16
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TANAMAN SAGU
2.1.1 Jenis dan Budidaya Sagu
Tanaman sagu dengan bahasa latin Metroxylon sagu, merupakan tanaman yang menyimpan pati pada batangnya metro: empulur, xylon: xylem, sagu: pati. Klasifikasi tanaman sagu berdasarkan
database tanaman dari Pelayanan Konservasi Sumber Daya Alam USDA 2005 menyebutkan bahwa sagu termasuk dalam Famili Arecaceae-palm, Genus Metroxylon dan Spesies Metroxylon sagu.
Terdapat beberapa genus Palmae yang patinya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga karena
kandungan patinya cukup tinggi. Sagu dari genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu tanaman sagu yang berbuah atau berbunga hanya sekali Hapaxanthic dan tanaman sagu
yang berbuah atau berbunga dua kali atau lebih Pleonanthic. Sagu dari golongan Hapaxanthic terdiri dari lima varietas penting, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Metroxylon sagu, Rottboell atau sagu Molat 2. Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni
3. Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Matrius atau sagu Ihur 4. Metroxylon rumphii, Martius varietas Longispinum Matrius atau sagu Makanaru
5. Metroxylon rumphii, Martius varietas Microcanthum Matrius atau sagu Rotan Haryanto dan Pangloli 1992.
Bagian yang terpenting dalam pembentukan pati sagu adalah daun sebagai tempat fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan daun yang baik akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan organ-organ lainnya seperti batang, kulit dan empulur, sehingga pembentukan pati dapat berlangsung optimal. Batang sagu merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan
karbohidrat yang dapat menghasilkan pati sagu. Ukuran batang sagu dan kandungan patinya bergantung pada jenis sagu, umur dan habitat pertumbuhannya. Pada umur panen sagu sekitar 11
tahun ke atas, empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20. Pada umur setelah masa panen, sagu akan mengalami penurunan kandungan pati. Penurunan kandungan pati biasanya ditandai dengan
mulai terbentuknya primordia bunga. Setelah melewati fase primordia, kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah terbentuk bunga dan
buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu akan mati. Keadaan tersebut mempermudah petani dalam mengetahui rendemen pati sagu maksimal. Ciri-ciri pohon sagu yang kandungan patinya
mencapai maksimum dan siap panen adalah pangkal daun yang terletak di bawah pelepah daun berwarna kelabu biru. Ukuran diameter batang sagu siap panen bisa mencapai 80-90 cm dan rata-rata
sekitar 50 cm. Pada umumnya, kandungan pati bagian bawah batang lebih besar dari pada bagian atas Haryanto dan Pangloli 1992.
2.1.2 Potensi Sagu
Menurut Flach 1979 dalam Haryanto dan Pangloli 1992, sagu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu HHBK. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan penghasil
karbohidrat yang cukup tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Potensi sagu di Indonesia mencapai kurang lebih 50 dari sagu dunia. Secara alami tumbuhan sagu tersebar
17 hampir di setiap pulau di Indonesia dengan luasan terbesar berpusat di Papua, sedangkan sagu semi
budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Areal tanaman sagu di Indonesia diperkirakan 95.9 tersebar di Kawasan Timur Indonesia dan
4.1 di Kawasan Barat Indonesia. Produksi tepung sagu kering di Maluku kurang lebih 4.4 ton per hektar per tahun dan di daerah Selat Panjang Riau mencapai 25 ton per hektar per tahun. Areal hutan
sagu di Indonesia sekitar 1,250,000 hektar dengan kepadatan anakan 1,480 per hektar yang setiap panen menghasilkan 125-140 pohon per tahun. Hutan sagu tersebut tersebar di Papua seluas 1,200,000
hektar dan Maluku seluas 50,000 hektar serta 148,000 hektar hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai
Sumatera Barat. Akan tetapi, dari luasan tersebut hanya sekitar 40 saja yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton per hektar per tahun, hal ini ditandai dengan
banyaknya tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen sehingga akhirnya rusak. Pemanfaatan sagu di Indonesia hanya terbatas pada skala petani atau industri kecil dengan cara
pengolahan manual dan memiliki harga jual yang rendah Suryana 2007. Terdapat sekitar 1,406,469 hektar tegakan sagu di Irian Jaya. Setiap hektar tegakan sagu per
tahun paling sedikit menghasilkan 2.5 ton pati sagu. Dengan demikian, di Irian Jaya terdapat potensi pati sagu sekitar 3,516,173 ton sagu per tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat Irian
membutuhkan sekitar 150,000 ton sagu per tahun. Dari data ini, di Irian Jaya terdapat potensi sagu sekitar 3,400,000 ton yang belum termanfaatkan. Terdapat sekitar 56,100 hektar tegakan sagu di
Mentawai dengan produksi sekitar 1,200 ton. Potensi pati sagu di daerah Mentawai ini mencapai 139,000 ton per tahun. Terdapat tegakan sagu sekitar 95,790 hektar di Padang Pariaman dengan
produksi 5,063 ton per tahun, di daerah ini terdapat potensi sagu yang belum termanfaatkan sebanyak 234,412 ton sagu per tahun. Dari penjelasan tersebut, potensi sagu di Indonesia sangat tinggi dan
sudah saatnya dilakukan pemanfaatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol, baik skala laboratorium maupun skala usaha kecil. Hal
ini merupakan penelitian awal dalam rangka menuju optimalisasi produksi bioetanol dari sagu Haryanto dan Pangloli 1992.
2.2 SIFAT FISIK DAN KIMIA EMPULUR SAGU