas. Sintesis penyelesaian masalah yang diungkapkan tentang penerapan bioprospeksi lestari N.gracilis di hutan kerangas hendaknya dilakukan secara simultan, berkelanjutan dan termonitor. Hal ini mengingat karena umumnya semua aspek yang dikemukakan bukan merupakan proses yang parsial tetapi saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Pintu masuk konservasi ke dalam pengelolaan hutan kerangas pada prinsipnya tidak terpaku pada satu skema penerapan konservasi. Penerapan beberapa skema penerapan konservasi lainnya dapat dilakukan dengan tetap menitikberatkan pada kespesifikan atau kefokusan dalam pelaksanaan. Menciptakan sinergisitas pengelolaan memerlukan berbagai pengetahuan penunjang agar implementasi konservasi dapat berjalan beriringan. Kombinasi konsep bioprospeksi berbasis tumbuhan obat dengan pemanfaatan lain dalam konservasi hutan kerangas akan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang benar-benar relevan dengan fungsi hutan yang diharapkan, seperti wisata alam atau ekowisata, penyangga ekosistem dan jasa lingkungan lainnya. Bahkan pada kasus dan tapak tertentu dapat berupa pemanfaatan kayu terbatas dengan syarat sistem dan mekanisme pengelolaannya telah tertata dan berjalan dengan baik. Jika belum, maka pilihan bioprospeksi dan jasa hutan atau lingkungan merupakan pilihan terbaik dalam pengelolaan hutan kerangas. Konsep tata ruang mikro atau zonasicluster yang dinamis menjadi salah satu solusi agar pengelolaan kawasan konservasi berbasis bioprospeksi relatif mengacu pada ―site specific‖. Sehingga proses pengelolaannya dapat dijalankan dan dipantau lebih mudah dan akurat. Hutan kerangas yang terdapat di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya merupakan hutan kerangas yang relatif berhasil dikelola dan mendapatkan dukungan politis dan pendanaan. Hutan kerangas Nyaru Menteng merupakan salah satu contoh pengelolaan hutan dengan cakupan luasan yang relatif kecil. Implementasi ‖ multi use management‖ dilakukan dalam pengelolaan Arboretum Nyaru Menteng. Luasan yang relatif kecil dan kejelasan property right memudahkan mekanisme pengontrilan dan tindakan manajemen lainnya. Selain berfungsi sebagai Arboretum, kawasan hutan ini juga menjadi wadah bagi penelitian dan pengembangan, wisata alam dan rekreasi. Kawasan hutan ini menjadi aset publik bagi masyarakat Palangkaraya dan sekitarnya Kawasan hutan ini telah menjadi Pusat Introduksi orang utan. Nilai sosial budaya masyarakat sekitar yang familiar dengan orang utan merefleksikan kebanggaan dan kesenangan penduduk akan keberadaan orang utan. Pengelolaan hutan kerangas di Arboretum Nyaru Menteng terlah berhasilnya mengangkat spesies penting yaitu orang utan Pongo pigmeus menjadi ―bendera konservasi‖ yang mampu berdampak pada kemampuan melindungi dan melestarikan hutan kerangas. Terbangunnya stimulus manfaat dari pemahaman tepat, baik dan benar tentang sinyal manfaat N.gracilis dan hutan kerangas harus diikuti dengan pemahaman lengkap tengan sinyal alamiah dan religiusrela. Apabila hanya sinyal manfaat yang difahami dan membentuk stimulus manfaat, maka yang akan terjadi adalah discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion dari sumberdaya alam hayati. Kelompok masyarakat inilah yang disebut dengan kelompok ―free rider” atau kelompok ―pecundang‖ sebagai pelaku terdepan yang menimbulkan masalah konservasi di lapangan Amzu, 2007.

C. Simpulan dan Implikasi 1 Simpulan

Penelitian ini memberikan gambaran status konservasi hutan kerangas terkini semakin terancam dan kritis. Penurunan keanekaragaman hayati dan rusaknya habitat terjadi akibat terdegradasinya hutan kerangas. Konservasi hutan kerangas di lapangan tidak terlaksana karena belum adanya keperdulian yang kuat untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati dan kawasan hutan kerangas. Variasi struktur tegakan, komposisi jenis tumbuhan dan fauna serta sifat tanah terjadi terhadap hutan kerangas sebagai akibat dari tingkat gangguan yang terjadi. N.gracilis merupakan salah satu contoh jenis tumbuhan yang memiliki pola adaptasi terhadap degradasi hutan kerangas. Bila dibandingkankan dengan jenis Nepenthes lainnya, N.gracilis mampu tumbuh dominan di hutan kerangas yang terbuka. Populasi dan produktivitas kantong yang dihasilkan oleh N.gracilis di hutan kerangas relatif tinggi pada hutan kerangas terbuka. Peran hutan kerangas dan N.gracilis terhadap lingkungan dalam penelitian ini teridentifikasi melalui manfaatnya terhadap lingkungan fisik-kimia, bio-ekologi dan sosio-ekonomi-budaya. Peran hutan kerangas terhadap lingkungan merupakan suatu bentuk jasa ekosistem yang diberikan oleh keberadaan hutan kerangas. Peran N.gracilis dalam penelitian ini merupakan deskripsi dari functional biodiversity . Hutan kerangas merupakan komunitas tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber tumbuhan obat. N.gracilis merupakan contoh tumbuhan hutan kerangas yang digunakan masyarakat dalam pengobatan tradisional. Pemanfaatan tumbuhan obat tersebut masih bersifat minor dan penguasaan pengetahuannya terbatas pada orang tertentu dengan kaderisasi keilmuwan antar generasi kurang berjalan baik. Identifikasi keragaman genetika N.gracilis menunjukkan keragaman tinggi. Temuan ini mengindikasikan bahwa status N,gracilis secara genetika relatif aman dan berpeluang untuk dimanfaatkan. N.gracilis berdasarkan pendekatan pengetahuan modern terbukti memiliki bioaktivitas yang potensial baik sebagai antibakteri, antidiabetes dan antijamur. Status hutan kerangas yang dominan terdegradasi dan menurunnya fungsi manfaat hutan kerangas menjadikan tipe hutan ini menjadi prioritas konservasi. Pendekatan konservasi yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah berusaha mengumpulkan, meramu data dan informasi terkait penerapan pemanfaatan biodiversitas berbasis bioprospeksi di hutan kerangas dalam kasus ini melalui jenis N.gracilis. Pendekatan pengumpulan dan analisis data tidak terpaku pada modal fisik, biologi dan kimia, tetapi juga mencakup aspek sosial individu atau masyarakat yang menjadi pelaku konservasi. Berdasarkan hasil penelitian tentang karakteristik nilai ekologi potensi, tumbuhan, keragaman genetika dan karakteristik habitat, nilai sosial budaya, nilai religius dalam masyarakat, nilai manfaat yang didasari oleh pengetahuan etnobotani masyarakat dan pembuktian empiris modern kapasitas antibakteri, antidiabetes, antijamur, sumber penghasil bakteri, tumbuhan dengan kemampuan menyerap logam berat, N.gracilis merupakan jenis tumbuhan yang potensial untuk dikembangkan dan bernilai ekonomi bagi masyarakat dalam kerangka konservasi berbasis pemanfaatan lestari biodiversitas. Sinyal dari nilai manfaat dan alamiah yang ditangkap dan menjadi stimulus bagi sikap masyarakat tentang N.gracilis masih relatif rendah 30-33,33. Nilai N.gracilis semakin lama meredup akibat diskonektivitas pengetahuan masyarakat, belum terbentuknya nilai ekonomi langsung, intervensi pengetahuan luar dan adanya barang subtitusi modern. Hal ini berdampak pada semakin terbatasnya stimulus manfaat dan alamiah yang dimiliki dan dipahami generasi penerus tentang N.gracilis. Konsekuensinya adalah N.gracillis masih belum dianggap penting bagi penduduk dan pengelola hutan kerangas. Sinyal N.gracilis untuk pemanfaatan biodiversitas berbasis bioprospeksi hutan kerangas belum belum dapat menjelma menjadi stimulus alamiah, manfaat dan religius AMAR yang kuat untuk aksi konservasi. 2 Implikasi Penelitian ini merupakan suatu rangkaian riset untuk membangun data base dan mensintesisnya untuk kepentingan penerapan konservasi hutan kerangas dengan skema bioprospeksi lestari N.gracilis. Skema ini masih memerlukan dukungan data dan informasi lain dalam rangka mewujudkannya menjadi aksi konservasi yang nyata. Dukungan data dan informasi lain dalam bidang fisik-kimia-biologi masih diperlukan seperti: Minimum Viable Population MVP untuk pengaturan pemungutan tumbuhan untuk menghindari ―over using‖ dari sumberdaya yang tersedia, peluang dan potensi penangkaran secara insitu untuk meningkatkan potensi tumbuhan di alam, penanganan produk pasca pemungutan dan teknik pengolahan yang memberikan hasil tinggi, hemat bahan baku dan relatif mudah dalam penerapan serta pengemasan. Beberapa hal tersebut diperlukan untuk merealisasikan nilai manfaat ekonomi secara langsung dari N.gracilis Data dan informasi sosial ekonomi untuk membangun data base pendekatan konservasi kerangas melalui bioprospeksi N.gracilis yang masih diperlukan di antaranya dapat berupa peluang pasar dan pemasaran; Karakterisasi sosial adalah kegiatan yang diperlukan dalam membangun hubungan dan sinergisitas antara masyarakat lokal dengan pengelola dan para pelaku pasar seperti: pedagang, pembeli, dan pengusaha. Pemanfaatan lestari dari biodiversitas hutan kerangas harus dapat diarahkan mengikuti perkembangan dinamika tegakan. Perbedaan tingkat gangguan terhadap hutan kerangas akan menyebabkan perbedaan komposisi jenis dan struktur tegakan yang terbentuk. Hal ini diduga akan berdampak pada perbedaan kapasitas dari tiap jenis tumbuhan bila dihubungkan dengan bioaktivitas. Pengkajian bioprospeksi berbagai jenis tumbuhan lainnya dari hutan kerangas diperlukan untuk memberikan alternatif-alternatif pilihan jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan secara lestari dan dapat mengikuti perkembangan atau dinamika dari tegakan hutan kerangas yang terbentuk. Beberapa implikasi dari hasil penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: 1 Implikasi kebijakan Status konservasi hutan kerangas yang terancam mengharuskan kita mengambil kebijakan untuk menetapkan hutan kerangas sebagai hutan yang harus dikonservasi, dilindungi dan selanjutnya bisa dimanfaatkan dengan tepat, benar, baik dan lestari. Fungsi konservasi, perlindungan dan produksi harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan hutan kerangas. Khusus untuk pengelolaan hutan kerangas yang kasusnya merupakan hutan lindung berdasarkan peraturan pemerintah, penerapan sistem zonasi dinamis dapat menjadi pilihan. Sehubungan dengan hal tersebut, beberapa peraturan tentang pembagian fungsi hutan dan mekanisme pengelolaan hutan lindung terkait blok pengelolaan zonasi harus direvisi sebagai konsekuensi dari dinamisnya habitat dan tegakan hutan kerangas. Beberapa pasal yang harus direvisi terkait pemanfaatan dalam zonasi yang harus direvisi ditampilkan dalam Tabel 10.2. Tabel 10.2 Beberapa pasal dari peraturan tentang zonasi yang seharusnya direvisi Peraturan Pemerintah Teks dalam peraturan Bentuk revisi teks PP No.6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, dan PP No.3 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 i Pasal 23 ayat 2 ii Pasal 26 ayat 1 i Dalam blok perlindungan pada hutan lindung, dilarang melakukan kegiatan peman faatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1. ii Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c, antara lain berupa : a. rotan; b. madu; c. getah; d. buah; e. jamur; atau f. sarang burung walet. i Dalam blok perlindungan pada hutan lindung, dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan hutan terbatas dengan penerapan aturan yang ketat dan terkendali. ii Pasal ini dapat direvisi: Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 1 huruf c, dapat berupa: a. rotan; b. madu; c. getah; d. buah; e. jamur; atau f. sarang burung walet g. hasil hutan bukan kayu lainnya yang bersifat lokal spesifik. PP No.6 tahun 2007 dan PP No.3 tahun 2008 pasal 23 ayat 2, isi teksnya masih bersifat larangan yang tidak informatif dan membatasi secara berlebihan tanpa member pertimbangan terhadap fungsi dan dinamika dari tegakan hutan lindung. Contoh pemanfaatan yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan tegakan di blok perlindungan sebagai sumber benih. Pasal 26 ayat 1 isi teks peraturannya berpotensi multi interpretasi yang cenderung membatasi pemungutan hanya pada 6 komoditas yang disebutkan. Sementara itu kriteria dan indikator blok perlindungan juga belum teridentifikasikan dangan tepat dan jelas. 2 Implikasi falsafah konservasi Implikasi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan hutan kerangas dan fenomena N.gracilis yang hidup di dalamnya merupakan ―Laboratorium Hidup‖ atau ―Laboratorium Alami‖ bagi manusia untuk bisa belajar bagaimana alam mampu bertahan dan berkembang dalam keterbatasan. Laboratorium alami ini yang seharusnya dioptimalkan fungsinya oleh Perguruan Tinggi. Strategi organisme di hutan kerangas terbentuk secara alamiah dan bervariasi dalam menghadapi keterbatasan habitat hutan kerangas. Mekanisme pemangsaan serangga dari N.gracilis merupakan contoh dari strategi organisme tersebut. Contoh lain dari strategi organisme adalah bagaimana tumbuhan melakukan simbiosis dengan mikoriza untuk memenuhi kebutuhan hara tumbuhan. Regenerasi dengan sistem vegetatif ―trubusan‖ atau ―resprouting‖ merupakan strategi tumbuhan tingkat tinggi seperti jenis merapat Combretocarpus rontudatus sehingga mampu bertahan dan tumbuh dominan di hutan kerangas yang terdegradasi. Sistem homeostatis terbentuk dalam hutan kerangas baik yang belum terdegradasi maupun yang mengalami degradasi. Fenomena hutan kerangas atau N.gracilis di hutan kerangas dapat dikembangkan menjadi pengetahuan yang akan membimbing kita dalam kehidupan keseharian. Kegagalan mengurus permasalahan sosial manusia dan kelembagaan salah satu penyebabnya adalah manusia sendiri tidak belajar dari alam. Kita tidak meniru apa yang dicontohkan alam yang sebenarnya adalah sunatullah dan menjadi dalil aqliah. ―Alam Takambang Menjadi Guru‖ adalah suatu nasihat yang menyuruh kita untuk harus berguru dan belajar dari alam. Keberadaan hutan kerangas dan sumber daya di dalamnya semakin langka, sementara itu pengetahuan belum sepenuhnya telah digali dari hutan kerangas. Sehingga hutan kerangas dan sumber daya di dalamnya yang tersisa harus menjadi asset nasional yang wajib dipertahankan sebagai pustaka alam dan stock biodiversitas, dipelajari serta dimanfaatkan untuk kesejahteraan. 3 Implikasi teknis pemanfaatan N.gracilis Beberapa implikasi teknis pemanfaatan N.gracilis dari hasil penelitian ini adalah: a. Informasi bioprospeksi N.gracilis sebagai bagian dari kekayaan biodiversitas hutan kerangas diharapkan dapat dimanfaatkan secara langsung atau menjadi inspiring petron untuk pembuatan produk dummy dalam pengembangan obat-obatan maupun bentuk produk lainnya b. Penerapan teknik budidaya baik secara konvensional maupun kultur jaringan dengan memperhatikan karakteristik habitat preferensi N.gracilis agar tetap menjamin potensi bioaktivitas yang dihasilkan c. Penyiapan kader-kader konservasi yang memiliki potensi atau kemampuan entrepreneurship, agar program pemanfaatan biodiversitas dapat berlangsung lancar d. Membangun brand image produk dari N.gracilis agar memiliki nilai ekonomi produk tinggi. e. Penerapan strategi rate business yang tepat dengan memperhatikan mekanisme suplly-demand agar terbentuk harga yang kompetitif dari produk N.gracilis. f. Sosialisasi intensif terhadap para pihak harus dilakukan dan diprogramkan agar terbentuk stimulus AMAR untuk sikap dan aksi konservasi. Pentingnya penyuluhan atau sosialisasi adalah untuk membangun edukasi masyarakat. Sistem penyuluhan harus dibangun untuk memenuhi hak masyarakat akan pengetahuan dan informasi sehingga akan mengembangkan kemampuan dan sikap masyarakat. g. Kegiatan fasilitasi, pendampingan, pendidikan dan pelatihan yang kontinyu, terdesain dengan baik akan menjadi suatu kegiatan utama yang diprioritaskan untuk mendorong pembentukan aksi dan perilaku konservasi terhadap N.gracilis dan hutan kerangas. Peran Perguruan Tinggi melalui program Tri Dharma Perguruan Tinggi sangat penting sebagai institusi yang dapat membantu pelaksanaan pendidikan, pelatihan, pendampingan dan fasilitasi terhadap masyarakat. h. Dokumentasi: Segala bentuk kegiatan atau program sosialisasi, fasilitasi, pendampingan, pendidikan dan pelatihan kontinyu harus terdokumentasi agar terjaminnya konektivitas atau keberlanjutan informasi antar generasi. . DAFTAR PUSTAKA Adam JH, Wilcock CC. and Swaine MD. 1992. The ecology and distribution of Bornean Nepenthes. Journal of Tropical Forest Science 51: 13-25 13. Alfisyah. 2009. Pengajian dan transformasi sosiokultural dalam masyarakat muslim tradisional Banjar. KOMUNIKA 3 1: 75-89 Aljadi and Yusoff, 2002. Isolation and identification of phenolic acids in Malaysian honey with antibacterial properties. Department of Biochemistry, Faculty of Medicine, University of Malaya. Kuala Lumpur Malaysia. Amzu E. 2007. Sikap masyarakat dan konservasi:suatu analisis kedawung Parkia timoriana DC Merr. sebagai stimulus tumbuhan obat bagi masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Media Konservasi . XII: 22-32. Amzu E. 2009. Pengelolaan dan pengembangan hasil hutan bukan kayu. Makalah untuk masukan Rencana Penelitian Integratif BALITBANGHUT. Jakarta, 30 Oktober 2009. An CI, Fukusaki EI, Kobayashi A. 2002. Degradation of a peptide in pitcher fluid of the carnivorous plant Nepenthes alata Blanco. Planta. 215:472 –477. Andrej P, Ludmila S, Jiri S. 2011. Nutritional benefit from leaf litter utilization in the pitcher plant Nepenthes ampullaria. Plant, Cell Environment. ISSN:0140779. DOI: 10.1111j.1365-3040.2011.02382.x. Ansell FA, Edward DP, Hamer KC. 2011. Rehabilitation of Logger Rain Forest: Avifaunal Composition, Habitat Structure, and Implication for Biodiversity- Friendly REDD+. BIOTROPICA. The Journal of Tropical Biology an Conservation 43 4: 504-511. doi: 10.1111j.1744-7429.2010.00725.x Anuniwat A, Chaveerach A, Tanee T, Sudmoon R. 2009. Development of SCAR markers for species identification of the genus Nepenthes Nepenthaceae. Pak J Biol Sci . 1222:1455-61. Apristiani D, Astuti P. 2005. Isolasi komponen aktif antibakteri ekstrak kloroform daun mimba Azadirachta indica A. Juss. dengan Bioautografi. Biofarmasi 3 2: 43-46. Athauda SBP. Matsumoto K, Rajapakshe S, Kuribayashi M, Kojima N, Yoshida NK, Iwamatsu A, Shibata C. Inoue H. Takahashi K. 2004. Enzymic and structural characterization of nepenthesin, a unique member of a novel subfamily of aspartic proteinases. Biochemical Journal. 381:295 –306. doi: 10.1042BJ20031575 Aung HH, Chia LS, Goh NK, Chia TF, Ahmed AA, Pare PW, Mabry TJ. 2002. Phenolic constituents from the leaves of the carnivorous plant Nepenthes gracilis . Fitoterapia 73:445-447.