17 hampir di setiap pulau di Indonesia dengan luasan terbesar berpusat di Papua, sedangkan sagu semi
budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Areal tanaman sagu di Indonesia diperkirakan 95.9 tersebar di Kawasan Timur Indonesia dan
4.1 di Kawasan Barat Indonesia. Produksi tepung sagu kering di Maluku kurang lebih 4.4 ton per hektar per tahun dan di daerah Selat Panjang Riau mencapai 25 ton per hektar per tahun. Areal hutan
sagu di Indonesia sekitar 1,250,000 hektar dengan kepadatan anakan 1,480 per hektar yang setiap panen menghasilkan 125-140 pohon per tahun. Hutan sagu tersebut tersebar di Papua seluas 1,200,000
hektar dan Maluku seluas 50,000 hektar serta 148,000 hektar hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai
Sumatera Barat. Akan tetapi, dari luasan tersebut hanya sekitar 40 saja yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton per hektar per tahun, hal ini ditandai dengan
banyaknya tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen sehingga akhirnya rusak. Pemanfaatan sagu di Indonesia hanya terbatas pada skala petani atau industri kecil dengan cara
pengolahan manual dan memiliki harga jual yang rendah Suryana 2007. Terdapat sekitar 1,406,469 hektar tegakan sagu di Irian Jaya. Setiap hektar tegakan sagu per
tahun paling sedikit menghasilkan 2.5 ton pati sagu. Dengan demikian, di Irian Jaya terdapat potensi pati sagu sekitar 3,516,173 ton sagu per tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat Irian
membutuhkan sekitar 150,000 ton sagu per tahun. Dari data ini, di Irian Jaya terdapat potensi sagu sekitar 3,400,000 ton yang belum termanfaatkan. Terdapat sekitar 56,100 hektar tegakan sagu di
Mentawai dengan produksi sekitar 1,200 ton. Potensi pati sagu di daerah Mentawai ini mencapai 139,000 ton per tahun. Terdapat tegakan sagu sekitar 95,790 hektar di Padang Pariaman dengan
produksi 5,063 ton per tahun, di daerah ini terdapat potensi sagu yang belum termanfaatkan sebanyak 234,412 ton sagu per tahun. Dari penjelasan tersebut, potensi sagu di Indonesia sangat tinggi dan
sudah saatnya dilakukan pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol, baik skala laboratorium maupun skala usaha kecil. Hal
ini merupakan penelitian awal dalam rangka menuju optimalisasi produksi bioetanol dari sagu Haryanto dan Pangloli 1992.
2.2 SIFAT FISIK DAN KIMIA EMPULUR SAGU
Secara umum, penampakan fisik dari tanaman sagu varietas Metroxylon sagu adalah daun berujung runcing panjang dan tajam, batang tidak terlalu tinggi, namun dapat menghasilkan pati
paling banyak dibandingkan varietas sagu lainnya. Metroxylon rumphii merupakan sagu yang paling banyak tumbuh di Maluku dan sekitarnya, tangkai daunnya berduri banyak dengan susunan berbaris
melintang. Duri-duri sagu varietas Metroxylon rumphii berbentuk lurus sepanjang 1-4 cm dan memiliki mutu sagu sangat baik Anonim 2010.
Menurut Rumalatu 1981, batang sagu terdiri dari lapisan luar yang keras dan bagian dalam yang mengandung serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras mencapai 3-5 cm. Struktur batang sagu
dari permukaan luarnya meliputi lapisan sisa-sisa pelepah daun, lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna coklat, lapisan serat
dan empulur. Penampang membujur batang sagu disajikan pada Gambar 1.
18 sisa-sisa daun
kulit tipis kulit keras
serat-serat empulur
Gambar 1. Penampang membujur batang sagu Ramalatu 1981 Menurut Haryanto dan Pangloli 1992, empulur sagu merupakan bagian batang sagu yang
mengandung serat dan pati. Pati sagu diambil dengan cara mengekstrak batang sagu dan menyisakan ampas sebagai limbah yang kemudian hanya dimanfaatkan sebagai media tumbuh jamur. Ampas
memiliki kandungan terbesar berupa selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignin memiliki struktur yang sulit untuk dihidrolisis sehingga umumnya ampas hanya dimanfaatkan dengan menghidrolisis selulosa
menjadi glukosa. Perbandingan komposisi kimia antara empulur sagu dan ampasnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan komposisi kimia empulur sagu dan ampas sagu
Sumber: Haryanto dan Pangloli 1992 Empulur sagu akan cepat menjadi coklat di sepanjang vaskular dan timbul bintik coklat di
bagian intinya pith. Selama perjalanan menuju tempat pengolahan dan menunggu saat pengolahan, empulur sagu yang telah terkupas kulitnya akan segera mangalami perubahan warna yang semakin
lama akan semakin meningkat. Perubahan warna ini disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan ini bisa terjadi secara enzimatik dan non enzimatik. Warna coklat pada empulur sagu
disebabkan oleh terlukanya jaringan hingga akhirnya rusak. Kerusakan jaringan ini terjadi karena penebangan dan pengangkutan yang kurang baik saat pemanenan, sehingga jaringan akan menjadi
memar, terpotong atau terkelupas Eskin et al. 1971. Selain sifat fisik tersebut, empulur sagu juga memiliki komponen kimia seperti yang telah
diteliti oleh Safitri et al. 2009, empulur sagu terdiri atas pati sebanyak 57.25, serat 31.59 dan memiliki kadar air 11.16. Fujii et al. 1986 telah meneliti komposisi kimia empulur sagu dan
membaginya ke dalam tiga bagian, yaitu empulur bagian luar, bagian tengah dan bagian dalam. Karakteristik empulur sagu yang diuji meliputi komponen proksimat, pati dan beberapa komponen
mikro lainnya seperti asam organik. Data hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 2. Komposisi
Empulur sagu Ampas sagu
Air 64.80
78.34 Lemak
0.41 0.20
Protein 2.14
1.31 Serat kasar
6.56 13.48
Karbohidrat 26.81
6.67
19 Tabel 2. Komposisi kimia empulur sagu kering
Sumber: Fujii et al. 1986, data dalam basis kering, kecuali kadar air Komponen utama tepung empulur sagu yang akan dihidrolisis selain pati adalah serat yang
tergabung dalam bahan lignoselulosa. Komponen utama dalam bahan lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Ketiganya membentuk suatu ikatan kimia kompleks yang menjadi bahan
dasar dinding sel tumbuhan. Selulosa adalah karbohidrat kompleks dengan rumus empiris C
6
H
10
O
5
. Selulosa merupakan polimer linier dengan berat molekul tinggi yang seluruhnya tersusun atas
β-D-glukosa. Selulosa tidak larut dalam air, biasanya hanya dapat larut dengan alkohol dan eter. Selulosa sangat bersifat resisten untuk bereaksi dengan basa, tetapi memiliki kalarutan yang baik
dengan asam kuat. Molekul-molekul selulosa seluruhnya berbentuk linier dan mempunyai kecenderungan kuat membentuk ikatan-ikatan hidrogen intramolekul dan intermolekul. Molekul-
molekul selulosa secara agregat membentuk mikrofibril yang sangat teratur kristalin diselingi dengan bagian-bagian yang kurang teratur amorf. Mikrofibril membentuk fibril-fibril dan akhirnya
membentuk serat-serat selulosa. Dilihat dari sifat kimia, fisik maupun struktur supramolekulnya, maka selulosa dapat memenuhi fungsinya sebagai komponen struktur utama dinding sel tumbuhan
Fengel dan Wegener 1984. Hemiselulosa merupakan istilah umum bagi polisakarida yang larut dalam alkali.
Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel tanaman. Konstituen utama hemiselulosa adalah lima gula netral, yaitu glukosa, mannosa, galaktosa heksosan, xilosa, dan
arabinosa pentosan. Hemiselulosa berbeda dari selulosa yang merupakan homopolisakarida dengan monomer glukosa dan memiliki derajat polimerisasi yang tinggi. Rantai utama hemiselulosa terdiri
atas hanya satu jenis monomer homopolimer, seperti xilan atau terdiri atas dua jenis atau lebih monomer heteropolimer seperti glukomannan. Rantai molekul hemiselulosa lebih pendek daripada
selulosa. Berbeda dengan selulosa dan hemiselulola, lignin terdiri atas struktur molekul aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil propana yang merupakan senyawa keras yang menyelimuti dan
mengeraskan dinding sel Fengel dan Wegener 1984.
2.3 PERLAKUAN PENDAHULUAN DENGAN GELOMBANG MIKRO