24
berbagai keadaan, menyebabkan khalifah bertindak menindas mereka dengan berbagai cara, berawal dari Abu Salamah al-Khallal, Abu Muslim al-Khurasani,
al-Fadl bin Sahl, dan seterusnya. Di pihak keturunan Arab juga mulai menyadari kekuasaan mereka kian merosot setelah mereka diruntuhkan dengan sengaja
orang-orang Parsi. Karena peristiwa ini, al- Mu’tashim terpaksa mencari keturunan
lain yang bisa diharapkan dan memberinya kepercayaan. Dari segi lain al-
Mu’tashim mengikuti peperangan yang berkelanjutan dan pertempuran sengit melawan kelompok Zatti, Babik al-Khurrami dan tentara
Romawi. Oleh sebab itu ia berpendapat perlunya diperkuat angkatan dengan laskar keturunan-keturunan lain yang dikenal gagah berani untuk mencapai
kemenangan di medan peperangan tersebut, tentunya dalam hal kemiliteran pasukan dari etnis Turkilah yang menjadi tumpuhan al-
Mu’tashim karena beliau menganggap pasukan tersebut sabar, berani dalam berperang.
30
Terlepas dari uraian diatas, kita bisa melihat pertama kali militer budak itu muncul dari segi waktu maupun perannya yang penting terhadap khalifah.
Mengenai budak militer sebaya dengan adanya keberadaan manusia yang menurut sejarah jejaknya terlihat di tiap-tiap jaman dan bangsa.
31
Sejarah menyebutkan peperangan menyebabkan terjadinya atau adanya perbudakan. Penaklukan, dapat
melakukan apapun terhadap musuhnya. Ia bisa membunuh tentara yang ditangkapnya, dan peperangan biasanya diikuti oleh sejumlah besar para budak.
Kita bisa merasa asing mendengar apa yang di sebut dengan budak. Status budak itu tidak lebih dari sebuah barang yang dimiliki. Keberadaannya bisa
30
Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet- 4 hal.5-6
31
Rizvi Saeed, Slavery From Islamic and Christian Perspektive, Canada: Vancauver Islamoc Educational,tt, hal. 2.
25
dijadikan sebagai
komoditas, layaknya
sebuah barang
yang dapat
diperjualbelikan. Nasib seorang budak tergantung pada tuannya. Dengan artian perlakuan baik dan status tuannya dari seorang budak menjadi penentu bagi nasib
seorang budak tersebut. Akan tetapi umumnya budak diperlakukan tidak manusiawi. Orang berfikir tentang budak dalam bentuknya yang lazim dikenal
sebagai pembantu rumah tangga atau buruh yang melaksanakan tugas yang secara ekonomis produktif.
Dalam studi ini nampaknya mempunyai banyak interprestasi mengenai budak. Budak yang kita kenal kadang-kadang terlibat dalam perang, akan tetapi
mereka berbeda sekali dengan budak militer. Sebagai perbandingan dengan budak biasa, dapat dijelaskan, kehidupan seorang budak militer dapat dibagi dalam tiga
bagian yaitu masa ia diperoleh, masa peralihan, dan saat melaksanakan pekerjaan; pada tiap tahap itu kehidupannya sangat berbeda dengan budak biasa.
Adapun perbedaan yang lain bermula dari kepemilikan, karena budak yang dimiliki untuk dijadikan militer sangat terbatas jumlahnya dibandingkan dengan
budak biasa. Begitu seorang penguasa atau tokoh terkemuka memutuskan akan memilki budak-budak untuk keperluan militer, ia bersikap hati-hati dalam
memilih orang-orang yang akan dijadikan budak. Seperti halnya budak pada masa dinasti Abbasiyah, tepatnya pada masa
khalifah al- Mu’tashim, dapat dikatakan telah mencapai puncak proses aksi,
interaksi, dan reaksi. Dapat kita lihat pada jendral Afsin, Bugha al-Kabir, dan lain-lain telah mengharumkan nama mereka dalam pemerintahan. Kondisi
demikian bukan saja membawa perubahan atas nama pimpinan atau khalifah mereka namun lebih dari itu; justru mereka sampai pada sebuah singgasana
26
kekuasaan yang dapat mereka raih. Adapun usaha-usaha pembinaan militer budak tersebut dapat dilihat dalam pemaparan selanjutnya.
B. Usaha-usaha Pembinaan Militer Budak
Mengenai militer budak, budak militer ini berbeda dengan semua jenis budak yang lain. Militer budak mengabdikan hidupnya dalam dinas militer. Sejak
saat diperoleh hingga ia pensiun. Yang dimaksud dengan budak-budak biasa ialah semua budak yang tidak menjadi tentara atau alat pemerintahan. Budak-budak
seperti itu kadang-kadang secara kebetulan terlibat dalam perang, tetapi mereka sama sekali berbeda dari budak-budak militer. Sebagai perbandingan dengan
budak-budak biasa, dapat dijelaskan, kehidupan seorang budak militer dapat dibagi dalam tiga bagian: masa ia diperoleh, masa peralihan, dan saat
melaksanakan pekerjaan Perbedaan antara budak biasa dengan budak militer, memang dalam status
mereka sma-sama budak akan tetapi dapat dilihat dari segi pemilikan, mutu yang tinggi, masa peralihan, bagaimana budak-budak militer ini melaksanakan tugas-
tugas pentingnya, dan kekuasaan yang dimiliki budak militer. Mengenai budak biasa, mereka menjadi arus utama dalam kelompok militer tempat mereka
bertugas. Kalau budak-budak biasa merupakan milik perorangan, Sedangkan budak militer milik para pemimpin mereka. Karena kekuatan militer, mereka
mendapat penghormatan dan kekuasaan sebagai pembantu atau buruh yang rendah derajatnya. Walaupun mereka budak, tapi merupakan bagian dari kelompok elite
yang berkuasa serta, dapat berhubungan langsung dengan penguasa, memegang berbagai posisi penting dan menikmati fasilitas kekayaan dan kekuasaan
32
.
32
Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam, hal. 32.
27
Terlepas dari uraian mengenai usaha-usaha pembinaan militer budak dalam artian bagaimana perekrutannya, pelatihan, dan sampai penggunaannya
secara professional dalam catatan sejarah akan dipaparkan lebih lanjut dalam studi ini. Yang pertama mengenai perekrutan para khalifah. Dalam perekrutan ini
khalifah tidak hanya mengumpulkan tawanan-tawanan perang pada waktu pasukan mereka menang dalam pertempuran serta menaklukkan daerah-daerah.
Mereka sudah mengatur segalanya secara berlanjut agar rakyat yang ditaklukkan menyerahkan budak-budanya, ada pula perolehan budak didapat dalam pasar
budak yang dapat dibeli. Kekuasaan orang-orang Islam diharuskan mengirim budak-budak ke
penguasa-penguasa dibuat sebagai upeti atau pajak. Dengan cara seperti ini penguasa-penguasa muslim memberikan jaminan untuk diri mereka sendiri atas
pasukan budak-budak secara tetap, bahkan hingga setelah masa penaklukkan berakhir
33
. Dalam kenyataannya kaum Abbasiyah tidak memiliki atau mewarisi
pengaturan-pengaturan ala
Muawiyah mengenai
budak-budak dengan
pengecualian seperti halnya baqt dan mereka sendiri hampir tidak pernah mempunyai taklukannya sendiri. Sebagai akibatnya, mereka hampir selalu
mengeluarkan uang untuk mendapatkan budak-budak mereka. Kalau kaum Umayyah hampir tidak pernah melakukan pembelian untuk budak-budak kecuali
sedikit pada tahun-tahun terakhir. Tetapi, kaum Abbasiyah harus membeli untuk mendapatkan hampir semua budak-budaknya. Hanya dalam kesempatan yang
jarang adanya kaum Abbasiyah tidak harus membeli budak-budak yang
33
Ibid, hal.10.
28
dibutuhkan. Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid, 100 dan 1000 budak dikirim sebagai kharaj dari Gilam, demikian pula 1000 dan mungkin 4000 orang
Turki dari Khurasan. Khums dalam periode pertama pemerintahan kaum Abbasiyah kelihatannya hanya figurative semacam tanda kehormatan saja, dan
tidak pernah mengikutkan adanya budak
34
. Kemudian berbagai agen mengumpulkan budak-budak untuk khalifah. Al-
Ma’mun kemudian meminta khalifah al-Mu’tashim untuk menyediakan orang- orang Turki dan al-
Mu’tashim ganti menengok orang lain, ia mengirim pembeli- pembeli ke Samarkand, termasuk mawla-mawlanya sendiri dan juga mengirim
permintaan kepada gubernur Khurasan Abdullah bin Tahir 213-230 H824-845 M, yang kemudian mengirimkan balik budak-budak kepada al-
Ma’mun. Dan dengan melalui pujian yang dialamatkan kepada usaha-usaha yang dilakukan
Yahya bin Akhtam, seorang qadi dan pejabat tinggi, yang diberikan oleh al- Ma’mun bisa diduga bahwa Yahya bin Akhtam berjasa besar sekali dalam
pengumpulan budak.
35
Tidak semua dibeli beberapa diantaranya ikut dengan sukarela dan sebagian lainnya ditangkap.
Setelah militer budak tersebut diperoleh secara sistematik, berlanjut dengan usaha latihan yang terorganisir atau yang kedua dalam usaha-usaha
pembinaan militer budak. Dalam proses latihan suatu hal yang penting dalam militer budak, sementara serdadu-serdadu yang tidak merdeka kurang
memperoleh latihan militer yang formal, mungkin saja kadang-kadang di antara mereka ada yang telah memiliki pengalaman militer sebelum memasuki
34
Ibid, hal. 239
35
Ibid, hal. 242
29
masyarakat Islam. Keahlian yang mereka bawa kadang cukup menjadikan para budak maupun mawla penguasa-penguasa militer yang diakui.
Bukti akan adanya sistem untuk melatih dapat dilihat riwayat seseorang yang hidup sekitar masa tersebut, yakni riwayat tentang diri Ahmad bin Tulun
lahir tahun 220 H835 M, menekankan bukan pada latihan militer, tetapi dalam aturan agama. Pendidikan tidak sama dengan pendidikan seorang non-Arab, yang
berarti ia mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan Islam. Petunjuk yang paling pasti menjelaskan hal ini yakni adanya penggunaan
kata atau istilah Istina, bahwa para budak menjalani latihan baru yang lebih sistematik sekitar tahun 204 H820 M. Biarpun kata tersebut dipergunakan di
sana-sini sebelum waktu tersebut, kata tersebut muncul lebih sering dalam penjelasan-penjelasan mengenai orang-orang Turki al-
Mu’tashim.
36
Ketiga yaitu pengerjaan secara professional yang mulai dari sekitar tahun 205 H820 M cukup
kuat. Sejak waktu itu budak-budak bekerja full time, menerima upah tetap dan pakaian lain dari pada yang lain, serta tinggal di daerahtempat yang terpisah,
mereka harus mengabdikan dirinya sepanjang tahun. Khalifah al-
Mu’tashim menjadikan mereka pengawal keamanan pribadi, selanjutnya, mereka digabungkan ke dalam angkatan tentara kerajaan, dengan
keberanian dan kegagahan mereka serta keberhasilan dalam peperangan, maka mereka diberikan pula penghargaan oleh khalifah. Saat itu al-
Mu’tashim memberikan pakaian seragam yang indah kepada orang-orang Turkinya; brokat
emas dan sutra, ikat pinggang emas dan sutra, kerah baju emas serta hiasan-hiasan lainnya. Dia tidak hanya membuat mereka suatu pandangan yang indah, tetapi
36
Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam, hal. 246