Sintesis Pemecahan Masalah STRATEGI KONSERVASI HUTAN KERANGAS A. Permasalahan Konservasi
masyarakat desa Guntung Ujung umumnya berada dalam tahap prekontemplasi dan kontemplasi kategori tingkat perilaku terhadap perubahan yang
dikembangkan AFAO 1996; Prochaska DiClemente 2005. Prekontemplasi adalah tingkatan perilaku seseorang yang belum merasa penting atau tidak
mempertimbangkan adanya perubahan, sedangkan kontemplasi adalah tingkatan perilaku seseorang yang mempertimbangkan perubahan jika ada
ajakan atau mengetahui adanya perubahan. Seleksi tingkatan perilaku individu masyarakat perlu dilakukan untuk
membentuk kader konservasi pelaksana pemanfaatan lestari N.gracilis. Paling tidak untuk tahap awal, masyarakat dengan tingkatan perilaku kontemplasi dapat
dididik dan dibimbing menjadi kader pemanfaatan lestari N.gracilis. Membangun stimulus manfaat menuntut terealisasi pemanfaatan N.gracilis
menjadi produk yang laku dijual, memiliki daya saing dan bernilai ekonomi tinggi. subyek pelaku dari masyarakat yang berjiwa kewirausahaan entrepreneurship.
Subyek pelaku yang memiliki jiwa kewirausahaan mengindikasikan bagian dari anggota masyarakat yang siap menerima stimulus manfaat dan mau melakukan
perubahan perilaku. Day et al. 2006 menyatakan bahwa kewirausahaan pada hakikatnya
adalan sifat, ciri, dan watak seseorang yang memiliki kemampuan dalama mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif.
Kewirausahaan merupakan suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda ability to create the new and different thing. Carson et al.
2008 mengemukakan bahwa kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, inovasi, dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan
cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Kreativitas yang dimaksud di sini adalah berfikir sesuatu yang baru, dan inovasi adalah bertindak
melakukan sesuatu yang baru. Johan and Hampus 2006 mengemukakan bahwa perilaku kewirausahaan tercermin dari beberapa karakteristik individu, di
antaranya: i memiliki motivasi untuk menemukan, menciptakan dan memproduksi, ii memiliki semangat dan dorongan untuk bekerja keras, iii
memiliki visi akan sesuatu yang terkadang berada di luar batas kebiasaan, iv berani menerima tantangan tetapi realistis dan menghindari kegiatan dengan
resiko terlalu banyak, v memiliki komitmen, kebulatan tekat dan ketekunan, vi dapat belajar dari kesalahan, toleransi terhadap kegagalan tertentu, dan
menggunakannya sebagai umpan balik bagi sesuatu yang positif ke depan, vii
percaya diri dan bertanggung jawab, viii fokus pada tugas, ix efisien. Hidayati 2009 mengungkapkan bahwa kualitas profesionalisme seseorang akan
semakin kokoh dan terpelihara apabila pada dirinya melekat perilaku dan jiwa kewirausahaan. Kewirausahaan ini terbentuknya dapat melalui bakat dan
bawaan dari lahir maupun diciptakan melalui transfer pengetahuan. Modal kemampuan kewirausahaan yang dimiliki kader yang tergolong
dalam tingkatan kontemplasi akan menjadi agen perubahan bagi penduduk lainnya. Melalui proses fasilitasi dan pedampingan para kader tersebut
diharapkan akan berkembang tingkatan perilakunya terhadap perubahan menjadi persiapan preparation, aksi action, memelihara maintanance dan
menganjurkan advocation untuk pemanfaatan lestari N.gracilis. Keberhasilan kader konservasi N.gracilis akan dapat menjadi dasar bagi penduduk lain untuk
berperan aktif dalam pemanfaatan berkelanjutan N.gracilis. Proses perubahan sikap masyarakat tersebut dapat melalui proses imitasi Walgito 2003 maupun
hasil advokasi dari para kader konservasi N.gracilis dengan cara bujukanajakan persuasive ataupun pengulangan pervasion Mardikanto, 2010.
Bila stimulus manfaat telah terbangun, maka stimulus manfaat yang terbentuk harus terus dikawal, dibimbing, dan diarahkan. Langkah ini diperlukan
untuk mendorong kembali pemahaman tentang stimulus alamiah dan stimulus religus dari berbagai individu.
Fasilitasi, pengarahan atau pendampingan dalam membangun stimulus amar pro konservasi masih terus memerlukan fasilitator atau penyuluh.
Menciptakan fasilitator yang handal dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan melalui capacity building. Belajar dari kasus pemanfaaatan
rambuhatap. masyarakat berperan dalam pemanenan dan pemasaran secara langsung, tidak ada aturan mengenai hak dan akses terhadap sumber daya,
sehingga siapa saja boleh mengambil tanpa batas. Kegiatan masyarakat tersebut dibiarkan berjalan dengan sendirinya tanpa ada pendampingan, bimbingan,
fasilitasi dan binaan dari fasilitator atau penyuluh, sehingga tidak tercapai aksi pemanfaatan lestari.
Fasilitator atau penyuluh harus memiliki kemampuan baik dalam menginterpretasi,
menganalisis, menyusun
program konservasi
dan membangkitan inovasi terbentuknya pemanfaatan berkelanjutan biodiversitas.
Fasilitator juga harus memiliki pengetahuan komunikasi yang handal dan efektif dalam menyampaikan pesan terhadap masyarakat.
Terkait pengetahuan komunikasi, fasilitator harus mampu memilih model komunikasi yang efektif dalam memfasilitasi proses pembimbingan atau
pendampingan terhadap masyarakat lokal. Lubis 2010 mengemukakan bahwa komunikasi yang memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk berbagi
informasi seperti yang ditawarkan dalam komunikasi konvergensi. Keunggulan komunikasi konvergensi dibandingkankan model linear adalah tingkat
keberhasilan komunikasi ditentukan oleh tingkat keaktifan penerima dalam hal ini masyarakat lokal di dalam memberikan respon terhadap pesan yang
disampaikan oleh sumbernya Mardikanto 2010. Media lain seperti elektronik, media tulis, pendidikan sekolah, pengajian
keagamaan merupakan pilar penting dalam proses pemahaman dan pengembangan tri-stimulus amar konservasi N.gracilis dan hutan kerangas.
Lubis 2010 mengemukakan dalam kasus pembelajaran suatu komunitas masyarakat di Kalimantan Selatan, proses pembelajaran dan saling berbagi
informasi antara komunitas transmigran suku Jawa dan transmigran lokal suku Banjar dimediasi oleh media informal melalui ―Yasinan‖ yang diadakan setiap
minggu. Pertemuan ini tidak hanya membicarakan masalah keagamaan, tetapi
juga mendiskusikan masalah yang mereka hadapi dalam bertani dan masalah- masalah sosial. Keberhasilan sosialisasi yang didukung oleh komunikasi yang
efektif akan menjadi perangkat penting dalam mengintensifkan dan memperluas sebaran informasi dalam membangun stimulus manfaat untuk sikap konservasi
terhadap N.gracilis. Konsep membangun tri-stimulus amar yang diawali dengan membangun
stimulus manfaat merupakan konsep yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‗Alaihi Wassalam, para sahabat dan beberapa ulama besar dalam
membangun masyarakat yang sejahtera secara lahir dan batin. Introduksi nilai alamiah bio-ekologi dan nilai religius ke dalam masyarakat relatif mudah di saat
terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat. Penggunaan nilai manfaat sebagai langkah awal membangun tri
stimulus amar konservasi diibarat proses membangun dan memupuk keyakinan dengan kesejahteraan. Terbentuknya stimulus manfaat yang besar dan kuat
akan memupuk stimulus religius dan alamiah dengan mekanisme positivisme manifestasi syukur nikmat akan kebesaran dan rahmat Allah.
Mengawali pembangunan
tri-stimulus amar
konservasi dengan
mengidentifikasikan dan berusaha meningkatkan nilai manfaat N.gracilis juga
merupakan langkah dalam mensiasati kecenderungan masyarakat modern sekarang yang berinteraksi dengan lingkungan secara materi. Ketika materi
tersebut dapat dirasakan manfaatnya barulah diikat interaksi tersebut dengan aturan-aturan hukum dan etika yang dibangun dari nilai-nilai alamiah dan nilai
religius agama, budaya dan spiritual. Strategi ke depan untuk bioprospeksi di hutan kerangas mensyaratkan
untuk bisa menempatkan pemanfaatan N.gracilis dan potensi biodiversitas lainnya di hutan kerangas menjadi bagian dari mata pencaharian pokok atau
sejajar dengan mata pencaharian pokok masyarakat yang sudah ada. Brand image N.gracilis
harus dibangun agar nilai ekonomi produk N.gracilis menjadi tinggi. Kotler et al. 2007 mengungkapkan brand image yang baik dipengaruhi
oleh keunggulan dari produk dan pencitraan atau image dibentuk dari persepsi yang relatif konsisten dalam jangka panjang enduring perception. Membentuk
brand image produk N.gracilis memerlukan sosialisasi intensif agar informasi
produk N.gracilis dapat menjadi memori bagi khalayak luas dalam membentuk suatu persepsi akan produk tersebut. Brand image yang terbentuk akan
mempengaruhi hubungan emosional individu, dari kecenderungan bertindak, menggunakan sampai tingkat loyalitas terhadap produk tertentu.
Brand image yang baik tentang produk N.gracilis akan meningkatkan nilai
ekonomi produk. Tingginya nilai ekonomi akan berdampak pada tingginya ketergantungan masyarakat terhadap tersedianya biodiversitas secara lestari
stimulus mengenai ketersediaan, regenerasi dan kelangkaan dan menentukan sikap dan perilaku masyarakat untuk rela melakukan aksi konservasi.
Diversifikasi pemanfaatan dan peningkatkan nilai tambah untuk membentuk brand image
N.gracilis dapat dilakukan dengan landasan pengetahuan etnobotani masyarakat dan pendekatan hasil-hasil penelitian modern.
Strategi bisnis harus dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan mekanisme suplly-demand agar terbentuk harga yang kompetitif
dari produk N.gracilis. Strategi bisnis yang tepat akan meningkatkan dan mempertahankan harga atau nilai ekonomi produk N.gracilis.
Ketersediaan bahan tumbuhan menjadi hal penting terkait dengan potensi pemanfaatan lestari N.gracilis sebagai bahan pengobatan. Perlu dilakukan
aktivitas untuk meningkatkan potensinya dan menjamin ketersediaan bahan baku dalam pemanfaatan lestari melalui pengaturan pemanenan, perlindungan
terhadap spesies dan kawasan, upaya penangkaran dalam habitat aslinya atau pembudidayaan yang mempertimbangkan karakter spesifik dari habitat N.gracilis.
Pengaturan jumlah tumbuhan yang dapat dipanen harus berdasarkan nilai Minimum Viable Population
MPV agar tidak terjadi kelebihan pemakaian over using
terhadap sumberdaya tumbuhan yang ada. Sebagai dasar awal nilai MPV yang digunakan dapat memakai hasil riset tentang MPV tumbuhan secara umum
jumlahnya adalah 4.824 individu Trail et al. 2007. Bila N.gracilis dimanfaatkan untuk kepentingan industri dalam jumlah yang besar dengan kontinyuitas yang
terjamin, pembudidayaan secara konvensional pemisahan individu dari rumpun, perundukan, stek batang maupun kultur jaringan dapat dilakukan. Faktor yang
harus dipertimbangkan adalah habitat tumbuh spesifik dari N.gracilis agar dapat memberikan bioaktivitas yang serupa dengan N.gracilis dari habitat aslinya.
Sebagai langkah awal, penangkaran secara in situ menjadi alternatif yang dapat dipilih dalam proses budidaya N.gracilis oleh penduduk lokal. Nilai bio-ekologi
tumbuhan harus menjadi stimulus alamiah yang menjadi dasar bagi sikap dan implementasi dalam pemanfaatan lestari N.gracilis.
Bervariasinya karakteristik lahan dan penutupan hutan kerangas sebagai habitat N.gracilis, mengindikasikan perlunya pengaturan keruangan atau
kawasan dalam penangkaran atau pembudidayaan N.gracilis. Penerapan sistem ―zonasi dinamis‖ dalam manajemen kawasan hutan kerangas dalam
pemanfaatan N.gracilis. Pengaturan zonasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan
hutan lindung sudah tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan pasal 12 ayat 1 pembagian hutan ke dalam blok-blok yang terdiri dari : a. blok
perlindungan; blok b. pemanfaatan; c. blok lainnya; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan; dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Walaupun
pada beberapa substansi pasalnya perlu adanya revisi yang sifatnya membangun.
Terbentuknya stimulus amar untuk sikap dan aksi konservasi para pihak harus terus didorong hingga menjadi suatu kebiasaan atau perilaku konservasi.
Pendidikan dan pelatihan yang terprogram kontinyu mutlak diperlukan agar terjadi proses pembiasaan untuk melakukan aksi konservasi. Pembiasaan-
pembiasaan yang dibangun dengan kontinyu akan membentuk suatu perilaku konservasi dari para pihak yang berkepentingan dengan hutan kerangas.
Dokumentasi menjadi bagian terpenting agar aliran informasi dalam pembentukan stimulus amar untuk sikap dan aksi konservasi. Dokumentasi yang
baik juga menjadi modal penting agar pendidikan dan pelatihan yang kontinyu dalam mendukung terbentuknya perilaku konservasi N.gracilis dan hutan
kerangas. b Menjalin konektivitas pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern
Transfer pengetahuan yang terhambat sebagai akibat kaderisasi keilmuwan dan pengetahuan yang kurang berjalan dengan baik, dokumentasi
yang buruk, dan intervensi nilai dan budaya luar menjadikan rendahnya pemahaman generasi penerus terhadap pengetahuan tradisional yang posisinya
semakin terpinggirkan. Menjalin konektivitas yang dimaksudkan adalah suatu upaya menyambung, mengembangkan dan mempersatukan pengetahuan
tradisional masyarakat dengan pengetahuan luar atau pengetahuan modern, sehingga pengetahuan tradisional menjadi pengetahuan yang penting dan
diperhitungkan, serta adaptif terhadap perkembangan terkini. Pembuktian empiris modern dalam penelitian ini melalui identifikasi
senyawa fitokimia dan pengujian skala laboratorium secara in vitro merupakan upaya untuk memperkuat pengetahuan tradisional tentang kekhasiatan dari
N.gracilis sebagai bahan alam untuk pengobatan. Identifikasi senyawa fitokimia
kualitatif menunjukkan bagian-bagian tumbuhan N.gracilis seperti cairan kantong, daun, batang, kantong dan akar memiliki kandungan kimia yang dapat digunakan
sebagai bahan pengobatan. Bioaktivitas juga ditunjukkan dari nilai toksisitas bagian-bagian tumbuhan. Semua bagian tumbuhan dari N.gracilis memiliki
kapasitas sebagai antibakteri. Akar tumbuhan ini melalui pengujian daya inhibisi terhadap α glukosidase terbukti memiliki kapasitas antidiabetes yang potensial.
Pembuktian empiris melalui pengujian skala laboratorium dan identifikasi
pengetahuan etnobotani masyarakat terhadap N.gracilis yang berasal dari hutan kerangas menjadi suatu informasi baru dalam rangka meningkatkan nilai tambah
dari pemanfaatan N.gracilis. Biomassa yang relatif tinggi, keragaman genetika relatif tinggi dan aman untuk dimanfaatkan, serta potensi pemanfaatan yang
prospektif menjadikannya sebagai salah satu pilihan spesies pentingkunci di hutan kerangas.
Secara khusus dalam implementasi konservasi, peran perguruan tinggi melalui program Tri Dharma Perguruan Tinggi dituntut untuk memediasi,
membangkitkan informasi dan mentransfer atau mensosialisasikan pengetahuan yang berguna untuk meningkatkan kemampuan dan membangun sikap
penduduk dan pemerintah. Implementasi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat haruslah mendapatkan proporsi yang seimbang. Program penelitian
yang dilakukan dapat menjadi mediasi bagi terjalinnya pengetahuan tradisional dan pengetahuan modern. Program pengabdian masyarakat adalah kelanjutan
dari proses pendidikan dan penelitian yang telah dilakukan, sehingga manfaat ilmu pengetahuan dapat direalisasikan dalam kehidupan keseharian. Dengan
demikian perguruan tinggi memegang peranan penting dalam implementasi konservasi. Perguruan tinggi melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat
berperan sebagai pembangkit informasi, fasilitator yang mensosialisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi, pihak yang mampu melakukan dokumentasi, dan
sebagai pihak yang dituntut untuk bisa melakukan pendidikan, pelatihan dan pendampingan agar terbentuk sikap dan aksi konservasi masyarakat.
2 Pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi lestari
Pemenuhan prasyarat implementasi bioprospeksi lestari yang mencakup prasyarat adanya 1 kerelaan berkorban 2 property right yang jelas 3
dukungan peraturan perundangan 4 dukungan multipihak 5 penerapan dan penegakan hukum
1 Kerelaan berkorban Kerelaan berkorban merupakan prasyarat mendasar agar suatu sikap tertentu
dapat berkembang menjadi aksi tertentu. Kerelaan berkorban secara umum
yang paling bisa dipenuhi oleh individu adalah atas dasar manfaat yang akan diterima. Pada kasus tumbuhan N.gracilis, masih belum teridentifikasikan
sikap masyarakat lokal dan pemerintah pengelola yang rela berkorban untuk kelestarian pemanfaatan N.gracilis di hutan kerangas.
Pernyataan sederhana berikut merupakan contoh bentuk kerelaan berkorban dari individu atau masyarakat karena nilai manfaat besar yang akan diperoleh:
―orang rela menanam dan memelihara pohon durian‖, ―orang rela menanam dan memelihara karet‖.
Berdasarkan pembuktian empiris modern dan pengetahuan tradisional masyarakat sangat strategis untuk membangun image stimulus N.gracilis
sebagai tumbuhan dengan multi-fungsi, baik dipandang dari aspek ekologi, sosial budaya, kesehatan masyarakat dan potensi pengembangan ekonomi
masyarakat. Pembangunan image bahwa N.gracilis merupakan jenis tumbuhan dengan berbagai fungsi nilai manfaat yang dimilikinya antijamur,
antibakteri, antidiabetes, penyerap logam berat, sumber bakteri untuk industri dll. perlu dilakukan melalui berbagai bentuk sosialisasi yang efektif. Nilai-nilai
manfaat sosial budaya, ekologi tentang N.gracilis perlu dibangkitkan dan disosialisasikan kembali agar meningkatkan kerelaan berkorban untuk
kelestarian N.gracilis dan hutan kerangas. Kerelaan tertinggi adalah didasarkan pada nilai religius. Kerelaan yang
didasarkan pada nilai religius merupakan wujud pertanggungjawaban setiap individu manusia kepada alam itu sendiri dan kepada Sang Pencipta Lillahi
ta‘ala. Perspekstif ilmu tauhid menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada pada diri dan sekeliling kita semata-mata adalah pemberian, rahmat dan atas
ridha Allah, sehingga perbuatan atau aktivitas yang kita lakukan terhadap diri dan sekeliling kita semata-mata didasarkan atas kerelaan dan mengharapkan
keridhaan Alla h Subhana wa ta‘ala. Bertindak pro konservasi adalah suatu
tindakan yang bermanfaat bagi umat manusia dan lingkungan. Tindakan tersebut bukan lagi mengharapkan pahala, tetapi menjadi suatu kepatutan
dan keharusan manusia sebagai khalifah, manifestasi syukur nikmat dan semata-mata mengharapkan keridhaan Allah. Kerelaan yang dibangun
dengan aspek religius seperti inilah merupakan wujud kerelaan tertinggi dalam pelaksanaan konservasi.
Allah memerintahkan agar manusia menggunakan semua panca indera dan nuraninya, serta pengetahuan-pengetahuan dari manusia pendahulunya yang
Allah telah berikan untuk mengenal dan membaca fenomena kehidupan alam, yang harus meresap ke setiap diri sanubari menjadi stimulus yang kuat dan
kenyal untuk bersikap dan berperilaku konservasi. Fenomena alam atau sinyal alamiah adalah firman Sang Pencipta yang tak tertulis, pasti mutlak
benar, pastilah sangat paling ilmiah, secara global mengingatkan setiap individu manusia agar mau mengoreksi kesalahannya terhadap mengelola
dan memanfaatkan
lingkungan alam
hidupnya. Kalau
manusia mengingkarinya, maka individu manusia tersebut dapat sangsi kesusahan di
masa hidupnya di dunia berupa rusaknya alam dan sangsi siksaan azab kubur dan neraka di alam akhirat sebagai wujud pertanggungjawaban secara
individual . Inilah sistem hukum yang diciptakan Allah yang harus diyakini
belief, pasti terlaksana dengan sangat adil. Nilai-nilai dan norma-norma inilah yang selayaknya kita jadikan dan tumbuh-kembangkan sebagai stimulus
utama dalam melakukan keberlanjutan konservasi alam, khususnya
konservasi taman nasional di Indonesia dan di dunia. Akhirnya konservasi itu baru dapat diwujudkan di dunia nyata, apabila pada setiap diri individu
manusia memiliki keikhlasan dan kerelaan berkorban untuk konservasi Amzu 2007.
Bagi masyarakat Kalimantan Selatan yang dominan beragama Islam, pendekatan keagamaan melalui pembimbingan dan penyampaian nasihat
lewat pengajian agama merupakan modal sosial yang penting dalam membangun sikap pro-konservasi.
Pengajian agama dan peranan ulama yang memimpin pengajian Tuan Guru menjadi institusi transformatif yang efektif dalam permasalahan sosiokultural.
Fungsi pengajian sebagai institusi tranformatif dapat dilihat melalui proses reproduksi nilai-nilai, baik yang bersumber dari ajaran Islam maupun budaya
setempat dan peranan tuan guru sebagai pialang budaya. Nilai-nilai general yang dibentuk melalui pengajian tidak hanya membawa perubahan dalam
pemahaman keislaman, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang lebih luas melalui bidang pendidikan dan ekonomi. Materi pengajian yang mendukung
pembentukan etika dan tingkah laku yang sangat diperlukan dalam pembangunan telah menjadikan institusi itu berperanan penting dalam proses
transformasi. Nilai-nilai yang berhubungan semangat untuk mengumpulkan kekayaan, kewirausahaan, kebebasan berusaha, kemajuan, dan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan selaras dengan karakteristik sosiokultural yang melekat dalam kehidupan masyarakat Banjar Alfisyah 2009. Kombinasi dan
sinergisitas peran ulama, cendikiawan, pemimpin formal dan nonformal dalam menyampaikan atau mensosialisasikan moral dan sosiokultural berpeluang
besar dan efektif dalam membangun sikap pro konservasi. 2 Property right yang jelas
Property right merupakan suatu hak yang pengertiannya mencakupi hak
mengakses memasuki
kawasan fisik
dan menikmati
keuntungan nonsubstraktif, memiliki unit sumberdaya atau hasil dari sistem sumberdaya,
mengelola sumberdaya, menentukan siapa yang berhak mengakses dan, hak untuk memindahkan kepemilikan atau hak mengelola atas sumber daya
Schlager and Ostrom 1992. Kebiasaan umum yang berlangsung pada masyarakat hutan, property right tidak dipandang terbatas pada hak secara
ekslusif mengambil keputusan mengontrol sumberdaya, tetapi juga menerima manfaat dan mengelola sumber daya tersebut.
Di Indonesia, terdapat berbagai hak atas tanah di antaranya hak milik merupakan hak terkuat dan pemiliknya mempunyai kontrol penuh atas
tanah, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa dan hak memungut hasil hutan Siagian dan Neldysavrino 2007. Kasus di hutan kerangas Desa Guntung
Ujung, pengaturan property right hanya terbatas pada hak kepemilikan atas lahan kerangas lahan desalahan milik pribadi dan lahan milik pemerintah
dalam kawasan hutan lindung. Belum ada pengaturah mengenai property right
dalam pengertian lainnya. Beberapa pihak mengartikan bahwa property right adalah hak kepemilikan,
baik hak milik negara atau pribadi. Pandangan property right sebagai suatu hak kepemilikan lahantanah dapat dipakai untuk kasus kepemilikan lahan di
hutan kerangas. Sebagian areal hutan kerangas merupakan hutan lindung milik negara dan sebagian merupakan areal di luar kawasan hutan milik
pribadi atau kelompok. Property right
merupakan prasayat mutlak bagi keberlanjutan suatu kegiatan. Property right
berbanding lurus terhadap keberhasilan pengelolaan. Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa prasyarat
tentang property right yang jelas baik pengertian property right sebagai hak kepemilikan maupun pengertian yang lebih luas dalam kawasan hutan
kerangas Desa Guntung Ujung sebagai habitat N.gracilis adalah tidak dapat
terpenuhi.
Terkait hak kepemilikan atas tanah, salah satu kegiatan yang mendukung bagi penerapan property right adalah penatabatasan dan pengukuhan kawasan
hutan. Kejelasan batas wilayah menjadi prasyarat keberlangsungan dan keberlanjutan suatu aksi. Permasalahan tata batas merupakan bagian dari
masalah pengelolaan hutan kerangas secara keseluruhan. Fakta yang terjadi di lapangan, tata batas kawasan hutan dan lahan kerangas
tidak jelas. Penatabatasan ini belum tersosialisasikan sampai level pemerintahan desa dan masyarakat lokal setempat. Kegiatan penatabatasan
hutan pernah dilakukan dengan pemberian patok tata batas secara sepihak melalui bantuan South and Central Kalimantan Production Forest Project
SCKPFP bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Kab. Banjar dan Balai Pemetaan Kawasan Hutan Banjarbaru. Perkembangan selanjutnya dari patok
batas tersebut sekarang telah hilang dan tidak pernah dilakukan pemeliharaan tata batas ulang.
Sosialisasi pernah dilakukan oleh pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar ke pemerintah Kecamatan Gambut dengan mendistribusikan peta kawasan
hutan lindung, akan tetapi sosialisasi tersebut tidak sampai pada tingkat aparat desa. Output peta yang dihasilkan tidak mudah dipahami dan
diinterpretasikan pada level desa, kelurahan bahkan kecamatan. Permasalahan tata batas ini yang menjadi pemicu klaim atas tanah di
kawasan hutan kerangas. Banyak ditemukan klaim tanah oleh masyarakat terutama kepemilikan tanah kavling yang banyak dimiliki oleh penduduk dari
luar desa Guntung Ujung atau desa terdekat lainnya. Preseden buruk masalah klaim tanah adalah yang datangnya dari instansi pemerintah di luar
pengelola Dinas Kehutanan seperti kasus pembuatan rencana tempat pemakaman keluarga besar Korpri dan Wredhatama Provinsi Kalimantan
Selatan di hutan lindung Kabupaten Banjar. Penatabatasan kembali perlu dilakukan berdasarkan kondisi sekarang, yaitu
kemungkinan adanya enclave pada desa tertentu atas dasar permintaan Dinas Kehutanan dan selanjutnya wewenang penatabatasan kawasan akan
diserahkan kepada BPKH Sumber: Dinas Kehutanan Banjar 2011. Implementasi penatabatasan partisipatif yang melibatkan masyarakat dapat
diterapkan dan sekaligus menjadi media sosialisasi tentang tatabatas yang dibuat. Pemenuhan property right yang lainnya atas sumberdaya memerlukan
peraturan hukum atau perundangan sebagai legal aspek pelaksanaan atau aktifitas yang sedang dan akan berlangsung dalam kawasan hutan kerangas.
3 Dukungan peraturan perundangan Dukungan peraturan perundangan prasyarat yang menjadi legal aspek
penerapan suatu kegiatan. Peraturan perundangan merupakan alat untuk membuat keteraturan dalam implementasi bioprospeksi maupun pengelolaan
hutan lindung. Pemerintah perlu membuat kebijakan pengelolaan bioprospeksi dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan berwawasan
masa depan Riyadi 2008.
Belum ada dukungan Peraturan Daerah Perda dan Petunjuk Teknis tentang pengelolaan hutan lindung dan pemanfaatan keanekaragaman hayati
termasuk bioprospeksi merupakan faktor penghambat upaya pengelolaan hutan kerangas dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Kelemahan
implementasi di tingkat daerah yang paling sering dijumpai adalah ketergantungan aparat akan Petunjuk Teknik yang implementasinya
terkadang kaku dan tidak berorientasi pada local specific site. Kasus serupa dengan kasus pembentukan KPHP kabupaten Banjar yang satu
permasalahan internalnya adalah belum adanya dukungan Perda. Padahal di tingkat nasional beberapa kebijakan sudah diterbitkan seperti Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan.
Ketiadaan Perda yang mengatur pengelolaan hutan lindung merupakan bentuk kurangnya apresiasi pemerintah daerah terhadap fungsi ekologis dari
hutan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan mencegah
intrusi air laut. Peraturan perundangan dibuat harus dapat membuat landasan hukum legal
bagi masyarakat yang memanfaatkan secara lestari N.gracilis. Kebijakan pengelolaan hutan terhadap sumberdaya hutan harus menjadikan masyarakat
lokal sebagai subyek yang ikut mengelola hutan kerangas. Nilai-nilai yang menerangkan karakter bio-ekologi dan manfaat N.gracilis baik bersumber dari
pengetahuan modern dan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat tentang N.gracilis
harus menjadi dasar penyusunan peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan lestari N.gracilis atau sumberdaya lainnya.
Penjabaran dan implikasi lebih lanjut dari peraturan perundangan yang sifatnya masih umum harus segera disusun. Mungkin diperlukan propovokasi
besar yang didukung data empiris agar membentuk image yang kuat akan multi manfaat N.gracilis yang tidak saja berdampak pada sosial ekonomi
masyarakat tetapi juga menyangkut pandangan politis masyarakat, sehingga memunculkan kesungguhan yang besar bagi para pembuat kebijakan dalam
menyusun peraturan yang lebih spesifik semisal peraturan daerah tentang pemanfaatan hutan lindung dan pemanfaatan biodiversitas dalam kawasan
hutan tertentu.
4 Dukungan multipihak Dukungan multipihak baik dari pemerintah eksekutif, legislatif, dunia usaha,
perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga donor atau lembaga lainnya belum terbentuk dengan baik dalam mengupayakan implementasi
bioprospeksi N.gracilis di hutan kerangas. Keterbatasan informasi, ketidaktahuan dan belum terealisasinya nilai manfaat ekonomi secara
langsung menjadi pemicu minimnya dukungan akan sikap dan aksi pro konservasi di hutan kerangas.
Membangun komitmen pemerintah terutama pemerintah lokal akan pentingnya N.gracilis dari hutan kerangas dapat dilakukan dengan cara
menginformasikan manfaat keanekaragaman sumberdaya hutan kerangas. Selain dukungan secara parsial dari pemerintah yang berwenang mengelola
hutan kerangas Dinas Kehutanan, koordinasi dan sinergisitas dengan berbagai pihak seperti BPKH, Badan Pertanahan Nasional, Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Perindustrian, Dinas Perikanan, Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Pariwisata dan lainnya diperlukan untuk memfasilitasi
terbentuknya berbagai unit usaha yang bisa mengoptimalkan pemanfaatan hutan kerangas tanpa merusak fungsi utama dari hutan lindung tipe kerangas.
Pengembangan kawasan hutan secara lebih luas dapat dlilakukan dengan sistem multiuse management atau multi usaha yang berbasis kelestarian
lingkungan. Koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dengan sektor lain, seperti perikanan darat, peternakan dan ekowisata merupakan langkah yang harus
diambil dalam pengembangan multiuse management. Pemerintah dituntut untuk bisa memfasilitasi masyarakat dalam membuat rangkaian konektivitas
terhadap dunia usaha sehingga penerapan bioprospeksi dapat terus berlanjut dan berkeadilan.
Perkembangan terbaru memberikan sinyal positif untuk kegiatan konservasi hutan kerangas, khususnya hutan lindung desa Guntung Ujung. Pertemuan
antara pemerintah kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut sepakat membangun kawasan sekitar hutan lindung
dengan motto ―Banjar Bakula‖ dan tetap mempertahankan status fungsi hutan kerangas dengan fungsi lindung
Mendapatkan dukungan politis dari pelaksana dan penentu kebijakan eksekutif dan legislatif atau penguasa menjadi prasyarat penting dalam
upaya mencapai tujuan implementasi bioprospeksi lestari. Dukungan politis
yang terjalin
dapat mempercepat
aliran pendanaan,
memfasilitasi terbentuknya hubungan dengan lembaga pendonor di luar pemerintah,
menambah kekuatan, kekuasaan dan keleluasaan dalam pelaksanaan program konservasi. Menggiring konservasi yang didukung oleh penguasa
merupakan langkah penting yang harus dilakukan. Sebagai salah satu langkah teknis untuk mendapatkan dukungan politis adalah dengan jalan
membangun image bahwa dengan keberhasilan melestarikan N.gracilis akan meningkatkan pencitraan politis yang positif dari masyarakat terhadap
penguasa adalah sangat diperlukan. Dukungan perguruan tinggi, Dewan Riset Daerah dan lembaga-lembaga
penelitian sangat penting dalam menyambungkan pengetahuan masyarakat berbasis kepada karakteristik sumberdaya keanekaragaman alam hayati lokal
dengan pengetahuan modern. Kombinasi pengetahuan ini akan menjadi pondasi bagi pembentukan komponen cognitive, affective dan overt actions
dalam setiap individu masyarakat yang memelihara kestabilan tri-stimulus amar dan sikap konservasi.
5 Penerapan dan penegakan hukum .Prasyarat penting agar suatu kegiatan berjalan pada koridor yang telah
ditentukan dan disepakati adalah penerapan dan penegakan hukum. Penerapan hukum juga merupakan alat untuk menciptakan keteraturan dalam
implementasi pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya hutan berbasis informasi bioprospeksi. Pengalaman membuktikan bahwa tidak berjalannya
mekanisme kontrol, penerapan dan penegakan hukum menjadi salah satu pemicu
utama ketidakteraturan
dan kekacauan
diberbagai apek
pembangunan dan kehidupan, termasuk kegiatan pengelolaan atau konservasi hutan. Sebagai langkah awal penyelesaian masalah hukum
kepemilikan tanah di hutan kerangas posisinya sangat penting untuk diselesaikan.
Penegakan hukum menjadi bagian dari stimulus manfaat dalam penerapan konservasi
berbasis pemanfaatan
berkelanjutan dari
sumberdaya. Terdapatnya sanksi-sanksi bagi pelanggar aturan dalam penegakan hukum
akan mengeliminir free riders dan menjadi stimulus manfaat yang membangun kesadaran individu masyarakat untuk bersikap konservasi terhadap hutan
kerangas.
Penyelesaian masalah hukum kepemilikan tanah di hutan kerangas posisinya sangat penting untuk diselesaikan. Penerapan dan penegakan hukum bagi
para pencaplok lahan negara hutan lindung belum intensif dilakukan.
3 Katalisasi aksi kolektif bagi penerapan pemanfaatan biodiversitas lestari
Aksi kolektif suatu aksi yang dilakukan sekelompok individu baik secara langsung maupun melalui suatu organisasi, untuk mencapai kepentingan
bersama Marshall 1998. Kelompok dapat terbentuk sendiri secara sukarela maupun dibangun oleh institusi-institusi eksternal baik fomal maupun nonformal.
Aksi kolektif mengandung pengertian suatu kerjasama antara beberapa orang atau kelompok. Kerjasama adalah salah satu bentuk interaksi sosial yang mana
pengertiannya merupakan suatu usaha bersama antar orang-perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.
Kerjasama adalah keterlibatan secara pribadi di antara kedua belah pihak demi tercapainya penyelesaian masalah yang dihadapi atau demi tercapainya tujuan.
Aksi kolektif akan timbul, bila dalam mencapai suatu tujuan perlu kontribusi lebih dari satu individu Ostrom 2004.
Katalisasi aksi kolektif menurut Colfer 2007 mengandung pengertian: mendorong munculnya kembali aksi kolektif. Katalisasi aksi kolektif bagi
implementasi bioprospeksi lestari dapat menjadi kunci keberhasilan penerapan konservasi jenis N.gracilis dan kawasan hutan kerangas.
Katalisasi aksi kolektif untuk penerapan pemanfaatan berkelanjutan biodiversitas termasuk N.gracilis relatif efektif apabila memberdayakan
kelompok atau institusi lokal yang sudah terdapat dalam masyarakat. Kelompok atau institusi yang terdapat di dalam masyarakat telah memiliki modal sosial yang
sudah terbangun. Rasa saling percaya, pola komunikasi, bahasa, hubungan kerjasama telah terbentuk dalam kelompok lokal baik formal maupun informal.
Pemberdayaan kelompok atau institusi lokal juga suatu bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai dari sebagian cara hidup mereka yg telah berjalan selama ini.
Pengakuan seperti ini sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan diri mereka dan juga penting untuk menghasilkan aksi kolektif yang efektif.
Kelembagaan tradisional pemanfaatan biodiversitas sudah terbentuk dalam masyarakat lokal sekitar hutan kerangas. terutama dalam pemanenan dan
pengumpulan hasil dari daun rambuhatap Baeckea frutescens dan buah galam Melaleuca cajuputi. Contoh dalam pengumpulan daun rambuhatap, setelah
daun dirontokkan dari batang tumbuhan, menjadi keharusan bagi pemungut daun
untuk mengembalikan batangranting tumbuhan tersebut ke dalam kawasan hutan kerangas. Tidak pernah terjadi kasus perebutan wilayah dalam
pemungutan rambuhatap. Menjadikan kelembagaan tradisional sebagai pilar dalam aksi kolektif untuk
penerapan bioprospeksi merupakan proses penguatan kembali kelembagaan yang lebih spesifik dalam pengelolaan sumberdaya hutan terutama yang
menggunakan sumberdaya tumbuhan obat. Bentuk kelompok spesifik untuk kasus di hutan kerangas di antaranya dapat berupa kelompok masyarakat
tumbuhan obat rambuhatap Baeckea frutescens, Kelompok masyarakat tumbuhan obat galam Melaleuca cajuputi, Kelompok masyarakat tumbuhan
obat Kantong semar N.gracilis atau tumbuhan obat lainnya. Mengaitkan, menyambungkan dan menyatukan pengetahuan luar dan
pengetahuan lokal penting dilakukan, misalnya pengetahuan dari akademisi, pedagang, pengusaha, pemerintah atau lainnya. Proses tersebut bisa berjalan
baik jika terdapat pengakuan terbuka terhadap nilai pengetahuan lokal. Ketika pengetahuan masyarakat setempat dipandang memberi sumbangan yang
bernilai dan bermanfaat, maka kepercayaan diri mereka akan semakin kuat dan akan mendorong aksi kolektif yang lebih efektif.
Amzu 2009 mengungkapkan bahwa: ―Orientasi pengembangan
sumberdaya hutan sepatutnya mengacu kepada pengetahuan dan teknologi indigenous
masyarakat lokal dalam skala unit-unit pengelolaan. Pengembangan pemanfaatan sumberdaya hutan harus berakar dari pengetahuan etnobotani
masyarakat kecil etnis sebagai masyarakat inti yang mandiri‖. Masyarakat lokal hutan yang dimaksud merupakan manifestasi dari kumpulan kelompok-kelompok
yang mengelola sumberdaya secara spesifik, misalnya masyarakat gaharu, masyarakat gemor, masyarakat rotan, masyarakat madu dan lain-lain.
Free rider merupakan permasalahan dalam pelaksanaan aksi kolektif.
Free rider memiliki sifat hanya menikmati ketersediaan barang atau jasa tetapi
tidak memikirkan atau berbuat sesuatu supaya keberlanjutan dan ketersediaan barang dan jasa tersebut tetap berjalan. Individu akan dapat secara aktif dan
efektif melakukan aksi kolektif, jika jumlah free rider dapat ditekan. Kembali ke konsep pertama bahwa jumlah free rider dapat diminimalkan jika tri-stimulus
amar untuk sikap dan aksi konservasi sudah terbentuk kokoh pada setiap komponen yang berperan dan menentukan konservasi hutan kerangas.
Sintesis penyelesaian masalah yang diungkapkan tentang penerapan bioprospeksi lestari N.gracilis di hutan kerangas hendaknya dilakukan secara
simultan, berkelanjutan dan termonitor. Hal ini mengingat karena umumnya semua aspek yang dikemukakan bukan merupakan proses yang parsial tetapi
saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Pintu masuk konservasi ke dalam pengelolaan hutan kerangas pada
prinsipnya tidak terpaku pada satu skema penerapan konservasi. Penerapan beberapa skema penerapan konservasi lainnya dapat dilakukan dengan tetap
menitikberatkan pada kespesifikan atau kefokusan dalam pelaksanaan. Menciptakan sinergisitas pengelolaan memerlukan berbagai pengetahuan
penunjang agar implementasi konservasi dapat berjalan beriringan. Kombinasi konsep bioprospeksi berbasis tumbuhan obat dengan pemanfaatan lain dalam
konservasi hutan kerangas akan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang benar-benar relevan dengan fungsi hutan yang diharapkan, seperti wisata
alam atau ekowisata, penyangga ekosistem dan jasa lingkungan lainnya. Bahkan pada kasus dan tapak tertentu dapat berupa pemanfaatan kayu terbatas dengan
syarat sistem dan mekanisme pengelolaannya telah tertata dan berjalan dengan baik. Jika belum, maka pilihan bioprospeksi dan jasa hutan atau lingkungan
merupakan pilihan terbaik dalam pengelolaan hutan kerangas. Konsep tata ruang mikro atau zonasicluster yang dinamis menjadi salah satu solusi agar
pengelolaan kawasan konservasi berbasis bioprospeksi relatif mengacu pada ―site specific‖. Sehingga proses pengelolaannya dapat dijalankan dan dipantau
lebih mudah dan akurat. Hutan kerangas yang terdapat di Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya
merupakan hutan kerangas yang relatif berhasil dikelola dan mendapatkan dukungan politis dan pendanaan. Hutan kerangas Nyaru Menteng merupakan
salah satu contoh pengelolaan hutan dengan cakupan luasan yang relatif kecil. Implementasi
‖ multi use management‖ dilakukan dalam pengelolaan Arboretum Nyaru Menteng. Luasan yang relatif kecil dan kejelasan property right
memudahkan mekanisme pengontrilan dan tindakan manajemen lainnya. Selain berfungsi sebagai Arboretum, kawasan hutan ini juga menjadi wadah bagi
penelitian dan pengembangan, wisata alam dan rekreasi. Kawasan hutan ini menjadi aset publik bagi masyarakat Palangkaraya dan sekitarnya
Kawasan hutan ini telah menjadi Pusat Introduksi orang utan. Nilai sosial budaya masyarakat sekitar yang familiar dengan orang utan merefleksikan
kebanggaan dan kesenangan penduduk akan keberadaan orang utan. Pengelolaan hutan kerangas di Arboretum Nyaru Menteng terlah berhasilnya
mengangkat spesies penting yaitu orang utan Pongo pigmeus menjadi ―bendera konservasi‖ yang mampu berdampak pada kemampuan melindungi dan
melestarikan hutan kerangas.
Terbangunnya stimulus manfaat dari pemahaman tepat, baik dan benar tentang sinyal manfaat N.gracilis dan hutan kerangas harus diikuti dengan
pemahaman lengkap tengan sinyal alamiah dan religiusrela. Apabila hanya sinyal manfaat yang difahami dan membentuk stimulus manfaat, maka yang
akan terjadi adalah discontinuity, inconsistency, disparity dan distorsion dari sumberdaya alam hayati. Kelompok masyarakat inilah yang disebut dengan
kelompok ―free rider” atau kelompok ―pecundang‖ sebagai pelaku terdepan yang menimbulkan masalah konservasi di lapangan Amzu, 2007.