Metode Penelitian 1 Objek dan Lokasi Penelitian
Hutan lindung terbagi menjadi dua blok, blok I seluas 960 hektar berada di Kecamatan Gambut Desa Guntung Ujung dan blok II masuk wilayah
Kecamatan Liang Anggang Banjarbaru seluas 1.290 ha. Penetapan sebagian kecil hutan kerangas sebagai hutan lindung bila ditinjau lebih lanjut merupakan
pertentangan antara tinjauan manajemen dan tinjauan ekologi. Tinjauan ekologi mengidentifikasikan bahwa hutan yang ada merupakan tipe hutan kerangas yang
status kawasannya perlu dikonservasi atau dilindungi, tetapi secara manajemen manajemen tata ruang hanya sebagian kecil yang ditetapkan sebagai hutan
lindung dan sebagian besar berupa Area Penggunaan Lain APL. Di luar kedua pertentangan tersebut, tinjauan manajemen itu sendiri tidak dipatuhi karena
banyak kawasan di dalam hutan lindung yang dirusak dan digunakan untuk penggunaan lain dan tidak dipertahankan fungsi lindung hutannya.
Relatif bersamaannya antara keluarnya Kepmenhut nomor 672Kpts-II91 dengan Surat Keterangan Tanah, merupakan cikal bakal terjadinya konflik
kepemilikan lahan masyarakat dan hutan lindung. Perspektif baru muncul tentang lahan kerangas, seiring dengan dibukanya akses jalan baru Jalan Padat Karya
Desa yang selanjutnya dipelihara PT. Aneka Tambang yang melintasi areal hutan kerangas maka lahan kerangas nilai ekonominya meningkat. Selanjutnya
pada tahun berikutnya perkembangan pembangunan daerah dan pertumbuhan penduduk yang berasal dari Kab. Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan
Kab.Tanah Laut menciptakan perspektif baru untuk pengembangan permukiman dan pusat perekonomian di lahan-lahan kerangas. Akibatnya tanah-tanah yang
berada di hutan kerangas banyak dijual sebagai tanah kavling untuk kepentingan permukiman dan kepentingan lainnya. Pengkavlingan tanah sudah berlangsung
sejak tahun 1995-an sampai sekarang. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, pengkavlingan tanah di
hutan kerangas yang terjadi pada tahun 1995-an dimotori oleh beberapa aparat desa saat itu yang memobilisasi masyarakat setempat untuk mencaplok hutan
lindung masing-masing KK hanya mendapatkan luasan lahan relatif kecil. Selanjutnya terjadi diskonektivitas informasi dalam masyarakat lokal pandangan
kurang bermanfaatnya lahan, biaya sertifikasi lahan yang mahal sehingga lahan dijual kembali karena dirasa tidak bermanfaat. Beberapa individu berhasil
memanfaatkan situasi tersebut, mereka akhirnya mendapatkan porsi lahan lebih luas lalu menjual lahan sebagai tanah kavlingan kepada non-penduduk
setempat, baik yang berasal dari Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten
Banjar, Kabupaten Tanah Laut, sampai wilayah Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan bahkan Kalimantan Tengah. Kegiatan ini juga
yang sekarang menjadi cikal bakal tumpang tindih kepemilikan tanah baik di luar kawasan hutan lindung dan dalam kawasan hutan lindung.
Pengkavlingan tanah ini juga yang menjadi pemicu kebakaran berulang di hutan kerangas. Pembakaran relatif dilakukan dengan sengaja untuk
pembersihan lahan di tanah-tanah kavling. Kebakaran berulang menjadi faktor terbesar yang menyebabkan kerusakan lahantanah dan sumberdaya hayati
hutan kerangas. Kebakaran berulang yang relatif berlangsung setiap tahun mengakibatkan meningkatnya penyakit inspeksi saluran pernapasan akut ISPA
di kalangan masyarakat dan meningkatnya intensitas dan frekuensi serangan hama hutan seperti babi hutan dan kera ke lahan permukiman dan pertanian
penduduk di sekitar hutan kerangas sebagai akibat dari rusaknya habitat. Pemanfaatan hutan kerangas sebagai penghasil kayu sudah mulai
menurun sejak tahun 1990-an. Pemanenan kayu yang ada sekarang terbatas pada jenis merapat Combretocarpus rotundatus untuk kayu pertukangan dan
jenis galam Melaleuca cajuputi untuk kayu bakar. Beberapa kelompok masyarakat memungut kayu ―Galih‖ istilah untuk sisa kayu yang tertimbun
tanah untuk keperluan sendiri. Masyarakat juga menggunakan hutan kerangas
sebagai sumber hasil hutan non kayu untuk bahan pengobatan dan jamu. Jenis rambuhatap Baeckea frutescens, buah dan daun galam Melaleuca cajuputi
merupakan komoditas yang dipanen masyarakat untuk dijual sebagai bahan jamu atau pengobatan tradisional.
Pola pertambangan intan dan pasir di hutan kerangas di luar hutan lindung sejak tahun 2003 mulai berubah menjadi izin Kuasa Pertambangan
bahan galian pasir-liat-batu, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan pasir- liat-batu untuk pembuatan konstruksi jalan raya. Penggunaan alat berat untuk
kegiatan penambangan meninggalkan lubang-lubang galian baru di hutan kerangas. Berdasarkan konfirmasi dari Dinas Pertambangan Kabupaten Banjar
rencana pasca penambangan, lubang-lubang galian tersebut rencananya berdasarkan dokumen UKL-UPL Upaya Kelola Lingkungan-Upaya Pemantauan
Lingkungan akan dibuat kolam budidaya air tawar. Hingga saat ini realisasi pembuatan kolam budidaya air tawar tersebut belum dilaksanakan. Berdasarkan
peraturan, penambangan pasir-liat-batu sebenarnya dihentikan sementara karena belum keluarnya aturan dari Kementerian Energi, Sumberdaya Mineral