Isolasi Dan Indentifikasi Bakteri Kitinolitik Dari Nepenthes Tobaica Dan Nepenthes Gracilis

(1)

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI KITINOLITIK DARI Nepenthes tobaica DAN Nepenthes gracilis

SKRIPSI

YULI EVALINTINA GULTOM 100805033

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI KITINOLITIK DARI Nepenthes tobaica DAN Nepenthes gracilis

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

YULI EVALINTINA GULTOM 100805033

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

1

i

PERSETUJUAN

Judul : Isolasi dan Indentifikasi Bakteri Kitinolitik dari Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis

Nama : Yuli Evalintina Gultom Program studi : Sarjana (S1) Biologi Nomor induk mahasiswa : 100805033

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, April 2015

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Prof. Dr. Dwi Suryanto M.Sc NIP: 196511011991031002 NIP: 196404091994031003

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP.19630123 199003 2 001


(4)

1

ii

PERNYATAAN

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI KITINOLITIK DARI Nepenthes tobaica DAN Nepenthes gracilis

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, April 2015

Yuli Evalintina Gultom 100805033


(5)

1

iii

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat serta kasihNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Isolasi dan Indentifikasi Bakteri Kitinolitik dari Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis”, skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains pada Fakultas MIPA USU Medan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orangtua terkasih dan terbaik yaitu Ayahanda Resopim Gultom dan Ibunda

Hermina Panjaitan yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat, kesabaran, perhatian, pengorbanan dan kasih sayang yang begitu besar kepada penulis. Ketiga saudariku tersayang Kak Oktavia Sari Renslo Gultom, Adik-adikku Yunri Gultom dan Kwartaria Saut Marito Gultom, dan seluruh keluarga besar yang selalu menghibur dan memberikan semangat kepada penulis.

2. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. selaku pembimbing 1 dan Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. selaku pembimbing 2 yang telah memberi bimbingan dan banyak masukan membangun selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc. dan Ibu Dra. Elimasni, M.Si. selaku penguji

yang telah memberi banyak masukan dan arahan dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Nursal, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan nasehat dan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan. 5. Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. dan Dr. Saleha Hanum, M.Si. selaku

Ketua dan Sekretaris Departemen Biologi FMIPA, USU.

6. Seluruh staf pengajar yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu, terima kasih atas segala ilmu dan kemurahan hati selama masa perkuliahan.

7. Seluruh staf pegawai Biologi, Bang Ewin, Kak Ros, dan Bu Ipit atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama ini.

8. Anak-anak Kitin-Keratin, Norton Adyanto Pane, Ledy Benneta Marbun, Nurul Alfitanisa Lubis, Devi Permatasari, Farah Dwi Larasati, Mailani Quanti Harahap, dan saudara asuhku Arance Yoane Sitohang terima kasih atas suka-duka di lab selama penelitian serta membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat terbaik, Mei Susanti Sianipar, Elfrida Hutabarat, Nova Maria Kasih Situmorang, Sri Asianna Sinaga, dan Nialusi Hutagaol terima kasih atas persahabatan, kasih sayang, penghiburan hati dan memberi semangat. 10. Abang dan kakak terbaik, Bang Imam Aulia, Kak Ariani Syahfitri Harahap,

Kak Nina Septania Damanik, dan terkhusus Kak Hilwa Walida terima kasih atas kritik, masukan, dan segala bantuan kalian.

11. Seluruh asisten Genetika Umum, Bang Andrian Hartanto, Yantika Romauli Simatupang, Jordan Ginting yang telah mewarnai hari-hari penulis.

12. Ibu dr. Sri Amalia selaku kepala Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di laboratorium Terpadu, kepada Bapak Indra, Ibu Eli,


(6)

iv

13. Ibu Mardiah, Ibu Winda dan seluruh pegawai laboratorium yang telah membimbing dan membantu penulis dalam penelitian ini.

14. Dan yang tak terlupakan penulis ucapkan terima kasih kepada Edwarman Zalukhu yang telah membantu penulis dalam mencari sampel penelitian serta teman-teman stambuk Biologi 2010 yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga kita semua sukses.

Akhirnya dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Tuhan memberkati.

Medan, April 2015


(7)

v

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI KITINOLITIK DARI Nepenthes tobaica DAN Nepenthes gracilis

ABSTRAK

Nepenthes merupakan tumbuhan kantung yang memperoleh nitrogen dengan mendegradasi serangga yang terjebak dalam kantung. Bakteri kitinolitik diasumsikan berperan dalam pendegradasian eksoskeleton serangga dalam kantung. Dalam penelitian ini, bakteri kitinolitik diisolasi dari cairan kantung tertutup dan terbuka, kantung, batang, akar dan rizosfer Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis dari daerah Merek, Dairi, Sumatera Utara. Sebanyak 18 isolat diperoleh dengan mengisolasi pada media garam minimum kitin yang mengandung 0,2% ekstrak yeast. Dua isolat yang memiliki indeks kitinolitik paling tinggi yaitu AM1 dari akar N. tobaica sebesar 2,25 dan CbM dari cairan kantung terbuka N. tobaica sebesar 1,90. Identifikasi gen 16S rRNA mengindikasikan bahwa isolat CbM berhubungan dekat dengan Enterobacter aerogenes strain VT66, sedangkan isolat AM1 belum berhasil diidentifikasi.


(8)

vi

ISOLATION AND IDENTIFICATION OF CHITINOLYTIC BACTERIA FROM Nepenthes tobaica AND Nepenthes gracilis

ABSTRACT

Nepenthes, a pitcher plant obtains its nitrogen from degrading trapped insect in the pitcher. Chitinolytic bacteria are assumed acting in degradation of exoskeletons of insects in the pitcher. In this study, chitinolytic bacteria were isolated from the fluid of opened and closed pitchers, pitchers, stalks, roots, and rhizosphere soil of Nepenthes tobaica and Nepenthes gracilis from Merek, Dairi, North Sumatra. Total of 18 isolates were obtained by isolating the bacteria on minimum salt media chitin adding with 0.2% yeast extract. Two isolates that have higher chitinolytic index, AM1 was from the root of N. tobaica with chitinolytic index of 2.25, and CbM was from the fluid of opened pitcher of N. tobaica with chitinolytic index of 1.90. Identification of 16S rRNA gene indicated that CbM isolate was closely related to Enterobacter aerogenes strain VT66, while AM1 was not succeeded to be identified.


(9)

vii DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK v

ABSTRACT vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kantung Semar (Nepenthes) 4

2.2 Kitin 6

2.3 Bakteri Kitinolitik 7

2.4 Polymerase Chain Reaction 9

2.5 Gen 16S rRNA 10

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 12

3.2 Bahan dan Alat 12

3.3 Prosedur Penelitian 12

3.3.1 Isolasi Bakteri Kitinolitik dari Tumbuhan Kantung

Semar 12

3.3.2 Karakterisasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik 13 3.3.3 Pengukuran Indeks Kitinolitik 14 3.3.4 Identifikasi Bakteri Kitinolitik Berdasarkan

Penyandi 16S rRNA 14

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bakteri Kitinoitik dari Tumbuhan Kantung

Semar 16

4.2 Indeks Kitinolitik 20

4.3 Hasil Identifikasi Bakteri Kitinolitik Berdasarkan Gen


(10)

viii BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 24

5.2 Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 32


(11)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Karakteristik Morfologi, Sifat Gram dan Bentuk Sel Bakteri Kitinolitik

17

2 Hasil Uji Biokimia Bakteri Kitinolitik 18


(12)

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Sampel Tumbuhan Kantung Semar: N. tobaica, dan N. gracilis

16

2 Hasil Isolasi Bakteri Kitinolitik dari Akar N. tobaica dan Cairan Kantung Terbuka N. tobaica

20

3 Indeks Kitinolitik Tertinggi Isolat Bakteri dari Tumbuhan Kantung Semar Selama 7 Hari Inkubasi

20


(13)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Pembuatan Koloidal Kitin dengan Cara Hidrolisis Parsial (Rodriquez-Kabana et al., 1983)

32

2 Alur Kerja Isolasi Bakteri Kitinolitik dari Tumbuhan Kantung Semar

33

3 Alur Kerja Karakterisasi Morfologi, Sifat Gram, dan Sifat Biokimia Bakteri Kitinolitik

36

4 Indeks Kitinolitik Selama 7 Hari Inkubasi 37

5 Elektroferogam Hasil Sekuensing 16S rRNA 38


(14)

v

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI KITINOLITIK DARI Nepenthes tobaica DAN Nepenthes gracilis

ABSTRAK

Nepenthes merupakan tumbuhan kantung yang memperoleh nitrogen dengan mendegradasi serangga yang terjebak dalam kantung. Bakteri kitinolitik diasumsikan berperan dalam pendegradasian eksoskeleton serangga dalam kantung. Dalam penelitian ini, bakteri kitinolitik diisolasi dari cairan kantung tertutup dan terbuka, kantung, batang, akar dan rizosfer Nepenthes tobaica dan Nepenthes gracilis dari daerah Merek, Dairi, Sumatera Utara. Sebanyak 18 isolat diperoleh dengan mengisolasi pada media garam minimum kitin yang mengandung 0,2% ekstrak yeast. Dua isolat yang memiliki indeks kitinolitik paling tinggi yaitu AM1 dari akar N. tobaica sebesar 2,25 dan CbM dari cairan kantung terbuka N. tobaica sebesar 1,90. Identifikasi gen 16S rRNA mengindikasikan bahwa isolat CbM berhubungan dekat dengan Enterobacter aerogenes strain VT66, sedangkan isolat AM1 belum berhasil diidentifikasi.


(15)

vi

ISOLATION AND IDENTIFICATION OF CHITINOLYTIC BACTERIA FROM Nepenthes tobaica AND Nepenthes gracilis

ABSTRACT

Nepenthes, a pitcher plant obtains its nitrogen from degrading trapped insect in the pitcher. Chitinolytic bacteria are assumed acting in degradation of exoskeletons of insects in the pitcher. In this study, chitinolytic bacteria were isolated from the fluid of opened and closed pitchers, pitchers, stalks, roots, and rhizosphere soil of Nepenthes tobaica and Nepenthes gracilis from Merek, Dairi, North Sumatra. Total of 18 isolates were obtained by isolating the bacteria on minimum salt media chitin adding with 0.2% yeast extract. Two isolates that have higher chitinolytic index, AM1 was from the root of N. tobaica with chitinolytic index of 2.25, and CbM was from the fluid of opened pitcher of N. tobaica with chitinolytic index of 1.90. Identification of 16S rRNA gene indicated that CbM isolate was closely related to Enterobacter aerogenes strain VT66, while AM1 was not succeeded to be identified.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kantung semar (Nephentes) merupakan tumbuhan yang mampu mendegradasi serangga yang terjebak dalam kantung pada ujung sulur daunnya, sehingga dapat digolongkan dalam tumbuhan insektivora. Serangga tersebut dijadikan sebagai sumber nutrisi, terutama sebagai sumber protein dan nitrogen, yang tidak didapatkan dari tanah yang menjadi habitatnya (Mansur, 2007).

Kantung semar menangkap dan mendegradasi serangga merupakan adaptasi untuk hidup di tanah yang bernutrisi rendah (Bauer et al., 2011) dengan bantuan beberapa enzim hidrolitik yang terkandung dalam cairan kantung (Rottloff et al., 2011). Beberapa enzim hidrolitik yang disekresikan tumbuhan kantung semar yaitu protease, kitinase (Amagase et al., 1972), RNase, esterase (Eilenberg et al., 2006), amilase, lipase (Tokes et al., 1974), fosfoamidase, fosfatase, dan glukosidase (Higashi et al., 1993). Di sisi lain, enzim hidrolitik juga diproduksi oleh mikroba seperti jamur dan bakteri (Amagase et al., 1972).

Higashi et al. (1993) menyatakan bahwa proses degradasi serangga dalam kantung dipengaruhi oleh perubahan pH, ion ammonium, dan keragaman populasi bakteri. Yogiara (2004) berhasil mengisolasi dan menganalisis komunitas bakteri dari cairan kantung Nepenthes spp. Bhore et al. (2013) mengisolasi 96 isolat bakteri endofit dari 9 Nepenthes spp. dan menunjukkan isolat terbanyak dari kelas Bacilli (59,4%), diikuti Gammaproteobacteria (35,4%), dan Betaproteobacteria (5,2%). Selain bakteri, terdapat mikroba lain dari cairan kantung, diantaranya ragi dan jamur. Ragi dan jamur yang telah diisolasi dari cairan kantung adalah Aureobasidium pullulans, Bullera alba, Candida diffluens, Cryptococcus laurentii, Rhodotorula rubra, Sporobolomyces roseus, Tilletiopsis sp., dan Trichosporon pullulans. Pada cairan kantung dari daerah Malaysia Barat ditemukan ragi dominan berupa Cryptococcus albidus (Shivas & Brown, 1989).


(17)

2

Dari berbagai mikroorganisme yang terdapat pada tumbuhan kantung semar diasumsikan bakteri kitinolitik berperan dalam pendegradasian serangga yang terjebak dalam kantung. Bakteri kitinolitik merupakan bakteri yang dapat mendegradasi kitin dengan bantuan enzim kitinase. Kitin adalah polimer linier yang tersusun atas 2000-3000 monomer N-asetil-D-glukosamin yang

dihubungkan dengan ikatan -1,4-glikosida (Donderski & Brzezinska, 2003), dan

merupakan salah satu penyusun kutikula anthropoda, fungi dan atom (Svitil et al., 1997).

Untuk meningkatkan pemahaman tentang keragaman mikroba di lingkungan, penggunaan pendekatan analisis keragaman yang berdasarkan kultur hidup mulai beralih pada pendekatan secara molekuler menggunakan penyandi 16S rRNA sebagai parameter analisis, diantaranya Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis (ARISA) (Cardinale et al., 2004), dan Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLPs) (Liu et al., 1997). Urutan gen 16S rRNA telah banyak digunakan sebagai penanda genetik untuk mempelajari filogeni dan taksonomi bakteri. Beberapa alasan penggunaan urutan gen 16S rRNA diantaranya: kehadirannya di semua bakteri, fungsi gen 16S rRNA dari waktu ke waktu tidak berubah dan gen 16S rRNA (1500 bp) cukup besar untuk tujuan informatika (Janda & Abbot, 2007). Berdasarkan pemaparan di atas, upaya penelitian dan pengidentifikasian bakteri kitinolitik dari tumbuhan kantung semar perlu dilakukan secara molekuler dengan metode analisis sekuen fragmen gen 16S rRNA.

1.2 Permasalahan

Kantung semar adalah tumbuhan yang mampu mendegradasi serangga yang terjebak dalam kantung untuk dijadikan sebagai sumber nutrisi. Mikroorganisme dalam kantung diasumsikan berperan dalam pendegradasian serangga, khususnya bakteri kitinolitik yang mampu mendegradasi eksoskeleton serangga yang tersusun atas kitin. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri kitinolitik dari tumbuhan kantung semar dengan metode analisis sekuen fragmen gen 16S rRNA.


(18)

3

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini diantaranya:

1. Memperoleh dan mengetahui karakteristik isolat bakteri kitinolitik dari cairan kantung tertutup dan terbuka, kantung, batang, akar, dan rizosfer tumbuhan kantung semar.

2. Mengidentifikasi spesies bakteri kitinolitik yang indeks kitinolitiknya paling tinggi dengan metode analisis sekuen fragmen gen 16S rRNA.

1.4 Hipotesis

Bakteri kitinolitik yang diisolasi dari cairan kantung tertutup dan terbuka, kantung, batang, akar, dan rizosfer tumbuhan kantung semar dapat diidentifikasi dengan metode analisis sekuen fragmen gen 16S rRNA.

1.5 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai spesies bakteri kitinolitik yang telah diidentifikasi dari tumbuhan kantung semar, sehingga dapat dipakai sebagai dasar penelitian lebih lanjut mengenai potensinya, antara lain sebagai alternatif pengendalian jamur secara biologi dan produksi enzim kitinase.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kantung Semar (Nepenthes)

Kata Nephentes berasal dari bahasa Latin, yang berarti gelas anggur. Nama tersebut pertama kali digunakan oleh J.P. Bryne pada tahun 1689, ketika membuat deskripsi berbagai jenis tumbuhan yang berasal dari Srilangka. Kantung semar termasuk pada divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, subkelas Dilleniidae, ordo Nepenthales, famili Nepenthaceae dan genus Nephentes. Beberapa spesies Nephentes diantaranya: N. bicalcarata, N. ampullaria dan N. rafflesiana (Mansur, 2007).

Nepenthes adalah genus tunggal dalam Nepenthaceae dan terdiri dari 82 spesies yang terdistribusi di seluruh dunia. Indonesia memiliki keanekaragaman Nepenthes tertinggi di dunia, 53 spesies Nepenthes terdapat di Indonesia dan 31 dari 53 spesies tersebar di pulau Sumatera (Clarke, 2001). Kawasan Taman Wisata Alam Sicikeh-Cikeh Kabupaten Dairi, Sumatera Utara memiliki 7 spesies Nepenthes spp. diantaranya: N. reinwardtiana, N. tobaica, N. spectabilis, N. rhombicaulis, N. rigidifolia, N. reinwardtiana x N. spectabilis dan N. tobaica x N. reinwardtiana (Dariana, 2009).

Kantung semar tumbuh di tanah yang miskin unsur hara, seperti di tanah kapur, tanah berpasir, tanah merah, dan tanah gambut. Pada umumnya, jenis tanah tersebut kekurangan unsur nitrogen dan fosfor. Kekurangan unsur hara menyebabkan tumbuhan tersebut mengubah ujung sulur daunnya menjadi kantung untuk menangkap serangga atau binatang kecil sebagai sumber nutrisinya. Sulur daunnya dapat mencapai permukaan tanah atau menggantung pada cabang-cabang ranting pohon yang berfungsi sebagai pipa penyalur nutrisi dan air (Mansur, 2007).

Permukaan bagian dalam kantung dilapisi oleh lilin kristal (crystal wax) yang membuat serangga atau binatang kecil tergelincir masuk dan tidak mampu keluar dari kantung. Penelitian terhadap struktur lilin menggunakan mikroskop


(20)

5

elektron menunjukkan adanya platelet lilin yang menonjol tegak lurus terhadap permukaan kantung. Pemeriksaan karakter fisikokimia menunjukkan lilin tersebut tersusun dari campuran polimer alifatik yang didominasi rantai aldehid yang sangat panjang (Riedel et al., 2003). Bagian dalam kantung terdapat kelenjar multiseluler dengan cairan viskoelastis untuk mempertahankan dan mendegradasi mangsa yang tertangkap terutama serangga (Gorb et al., 2004). Terdapat sekitar 6000 kelenjar pencernaan/cm2 di dalam kantung yang berperan dalam merangsang bahan kimia, sekresi enzim pencernaan, dan penyerapan nutrisi (Owen et al., 1999).

Karakter yang khas dari cairan kantung adalah aktivitas enzim yang berasal dari tumbuhan atau mikroba yang ada di dalam. Kepadatan bakteri dari cairan kantung sekitar 7 x 106-2,2 x 108 sel/ml dan terdapat aktivitas enzim yang

tinggi yaitu asam fosfatase, -D-glukosidase, and -D-glukosaminidase. Enzim

yang terikat pada bakteri dan partikel organik berkontribusi secara signifikan terhadap aktivitas total enzim (Takeuchi et al., 2011). Cairan kantung yang tertutup tumbuhan kantung semar memiliki pH dalam kisaran netral (pH 7-7,5) dan sedikit memiliki aktivitas proteolitik. Sementara itu, kondisi cairan menjadi lebih asam dan mengandung protease berupa pepsin pada kantung yang terbuka (Amagase, 1972). Di dalam cairan kantung ditemukan adanya aktivitas yang kuat dari asam, alkali fosfat, fosfoamidase, esterase C4, dan esterase C8. Eksresi sebuah proton (ion H+) dari ion NH4+ akan menyebabkan pH cairan kantung menurun (Higashi et al., 1993).

Jika dibandingkan antara keragaman bakteri dari cairan kantung dan permukaan daun tumbuhan kantung semar, maka komunitas bakteri yang ada di dalam cairan jauh lebih beragam. Hal ini dapat disebabkan lingkungan cairan kantung lebih kaya nutrisi dibandingkan dengan permukaan daun. Komunitas bakteri dari cairan kantung mulai berkembang saat penutup kantung mulai terbuka, kontak dengan udara, partikel tanah, dan serangga serta melakukan seleksi untuk komunitas barunya (Yogiara, 2004). Isolat bakteri dari cairan kantung tumbuhan kantung semar yang memiliki kemampuan antibakteri terhadap Escherichia coli dan Bacillus subtilis adalah Bacillus thuringiensis serotype H46. dan Clavibacter/ Microbacterium (Sulistyaningsih, 2008).


(21)

6

2.2 Kitin

Kitin merupakan senyawa homopolisakarida tidak bercabang yang terdiri dari N-asetilglukosamin. Monomer-monomer dari N-asetilglukosamin dihubungkan oleh ikatan -1,4 glikosida. Kitin yang terdapat pada organisme tertentu umumnya berikatan dengan polimer lainnya seperti glukan dan protein. Kitin mengalami biodegradasi melalui mekanisme dengan melibatkan enzim kompleks (Patil et al., 2000).

Berdasarkan susunan N-asetilglukosamin, kitin dapat dibedakan menjadi

α-kitin (antiparalel), -kitin (paralel), dan -kitin (antiparalel-paralel). α-kitin memiliki susunan N-asetilglukosamin yang lebih rapat dan banyak ditemukan di alam, terdapat di kutikula anthropoda dan fungi. -kitin memiliki susunan

N-asetilglukosamin yang rapat dan banyak ditemukan di atom. -kitin merupakan

gabungan dari α-kitin dan -kitin dan banyak ditemukan pada kumbang Ptinus tectus dan Rhychaneus fagi (Svitil et al., 1997).

Kitin merupakan biopolimer yang paling banyak ditemukan di alam dan terdistribusi di lingkungan biosfer setelah selulosa. Senyawa ini terdapat pada eksoskeleton serangga, fungi, yeast, alga, serta golongan udang-udangan seperti kepiting, udang kecil, dan lobster (Bhattacharya et al., 2007). Pada hewan, kitin merupakan struktur rigid yang terdapat pada eksoskeleton. Hal ini disebabkan pada rantai polimer N-asetilglukosamin terdapat ikatan hidrogen antar molekul membentuk mikrofibril yang menghasilkan struktur yang stabil dan rigid, tidak larut dalam air sehingga dapat mengkristal (Shaikh & Deshpande, 1993). Meskipun sumber kitin bermacam-macam, namun secara komersial kitin dieksplorasi dari cangkang udang-udangan (Arbia et al., 2013).

Kitinase merupakan enzim yang aktif mendegradasi polimer kitin menjadi kitin oligosakarida atau monomer N-asetilglukosamin. Berdasarkan cara kerjanya dalam mendegradasi substrat, kitinase dikelompokkan menjadi dua yaitu: endokitinase dan eksokitinase. Endokitinase mendegradasi kitin secara acak dari bagian dalam menghasilkan kitooligomer. Sedangkan eksokitinase mendegradasi kitin secara berurutan dari ujung nonreduksi menghasilkan kitobiosa sebagai

produk akhir dan -N-asetilheksosaminidase yang mendegradasi kitin secara


(22)

7

2000). Kemampuan kitinase, aktivitas pH, dan stabilitas yang luas dalam mendegradasi koloid kitin secara efisien membuat industri enzim menjadi signifikan untuk aplikasi bioteknologi, terutama dalam produksi kitobiosa dan N-asetil D-glukosamin (Anuradha & Revathi, 2013).

Enzim pendegradasi kitin semakin berkembang sejak diketahui bahwa enzim ini mampu mengubah limbah pengolahan udang menjadi produk yang memiliki nilai tambah yang besar seperti oligomer kitin dan kitosan yang memiliki aktivitas biologi (Chasanah et al., 2012). Enzim kitinase menarik untuk diisolasi karena memiliki beberapa manfaat diantaranya sebagai agen biokontrol melawan jamur dan nematoda yang menyebabkan penyakit tanaman, pendegradasi kitin dalam ekosistem (Cohen et al., 1998), produksi protein tunggal, biopestisida, pengestimasi biomassa jamur, pengendalian nyamuk, produksi kitooligosakarida, penentu morfogenenis jamur dan serangga (Patil et al., 2000), pembuatan krim antijamur, dan bioteknologi isolasi protoplas (Dahiya et al., 2006).

Peranan enzim kitinase yang sangat prospektif terhadap kehidupan masyarakat banyak mendorong ilmuwan dan peneliti melakukan eksplorasi mikroorganisme kitinolitik. Mikroorganisme kitinolitik merupakan mikroorganisme yang mampu mendegradasi kitin dengan enzim kitinase. Mikroorganisme ini dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti rizosfer, filosfer, tanah atau dari lingkungan air seperti laut, danau, kolam atau limbah udang dan sebagainya (Chernin et al., 1997; Svitil el al., 1997; Gohel et al., 2006; Yogiara, 2004; Anindyaputri, 2010; Das et al., 2010; Herdyastuti et al., 2012; Anuradha & Revathi, 2013; Haggag & Hasan, 2013). Selain lingkungan mesofil, mikroorganisme kitinolitik juga telah berhasil diisolasi dari lingkungan termofilik seperti sumber air panas (Rochima, 2006; Ardani dkk., 2012; Hamid et al., 2013).

2.3 Bakteri Kitinolitik

Bakteri kitinolitik adalah bakteri yang mampu mendegradasi kitin menjadi derivatnya yaitu N-asetilglukosamin. N-asetilglukosamin ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti biokimia, bioteknologi, farmakologi, medis, dan


(23)

8

industri (Patil et al., 2000; Dahiya et al., 2006; Shakhbazau & Kartel, 2008; Ramirez et al., 2010).

Jenis-jenis bakteri yang telah banyak dilaporkan mampu menghasilkan enzim kitinase adalah Bacillus cereus (Anindyaputri, 2010), B. thuringiensis, B. licheniformis (Kamil et al., 2007; Gomma, 2012), B. papandayan (Rochima, 2006), Lysinibacillus fusiformis (Singh et al., 2012), Pseudomonas fluorescens (Nandakumar et al., 2007), P. putida (Saranya & Thayumanavan, 2013), Serratia marcescens (Ningaraju, 2006), Paenibacillus elgii (Das et al., 2010), Vibrio harveyi (Svitil el al., 1997), V. aestuarianus, Flavobacterium odoratus, Shewenella putrefaciens, Exiguobacterium (Anuradha & Revathi, 2013), Pseudomonas sp., Pantoea dispersa, Enterobacter amnigenus (Gohel et al., 2006), E. agglomerans (Chernin et al., 1997), Streptomyces RKt5 (Yurnaliza dkk., 2011), dan Stenotrophomonas maltophilia (Zhang et al., 2001; Hamid et al., 2013). Selain bakteri, jamur juga telah dilaporkan dapat menghasilkan enzim kitinase diantaranya: Coniothyrium minitans (Haggag & Hasan, 2013), Aspergillus parasiticus (Herdyastuti et al., 2012), A. rugulosus (Wulandari, 2009), A. terreus (Ghanem et al., 2010), Beauveria bassiana (Lawati, 2013), dan Moniliophthora perniciosa (Galante et al., 2012).

Bakteri Vibrio aestuarianus, Flavobacterium, Shewenella dan Exiguobacterium yang diisolasi dari cangkang udang-udangan memiliki kemampuan kitinolitik (Anuradha & Revathi, 2013). Bakteri kitinolitik asal air panas dapat diaplikasikan sebagai pengendali hayati larva Aedes aegypti L. (Ardani dkk., 2012), Bacillus thuringiensis dan B. licheniformis yang diisolasi dari rizosfer memiliki aktivitas kitinase dan berpotensi meningkatkan perkecambahan benih kedelai yang terinfeksi berbagai jamur fitopatogenik (Gomma, 2012), Serratia marcescens MO-1 yang diisolasi dari Poecilimon tauricola memiliki aktivitas antijamur terhadap Alternaria citri, Fusarium oxysporum, Trichoderma harzianum, Aspergillus niger, dan Rhizopus oryzae (Okay et al., 2013).

Herdyastuti et al. (2012) telah mengisolasi bakteri dari lapangan lumpur di daerah Ketintang, Surabaya yang menunjukkan aktivitas kitinase dalam media yang mengandung 0,4% koloidal kitin. Karakteristik morfologi dan fisiologi


(24)

9

menunjukkan Gram negatif, bentuk batang-kokoid, dapat menghasilkan asam dari manitol, sukrosa, sorbitol, inositol juga mampu mengoksidasi glukosa. Berdasarkan urutan nukleotida gen 16S rRNA, bakteri ini menunjukkan hubungan genetik 98% dengan Pseudomonas sp.

2.4 Polymerase Chain Reaction

Dari suatu campuran DNA yang kompleks, PCR memungkinkan peneliti untuk membuat sejumlah besar DNA dengan urutan basa tertentu dalam waktu yang singkat dan tanpa kloning. Prosedur ini menggunakan DNA polimerase yang tahan panas (thermostable) dan dua primer oligonukleotida sintetik. Urutan DNA gen yang akan diamplifikasi (diperbanyak) harus diketahui sebagian, agar primer yang membatasi ujung DNA target dapat disintesis. PCR memiliki berbagai aplikasi antara lain: mengamplifikasi DNA pada daerah tertentu sebagai strategi rekayasa genetik yang tidak tergantung pada enzim restriksi, memperbanyak DNA genom untuk keperluan diagnostik, memperbanyak DNA untuk sekuensing, menyisipkan/membuat mutasi (site directed mutagenesis), dan mengkuantifikasi jumlah mRNA awal (RT-PCR) yang dikombinasi dengan RT (Grompe et al., 1998).

Tiap putaran reaksi PCR terdiri atas tiga tahap yaitu: denaturasi template, penempelan primer, dan polimerisasi primer, yang masing-masing berlangsung pada suhu lebih kurang 95ºC, 50ºC, dan 70ºC. Pada tahap denaturasi, pasangan untai DNA template dipisahkan satu sama lain sehingga menjadi untai tunggal. Pada tahap selanjutnya, masing-masing untai tunggal akan ditempeli oleh primer. Jadi, ada dua buah primer yang masing-masing menempel pada untai tunggal DNA template. Biasanya, kedua untai primer tersebut dinamakan primer maju (forward primer) dan primer mundur (reverse primer). Setelah menempel pada untai DNA template, primer mengalami polimerisasi dan mensintesis DNA baru dari ujung 5' hingga ujung 3' (Sachse & Frey, 2010).

Untuk mendapatkan hasil PCR yang optimal perlu dilakukan optimasi proses PCR dengan cara memvariasikan kondisi yang digunakan pada proses PCR tersebut. Optimasi kondisi berkaitan dengan faktor-faktor seperti: jenis primer,


(25)

10

temperatur annealing, konsentrasi Mg 2+, konsentrasi template, dan bahan tambahan seperti bovine serum albumin, triton X-100, gen T4 protein 32, polietilenglikol 8000 dan gliserol (Marchesi et al., 1998).

Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung γ’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA. Perancangan primer dapat dilakukan berdasarkan urutan yang telah diketahui ataupun dari urutan protein yang dituju. Data urutan DNA atau protein bisa didapatkan dari database GenBank. Apabila urutan DNA maupun urutan protein yang dituju belum diketahui maka perancangan primer dapat didasarkan pada hasil analisis homologi dari urutan DNA atau protein yang telah diketahui mempunyai hubungan kekerabatan yang terdekat (Rychlik, 1995).

2.5 Gen 16S rRNA

Kesulitan dalam mengkultur mikroba yang berada di alam atau lingkungan, mendorong para ahli mikrobiologi untuk menggunakan gen 16S rRNA sebagai penanda filogenetik dalam memeriksa keanekaragaman dan mengelompokkan mikroba (Kim et al., 2011). Pada prokariotik terdapat tiga jenis RNA ribosomal, yaitu 5S, 16S, dan 23S rRNA. Di antara ketiganya, 16S rRNA yang paling sering digunakan. Molekul 5S rRNA memiliki urutan basa terlalu pendek, sehingga tidak ideal dari segi analisis statistika, sementara molekul 23S rRNA memiliki struktur sekunder dan tersier yang cukup panjang sehingga menyulitkan analisis. Analisis gen penyandi 16S rRNA telah menjadi prosedur baku untuk menentukan hubungan filogenetik dan menganalisis suatu ekosistem (Raghava et al., 2000).

Filogenetik menggambarkan klasifikasi secara taksonomi dari suatu organisme berdasarkan sejarah evolusi maupun karakteristik. Analisis filogenetik sekuen asam amino dan protein menjadi wilayah yang penting dalam analisis sekuen. Analisis filogenetik dapat digunakan untuk mengikuti perubahan yang terjadi secara cepat yang mampu mengubah suatu spesies, seperti virus (Dharmayanti, 2011).


(26)

11

Gen 16S rRNA dapat digunakan sebagai penanda molekuler karena molekul ini bersifat ubikuitus dengan fungsi yang identik pada seluruh mikroorganisme. Molekul ini juga dapat berubah sesuai jarak evolusi, sehingga dapat digunakan sebagai kronometer evolusi yang baik. Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa yang relatif konservatif dan beberapa daerah urutan basa variatif. Perbandingan urutan basa yang konservatif berguna untuk mengkonstruksi pohon filogenetik universal karena mengalami perubahan relatif lambat dan mencerminkan kronologi evolusi bumi. Sebaliknya, urutan basa yang bersifat variatif dapat digunakan untuk melacak keragaman dan menempatkan galur-galur dalam satu spesies. Jika urutan basa 16S rRNA menunjukkan derajat kesamaan yang rendah antara dua taksa, deskripsi suatu takson baru dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNA. Biasanya jika derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA kurang dari 97% dapat dianggap sebagai spesies baru (Stackebrandt & Goebel, 1995).


(27)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni sampai Desember 2014 di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan kantung tertutup dan terbuka, rizosfer serta tumbuhan N. tobaica dan N. gracilis. Bahan pendukung yang digunakan ialah alkohol 70%, agar, spiritus, sodium hipoklorit, ekstrak yeast, media garam (7 gram KH2PO4, 3 gram K2HPO4, 0,5 gram MgSO4.7 H2O,1 gram FeSO4.7 H2O, 0,01 gram ZnSO4, dan 0,01 gram MnCl2 dalam 500 ml akuadest), koloidal kitin (Lampiran 1 halaman 32), kertas cakram, media Nutrient Agar (NA), media Nutrient Broth (NB), media uji biokimia, larutan pewarnaan, larutan peyangga TAE, akuabidest, Go Taq® Green Master Mix, primer 16S rRNA, agarosa, marker DNA 1 kb Thermo Scientific dan etidium bromide (EtBr). Alat yang digunakan adalah hockey stick, pipet mikro, ose, cawan petri, tabung reaksi, bunsen, mikroskop cahaya, spektrofotometer, vorteks, laminar flow, jangka sorong, inkubator, autoklaf, kulkas, penangas, stopwatch, elektroforesis, mesin PCR, dan tabung eppendorf.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Isolasi Bakteri Kitinolitik dari Tumbuhan Kantung Semar

Cairan kantung tertutup dan terbuka, rizosfer, serta tumbuhan N. tobaica dan N. gracilis diperoleh dari daerah Merek, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Sampel berupa rizosfer, akar, batang dan kantung dimasukkan secara terpisah ke dalam plastik yang steril, sedangkan sampel berupa cairan


(28)

13

kantung diambil dengan menggunakan spit steril. Sampel disimpan di dalam kotak berisi es dan dibawa ke laboratorium.

Sampel rizosfer sebanyak 5 gram disuspensikan dalam 45 ml larutan fisiologis steril sampai homogen. Berdasarkan metode Barzanti et al. (2007) yang dimodifikasi, sampel akar, batang, dan kantung terlebih dahulu dipotong lalu dicuci dengan air mengalir selama 20 menit. Permukaan akar, batang, dan kantung disterilisasi secara berseri dengan cara direndam dalam alkohol 70% selama 2 menit, larutan sodium hipoklorit (yang mengandung anion klorin 5,3%) selama 10 menit dan alkohol 70% selama 30 detik, selanjutnya dibilas dengan akuadest steril sebanyak 2 kali dan dikeringkan dengan kertas saring steril. Masing-masing bagian tanaman yang telah disterilisasi permukaan digerus lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 20 ml media NB secara terpisah kemudian diinkubasi di penggoyang dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang (28-30oC) selama 24 jam.

Masing-masing sampel yang telah diberi perlakuan, serta cairan kantung tertutup dan terbuka diinokulasikan sebanyak 0,1 ml pada media garam minimum kitin (MGMK) agar + 0,2 % ekstrak yeast dengan metode cawan sebar. Isolat diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 1-5 hari. Isolat bakteri kitinolitik ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni, setiap koloni disubkultur sampai diperoleh isolat murni (Lampiran 2 halaman 33).

3.3.2 Karakterisasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik

Isolat murni yang memiliki kemampuan kitinolitik dikarakterisasi berdasarkan morfologi koloni, sifat Gram dan sifat biokimia (Lampiran 3 halaman 36). Karakterisasi morfologi yang diamati secara makroskopis adalah meliputi bentuk, tepi, elevasi, dan warna koloni. Sedangkan karakterisasi yang diamati secara mikroskopis meliputi sifat Gram dan bentuk sel. Sifat biokimia yang diamati mencakup uji hidrolisis pati dengan media Starch Agar (SA), uji gelatin dengan media nutrien gelatin, uji motilitas dengan media Sulfide Indole Motility (SIM), uji sitrat dengan media Simmon’s Citrate Agar (SCA), uji katalase dengan menggunakan larutan 3% H2O2, dan uji sulfida dengan media Triple Sugar Iron


(29)

14

Agar (TSIA). Untuk uji sitrat, uji gelatin, uji pati, uji motilitas dan uji sulfida biakan terlebih dahulu diinkubasi.

3.3.3 Pengukuran Indeks Kitinolitik

Sebanyak 10 µl suspensi bakteri kitinolitik dalam larutan NaCl 0,85% (OD600 ≈ 0,5) diteteskan ke kertas cakram dan diinokulasikan di tengah MGMK agar + 0,2 % ekstrak yeast. Biakan diinkubasi selama 7 hari. Indeks kitinolitik diperoleh berdasarkan perbandingan diameter zona bening di sekitar koloni dengan diameter koloni. Isolat yang memiliki indeks kitinolitik paling tinggi selama 7 hari inkubasi ditetapkan sebagai isolat terpilih untuk diidentifikasi secara molekuler.

3.3.4 Identifikasi Bakteri Kitinolitik Berdasarkan Gen Penyandi 16S rRNA Isolasi DNA bakteri kitinolitik dilakukan melalui proses freeze and thaw. Tabung eppendorf 1,5 ml diisi dengan 100 µl akuabidest dalam kondisi aseptis, kemudian kultur bakteri murni yang berumur 24 jam diambil sebanyak 1 ose dan diinokulasikan ke dalam tabung eppendorf tersebut. Selanjutnya suspensi sel dibekukan pada suhu -10oC sampai larutan mengkristal lalu dicairkan pada suhu 90oC selama 10 menit. Pengulangan siklus dilakukan sebanyak 5 kali untuk efisiensi pemecahan sel (Nursyirwani & Kathy, 2007).

DNA hasil isolasi digunakan untuk amplifikasi gen 16S rRNA yang dilakukan dengan mesin Polymerase Chain Reaction (PCR) (Veriti® 96-Well Thermal Cycler 4375786, Applied Biosystems, Singapore) dengan primer universal spesifik 16S rRNA untuk prokariot, yaitu 63f (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA GTC-γ’) dan 1387r (5’-GGG CGG WGT GTA CAA GGC-γ’) (Marchesi et al., 1998).

Untuk membuat campuran reaksi PCR dengan volume 25 µl, bahan-bahan berikut dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 0,2 ml: Master Mix 2X 12,5 µl, primer 63f 10 (pmol/µl) 1 µl , primer 1387r 10 (pmol/µl) 1 µl, DNA template 2 µl, Nuclease Free Water 8,5 µl sehingga volume total 25 µl. Kemudian mesin PCR diprogramkan dan dijalankan berdasarkan suhu: untuk proses pradenaturasi 94oC selama 2 menit, denaturasi 92oC selama 30 detik, annealing 55oC selama 30


(30)

15

detik, elongasi atau perpanjangan primer 72oC selama 1 menit, dan post PCR 72oC selama 5 menit. Ketiga proses ini dijalankan sebanyak 30 siklus selama satu jam. Hasil PCR disimpan pada suhu 20oC atau langsung dianalisis dengan elektroforesis.

DNA yang telah diamplifikasi dianalisis dengan elektroforesis. Gel elektroforesis disiapkan dengan 1% agarosa (0,35 gram agarosa dalam 35 ml TAE 1X), dipanaskan dan distirer sampai larut, didinginkan selama 5 menit lalu diteteskan 10 µl EtBr dan dihomogenkan kemudian dituang pada cetakan gel. Wadah yang sudah berisi gel diberi larutan peyangga TAE 1X secukupnya kemudian masing-masing sampel dan marker DNA 1 kb dimasukkan pada sumur-sumur gel. Analisis dilakukan pada kondisi 80 volt dan 400 mA selama 50 menit, selanjutnya divisualisasi dengan UV-transluminator.

DNA hasil amplifikasi dikirim ke PT. Biosains Medika Indonesia, Jakarta Selatan untuk dimurnikan dan disekuen oleh Macrogen, Seoul, South Korea dengan Automated DNA sequencer (ABI 3730xl DNA Analyzer, Applied Biosystems). Data sekuen dibandingkan dengan data di GenBank pada database The National Center for Biotechnology Information (NCBI), menggunakan program Basic Local Alignment Search Tool (BLAST).


(31)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bakteri Kitinolitik dari Tumbuhan Kantung Semar

Sampel tumbuhan kantung semar yang digunakan pada penelitian ini telah diidentifikasi di Herbarium Medanense, Universitas Sumatera Utara, Medan (Lampiran 6 halaman 40). Hasil identifikasi menunjukkan kantung semar yang berwarna merah adalah N. tobaica Danser, sedangkan kantung semar yang berwarna hijau adalah N. gracilis Korth. Sampel tumbuhan kantung semar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Sampel Tumbuhan Kantung Semar: A. N. tobaica Danser, dan B. N.gracilis Korth

Hasil isolasi bakteri dari cairan kantung tertutup dan terbuka, kantung, batang, akar, serta rizosfer N. tobaica dan N. gracilis yang ditumbuhkan di MGMK agar + 0,2 % ekstrak yeast pada suhu 28-30oC selama 1-5 hari, diperoleh 18 isolat bakteri kitinolitik. Karakteristik morfologi dari bentuk koloni, tepi, elevasi, warna, sifat Gram, dan bentuk sel dari masing-masing isolat dapat dilihat pada Tabel 1.

A B


(32)

17

Tabel 1 Karakteristik Morfologi, Sifat Gram dan Bentuk Sel Bakteri Kitinolitik

Bagian Tanaman

Kode Isolat

Morfologi Koloni Sifat

Gram

Bentuk Sel Bentuk Tepi Elevasi Warna

N. tobaica Cairan

Kantung Tertutup

CtM Bulat Rata Rata Putih + Bulat

Cairan Kantung Terbuka

CbM Bulat Rata Rata Putih - Batang

Kantung KM Bulat Rata Cembung Putih + Batang

Batang BM Tidak beraturan Gelombang Terangkat Putih + Batang Akar AM1 Bulat Rata Cembung Hijau metalik + Bulat

AM2 Bulat Berlekuk Rata Putih

Kekuningan

+ Batang AM3 Tidak beraturan Gelombang Rata Putih + Batang

Rizosfer RM Bulat Rata Cembung Putih + Batang

N. gracilis Cairan

Kantung Tertutup

CtH Tidak beraturan Gelombang Terangkat Putih - Batang

Cairan Kantung Terbuka

CbH Bulat Rata Cembung Putih - Batang

Kantung KH Bulat Gelombang Rata Putih + Batang

Batang BH Bulat Rata Rata Putih

Kekuningan

+ Batang

Akar AH1 Bulat Rata Rata Putih + Batang

AH2 Tidak beraturan Gelombang Rata Putih + Batang

Rizosfer RH1 Bulat Rata Cembung Putih + Bulat

RH2 Bulat Rata Cembung Kuning + Batang

RH3 Bulat Rata Cembung Putih

Kekuningan

+ Batang RH4 Tidak beraturan Berlekuk Terangkat Putih + Batang

Hasil pengamatan (Tabel 1) menunjukkan sebanyak 13 isolat koloni yang berbentuk bulat dan 5 isolat koloni berbentuk tidak beraturan, dimana 1 koloni bertepi berlekuk, dan 4 koloni memiliki tepi gelombang dengan elevasi koloni berbentuk rata dan terangkat. Warna koloni isolat bervariasi dari putih, putih kekuningan, kuning dan hijau metalik. Pengamatan mikroskopis menunjukkan sebanyak 3 isolat Gram negatif dan 15 isolat Gram positif. Bentuk sel berupa batang sebanyak 15 isolat, dan bulat sebanyak 3 isolat. Perbedaan warna pada koloni bakteri disebabkan oleh perbedaan pigmen intraseluler yang dihasilkan oleh bakteri. Pigmen bakteri dapat diklasifikasikan atas karotenoid, antosianin, melanin, tripirilmethenes dan phenazin (Leboffe & Pierce, 2011).

Dari isolasi bakteri kitinolitik yang telah dilakukan, bakteri kitinolitik asal rizosfer lebih banyak diperoleh daripada bakteri kitinolitik asal bagian tanaman yang lain. Hal ini mungkin disebabkan karena keberadaan sumber kitin yaitu


(33)

19

eksoskeleton serangga yang mati lebih melimpah di daerah rizosfer daripada di bagian tanaman yang lain maupun di cairan kantung.

Berdasarkan sifat Gram, keragaman bakteri pada tumbuhan kantung semar yang diperoleh dari penelitian ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian berikut: Bohre et al. (2013) yang telah mengisolasi bakteri endofit dari 9 Nepenthes spp., dan diperoleh 57 isolat bakteri Gram positif dari 96 isolat bakteri endofit. Higashi et al. (1993) mengisolasi 26 isolat bakteri dari cairan 4 kantung N. hybrida, diperoleh 10 isolat Gram positif, dan 16 isolat Gram negatif, diantaranya 10 isolat memiliki aktivitas hidrolisis kasein. Tan (2011) mengisolasi 3 isolat bakteri kitinolitik Gram negatif dari cairan kantung N. ventrata dan N. reinwardtiana, yaitu Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter cloaca, dan Acinetobactor lwofii. Yogiara (2004) juga telah mengisolasi bakteri dari cairan kantung 6 sampel Nepenthes dari 3 daerah berbeda, diperoleh 27 bakteri yang menghasilkan enzim protease, 34 isolat yang menghasilkan enzim fitase dan 10 isolat yang menghasilkan enzim kitinase.

Dari hasil uji biokimia yang telah dilakukan, semua isolat memiliki karakteristik uji pati, uji gelatin, uji sitrat, dan uji katalase yang sama, karakteristik uji sulfida dan uji motilitas yang membedakan semua isolat. Hasil karakterisasi uji biokimia bakteri kitinolitik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Hasil Uji Biokimia Bakteri Kitinolitik

Kode Isolat

Uji Biokimia Pati Gelatin Sitrat

Sulfida

Katalase Motilitas Warna

Retak Endapan Hitam Slant Butt

CtM + + + Kuning Kuning - - + Jonjot + sulfur

CbM + + + Kuning Kuning + + + Pedang

KM + + + Kuning Kuning + + + Jonjot + sulfur

BM + + + Kuning Kuning + + + Jonjot + sulfur

AM1 + + + Merah Kuning + - + Pedang

AM2 + + + Merah Kuning - - + Pedang

AM3 + + + Kuning Kuning + - + Pedang

RM + + + Kuning Kuning - - + Pedang

CtH + + + Merah Merah + + + Jonjot + sulfur

CbH + + + Kuning Kuning + + + Pedang

KH + + + Kuning Kuning + + + Jonjot + sulfur

BH + + + Kuning Kuning + + + Jonjot + sulfur

AH1 + + + Kuning Kuning + + + Jonjot + sulfur

AH2 + + + Kuning Kuning + + + Jonjot + sulfur

RH1 + + + Merah Merah - - + Pedang

RH2 + + + Merah Merah + + + Pedang

RH3 + + + Merah Merah + + + Pedang


(34)

19

Hasil pengamatan (Tabel 2) menunjukkan uji positif dari uji pati, uji gelatin, uji sitrat dan uji katalase dari semua isolat. Menurut Leboffe & Pierce, 2011), uji positif pati ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni setelah ditetesi lugol, uji positif sitrat ditandai dengan berubahnya medium dari hijau menjadi biru karena terjadi penghilangan asam dan peningkatan pH dalam media, sedangkan uji positif gelatin ditandai dengan medium gelatin yang tetap cair setelah dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama 30 menit. Hasil uji sulfida menunjukkan 14 isolat yang mengalami perubahan warna, 13 isolat yang menimbulkan keretakan dan 11 isolat yang menimbulkan endapan hitam. Hasil uji katalase dengan penambahan larutan 3% H2O2 mengindikasikan bahwa semua isolat memiliki enzim katalase, ditandai terbentuknya gelembung udara di sekitar koloni. Hasil uji motilitas menunjukkan semua isolat bersifat motil, dan terdapat 8 isolat yang menghasilkan sulfur.

Hasil karakterisasi morfologi, sifat Gram, dan uji biokimia menunjukkan karakter isolat yang kurang beragam dari N. tobaica dan N. gracilis. Hal ini kemungkinan dipengaruhi karena kedua tumbuhan kantung semar ini tumbuh pada tempat yang sama. Rosenblueth & Martinez-Romero (2006) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi bakteri sangat bervariasi pada inang tergantung pada spesies bakteri, genotip inang, tahap perkembangan inang dan kondisi lingkungan.

Isolat yang memiliki kemampuan kitinolitik ditunjukkan dengan kemampuan menghasilkan zona bening di sekitar koloni pada media MGMK. Hasil isolasi bakteri kitinolitik dari akar N. tobaica (AM) dan cairan kantung terbuka N. tobaica (CbM) dapat dilihat pada Gambar 2. Penggunaan media yang mengandung kitin, misalnya koloidal kitin dapat menginduksi kitinase pada bakteri, jamur, dan aktinomisetes. Substrat ini mampu menginduksi enzim

hidrolitik seperti -1,4-N asetilglukosaminidase, endokitinase dan kitobiosidase

(Inbar & Chet, 1991). Enzim kitinase akan menghidrolisis kitin menjadi sumber karbon, nitrogen, dan energi bagi bakteri (Gooday, 1990).


(35)

20

Gambar 2 Hasil Isolasi Bakteri Kitinolitik dari A. Akar N. tobaica, dan Cairan Kantung Terbuka N. tobaica (1. Zona Hidrolisis 2. Zona Koloni)

4.2 Indeks Kitinolitik

Isolat yang memiliki aktivitas kitinolitik selanjutnya diukur indeks kitinolitiknya setiap hari selama 7 hari inkubasi pada MGMK agar + 0,2 % ekstrak yeast (Lampiran 4 halaman 37). Nilai indeks kitinolitik diperoleh dari perbandingan antara diameter zona bening di sekitar koloni dengan diameter koloni bakteri. Indeks kitinolitik tertinggi dari setiap isolat terbentuk pada hari yang berbeda-beda. Patil et al. (2000) menyatakan kecepatan terbentuknya zona bening berkaitan dengan kecepatan difusi dan jenis enzim kitinolitik yang disekresikan bakteri ke medium agar kitin. Hasil perhitungan indeks kitinolitik tertinggi dari setiap isolat selama 7 hari inkubasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Indeks Kitinolitik Tertinggi Isolat Bakteri dari Tumbuhan Kantung Semar Selama 7 Hari Inkubasi

1 .5 0 1 .9 0 1 .5 5 1 .5 3 2 .2 5 1 .3 7 1 .4 0 1 .2

0 1.3 9 1.6

3 1 .4 9 1 .3 5 1 .3 8 1 .3

7 1.6

0 1 .2 8 1 .2

3 1.4

7 0 0.5 1 1.5 2 2.5 I nd ek s K it ino litik Kode Isolat 1 2 B 1 2 A


(36)

21

Hasil pengamatan (Gambar 3) menunjukkan isolat bakteri dari berbagai bagian tanaman memiliki indeks kitinolitik yang berbeda-beda. Isolat bakteri yang memiliki indeks kitinolitik tertinggi, yaitu AM1 sebesar 2,25 diikuti isolat CbM dengan indeks kitinolitik yaitu 1,90 sedangkan isolat RM memiliki indeks kitinolitik terendah yaitu 1,20. Hasil pengukuran indeks kitinolitik oleh Faramarzi et al. (2009) yang telah mengisolasi bakteri kitinolitik dari tanah menunjukkan hasil yang tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan data yang didapat pada penelitian ini. Delapan belas isolat bakteri potensial yang diperoleh memiliki indeks kitinolitik yang berkisar antara 1,10-2,50.

Walaupun pengujian dilakukan pada kondisi dan media yang sama, tetapi terdapat perbedaan indeks kitinolitik dari setiap isolat bakteri. Perbedaan indeks kitinolitik kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan aktivitas dan produksi kitinase dari masing-masing isolat. Semakin besar zona bening yang dihasilkan mengindikasikan semakin tinggi aktivitas enzim atau semakin banyak enzim yang dihasilkan pada proses hidrolisis kitin.

Perbedaan indeks kitinolitik juga mungkin disebabkan oleh perbedaan spesies mikroorganisme, lebih tepatnya gen yang mengkode pada setiap isolat (Tronsmo & Harman, 1993). Penelitian yang dilakukan Chandler et al. (2011) mendapatkan perbedaan aktivitias, produksi enzim kitinase dan gen penyandi kitinase dari stain Fransiella diantaranya: gen chiA, chiB, chiC, dan chiD. Selain beberapa faktor di atas, besarnya indeks kitinolitik juga dipengaruhi oleh kebutuhan dan kemampuan setiap bakteri dalam memanfaatkan nutrisi yang diperoleh dari substrat untuk proses biokimia yang berbeda. Menurut Shuler & Kargi (1992), substrat digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbon dan energi dalam proses metabolisme diantaranya: asimilasi sintesis biomassa, asimilasi sintesis produk ekstraseluler, energi untuk pertumbuhan dan energi untuk pemeliharan.


(37)

22 4000 0 200 500 750 1000 0 1500 0 2000 0 2500 3000 0 3500 5000 0 6000 0 100000 8000 0 10000 8000 6000 5000 4000 0 2000 1500 1000 750 500 200 3500 3000 2500

4.3 Hasil Identifikasi Bakteri Kitinolitik Berdasarkan Gen Penyandi 16S rRNA

Isolat yang memiliki indeks kitinolitik lebih tinggi yaitu AM1 dan CbM dipilih untuk diidentifikasi berdasarkan gen penyandi 16S rRNA. Pengecekan DNA yang telah diamplifikasi dengan primer 63f dan 1387r divisualisasi pada 1% gel agarosa dengan menggunakan marker DNA 1 kb. Marchesi et al. (1998) menyatakan, primer 63F dan 1387r lebih baik dari 27F-1392r untuk jenis analisis ekologi molekuler, karena dapat meminimalkan bias PCR. Elektroferogram hasil PCR 16S rRNA dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Elektroferogram Hasil PCR 16S rRNA. Lajur 1=Marker, 2=Kontrol Negatif, 3=DNA Isolat AM1, dan 4=DNA Isolat CbM

Hasil pengamatan (Gambar 4) menunjukkan bahwa lajur 1 yaitu marker, lajur 2 yaitu kontrol negatif PCR yang berupa campuran reaksi tanpa diberi DNA isolat tidak memperlihatkan adanya pita DNA. Hal ini menandakan bahwa pembuatan reaksi PCR tidak terkontaminasi komponen lain. DNA isolat AM1 di lajur 3 dan DNA isolat CbM di lajur 4 teramplifikasi dengan baik pada ukuran fragmen 1500 bp.

Tahap selanjutnya yaitu sekuensing DNA yang merupakan tahap akhir penentuan nukleotida hasil amplifikasi. Sekuensing DNA dilakukan untuk menentukan persen kemiripan isolat bakteri kitinolitik berdasarkan gen 16S rRNA. Identitas suatu gen yang telah diketahui sekuennya dapat ditentukan dengan membandingkan data sekuen yang terdapat pada GenBank. Bakteri yang disekuensing yaitu isolat AM1 asal akar N. tobaica dan isolat CbM asal cairan kantung N. tobaica.

1 2 3 4


(38)

23

Hasil identifikasi berdasarkan gen penyandi 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat CbM memiliki hubungan genetik 94% dengan Enterobacter aerogenes strain VT66, sedangkan isolat AM1 belum berhasil diidentifikasi. Isolat AM1 belum berhasil diidentifikasi kemungkinan disebabkan kondisi atau spesifitas sampel yang kurang baik. Beberapa penyebab timbulnya masalah saat sekuensing yaitu: konsentrasi DNA dan primer yang mengakibatkan tidak ditemukan sinyal (no signal) saat sekuensing, proses preparasi DNA yang kurang baik mengakibatkan template bercampur (mixed template), kuantitas BigDye yang sangat kecil dan konsentrasi sampel yang tidak sesuai yang menyebabkan puncak (peaks) yang terlalu luas (dye blob) (Macrogen Inc., 2015). Hasil sekuensing dapat diunduh di www.dna2.macrogen.com (Lampiran 5 halaman 38).

Enterobacter merupakan bakteri Gram negatif yang dapat bergerak dengan flagel peritrik dan yang tidak dapat bergerak, tergolong bakteri anaerob fakultatif, berbentuk batang lurus, panjangnya 1-6 µm dan lebar 0,3-1 µm (Leboffe & Pierce, 2011). Enterobacter mampu hidup pada suhu 30-40oC dan dapat mengkatabolisis glukosa dan karbohidrat lainnya (Holt et al., 1994).

Beberapa penelitian yang melaporkan kelompok Enterobacter memiliki kemampuan kitinolitik yaitu: Enterobacter NRG4 yang diisolasi dari batang yang terdegradasi jamur (Dahiya et al., 2005), E. cloacae yang diisolasi dari tanah Langkat (Suryanto et al., 2005), E. aerogenes yang diisolasi dari perairan Danau di Polandia (Brzezinska & Donderski, 2006), Enterobacter sp. KB3 yang diisolasi dari tanah pesisir area Buan Korea (Velusamy & Kim, 2011). Tan (2011) telah mengisolasi bakteri kitinolitik dari cairan kantung N. ventrata yang dengan uji Rapid BBL-Cristal Set diketahui bakteri tersebut adalah E. cloacae. Sejauh kajian literatur yang dilakukan oleh peneliti, E. aerogenes strain VT66 merupakan spesies bakteri kitinolitik dari cairan kantung terbuka N. tobaica yang pertama kali diisolasi.


(39)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian tentang isolasi dan identifikasi bakteri kitinolitik dari N. tobaica dan N. gracilis dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari hasil isolasi dan karakteristik bakteri kitinolitik dari N. tobaica dan N. gracilis diperoleh 18 isolat, yang terdiri dari 15 isolat Gram positif dan 3 isolat Gram negatif.

2. Hasil identifikasi 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat CbM memiliki hubungan genetik 94% dengan E. aerogenes strain VT66, sedangkan isolat AM1 belum berhasil diidentifikasi.

5.2 Saran

Adapun saran dari hasil penelitian tentang isolasi dan identifikasi bakteri kitinolitik dari tumbuhan kantung semar adalah:

1. Sebaiknya dilakukan isolasi DNA menggunakan kit untuk mengisolasi DNA bakteri yang belum diidentifikasi.

2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui potensi bakteri yang telah diidentifikasi dan mengetahui gen penyandi kitinase.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Amagase, S. 1972. Acid Proteases in The Genus Nepenthes and Drosera Peltata. Biochemistry. 72(1): 73-81.

Amagase, S., Mori, M. & Nakayama, S. 1972. Enzymatic Digestion of Insects by Nepenthes Secretion and Drosera Peltata Extract: Proteolytic and Chitinolytic Activities. Biochemistry. 72(3): 765-767.

Anindyaputri, A. 2010. Identifikasi Molekular Bakteri Pengurai Kitin Serangga dan Karakterisasi Enzim Kitinasenya. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi.

Anuradha, V. & Revathi, K. 2013. Purification and Characterization of Bacterial Chitinase Isolated from Crustacean Shells. International Journal of Pure and Applied Bioscience. 1(4): 1-11.

Arbia, W., Arbia, L., Adour, L. & Amrane, A. 2013. Chitin Extraction from Crustacean Shells by Biological Methods Review. Food Techology and Biotechnology. 51(1): 12-25.

Ardani, F., Yasmin, Y. & Fitri, L. 2012. Potensi Bakteri Kitinolitik Sumber Air Panas Sebagai Pengendali Hayati Larva Aedes Aegypti L. Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi, Biologi Edukasi. 4(2): 77-81.

Barzanti, R., Ozino, F., Bazzicalupo, M., Gabbrielli, R., Galardi, F., Gonnelli, C., & Mengoni, A., 2007. Isolation and Characterization of Endophytic Bacteria from The Nickel Hyperaccumulator Plant Alyssum bertolonii. Microbial Ecology. 53: 306-316.

Bauer, U., Grafe, T.U. & Federle, W. 2011. Evidence for Alternative Trapping Strategies in Two Forms of The Pitcher Plant, Nepenthes rafflesiana. Experimental Botany. 62(10): 3683-3692.

Bhattacharya, D., Nagpure, A. & Gupta, R.K. 2007. Bacterial Chitinases: Properties and Potensial. Critic Reviews in Biotechnology. 27(1): 21-28.

Bhore, S.J., Komathi, V. & Kandasamy, K.I. 2013. Diversity of Endophytic Bacteria in Medicinally Important Nepenthes species. Natural Science, Biology and Medicine. 4: 431-434.

Brzezinska, M.S. & Donderski, W. 2006. Chitinolytic Bacteria in Two Lakes of Different Trophic Status. Polish Journal of Ecology. 54(2): 295-301.

Cardinale, M., Brusetti, L., Quatrini, P., Borin, S., Pugila, A.M., Rizzi, A., Zanardini, E., Sorlini C., Corselli, C. & Daffonchio, D. 2004. Comparison


(41)

26

of Different Primer Sets for Use in Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis of Complex Bacterial Communities. Applied and Environmental Microbiology. 70(10): 6147-6156.

Chandler, J.C., Molins, C.R., Petersen, J.M. & Belisle, J.T. 2011. Differential Chitinase Activity and Production within Francisella Species, Subspecies, and Subpopulation. Journal of Bacteriology. 193(13): 3265-3275.

Chasanah, E., Ali, M. & Ilmi, M. 2012. Identification and Partial Characterization of Crude Extracellular Enzymes from Bacteria Isolated from Shrimp Waste Processing. Squalen. 7(1): 11-18.

Chernin, L.S., Fuente, L.D., Sobolov, V., Haran, S., Vorgias, C.E., Oppenheim, A.B. & Chet, I. 1997. Molecular Cloning, Structural Analysis, and Expressian in Escherichia coli of A Chitinase Gene from Enterobacter agglomerans. Applied and Environmental Microbiology. 63(3): 834-839. Clarke C. 2001. Nepenthes of Sumatera and Peninsular Malaysia. Natural History

Publications. Malaysia.

Cohen, R., Kupiec & Chet, I. 1998. The Molecular Biology of Chitin Digestion. Current Opinion in Biotechnology. 9: 270-277.

Dahiya, N., Tewari, R., Tiwari, R.P. & Hoondal, G.S. 2005. Chitinase from Enterobacter sp. NRG4: Its Purification, Characterization and Reaction Pattern. Electronic Journal of Biotechnology. 8(2): 134-145.

Dahiya, N., Tewari, R., Hoondal, G.S. 2006. Biotechnology Aspects of Chitinolityc Enzymes: A Review. Applied Microbiology and Biotechnology. 71: 773-782.

Dariana. 2009. Keanekaragaman Nepenthes dan Pohon Inang di Taman Wisata Alam Sicikeh-Cikeh Kabupaten Dairi Sumatera Utara. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Studi Biologi.

Das, S.N., Dutta, S., Kondreddy, A., Chilukoti, N., Pullabhota, V.S.R.N., Vadlamudi, S. & Podile, A. R. 2010. Plant Growth-Promoting Chitinolityc Penibacillus elgii Responds Positively to Tobacco Root Exudates. Journal of Plant Growth Regulation. 1007: 1-10.

Dharmayanti, N.L.P.I. 2011. Filogenetika Molekuler: Metode Taksonomi Organisme Berdasarkan Sejarah Evolusi. Wartazoa. 2(1): 1-10.

Donderski, W. & Brzezinska, M.S. 2003. The Utilization of N-acetyloglucosamine and Chitin as Sources of Carbon and Nitrogen by Planktonic and Benthic Bacteria in Lake Jziorak. Polish Journal of Environmental Studies. 12(6): 685-692.


(42)

27

Eilenberg, H., Cohen, S.P., Schuster, S., Movtchan, A. & Zilberstein, A. 2006. Isolation and Characterization of Chitinase Genes from Pitchers of The Carnivorous Plant Nepenthes khasiana. Experimental Botany. 57(11): 2775-2784.

Faramarzi, M.A., Fazeli, M., Yazdi, M.T., Adrangi, S. & Ahmadi, K.J. 2009. Optimization of Cultural Conditions for Production of Chitinase by A Soil of Massilia timonae. Biotechnology. 8(1): 93-99.

Galante, R.S., Taranto, A.G., Koblitz, M.G.B., Goes-Neto, A., Pirovani, C.P., Cascardo, J.C.M., Cruz, S.H., Pereira, G.A.G. & De assis., S.A. 2012. Purification, Characterization and Structural Determination of Chitinase Produced by Moniliopthora perniciosa. Annals of Brazilian Academy of Sciences. 84(2): 469-486.

Ghanem, K.M., Al-Garni, S.M. & Al-Makisnah, N.H. 2010. Statistical Optimization of Cultural Conditions for Chitinase Production from Fish Scales Waste by Aspergillus terreus. African Journal of Biotechnology. 9(32): 5135-5146.

Gohel, V., Singh, A., Vimal, M., Ashwini, P. & Chhatpar, H.S. 2006. Bioprospecting and Antifugal Potential of Chitinolityc Microorganisms. African Journal of Biotechnology. 5(2): 54-72.

Gomaa, E.Z. 2012. Chitinase Production by Bacillus Thuringiensis and Bacillus Licheniformis: Their Potential in Antifungal Biocontrol. Microbiology. 50(1): 103-111.

Gooday, G.W. 1990. Physiology of Microbial Degradation of Chitin and Chitosan. Biodegradation. 1(2-3): 177-190.

Gorb, A., Kastner, V., Peressadko, A., Arzt, E., Gaume, L., Rowe, N. & Gorg, S. 2004. Structure and Properties of The Glandular Surface in The Digestive Zone of The Pitcher in The Carnivorous Plant Nepenthes Ventrata and Its Role in Insect Trapping and Retention. Experimental Biology. 207: 2947-2963.

Grompe, M., Johnson, W. & Jameson, J.L. 1998. Principles of Molecular Medicines. Humana Press Inc. Totowa.

Haggag, W.M. & Hasan, A.E. 2013. Purification and Synergistic Activity of

Extraselluler Chitinase, 1-3 Glucanase from Conithyrium minitans

Against Scleritinia sclerotiorum of Sunflowers. Journal of Applied Sciences Research. 9(1): 55-61.

Hamid, R., Mahboob, A., Mali, M.A. & Saleem, J. 2013. Purification and Characterization of Thermostable Chitinase from A Novel S. maltophilia Strain. Malaysian Journal of Microbiology. 9(1): 7-12.


(43)

28

Herdyastuti, N., Cahayanigrum, S.E., Raharjo, T.J., Mudasir & Matsjeh, S. 2012. Potential Antifungal of Chitinolytic Bacteria Pseudomonas sp. TNH54 from Mud Field. Pharmaceutical, Biological and Chemical Sciences. 3: 1117-1124.

Higashi, S., Nakashima, A., Ozaki, H., Abe, M. & Uchiumi, T. 1993. Analysis of Feeding Mechanism in A Pitcher of Nepenthes hybrid. Plant Research. 106: 47-54.

Holt, J.G., Noel, R.K., Peter, H.A.S., James, T.S. & Stanley, T.W. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Williams & Wilkins. USA.

Inbar, J. & Chet, I. 1991. Detection of Chitinolityc Activity in The Rhizosphere Using Image Analysis. Soil Biology and Biochemistry. 23: 239-242.

Janda, J.M. & Abbot, S.L. 2007. 16S rRNA Gene Sequencing for Bacterial Identification in The Diagnostic Laboratory: Ploses, Perils, and Pitfalls. Journal of Clinical Microbiology. 45(9): 2761-2764.

Kamil, Z., Rizk, M., Saleh, M. & Moustafa, S. 2007. Isolation and Identification of Rhizosphere Soil Chitinolityc Bacteria and Their Potential in Antifugal Biocontrol. Global Journal of Molecular Sciences. 2(2): 57-66.

Kim, M., Mark, M., & Yu, A. 2011. Evaluation of Different Partial 16S rRNA Gene Sequence Regions for Phylogenetic Analysis of Microbiomes. Microbiological Methods. 84: 81-87.

Lawati, N. 2013. Pemurnian Parsial dan Karakterisasi Enzim Kitinase dari Beauveria bassiana. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biokimia.

Leboffe, M.J. & Pierce, B.E. 2011. A Photographic Atlas for The Microbiology Laboratory. 4th Edition. Morton Publishing Company. USA.

Liu, W.T., Marsh, T.L., Cheng, H. & Forney, L.J. 1997. Characterization of Microbial Diversity by Determining Terminal Restriction Fragment Length Polymorphisms of Genes Encoding 16S rRNA. Applied and Environmental Microbiology. 63(11): 4516-4522.

Macrogen Inc. 2005. Client’s Publication. Macrogen Inc. Korea.

Mansur, M. 2007. Nepenthes, Kantong Semar yang Unik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Marchesi, J.R., Sato, T., Weightman, A. J., Martin, T.A., Fry, J.C., Hiom, S.J. & Wade, W.G. 1998. Design and Evaluation of Useful Bacterium Specific PCR Primer that Amplify Genes Coding for Bacterial 16S rRNA. Applied Environmental Microbiology. 64: 795-799.


(44)

29

Ningaraju, T.M. 2006. Cloning and Characterization of Chitinase Gene/s from Native Isolates of Serratia marcencens. [Thesis]. Dharward: University of Agricultural Sciences, Biotechnology.

Nursyirwani & Kathy, C.A. 2007. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Hidrokarbonoklastik dari Perairan Dumai dengan Sekuen 16S rRNA. Ilmu Kelautan. 12(1): 12-17.

Okay, S., Ozdal, M. & Kurbanoglu, E.B. 2013. Characterization, Antifungal Activity, and Cell Immobilization of A Chitinase from Serratia Marcescens Mo-1. Turkish Journal of Biology. 37: 639-644.

Owen, T.P., Lennon, K.A., Santo, M.J., & Anderson, A.N. 1999. Pathways for Nutrient Transport in The Pitchers of The Carnivorous Plant Nepenthes alata. Annals of Botany. 84: 459-466.

Patil, R.S., Ghormade, V. & Deshpande, M.V. 2000. Chitinolityc Enzyme: An Exploration. Enzyme and Microbial Technology. 26: 473-483.

Raghava, G.P.S., Solanki, R.J., Soni, V. & Agrawal, P. 2000. Fingerprinting Method for Phylogenetic Classification and Identification of Microorganisms Based on Variation in 16S rRNA Gene Sequences. BioTechniques. 29 (1):108-116 .

Ramirez, M.A., Rodriguez, A.T., Alfonso, L. & Peniche, C. 2010. Chitin and Its Derivates as Biopolymers with Potential Agricultural Application. Biotechnology. 27: 270-276.

Riedel, M., Eichner, A. & Jetter, R. 2003. Slippery Surfaces of Carnivorous Plants: Composition of Epicuticular Wax Crystals in Nepenthes alata Blanco Pitchers. Planta. 218: 87-97.

Rochima, E. 2006. Pemurnian dan Karakterisasi Kitin Deasetilase Termostabil dari Bacillus papandayan Asal Kawah Kamojang Jawa Barat. Jurnal Bionatural. 8(2): 193-209.

Rosenblueth, M & Martinez-Romero, E. 2006. Bacterial Endophytes and Their Interactions with Hosts. Journal of Applied Microbiology. 19(8): 827-837.

Rottloff, S., Stieber, R., Maischak, H., Turini, F.G., Huebl, G. & Mithofer, A. 2011. Functional Characterization of A Class III Acid Endochitinase from The Traps of The Carnivorous Pitcher Plant Genus, Nepenthes. Experimental Botany. 62(13): 4639-4647.

Rychlik, W. 1995. Selection of Primers for Polymerase Chain Reaction. Molecular Biotechnology. 3: 129-134.


(45)

30

Sachse, K. & Frey, J. 2010. PCR Detection of Microbial Pathogens. Humana Press. New Jersey.

Saranya, N. & Thayumanavan, T. 2013. Production and Some Properties of Chitinase from Pseudomonas putida Isolated from Fish Waste Dumping Soil. Online International Interdisciplinary Research Journal. 3(5): 214-223.

Shaikh, S.A. & Desphande, M.V. 1993. Chitinolityc Enzymes: Their Contribution to Basic and Applied Research. World Journal of Microbiology and Biotechnology. 9: 468-475.

Shakhbazau, A.V. & Kartel, N.A. 2008. Chitinases in Bioengineering Research. Russian Journal of Genetics. 44(8): 881-889.

Shivas, R.G. & Brown, J.F. 1989. Yeasts Associated with Fluid in Pitchers of Nepenthes. Mycological Research. 93(1): 96-100.

Shuler, M.L. & Kargi, F. 1992. Bioprocess Engineering: Basic Concepts. Prentice Hall. New Jersey.

Singh, R.K., Kumar, D.P., Solanki, M.K., Singh, P., Srivastvia, A.K., Kumar, S., Kashyap, P.L., Saxena, A.K., Singhal, P.K. & Arora, D.K. 2012. Optimization of Media Components for Chitinase Production by Chickpea Rhizosphere Associated Lysinibacilus fusiformis B-CM18. Journal of Basic Microbiology. 52: 1-10.

Stackebrandt, E. & Goebel, B.M. 1995. A Place for DNA-DNA Reassociation and 16S rRNA Sequence Analysis in The Present Species Definition in Bacteriology. International Jurnal of Systematic Bacteriology. 44: 846-849.

Sulistiyaningsih. 2008. Identifikasi Isolat Bakteri Penghasil Zat Antibakteri dari Cairan Kantung Tanaman Kantong Semar (Nepenthes ampullaria, Jack). Bandung: Universitas Padjadjaran.

Suryanto, D., Munir, E. & Yurnaliza. 2005. Keragaman Genetik Gen Peyandi Kitinase pada Berbagai Jenis Bakteri dan Pemanfaatannya. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2005.

Svitil, A.L., Chadhain, S., Moore, J.A. & Kirchman, D.L. 1997. Chitin Degradation Protein Produced by The Marine Bacterium Vibrio harveyi Growing on Different Forms of Chitin. Applied Environmental Microbiology. 63(2): 408-413.

Takeuchi, Y., Salcher, M.M., Ushio, M., Inatsugi, R.S., Kobayashi, M.J., Diway, B., Mering, C.V., Pernthaler, J., & Shimizu, K.K. 2011. In Situ Enzyme


(46)

31

Activity in the Dissolved and Particulate Fraction of The Fluid from Four Pitcher Plant Species of The Genus Nepenthes. PlosOne. 6(9): 1-9.

Tan, B.C.S. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Kitinolitik Asal Cairan dalam Kantong Tanaman Nepenthes ventrata dan Nepenthes reinwardtiana. [Skripsi]. Surabaya: Universitas Surabaya, Program Studi Bioteknologi.

Tokes Z.A., Woon, W.C. & Chambers, S.M. 1974. Digestive Enzymes Secreted by The Carnivorous Plant Nepenthes macferlanei L. Planta. 119: 39-46.

Tronsmo, A. & Harman, G.E. 1993 Detection and Quantification of N-acetyl-Beta-D-Glucosamidase, Chitobiosidase and Endochitinase in Solutions and on Gels. Analytical Biochemistry. 208(1): 74-79.

Velusamy, P. & Kim, K.Y. 2011. Chitinolytic Activity of Enterobacter sp. KB3 Antagonistic to Rhizoctonia solani and Its Role in The Degradation of Living Fungal Hyphae. International Research Journal of Microbiology. 2(6): 206-214.

Wulandari, F. 2009. Optimasi Produksi N-Asetiglukosamina dari Kitin Melalui Fermentasi oleh Aspergillus rugulosus 501. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biokimia.

Yogiara. 2004. Analisis Komunitas Bakteri Cairan Kantung Semar (Nepenthes spp.) Menggunakan Teknik Terminal Restriction Fragment Lenght Polymorphism (T-RFLP) dan Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA). [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Studi Biologi.

Yurnaliza, Margino, S. dan Sembiring, L. 2011. Kemampuan Kitinase Streptomyces RKt5 sebagai Antijamur terhadap Patogen Fusarium oxysporum. Jurnal Natur Indonesia. 14(1): 42-46.

Zhang, Z., Sarath, G., Yuen, G. & Penheiter, A.R. 2001. Chitinases from The Plant Disease Biocontrol Agent, Stenotrophomonas maltophilia C3. Phytopathology. 91: 204-211.


(47)

LAMPIRAN

Lampiran 1 Pembuatan Koloidal Kitin dengan Cara Hidrolisis Parsial (Rodriquez-Kabana et al., 1983).

20 gram Serbuk Kitin

Suspensi Kitin

Bagian Bening Endapan

Dihaluskan

Dilarutkan dalam 180 ml 10 N HCl sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama 1,5- 2 jam

Dituang ke dalam wadah yang berisi 2 liter air

Dibiarkan semalam dan kemudian bagian yang bening dipisahkan dari endapannya

Dicuci sampai pH suspensi kitin antara 5,5-6


(48)

32

Lampiran 2 Alur Kerja Isolasi Bakteri Kitinolitik dari Tumbuhan Kantung Semar

A. Isolasi Bakteri Kitinolitik dari Cairan Kantung Tertutup dan Terbuka

0,1 ml Cairan Kantung

Diinokulasikan ke MGMK agar + 0,2% ekstrak yeast

Diinkubasi pada suhu 28-30oC sampai terbentuk koloni dan terdapat zona bening di sekitar koloni

Hasil Koloni Bakteri

Kitinolitik


(49)

33

B. Isolasi Bakteri Kitinolitik dari Kantung, Batang, dan Akar denganMetode Barzanti et al., (2007) yang Dimodifikasi

Kantung, Batang dan Akar (3-5 cm)

Dicuci dengan air mengalir selama 20 menit

Disterilkan bagian permukaannya dengan cara direndam dalam larutan alkohol 70% selama 2 menit

Dibilas dengan akuades steril sebanyak 2 kali

Dikeringkan dengan kertas saring steril

Digerus

Dimasukkan masing-masing sampel ke erlenmeyer yang berisi 20 ml NB

Diinkubasi di penggoyang dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruang 28-30oC selama 24 jam

Bakteri Kitinolitik

Direndam dalam larutan sodium hipoklorit 5,3% selama 10 menit

Direndam dalam larutan alkohol 70% selama 30 detik menit

Suspensi

Diinokulasikan sebanyak 0,1 ml ke MGMK agar + 0,2% ekstrak yeast

Diinkubasi pada suhu 28-30oC sampai terbentuk koloni dan terdapat zona bening di sekitar koloni

Hasil


(50)

34

C. Isolasi Bakteri Kitinolitik dari Rizosfer

5 gram Rizosfer

Disuspensikan dalam 45 ml larutan fisiologis steril

Hasil

Diinokulasikan sebanyak 0,1 ml ke MGMK agar + 0,2% ekstrak yeast

Disubkultur Koloni Bakteri

Kitinolitik

Diinkubasi selama suhu 28-30oC sampai terbentuk koloni dan terdapat zona bening di sekitar koloni


(51)

35

Lampiran 3 Alur Kerja Karakterisasi Morfologi, Sifat Gram dan Sifat Biokimia Bakteri Kitinolitik

Isolat Murni Bakteri Kitinolitik

Karakterisasi

Morfologi Pewarnaan Gram Uji Biokimia

 Bentuk koloni

 Tepi koloni

 Elevasi koloni

 Warna koloni

 Bentuk sel

 Uji pati

 Uji gelatin

 Uji sitrat

 Uji sulfida

 Uji motilitas

 Uji katalase


(52)

36

Lampiran 4 Indeks Kitinolitik Selama 7 Hari Inkubasi

Kode Isolat

Indeks Kitinolitik Hari ke-

0 1 2 3 4 5 6 7

CtM - - 1,21 1,31 1,28 1,48 1,49 1,50 CbM - 1,33 1,50 1,54 1,90 1,61 1,59 1,51 KM - 1,39 1,55 1,51 1,46 1,32 1,36 1,36

BM - - - 1,53 1,41 1,28 1,24 1,33

AM1 - 1,93 1,95 1,91 2,09 2,17 2,25 2,05 AM2 - - 1,13 1,29 1,25 1,36 1,37 1,30 AM3 - 1,10 1,14 1,20 1,11 1,10 1,40 1,15 RM - - 1,13 1,13 1,17 1,20 1,03 1,13 CtH - 1,12 1,03 1,14 1,19 1,25 1,39 1,25 CbH - 1,58 1,56 1,47 1,50 1,59 1,63 1,60

KH - - - 1,29 1,30 1,37 1,38 1,49

BH - 1,25 1,35 1,19 1,15 1,09 1,13 1,11

AH1 - - - 1,24 1,38 1,23

AH2 - 1,14 1,23 1,37 1,26 1,16 1,15 1,08 RH1 - 1,21 1,81 1,54 1,55 1,56 1,43 1,60

RH2 - - - 1,26 1,28 1,28

RH3 - - - 1,15 1,23


(53)

37

Lampiran 5 Elektroferogram Hasil Sekuensing 16S rRNA

Hasil Sekuensing Isolat CbM, A=Forward Primer, B=Reverse Primer B


(54)

38

Hasil Sekuensing Isolat AM1, A=Forward Primer, B=Reverse Primer A


(55)

39

Lampiran 6 Hasil Identifikasi Sampel Tumbuhan Kantung Semar


(56)

(1)

Lampiran 3 Alur Kerja Karakterisasi Morfologi, Sifat Gram dan Sifat Biokimia Bakteri Kitinolitik

Isolat Murni Bakteri Kitinolitik

Karakterisasi

Morfologi Pewarnaan Gram Uji Biokimia

 Bentuk koloni

 Tepi koloni

 Elevasi koloni

 Warna koloni

 Bentuk sel

 Uji pati

 Uji gelatin

 Uji sitrat

 Uji sulfida

 Uji motilitas

 Uji katalase


(2)

Lampiran 4 Indeks Kitinolitik Selama 7 Hari Inkubasi

Kode Isolat

Indeks Kitinolitik Hari ke-

0 1 2 3 4 5 6 7

CtM - - 1,21 1,31 1,28 1,48 1,49 1,50

CbM - 1,33 1,50 1,54 1,90 1,61 1,59 1,51

KM - 1,39 1,55 1,51 1,46 1,32 1,36 1,36

BM - - - 1,53 1,41 1,28 1,24 1,33

AM1 - 1,93 1,95 1,91 2,09 2,17 2,25 2,05

AM2 - - 1,13 1,29 1,25 1,36 1,37 1,30

AM3 - 1,10 1,14 1,20 1,11 1,10 1,40 1,15

RM - - 1,13 1,13 1,17 1,20 1,03 1,13

CtH - 1,12 1,03 1,14 1,19 1,25 1,39 1,25

CbH - 1,58 1,56 1,47 1,50 1,59 1,63 1,60

KH - - - 1,29 1,30 1,37 1,38 1,49

BH - 1,25 1,35 1,19 1,15 1,09 1,13 1,11

AH1 - - - 1,24 1,38 1,23

AH2 - 1,14 1,23 1,37 1,26 1,16 1,15 1,08

RH1 - 1,21 1,81 1,54 1,55 1,56 1,43 1,60

RH2 - - - 1,26 1,28 1,28

RH3 - - - 1,15 1,23


(3)

Lampiran 5 Elektroferogram Hasil Sekuensing 16S rRNA

Hasil Sekuensing Isolat CbM, A=Forward Primer, B=Reverse Primer B


(4)

Hasil Sekuensing Isolat AM1, A=Forward Primer, B=Reverse Primer A


(5)

Lampiran 6 Hasil Identifikasi Sampel Tumbuhan Kantung Semar


(6)