PRODUKSI BIOETANOL TINJAUAN PUSTAKA

22 Penggunaan asam H 2 SO 4 dan HCl sebagai katalis dalam hidrolisis asam menghasilkan gula sederhana yang berbeda, dimana pada konsentrasi dan waktu hidrolisis yang sama, H 2 SO 4 memberikan hasil yang lebih tinggi daripada HCl. Menurut Choi dan Mathews 1996, hidrolisis pati dengan menggunakan H 2 SO 4 2 selama 40 menit pada suhu 132 o C mengakibatkan 92 bagian pati terkonversi menjadi glukosa, sedangkan HCl 2 dengan waktu dan suhu yang sama mengakibatkan 86 bagian pati terkonversi menjadi glukosa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sari 2009, bahwa H 2 SO 4 menghasilkan total gula sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan HCl pada konsentrasi, waktu dan suhu yang sama karena sifat HCl lebih kuat dengan reaktivitas yang lebih tinggi daripada H 2 SO 4 . Katalis asam dapat dicampurkan pada bahan lignoselulosa sebelum atau sewaktu perlakuan pemanasan. Untuk menghidrolisis hemiselulosa, konsentrasi asam yang digunakan antara 0.10- 0.35, akan tetapi konsentrasi asam yang dipakai biasanya tidak lebih dari 0.30. Untuk menghidrolisis selulosa, konsentrasi asam H 2 SO 4 yang digunakan biasanya 0.5 sampai 5. Katalis asam ditambahkan pada bahan lignoselulosa dengan pH antara 1-5, kadang-kadang pH 2-4.5 dan lebih sering pada pH 2.5-3.5 saat pemanasan dimulai. Pada hidrolisis asam, hemiselulosa dapat efektif dipecah menjadi monomer-monomer gula seperti arabinosa, manosa, xilosa, dan galaktosa sedangkan selulosa terdegradasi menjadi glukosa. Terbentuknya monomer-monomer dari komponen serat empulur sagu dapat meningkatkan rendemen gula selain konversi glukosa yang hanya berasal dari komponen pati Sun dan Cheng 2005. Proses hidrolisis dengan menggunakan asam kuat berkonsentrasi rendah selain memberikan hasil penguraian glukosa juga menghasilkan produk samping yang dapat menghambat proses fermentasi. Penghambatan yang potensial adalah 5-hydroxymethilfurfural HMF, furfural, asam levulenat, asam asetat, asam format, asam uronat, dan lain-lain Taherzadeh dan Karimi 2007. Banyaknya inhibitor yang terbentuk pada hidrolisis asam dipengaruhi oleh suhu, waktu dan konsentrasi asam yang digunakan. Pada suhu dan tekanan yang tinggi, xilosa dan glukosa akan terdegradasi menjadi furfural dan HMF, sedangkan lignin dapat terpecah terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa fenol yang juga terbentuk selama proses degradasi karbohidrat. Inhibitor tersebut akan mengurangi hasil dan produktivitas mikroorganisme yang digunakan selama proses fermentasi karena bersifat toksik Palmqvist dan Hahn-Hagerdal 2000.

2.5 PRODUKSI BIOETANOL

Etanol C 2 H 5 OH adalah zat kimia organik berbentuk cairan pada suhu kamar, berwarna jernih, berbau khas alkohol, memiliki berat molekul 46.07, mudah terbakar dan dapat dibuat dari biomassa maupun fraksi minyak bumi. Bioetanol merupakan etanol yang terbuat dari bahan nabati yang mengandung gula nira tebu, aren, molases, pati ubi kayu, ubi jalar, sorgum, jagung atau lignoselulosa jerami padi, tongkol jagung, tandan kosong kelapa sawit, bambu, kayu Kadam et al. 2000. Proses konversi bahan berpati dan berlignoselulosa menjadi etanol secara garis besar terdiri atas tiga tahap, yaitu perlakuan pendahuluan, hidrolisis komponen pati dan serat menjadi gula-gula sederhana, dan fermentasi gula-gula sederhana menjadi etanol. Etanol dapat diproduksi dari gula yang difermentasi oleh khamir pada kondisi yang sesuai. Penambahan khamir dapat dilakukan dalam bentuk kering atau sebagai suspensi. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida seperti glukosa dapat langsung difermentasi, sedangkan pati, disakarida, selulosa, ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis menjadi komponen sederhana monosakarida terlebih dahulu untuk kemudian difermentasi Sa`id 1987. 23 Metode hidrolisis dan jenis karbohidrat yang digunakan sebagai substrat digunakan untuk menentukan jenis mikroba yang akan dipakai dalam proses fermentasi, sebab berbeda metode hidrolisis dan kandungan gula yang terdapat pada substrat, maka berbeda jenis mikroba yang digunakan. Pada umumnya khamir digunakan untuk melakukan fermentasi menghasilkan etanol karena dalam proses metabolismenya khamir mengkonsumsi gula dari pemecahan karbohidrat membentuk etanol. Khamir atau yeast merupakan mikroba bersel satu yang bersifat mikroskopik; berbentuk bulat speroid, elips, batang atau silindris; dan tidak mempunyai flagel, tetapi beberapa jenis tertentu dapat membentuk filamen pseudomiselium. Khamir dengan bentuk yang tetap dapat digunakan untuk identifikasi. Khamir dapat dimasukkan ke dalam klas Ascomycetes, Basidiomycetes dan Deuteromycetes. Khamir hidup di dalam tanah, debu di udara, daun-daun, nektar bunga, permukaan buah-buahan, tubuh serangga, dan cairan yang mengandung gula seperti sirup, madu dan lain-lain. Cara hidup khamir bersifat saprofit dan parasit Campbell dan Priest 1996. Khamir dapat tumbuh dan memfermentasi gula menjadi etanol secara efisien pada pH 3.5-6.0 dan suhu 28-35 o C. Walaupun laju awal produksi etanol meningkat pada suhu lebih tinggi, produktifitas keseluruhan akan menurun karena efek penghambatan etanol yang meningkat Ratledge 1991. Menurut Paturau 1969, fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. Frazier dan Westhoff 1978 menambahkan bahwa suhu optimum untuk fermentasi antara 25-30 o C dan kadar gula antara 10-18. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi, aktivitas khamir dapat terhambat dan waktu fermentasi menjadi lebih lama serta tidak semua gula difermentasi. Kebutuhan nutrien dan kofaktor juga penting bagi kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan dan biasanya diberikan pada tekanan 0.05-0.10 mmHg, jika tekanan lebih besar dari nilai tersebut, maka konversi gula akan cenderung kearah pertumbuhan sel. Khamir memerlukan media dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sumber nitrogen didapatkan dari amonia, asam amino, peptida, pepton, nitrat atau urea bergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir terutama untuk pembentukan alkohol dari gula Kosaric et al. 1983 dalam Ruriani 2010. Pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga fermentasi terjadi secara aerobik. Setelah terbentuk karbondioksida CO 2 , reaksi akan berubah menjadi anaerobik. Alkohol yang terbentuk akan menghalangi fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 13-15 volume. Konsentrasi alkohol akan menghalangi fermentasi bergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan. Khamir tumbuh dengan baik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi aerobik digantikan dengan proses fermentasi pada kondisi anaerobik. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar daripada energi yang dihasilkan pada fermentasi. Bila terdapat udara pada proses fermentasi, maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit karena terdapat proses respirasi sehingga terjadi konversi gula menjadi CO 2 dan air Campbell dan Priest 1996. Suhu optimum pertumbuhan khamir adalah pada rentang 25-30 o C dan maksimum pada 35-47 o C, sedangkan pH optimum adalah 4-5. Batas minimal a w untuk khamir biasanya adalah 0.88- 0.94, sedangkan untuk khamir osmofilik dapat tumbuh pada a w yang lebih rendah yaitu sekitar 0.32- 0.65. Namun demikian banyak juga khamir osmofilik yang pertumbuhannya terhenti pada a w 0.78 seperti pada larutan garam ataupun sirup Frazier dan Westhoff 1978. Khamir dapat tumbuh dengan baik pada rentang pH antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. pH pertumbuhan berhubungan positif dengan 24 pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi, maka lag phase fase penyesuaian akan berkurang dan aktifitas fermentasi akan naik. Pengaruh pH pada pertumbuhan khamir juga bergantung pada konsentrasi gula substrat dan etanol yang terbentuk. Untuk menurunkan pH dapat digunakan asam sitrat sedangkan untuk menaikkan pH dapat digunakan natrium benzoat Prescott dan Dunn 1981 dalam Dwiko 2010. Proses pemecahan gula menjadi etanol dan CO 2 dilakukan oleh sel khamir. Enzim yang berperan dalam pembuatan etanol dari glukosa antara lain adalah heksosinase, fosfoheksoisomerase, fosfofruktokinase, aldose, triosefospate isomerase, gliseraldehid fosfat dehydrogenase, phospho glycerokinase, piruvat karboksilase, dan alkohol dehidrogenase Campbell dan Priest 1996. Menurut Fardiaz 1988, secara teoritis konversi 1 molekul gula akan menghasilkan 2 molekul etanol dan 2 molekul CO 2 . Pemecahan gula menjadi etanol dapat dilihat pada reaksi berikut: C 6 H 12 O 6 2 C 2 H 5 OH + 2 CO 2 gula etanol karbondioksida Pada proses fermentasi, yang perlu dikembangkan adalah khamir yang memiliki toleransi terhadap suhu dan etanol yang tinggi. Selain itu, diperlukan juga khamir yang dapat memfermentasi gula yang berasal dari hemiselulosa, seperti xilosa, arabinosa, galaktosa, dan mannosa agar diperoleh rendemen etanol yang lebih tinggi. Saccharomyces cerevisiae lebih sering digunakan dalam proses fermentasi etanol karena memiliki banyak keunggulan antara lain: mampu memproduksi etanol dari gula C 6 heksosa, memiliki toleransi terhadap konsentrasi etanol yang tinggi dan senyawa inhibitor yang terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa. Namun, galur liar dari S. cerevisiae tidak dapat memfermentasi gula pentosa C 5 seperti: xilosa, arabinosa dan selooligosakarida, sehingga menjadi salah satu kendala pemanfaatannya. Beberapa upaya rekayasa genetika juga telah dilakukan untuk membuat S. cerevisiae dapat memfermentasi xilosa dan glukosa Govindaswamy dan Vane 2007 dalam Dwiko 2010. Mosier et al. 2005 dalam Ruriani 2010 menyatakan bahwa ketosa dari xilosa, yaitu xilulosa dapat dikonversi menjadi etanol oleh S. pombe, S. cerevisiae, S. amucae, dan Klueveromyces lactis. Selama proses fermentasi, terjadi penurunan pH akibat pembentukan asam piruvat sebagai produk antara etanol. Kondisi pH yang sangat rendah dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba, dengan demikian diperlukan mikroba yang memiliki toleransi terhadap pH rendah. Menurut Seo et al. 2007, Issatchenkia orientalis mampu mempertahankan viabilitasnya pada pH 3. Kemampuan mikroba bertahan hidup pada pH yang sangat rendah sangat diharapkan karena proses hidrolisis yang dipilih merupakan hidrolisis secara asam. 25

III. METODOLOGI

3.1 BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah empulur sagu yang diperoleh dari industri rumah tangga di daerah Cimahpar, Bogor. Khamir yang digunakan untuk proses fermentasi adalah Issatchenkia orientalis. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah akuades, glukosa standar, NaOH, DNS, H 2 SO 4 , bufer serta larutan ADF dan NDF. Untuk fermentasi etanol, dibutuhkan PDA Potato Dextose Agar, PDB Potato Dextose Broth, dan NH 4 OH sebagai sumber nutrien dalam fermentasi etanol. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah saringan 35 mesh, hammer mill, microwave oven dengan output 1000 W, otoklaf, kertas saring whatman 41, timbangan, neraca analitik, termometer, pipet, buret, labu soxhlet, stirer, jarum ose, bunsen, pH meter, kertas pH, inkubator, penangas listrik, tanur, waterbath, desikator, destilator, clean bench, lemari pendingin, spektrofotometer, filter glass 2G3 dan 2G4, pompa vakum, leher angsa, cawan aluminium, oven, sentrifuse, Gas Chromatography GC, mikroskop cahaya, dan peralatan gelas lainnya.

3.2 METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu: persiapan bahan dan pembuatan tepung empulur sagu, karakterisasi tepung empulur sagu, proses hidrolisis asam dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap, dan produksi bioetanol.

3.2.1 Persiapan Bahan dan Pembuatan Tepung Empulur Sagu

Bahan baku sagu diperoleh dari industri sagu di daerah Cimahpar, Bogor. Proses pembuatan tepung empulur diawali dengan memotong-motong batang sagu menjadi lebih pendek agar memudahkan proses pemarutan. Bahan yang diperoleh untuk penelitian ini adalah empulur sagu yang telah diparut. Tepung hasil parutan yang masih kasar selanjutnya diperkecil ukurannya dengan menggunakan hammer mill hingga diperoleh ukuran tepung empulur sagu ± 35 mesh. Tahapan pembuatan tepung empulur sagu secara lengkap disajikan pada Gambar 3.

3.2.2 Karakterisasi Empulur Sagu

Tepung empulur sagu yang telah dipersiapkan selanjutnya dikarakterisasi dengan beberapa uji pendahuluan seperti uji komponen proksimat air, abu, protein, lemak, serat kasar, amilosa, dan karbohidrat by difference dengan metode AOAC 1999, uji kadar pati dengan metode Luff Schoorl, dan uji komponen serat selulosa, hemiselulosa dan lignin menggunakan metode ADF Acid Detergent Fiber dan NDF Neutral Detergent Fiber Van 1969 dalam Apriyantono et al. 1989. Prosedur analisa komponen proksimat, pati dan komponen serat disajikan pada Lampiran 1.