31 Dwiko 2010. Kadar abu empulur sagu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5.16, jumlahnya
lebih tinggi daripada kadar abu empulur sagu dari penelitian Fujii et al. 1986 yang hanya sebesar 3.80. Kadar abu yang lebih tinggi menunjukkan rendahnya kemurnian pada empulur sagu. Hal ini
wajar karena sagu belum diolah menjadi pati sehingga masih banyak terdapat bahan mineral dan anorganik terutama yang terdapat pada kulit batang sagu.
Komponen lain yang akan dikonversi menjadi gula sederhana selain pati adalah serat. Komponen serat pada empulur sagu tergolong kecil, hanya sekitar 8. Bagian utama dari komponen
serat terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Hasil analisa komponen serat empulur sagu disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Komposisi serat empulur sagu Komponen
NDF Neutral Detergent Fiber ADF Acid Detergent Fiber
Selulosa Hemiselulosa
Lignin Nilai
14.51 9.79
2.93 4.72
6.86 Berdasarkan hasil analisa komponen serat metode ADF Acid Detergent Fiber dan NDF
Neutral Detergent Fiber dari Tabel 7, lignin merupakan komponen terbesar pada empulur sagu, yaitu 6.86, diikuti oleh hemiselulosa sebesar 4.72 dan selulosa sebesar 2.93. Jumlah lignin yang
cukup besar dan selulosa yang sangat kecil membuat komponen serat pada empulur sagu kurang berpotensi untuk dikonversi menjadi gula sederhana karena komponen utama yang akan diubah
menjadi gula sederhana adalah selulosa dan hemiselulosa. Lignin merupakan senyawa yang melapisi komponen serat dan pati, dengan demikian tingginya kadar lignin pada empulur sagu dapat
menghambat proses hidrolisis. Tingginya kadar lignin disebabkan oleh umur dari tanaman sagu, semakin tua umur tanaman, maka kadar lignin akan semakin tinggi. Menurut Hermiati et al. 2010,
lignoselulosa yang terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin berfungsi untuk membentuk kerangka struktrual dari dinding sel tumbuhan dan jumlahnya beragam pada berbagai jenis tumbuhan.
Komposisi lignoselulosa pada tumbuhan bergantung dari spesies, umur dan kondisi pertumbuhan. Oleh karena itu, pemanfaatan karbohidrat yang terkandung di dalamnya membutuhkan metode
hidrolisis yang tepat sehingga dapat menghasilkan rendemen gula yang tinggi.
4.2 HIDROLISIS EMPULUR SAGU SECARA ASAM DENGAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO DUA TAHAP
Asam kuat berkonsentrasi rendah encer merupakan salah satu alternatif hidrolisis bahan berkarbohidrat dan berserat yang banyak digunakan saat ini. Di dalam struktur tanaman, karbohidrat
terutama pati dan komponen serat diselubungi oleh lignin yang merupakan senyawa yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel. Agar asam dapat menghidrolisis serat dan pati, lignin harus diputus
terlebih dahulu. Penggunaan gelombang mikro merupakan salah satu pemanasan yang dapat memutus ikatan lignin sekaligus dapat mendegradasi pati. Penelitian tentang penggunaan gelombang mikro
untuk mendegradasi pati telah digunakan pada bahan seperti kentang, jagung, beras, dan gandum, baik dalam larutan air maupun asam.
32 Proses hidrolisis biasanya dilakukan dengan menggunakan pemanasan konvensional, yaitu
dengan menggunakan otoklaf. Namun, pada penelitian ini pemanasan dilakukan dengan menggunakan microwave oven dan menggunakan otoklaf sebagai pembanding. Penggunaan gelombang mikro
sebagai perlakuan pendahuluan hidrolisis dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, hal ini merupakan salah satu keunggulan penggunaan gelombang mikro dibandingkan otoklaf yang
membutuhkan waktu tidak kurang dari 15 menit untuk proses hidrolisis. Waktu terlama yang telah digunakan untuk melarutkan pati pada suhu tinggi dengan menggunakan gelombang mikro adalah
kurang dari 10 menit, namun dalam prosesnya mengakibatkan produk hasil hidrolisis terdekomposisi menjadi produk sekunder yang memberikan warna gelap Koroskenyi dan Charti 2002.
Proses hidrolisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah hidrolisis asam menggunakan katalis asam sulfat H
2
SO
4
dengan konsentrasi rendah. Konsentrasi H
2
SO
4
yang digunakan adalah 0.3 M dan 0.5 M. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dwiko 2010, konsentrasi H
2
SO
4
terbaik yang dapat menghasilkan total gula terbanyak dari hidrolisis empulur sagu menggunakan pemanasan gelombang mikro adalah 0.3 M. Oleh karena itu, pada penelitian ini konsentrasi H
2
SO
4
sedikit ditingkatkan menjadi 0.5 M dengan harapan total gula yang dihasilkan lebih tinggi, namun tetap menggunakan konsentrasi asam 0.3 M sebagai pembanding.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Dwiko 2010, penggunaan gelombang mikro pada power level 10 dan 30 sebagian besar pati dan serat empulur sagu belum terhidrolisis, sedangkan
penggunaan gelombang mikro pada power level 100 membuat hidrolisat menjadi hitam gosong karena besarnya paparan energi yang diterima oleh empulur sagu. Dari permasalahan tersebut, maka
pada penelitian ini dilakukan kombinasi penggunaan power level rendah power level 30 dan sedang power level 70. Modifikasi pemanasan gelombang mikro bertahap ini dilakukan dengan
tujuan agar ikatan lignin dapat terputus, mengurangi tingkat kristalinitas serat selulosa menjadi lebih amorf sehingga memudahkan penetrasi asam ke dalam pati, namun tetap tidak menimbulkan
kegosongan akibat kelebihan energi panas yang diterima bahan. Untuk melihat perbedaan hasil hidrolisis dari perlakuan gelombang mikro pada power level dua tahap tersebut, maka dilakukan pula
hidrolisis hanya menggunakan power level satu tahap, yaitu power level 70 selama 3 menit sebagai kontrol yang merupakan perlakuan terbaik dari penelitian yang dilakukan Dwiko 2010.
Waktu hidrolisis antara empulur sagu dengan asam pada paparan panas dari gelombang mikro juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil hidrolisis. Pada penelitian ini perlakuan
waktu hidrolisis antara empulur sagu dengan asam dan panas hanya dilakukan pada pemanasan gelombang mikro tahap 1 power level 30, yaitu 1 menit, 2 menit dan 3 menit. Tujuan dari
perlakuan waktu pada pemanasan tahap 1 ini adalah untuk mengetahui waktu optimal dalam menghasilkan fermentable sugar dengan karakteristik terbaik, terutama yang menghasilkan kadar
gula tertinggi. Pemakaian konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada perlakuan gelombang mikro dua tahap
memperlihatkan perbedaan hasil terhadap perlakuan gelombang mikro satu tahap. Pada perlakuan konsentrasi asam lebih tinggi yang diikuti pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan waktu
kontak yang lebih lama membuat empulur sagu terhidrolisis lebih sempurna daripada perlakuan konsentrasi asam rendah yang diikuti pemanasan gelombang mikro satu tahap dengan waktu kontak
yang singkat. Perbedaan hasil hidrolisis antara kedua perlakuan tersebut terhadap empulur sagu secara visual dapat dilihat pada Gambar 5, dan ditampilkan juga gambar empulur sagu sebelum
hidrolisis sebagai pembanding.
33 a
b c Gambar 5. Penampakan visual hidrolisat sebelum hidrolisis a, hidrolisis dengan H
2
SO
4
0.3 M pada gelombang mikro satu tahap power level 70 3` b, dan hidrolisis dengan H
2
SO
4
0.5 M pada gelombang mikro dua tahap power level 30 2` dan power level 70 3` c
Pada Gambar 5 terlihat perbedaan hasil secara visual dari kombinasi perlakuan seperti konsentrasi asam H
2
SO
4
, waktu, dan energi gelombang mikro yang diterima oleh bahan. Gambar a yang merupakan empulur sagu sebelum dihidrolisis terlihat warna alami bahan masih coklat muda,
serat-serat dan air bebas masih dalam jumlah yang banyak. Gambar b yang merupakan hasil hidrolisis dengan kombinasi perlakuan konsentrasi asam rendah 0.3 M, waktu kontak yang singkat
3`, dan hanya menggunakan pemanasan gelombang mikro satu tahap power level 70 terlihat perubahan warna hidrolisat menjadi coklat tua serta jumlah serat dan air bebas berkurang. Gambar c
merupakan hasil hidrolisis dengan kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang lebih tinggi 0.5 M, waktu kontak lebih lama total waktu 5`, dan menggunakan pemanasan gelombang mikro dua tahap
power level 30 dilanjutkan dengan power level 70 terlihat warna hidrolisat berubah menjadi coklat kehitaman, serat dan air bebas berkurang dalam jumlah yang banyak, selain itu pada pinggir
wadah terlihat bahan berwarna hitam yang mengindikasikan telah terbentuknya produk samping yang tidak diinginkan seperti hidroksimetilfurfural HMF dan furfural.
Semakin tinggi konsentrasi asam, maka semakin gelap warna hirolisat yang dihasilkan. Menurut Yu et al. 1996, konsentrasi asam yang tinggi menyebabkan selulosa dan hemiselulosa lebih
mudah terdegradasi menjadi glukosa dan senyawa gula lainnya, terlebih lagi diiringi waktu kontak yang lama. Namun, seiring dengan tingginya konsentrasi asam dan waktu reaksi, inhibitor yang
dihasilkan juga semakin banyak. Semakin tinggi power level yang digunakan dan semakin lama waktu kontak dengan bahan,
semakin gelap warna hidrolisat yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena dengan jumlah bahan yang sama tapi penerimaan energi panas yang lebih besar pada power level yang lebih tinggi membuat
lebih banyak komponen pati dan serat terdegradasi yang akhirnya pembentukan produk samping seperti HMF dan furfural yang menyebabkan warna gelap juga semakin banyak.
Pada proses hidrolisis asam bahan berpati dan berserat, variabel seperti konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan energi gelombang mikro yang diberikan harus disesuaikan kombinasi
penggunaannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan karakteristik fermentable sugar dengan
34 kandungan gula sederhana tinggi tetapi tetap rendah produk inhibitor yang tidak diinginkan seperti
HMF dan furfural. Untuk melihat pengaruh kombinasi antara variabel konsentrasi asam, waktu dan energi panas
yang diberikan pada proses hidrolisis empulur sagu, dapat juga dilakukan pengamatan secara mikroskopik. Hasil pengamatan secara mikroskopik dari kombinasi perlakuan yang diberikan
disajikan pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat pengaruh berbagai kombinasi perlakuan konsentrasi asam, waktu dan
energi panas yang digunakan terhadap perubahan struktur pati dan serat empulur sagu. Sebelum dilakukan hidrolisis, komponen serat dan pati masih utuh, serat masih tersusun rapat dan granula-
granula pati belum pecah. Pati dan serat masih diselimuti oleh komponen lignin yang keras. Proses hidrolisis berjalan secara sempurna ketika asam mampu memutus ikatan lignin yang menyelimuti
serat dan pati. Saat ikatan lignin terputus, komponen serat mengembang dan diikuti dengan terlepasnya granula pati dari komponen serat hingga akhirnya hancur atau terdegradasi. Bila proses
hidrolisis terus berlanjut, asam mampu memutus polimer-polimer pati menjadi lebih kecil sehingga terbentuklah monomer-monomer atau gula sederhana dan serat-serat juga ikut terdegradasi menjadi
monomer-monomer penyusunnya. Kombinasi perlakuan terhadap empulur sagu pada konsentrasi H
2
SO
4
0.3 M, waktu total hidrolisis 3 menit dan menggunakan pemanasan gelombang mikro satu tahap A1B1, ternyata masih
terdapat granula pati yang utuh walaupun telah terjadi pembengkakan granula pati. Hal ini menunjukkan masih diperlukan kombinasi penggunaan konsentrasi asam, waktu dan power level
yang lebih baik agar pati terdegradasi atau hancur. Perlakuan dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap terbukti lebih efektif dalam menghidrolisis pati dan serat daripada perlakuan pemanasan
gelombang mikro satu tahap. Walaupun masih terdapat pati dan serat setelah proses hidrolisis, namun semua granula pati sudah hancur dan mengembang. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin
lama waktu hidrolisis pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin banyak pati yang terdegradasi, ditandai dengan pengembangan pati dan serat. Pembengkakan ukuran yang
merupakan perbesaran pori akibat iradiasi gelombang mikro dijelaskan oleh Warrand dan Janssen 2006, hilangnya kekuatan antar makro molekul disebabkan oleh gelombang mikro membuat bagian
kristalin pada pati dan serat menjadi lebih amorf. Pada kondisi serat dan pati menjadi lebih amorf, maka katalis mampu menembus pori granula pati sehingga struktur pati mengembang. Energi panas
menyebabkan hidrasi pada bagian amorf diikuti dengan distorsi dari bagian kristalin yang kemudian merusak struktur granular, dan pada saat energi panas semakin besar menyebabkan granula pati pecah.
Pemanasan gelombang mikro pada tahap 1 power level 30 diduga dapat membuat pati sagu mengembang pada saat tergelatinisasi. Hal ini didukung oleh Karim et al. 2008 yang
menyatakan suhu gelatinasi pati sagu sekitar 72-90
o
C. Power level 30 yang dikonversi dalam satuan energi W, mengandung energi sekitar 350 W Anonim 2010 dan tergolong rendah, sehingga dapat
diasumsikan dengan penggunaan power level 30 mampu membuat granula pati sagu mengembang pada saat gelatinisasi.
35 Slurry sebelum pemanasan 0.3 M
A1B0
A1B1 A1B2
A1B3 A1B4
Slurry sebelum pemanasan 0.5 M A1B0
A2B1 A2B2
A2B3 A2B4 Keterangan: A: Konsentrasi asam A1: 0.3 M, A2: 0.5M
B: Perlakuan pemanasan B0: otoklaf 15`, B1: PL 70 3`, B2: PL 30 1` + PL 70 3`, B3: PL 30 2` + PL 70 3`, B4: PL 30 3` + PL 70 3`
Gambar 6. Penampakan mikroskopik empulur sagu sebelum dan setelah pemanasan menggunakan Mikroskop Cahaya terpolarisasi perbesaran 200x
36 Hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro
dua tahap. Hidrolisis menggunakan otoklaf mampu mengubah sebagian besar pati yang ada pada bahan menjadi gula sederhana, terbukti pada Gambar 6 perlakuan pemanasan menggunakan otoklaf
A1B0 dan A2B0 sudah tidak terdapat granula pati ditandai dengan bagian ungu kebiruan telah memudar dan hilang. Selain itu serat juga ikut terputus-putus dan hancur. Walaupun pemanasan
otoklaf memerlukan waktu yang relatif lama, namun dengan suhu yang tidak terlalu tinggi 121
o
C ditambah dengan adanya tekanan saat pemanasan, proses hidrolisis asam lebih terkontrol dalam
menghasilkan gula sederhana dari komponen pati, sedangkan serat belum dapat terkonversi menjadi unit monomernya walaupun sebagian besar sudah mengembang dan terputus-putus.
Selain pengamatan secara visual dan mikroskopik terhadap hidrolisat, perlu dilakukan juga analisa kuantitatif untuk melihat pengaruh perlakuan gelombang mikro dua tahap secara hidrolisis
asam terhadap fermentable sugar yang dihasilkan. Analisa yang dilakukan meliputi analisa terhadap bobot residu, analisa gula, dan analisa filtrat seperti kejernihan filtrat, volume filtrat, HMF dan
furfural. Analisa gula meliputi perhitungan total gula dan gula pereduksi, Dextrose equivalent DE, dan Derajat polimerisasi DP untuk melihat kesempurnaan proses hidrolisis.
Semua data hasil perlakuan terhadap empulur sagu diolah dengan menggunakan perhitungan statistik melalui software program SAS 9.1.3. Dari hasil perhitungan statistik, untuk melihat
homogenitas dari masing-masing perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hampir seluruh parameter yang diamati pada perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan variabel pembeda
konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada power level 30, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun, secara keseluruhan perlakuan gelombang mikro dua tahap menunjukkan
perbedaan hasil terhadap pemanasan gelombang mikro satu tahap pada beberapa parameter. Sebagian besar hasil pengamatan parameter memperlihatkan perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap
lebih baik daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan perlakuan pemanasan otoklaf, semua parameter menunjukkan perlakuan otoklaf jauh lebih baik dalam
menghasilkan fermentable sugar dari empulur sagu daripada perlakuan gelombang mikro. Data hasil homogenitas dengan uji lanjut Duncan secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.
Untuk memudahkan pembacaan hasil homogenitas antar perlakuan, maka dilakukan penyimbolan pada data hasil pengolahan statistik. Penyimbolan ini dilakukan berdasarkan simbol
hasil output uji lanjut Duncan. Data dengan simbol yang sama atau yang mengandung huruf yang sama dengan perlakuan lainnya, berarti perbedaan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan hasil
dilihat dari parameter tertentu. Nilai semua parameter dari hasil pengolahan statistik dengan uji lanjut Duncan disajikan secara tabulasi pada Tabel 8.
Analisa residu dilakukan dengan menghitung bobot residu setelah proses hidrolisis. Untuk melihat efektivitas hidrolisis, pati dan serat yang tidak terhidrolisis terhitung sebagai bobot residu.
Perlakuan dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap terbukti lebih efektif dalam menurunkan bobot residu empulur sagu daripada perlakuan gelombang mikro satu tahap. Pada Tabel 8, perbedaan
variabel konsentrasi asam menghasilkan bobot residu yang berbeda antara perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan pemanasan gelombang mikro satu tahap. Pada konsentrasi asam
yang lebih rendah 0.3 M, perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu menurunkan nilai bobot residu sekitar 4.62-11.85 lebih tinggi daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap.
Namun, peningkatan konsentrasi asam menjadi 0.5 M tidak terlalu memperlihatkan perbedaan hasil dalam menurunkan bobot residu dari kedua perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu hanya
berbeda sekitar 1.2-4.19. Hal ini menunjukkan dengan kombinasi konsentrasi asam yang lebih tinggi, perlakuan gelombang mikro satu tahap sama baiknya dengan pemanasan gelombang mikro dua
tahap dalam menurunkan bobot residu.
37 Tabel 8. Nilai bobot residu, gula pereduksi, total gula, volume filtrat, kejernihan filtrat, DE, DP, HMF, dan furfural hasil hidrolisis asam
dengan berbagai perlakuan pemanasan
Perlakuan Bobot
Residu Gula
Pereduksi gl
Total Gula gl
DE DP
Volum Filtrat ml
Kejernihan Filtrat T
HMF mgl
Furfural mgl
A1B0 24.01
ef
83.17
b
90.50
bac
91.90
a
1.08
e
75.75
b
89.85
a
8.10
b
0.06
b
A1B1 47.10
a
18.85
e
68.38
c
27.57
f
3.63
a
59.75
fe
79.35
b
0.28
d
0.00
b
A1B2 42.48
b
24.40
de
80.81
bc
30.20
fed
3.32
ba
56.50
fg
87.05
a
0.45
d
0.00
b
A1B3 37.00
c
26.87
dce
81.20
bc
33.09
cbd
3.03
b
54.00
g
89.50
a
0.48
d
0.00
b
A1B4 35.25
c
33.24
dc
82.93
bc
40.08
b
2.49
dc
49.00
h
76.30
cb
0.63
cd
0.00
b
A2B0 20.63
f
106.20
a
111.61
a
95.15
a
1.05
e
80.00
a
87.15
a
65.64
a
1.71
a
A2B1 30.62
d
23.34
de
80.69
bc
28.93
fe
3.46
ba
67.50
c
65.60
d
0.96
cd
0.04
b
A2B2 29.42
d
30.33
dce
92.83
bac
32.67
ced
3.06
b
65.50
c
72.15
c
1.46
c
0.05
b
A2B3 28.14
ed
48.86
c
105.66
ba
46.24
b
2.16
d
64.00
dc
76.15
cb
1.56
c
0.05
b
A2B4 26.43
ed
37.41
dc
102.39
ba
37.51
cb
2.74
c
61.00
de
61.30
d
1.88
c
0.06
b
24
38 Secara keseluruhan dapat dilihat semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu
hidrolisis, dan semakin besar energi panas dari gelombang mikro yang diterima bahan, semakin menurunkan bobot residu, ini artinya semakin banyak bahan yang terhidrolisis. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 8 nilai bobot residu yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu menurunkan bobot residu hingga 26.43, sedangkan kombinasi perlakuan
pada pemanasan gelombang mikro satu tahap bobot residu terkecil masih sebesar 30.62. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua
tahap dapat menurunkan nilai bobot residu, namun memperpanjang waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak terlalu menurunkan nilai bobot residu secara signifikan. Kecenderungan penurunan
nilai bobot residu dari kombinasi perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Gambar 7.
a b
Keterangan: B: Perlakuan pemanasan
B0: otoklaf 15`, B1: PL 70 3`, B2: PL 30 1` + PL 70 3`, B3: PL 30 2` + PL 70 3`, B4: PL 30 3` + PL 70 3`
Gambar 7. Nilai bobot residu pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M a dan konsentrasi asam 0.5 M b
Pada Gambar 7, semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu hidrolisis dan semakin besar energi panas dari gelombang mikro, maka nilai bobot residu semakin kecil, demikian juga
sebaliknya. Dengan demikian, nilai bobot residu dipengaruhi oleh konsentrasi asam, lama waktu pemanasan dan energi panas dari gelombang mikro yang diterima bahan. Semakin kecil nilai bobot
residu, maka pati dan serat yang terdegradasi semakin banyak. Akan tetapi, nilai bobot residu hasil hidrolisis dengan pemanasan otoklaf jauh lebih kecil dibandingkan semua perlakuan pemanasan
gelombang mikro, yaitu dapat menurunkan bobot residu hingga 20-24. Hal ini menunjukkan hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro.
Gula pereduksi dan total gula merupakan parameter penting yang diukur pada proses hidrolisis. Kedua parameter inilah yang mengindikasikan produk yang terbentuk. Gula pereduksi dan total gula
dihitung dengan spektrofotometer yang merupakan fungsi dari absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Semakin tinggi absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer, maka semakin tinggi gula
pereduksi dan total gula hidrolisat, demikian juga sebaliknya. Semakin tinggi gula pereduksi dan total gula yang ada pada hidrolisat, maka semakin baik untuk dijadikan substrat fermentasi etanol.
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
B0 B1
B2 B3
B4 B
o bo
t R e
si du
Perlakuan Pemanasan
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
B0 B1
B2 B3
B4 B
o bo
t R e
si du
Perlakuan Pemanasan
46 Gula pereduksi merupakan golongan gula yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima
elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida glukosa, fruktosa, galaktosa
dan disakarida laktosa, maltosa, kecuali sukrosa dan pati polisakarida, termasuk sebagai gula pereduksi Lehninger 1982.
Dari Tabel 8 terlihat bahwa perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan gula pereduksi lebih tinggi daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap. Kombinasi perlakuan
konsentrasi asam dan lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan gula pereduksi 24.40-48.86 gl, sedangkan kombinasi konsentrasi asam dengan lama
waktu hidrolisis 3 menit pada pemanasan gelombang mikro satu tahap hanya menghasilkan gula pereduksi sebesar 18.85-23.34 gl. Dari hasil tersebut terlihat bahwa konsentrasi asam, waktu
hidrolisis, dan besarnya energi gelombang mikro yang diberikan pada empulur sagu berpengaruh terhadap gula pereduksi. Semakin tinggi konsentrasi asam, semakin lama waktu hidrolisis, dan
semakin besar energi gelombang mikro yang diterima empulur sagu, maka semakin tinggi gula pereduksi yang terbentuk. Konsentrasi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lebih lama
pada paparan energi panas dari gelombang mikro yang lebih besar mampu mendegradasi karbohidrat pada bahan, tidak hanya pati namun juga serat, dengan demikian diperoleh rendemen gula pereduksi
yang lebih tinggi. Namun, variabel waktu pada konsentrasi asam yang lebih tinggi dengan pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak selalu menghasilkan peningkatan gula pereduksi. Perubahan
kecenderungan menurunnya jumlah gula pereduksi dengan semakin memperpanjang waktu hidrolisis dapat dilihat pada Gambar 8.
a b
Keterangan: B: Perlakuan pemanasan
B0: otoklaf 15`, B1: PL 70 3`, B2: PL 30 1` + PL 70 3`, B3: PL 30 2` + PL 70 3`, B4: PL 30 3` + PL 70 3`
Gambar 8. Nilai gula pereduksi pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M a dan konsentrasi asam 0.5 M b
Pada Gambar 8 terlihat kecenderungan yang berbeda bila dilihat dari variabel konsentrasi asam terhadap gula pereduksi yang dihasilkan. Pada konsentrasi asam yang lebih rendah 0.3 M
kecenderungan gula pereduksi semakin meningkat jumlahnya seiring lamanya waktu hidrolisis pada 20
40 60
80 100
120
B0 B1
B2 B3
B4 G
u la
P e
r e
d u
k si
g l
Perlakuan Pemanasan
20 40
60 80
100 120
B0 B1
B2 B3
B4 G
u la
P e
r e
d u
k si
g l
Perlakuan Pemanasan
47 pemanasan gelombang mikro dua tahap. Namun, penggunaan asam yang lebih tinggi 0.5 M, saat
jumlah gula pereduksi yang dihasilkan sudah banyak, perpanjangan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap justru mengurangi jumlah gula pereduksi. Hal ini diduga telah terjadinya
dekomposisi produk gula sederhana yang sudah terbentuk menjadi inhibitor seperti hidroksimetilfurfural HMF dan furfural pada suhu yang sangat tinggi. Jadi, dapat dikatakan
pemakaian konsentrasi asam memiliki waktu optimum untuk menghasilkan gula pereduksi pada suhu yang tinggi. Hal ini seperti yang dijelaskan Mussatto dan Roberto 2004, bahwa konsentrasi asam
dan suhu reaksi merupakan variabel penting yang dapat mempengaruhi terbentuknya senyawa- senyawa yang bersifat racun pada proses fermentasi. Suhu moderat kurang dari 160
o
C harus dijaga untuk dapat menghidrolisis pati dan menekan dekomposisi gula sederhana. Suhu yang lebih tinggi
akan mempermudah dekomposisi gula sederhana dan senyawa lignin. Pada suhu dan tekanan tinggi, glukosa dan xilosa akan terdegradasi menjadi hidroksimetilfurfural HMF dan furfural.
Pemanasan gelombang mikro dua tahap belum mampu menghasilkan jumlah gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan pemanasan otoklaf. Gula pereduksi yang diperoleh dari pemanasan
otoklaf mencapai 83.17-106.20 gl, hal ini menunjukkan bahwa hidrolisis menggunakan otoklaf masih lebih efektif daripada menggunakan gelombang mikro dalam menghasilkan gula pereduksi yang lebih
tinggi. Selain gula pereduksi, dalam proses hidrolisis juga terbentuk gula non-pereduksi. Kedua jenis
gula tersebut dinyatakan dengan total gula. Analisis total gula dilakukan untuk melihat jumlah gula secara keseluruhan di dalam suatu hidrolisat. Perlakuan dengan kombinasi konsentrasi asam yang
lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lebih lama pada perlakuan gelombang mikro dua tahap menghasilkan total gula yang lebih tinggi daripada perlakuan gelombang mikro satu tahap dalam
menghidrolisis empulur sagu. Proses hidrolisis pada kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang tinggi, waktu kontak yang lebih lama, dan energi gelombang mikro yang lebih besar mampu
mengkonversi pati dan serat dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini terbukti dari nilai total gula yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap
mampu menghasilkan total gula 80.81-105.66 gl, sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai total gula tertinggi hanya sebesar 80.69 gl. Dari hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap total gula yang
terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida
menjadi gula sederhana, sehingga total gula semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua
tahap dapat meningkatkan jumlah total gula, namun perpanjangan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat meningkatkan jumlah total gula hidrolisat secara signifikan. Nilai total gula yang
terbentuk memiliki kecenderungan yang sama dengan gula pereduksi. Pada konsentrasi asam yang lebih tinggi 0.5 M perpanjangan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap justru
menurunkan total gula yang sudah terbentuk akibat terjadinya dekomposisi gula pada keadaan asam dan suhu yang tinggi. Dekomposisi gula tersebut menghasilkan produk samping berupa HMF dan
furfural. Pada Tabel 8, jumlah total gula tertinggi yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pada
pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak jauh berbeda dengan pemanasan otoklaf. Hal ini menunjukkan perlakuan kombinasi konsentrasi asam dan lama waktu hidrolisis pada pemanasan
gelombang mikro dua tahap lebih efektif dan efisien dalam menghidrolisis pati daripada pemanasan
48 otoklaf. Jumlah gula yang sama dihasilkan hanya dalam waktu total 5 menit pada pemanasan
gelombang mikro dua tahap, sedangkan 15 menit pada pemanasan otoklaf. Kesempurnaan proses hidrolisis tergambar dari nilai Dekstrose Equivalent DE yang
menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati. Semakin tinggi nilai DE, maka semakin sempurna proses hidrolisis yang terjadi. Nilai DE tertinggi adalah 100 yang berarti 100
hidrolisis berupa gula pereduksi atau glukosa. Proses hidrolisis pada kombinasi perlakuan konsentrasi asam yang tinggi, waktu kontak yang
lebih lama, dan energi gelombang mikro yang lebih besar mampu mengkonversi pati dan serat dalam jumlah yang lebih banyak. Hal ini terbukti dari nilai DE yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan
pada penggunaan pemanasan gelombang mikro dua tahap sebesar 30.20-46.24, sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai DE hanya sebesar 27.57-
28.93. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap
nilai DE. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida
menjadi gula sederhana, sehingga nilai DE semakin tinggi, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua
tahap dapat meningkatkan nilai DE, namun perpanjangan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat meningkatkan nilai DE secara signifikan. Oleh karena proses hidrolisis yang terjadi pada
perlakuan otoklaf lebih sempurna dalam menghasilkan gula sederhana, maka nilai DE jauh lebih besar dibandingkan perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu 91.90-95.15. Tingginya nilai DE pada
perlakuan pemanasan otoklaf karena waktu hidrolisis yang lama 15 menit akan membuat sebagian besar pati dan serat mampu dipecah menjadi gula-gula sederhana. Hal ini mengikuti teori hidrolisa
yang mengatakan bahwa terdapat kecenderungan seiring dengan bertambahnya waktu maka nilai DE juga akan semakin naik karena semakin lama waktu hidrolisa, maka semakin banyak pula bahan yang
terhidrolisa Griffin dan Brooks 1989. Menurut Kuntz 1997, DE berhubungan dengan Derajat Polimerisasi DP. DP menyatakan
jumlah unit monomer dalam satu molekul. Semakin rendah nilai DP, maka semakin sempurna proses hidrolisis yang terjadi karena sebagian besar polimer telah terhidrolisis menjadi monomer DP=1.
Dari kombinasi perlakuan yang diberikan pada proses hidrolisis empulur sagu, nilai DP yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap mampu mencapai
DP = 2.16, sedangkan kombinasi perlakuan pada penggunaan pemanasan gelombang mikro satu tahap nilai DP = 3.63. Jenis gula sederhana yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan
waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap masih berbentuk oligosakarida. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsentrasi asam, waktu hidrolisis dan besarnya energi yang
diterima empulur sagu dari pemanasan gelombang mikro dua tahap berpengaruh terhadap nilai DP. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang
mikro dua tahap, semakin tinggi kemampuannya untuk mengkonversi polisakarida menjadi gula-gula sederhana, sehingga nilai DP semakin rendah, demikian juga sebaliknya. Walaupun masing-masing
kombinasi perlakuan yang diberikan pada empulur sagu dengan gelombang mikro dua tahap dapat menurunkan nilai DP, namun peningkatan waktu satu menit pada proses hidrolisis tidak dapat
menurunkan nilai DP secara signifikan. Oleh karena proses hidrolisis yang terjadi pada perlakuan otoklaf lebih sempurna dalam menghasilkan gula-gula sederhana, maka nilai DP perlakuan pemanasan
otoklaf jauh lebih rendah dibandingkan perlakuan pemanasan gelombang mikro, yaitu 1.05-1.08. Kecilnya nilai DP pada perlakuan pemanasan otoklaf disebabkan waktu hidrolisis yang lama
15 menit membuat sebagian besar pati dan serat mampu dipecah menjadi gula sederhana.
49 Banyak faktor yang menyebabkan proses hidrolisis dari perlakuan pemanasan gelombang
mikro dua tahap ini tidak menghasilkan DP terendah yang artinya sebagian besar gulanya belum berbentuk monomer glukosa. Salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya nilai DP adalah
tingginya kadar lignin sehingga menghambat proses hidrolisis meskipun telah diberi perlakuan pemanasan gelombang mikro dua tahap. Selain itu, besarnya ukuran partikel bahan 35 mesh
membuat katalis asam belum mampu sepenuhnya memecah polimer karbohidrat empulur sagu pada pemanasan gelombang mikro. Hal ini seperti yang dijelaskan Jamil et al. 2010, gelombang mikro
dapat membantu proses pemanasan material tidak hanya bergantung pada muatan dielektrik bahan, tetapi juga ketebalan atau ukuran bahan agar proses perpindahan panas lebih merata. Faktor lainnya
adalah terbentuknya HMF dari degradasi monomer glukosa sehingga mengurangi jumlah gula sederhana yang sudah terbentuk akibat hidrolisis menggunakan asam pada suhu yang tinggi.
Volume filtrat merupakan salah satu parameter yang dianggap penting dalam proses hidrolisis karena dapat menggambarkan rendemen produk walaupun belum tentu mencerminkan jumlah gula
yang ada di dalamnya. Pada Tabel 8 terlihat perbedaan volume filtrat yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap dengan pemanasan
gelombang mikro satu tahap. Volume filtrat yang dihasilkan dari perlakuan gelombang mikro dua tahap adalah 49-65.6 ml, sedikit lebih rendah daripada pemanasan gelombang mikro satu tahap, yaitu
59.75-67.5 ml. Hal ini disebabkan karena energi yang besar diterima bahan pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menyebabkan penguapan yang tinggi.
Volume filtrat dipengaruhi oleh penguapan akibat lamanya pemanasan dan kelarutan komponen bahan terutama pati dan serat di dalam larutan. Kecenderungan penurunan volume filtrat
yang diperoleh dari perlakuan gelombang mikro dua tahap dapat dilihat pada Gambar 9.
a b
Keterangan: B: Perlakuan pemanasan
B0: otoklaf 15`, B1: PL 70 3`, B2: PL 30 1` + PL 70 3`, B3: PL 30 2` + PL 70 3`, B4: PL 30 3` + PL 70 3`
Gambar 9. Nilai volume filtrat pada kombinasi perlakuan pemanasan dan waktu pada konsentrasi asam 0.3 M a dan konsentrasi asam 0.5 M b
Dari Gambar 9 terlihat semakin lama waktu pemanasan pada perlakuan gelombang mikro dua tahap, maka semakin sedikit volume filtrat yang dihasilkan, hal ini disebabkan oleh waktu pemanasan
yang lama mengakibatkan penguapan yang terjadi cukup besar. Pada konsentrasi asam yang lebih tinggi, kemampuan asam menghidrolisis pati dan serat lebih besar dibandingkan konsentrasi asam
20 40
60 80
100
B0 B1
B2 B3
B4 V
o lu
m e
F ilt
r a
t m
l
Perlakuan Pemanasan
20 40
60 80
100
B0 B1
B2 B3
B4 V
o lu
m e
F ilt
r a
t m
l
Perlakuan Pemanasan
50 rendah. Swift 2002 menyatakan bahwa sifat kelarutan komponen serat dalam air bergantung pada
pH, semakin rendah pH semakin mudah larut. Nilai kelarutan serat juga dipengaruhi oleh jumlah komponen penyusun serat pangan yang larut. Kelarutan serat menunjukkan sifat daya larut partikel-
partikel serat. Peningkatan konsentrasi asam pada proses hidrolisis akan meningkatkan degradasi molekul polisakarida menjadi partikel yang lebih kecil sehingga lebih mudah larut. Menurut Gong
1981, kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya. Berdasarkan kelarutan dalam air, serat pangan terbagi dua yaitu serat larut dan tidak
larut. Struktur dominan selulosa berupa kristal adalah bagian yang bersifat sukar larut sedangkan bagian lain berupa non-kristal lebih mudah larut. Semakin banyak partikel yang larut di dalam air atau
larutan asam, maka semakin sedikit jumlah air yang terikat pada residu, dengan demikian volume filtrat yang dihasilkan lebih besar. Jadi dapat dikatakan bahwa kelarutan bahan berdasarkan
konsentrasi asam berhubungan erat dengan bobot residu dan volume filtrat yang dihasilkan. Semakin mudah bahan larut, maka semakin kecil bobot residu dan semakin tinggi volume filtrat yang
dihasilkan dari proses hidrolisis, demikian pula sebaliknya. Kecenderungan berkurangnya volume filtrat dengan semakin lamanya waktu hidrolisis pada
pemanasan gelombang mikro dua tahap tidak terjadi pada perlakuan pemanasan otoklaf. Volume filtrat yang dihasilkan pada perlakuan pemanasan otoklaf mampu mencapai 75.75-80 ml. Walaupun
waktu hidrolisis dengan menggunakan otoklaf jauh lebih lama, yaitu 15 menit, namun volume filtrat yang dihasilkan sangat tinggi, hal ini disebabkan oleh pada pemanasan otoklaf tidak terjadi
penguapan, selain itu proses hidrolisis yang sempurna menyebabkan bagian terlarut pada bahan lebih banyak yang akhirnya meningkatkan volume filtrat yang dihasilkan.
Tingkat kejernihan filtrat dinyatakan dengan nilai transmitan T yang diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 650 nm. Kejernihan filtrat merupakan fungsi dari nilai
transmitan. Semakin besar nilai transmitan, maka semakin jernih filtrat karena hampir mendekati kejernihan air 100.
Kombinasi perlakuan konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan nilai kejernihan filtrat tertentu. Kejernihan filtrat dipengaruhi oleh partikel
tidak terlarut dan komponen degradasi gula HMF dan furfural pada hidrolisat. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada perlakuan pemanasan gelombang mikro dua
tahap akan mengurangi jumlah partikel tidak terlarut pada bahan, akan tetapi meningkatkan jumlah produk inhibitor seperti HMF dan furfural akibat degradasi gula sehingga menyebabkan perubahan
warna filtrat menjadi kecoklatan. Warna yang semakin kecoklatan ini menyebabkan nilai kejernihan sirup menjadi rendah saat dibaca dengan spektrofotometer, hal ini terbukti dari nilai kejernihan filtrat
pada pemanasan gelombang mikro dua tahap semakin meningkat dengan semakin tingginya konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis. Konsentrasi asam yang tinggi dan waktu
hidrolisis yang lama pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menyebabkan partikel tidak terlarut menjadi berkurang, namun saat waktu hidrolisis diperpanjang terjadi penurunan kejernihan filtrat, hal
ini disebabkan oleh jumlah bahan inhibitor akibat degradasi gula meningkat yang pada akhirnya membuat filtrat berwarna lebih gelap tidak jernih.
Adanya perubahan warna dari faktor konsentrasi asam dan waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap diduga karena sebagian besar pati dan serat telah larut dan terkonversi
menjadi gula sederhana. Selain itu, warna filtrat yang semakin kecoklatan menunjukkan telah terbentuknya produk samping atau inhibitor. Winarno 1995 menyebutkan bahwa warna coklat pada
filtrat dapat disebabkan oleh reaksi antara gula pereduksi dengan senyawa nitrogen reaksi Maillard. Hasil reaksi Maillard gula pentosa menghasilkan furfural dan gula heksosa menghasilkan
51 hidroksimetilfurfural HMF yang berwarna coklat. Filtrat berwarna kuning kecoklatan
mengindikasikan terdapatnya senyawa HMF dan furfural. Pada Tabel 8, nilai kejernihan filtrat dari perlakuan otoklaf masih lebih tinggi dibandingkan
dengan pemanasan gelombang mikro, yaitu mencapai 89.85, hal ini berarti perlakuan otoklaf mampu menurunkan partikel tidak terlarut pada empulur sagu jauh lebih tinggi daripada HMF dan
furfural yang dihasilkan. Tidak demikian yang terjadi pada perlakuan gelombang mikro, proses hidrolisis yang terjadi belum sempurna mengakibatkan partikel tidak terlarut seperti oligosakarida
pada filtrat lebih banyak. Dengan banyaknya partikel tidak terlarut pada filtrat mengakibatkan kejernihan filtrat berkurang walaupun jumlah HMF dan furfural yang juga mengakibatkan kekeruhan
pada filtrat jumlahnya sedikit. Hidrolisis yang dilakukan dengan menggunakan asam memiliki kekurangan jika dilihat dari
produk yang dihasilkan. Perlakuan asam dengan suhu yang tinggi dapat menimbulkan produk samping yang merupakan produk inhibitor pada saat proses fermentasi. Salah satu inhibitor tersebut
adalah hidroksimetilfurfural HMF. HMF merupakan senyawa yang dihasilkan dari dekomposisi glukosa, galaktosa dan manosa. Senyawa ini merupakan inhibitor dalam proses fermentasi karena
dapat menghalangi proses konversi glukosa menjadi etanol. Pada penelitian ini, HMF yang terbentuk dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 8. Semakin tinggi konsentrasi asam dan
semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan gelombang mikro dua tahap menghasilkan HMF yang semakin meningkat, dan nilainya lebih tinggi daripada hidrolisat perlakuan pemanasan gelombang
mikro satu tahap. Perlakuan dengan pemanasan gelombang dua tahap menghasilkan nilai HMF tertinggi 1.88 mgl, sedangkan perlakuan gelombang mikro satu tahap hanya 0.96 mgl. Walaupun
terjadi peningkatan HMF pada pemanasan gelombang mikro dua tahap, namun kombinasi dengan konsentrasi asam dan perpanjangan waktu hidrolisis satu menit tidak menyebabkan nilai HMF
meningkat secara signifikan. Nilai HMF pada perlakuan otoklaf jauh lebih besar dibandingkan dengan perlakuan gelombang mikro, yaitu mencapai 65.64 mgl, hal ini disebabkan karena hidrolisis dengan
menggunakan otoklaf memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan gelombang mikro. Semakin lama waktu hidrolisis, maka semakin banyak HMF yang terbentuk karena waktu yang lebih
lama membuat semakin banyak gula sederhana yang terdekomposisi menjadi HMF. Menurut Purwadi 2006, HMF dihasilkan dari degradasi berbagai jenis gula seperti manosa, galaktosa dan glukosa.
Reaksi pembentukan HMF dijelaskan oleh Fennema 1985, yaitu terjadi pembentukan produk antara pada reaksi dehidrasi intramolekular, yaitu 3-deoksioson, bentukan dari D-
glukosa. Reaksi β-eliminasi diteruskan dengan bentuk enol pada 3-deoksiglukoson. Cis-3.4-ene gula selanjutnya mengalami
perputaran cincin dan dehidrasi untuk menghilangkan HMF. Selain HMF, produk inhibitor akibat dekomposisi gula adalah furfural. Furfural merupakan
dekomposisi gula dari xilosa. Furfural sama halnya dengan senyawa HMF, furfural merupakan senyawa inhibitor dalam proses fermentasi. Dari Tabel 8 terlihat adanya kecenderungan semakin
tingginya jumlah furfural yang terbentuk akibat semakin banyaknya gula pentosa yang terdekomposisi. Semakin tinggi konsentrasi asam dan semakin lama waktu hidrolisis pada pemanasan
gelombang mikro dua tahap, semakin banyak jumlah furfural yang terbentuk, hal ini disebabkan oleh konsentrasi asam yang lebih tinggi dan waktu hidrolisis yang lama pada penerimaan energi panas
yang lebih besar akan lebih cepat mendegradasi gula-gula sederhana sehingga lebih banyak furfural yang terbentuk. Perlakuan yang menghasilkan furfural tertinggi adalah dengan pemanasan otoklaf,
yaitu sebesar 1.71 mgl, sedangkan beberapa perlakuan pada konsentrasi asam 0.3 M tidak menghasilkan furfural. Oleh karena adanya proses penetralan dengan basa, maka proses pembentukan
furfural dapat dihambat atau bahkan dihentikan sama sekali seperti perlakuan dengan menggunakan
52 asam 0.3 M. Peningkatan pH bertujuan untuk menghambat pembentukan produk inhibitor karena
produk inhibitor hanya terjadi pada tingkat keasaman yang tinggi. Dari jumlah HMF dan furfural yang terbentuk pada fermentable sugar, masih terlalu kecil
untuk mempengaruhi proses fermentasi. Nigam 2001 dalam Mussato dan Roberto 2004 menemukan bahwa konsentrasi furfural sebesar 0.25 gl dalam media fermentasi tidak cukup untuk
mengurangi produksi etanol, tetapi konsentrasi setinggi 1.5 gl dapat mengganggu respirasi dan pertumbuhan mikroorganisme sehingga produksi etanol menurun. Efek inhibisi furfural dan HMF
berbeda terhadap pertumbuhan khamir, yaitu furfural lebih menghambat dibandingkan dengan HMF. Furfural dengan konsentrasi 1 gl dalam substrat fermentasi sudah menghambat enzim-enzim mikroba
untuk menghasilkan etanol seperti alkohol dehidrogenasi, aldehid dehidrogenasi dan piruvat dehidrogenasi, sedangkan HMF pada konsentrasi 2 gl Modig et al. 2002.
Pembentukan jumlah HMF jauh lebih banyak daripada furfural baik pada perlakuan pemanasan gelombang mikro maupun otoklaf. Hal ini disebabkan karena empulur sagu memang sebagian besar
terdiri dari pati, yaitu sebesar 55.86. Oleh karena kandungan pati lebih tinggi daripada serat, terutama hemiselulosa yang dapat terdiri dari monomer xilosa, maka peluang pembentukan HMF dari
dekomposisi glukosa memang lebih tinggi daripada dekomposisi xilosa yang menghasilkan furfural. Dari semua perlakuan, jumlah HMF dan furfural yang terdapat dalam hidrolisat masih
tergolong kecil, hal ini disebabkan karena penetralan yang dilakukan dengan penambahan basa. Hidrolisis asam memiliki kisaran pH 0.5-0.7, sehingga dengan penambahan basa, pH menjadi lebih
tinggi. Tingginya pH menghambat terjadinya dekomposisi gula karena dekomposisi gula hanya terjadi pada tingkat keasaman dan suhu yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yu et al.
1996, penetralan detoksifikasi bertujuan agar hidrolisat yang dihasilkan mempunyai kandungan inhibitor yang lebih kecil dan bertujuan untuk mengatur pH agar tidak mengganggu pertumbuhan
mikroba pada proses fermentasi pembentukan etanol.
4.3 PRODUKSI BIOETANOL