KHALIFAH AL- Peran militer budak pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tashim 833-842 M

16 pemikirannya. Wajar saja jika Daulah Abbasiyah menggunakan kekuatan militer untuk melaksanakan kebijakan politiknya 15 . Terlepas dari uraian diatas dapat kita cermati dalam beberapa uraian dibawah ini yang mampu mewarnai masa pemerintahan al- Mu’tashim saat itu diantanya; ketika tahun 219834 M, kaum Zott yang semula berada di sekitar Basrah, kemudian meluas ke dalam Irak. Kemudian khalifah al- Mu’tashim mengirim panglima Ajiff ibn Utbah untuk memadamkan pemberontakan tersebut 16 . Kaum Zott adalah suku-suku pengembara dari India yang pada masa dinasti Sasanid 226-651 M banyak berpindah dari India dan berdiam di lembah Irak terutama di sekitar Basrah. Kelompok Zott ini sulit untuk diatur dan sering menimbulkan kekacauan. Mereka hidup nomaden dengan sikap hidupnya yang kasar 17 . Salah satu dari kelompok mereka yang membuat kekacauan di wilayah Azerbaijan dan wilayah Tabaristan adalah Babek al-Kharrami. Akan tetapi pada tahun 835 M mereka bangkit kembali bersama pasukannya dari tempat persembunyian mereka. Akhirnya khalifah al- Mu’tashim segera mengirim pasukan di bawah panglima Afsin. Pasukan ini memiliki semangat yang tinggi dalam melakukan pengejaran dan pertempuran terhadap kaum Zott yang berlangsung selama satu setengah tahun. Akhirnya mereka melakukan perlawanannya yang terakhir di Bazz. Babek al-Kharrami saat itu sempat meluputkan diri dari pengejaran tersebut, tetapi dalam suatu pengejaran akhirnya ia dapat dicegat di wilayah 15 Khaerudin Yujah Sawy, Perebutan Kekuasaan Khalifah Menyingkap Dinamika dan Sejarah Kaum Sunni Yogyakarta: Syafira Insani Press, 2005 , hal.35 16 Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, h.221 17 Ibid., hal.222 17 Armenia. Dan kemudian ia dibawa ke Baghdad untuk menemui khalifah. Sejarah mencatat bahwa khalifah al- Mu’tashim sendiri yang mengeksekusinya dengan memancung sampai mati. Begitu banyak kejadian atau fenomena yang terjadi pada masa pemerintahan khalifah al- Mu’tashim. Setelah apa yang sudah terjadi dalam pemerintahan al- Mu’tashim menjalankan dua amanat tertulis dari khalifah sebelumnya yaitu al- Ma’mun. Isi dari amanat itu adalah yang pertama, agar khalifah al- Mu’tashim melanjutkan perjalanan Mihnah yang telah digariskan al- Ma’mun dan senantiasa meminta pertimbangan hakim agung Ahmad Abi Daud. Yang kedua, agar al-Mu ’tashim bersifat lunak dan melindungi terhadap keluarga Alawiyah 18 . Mengenai kebijakan al- Ma’mun tentang Mihnah atau Inquisisi, pada masa al- Mu’tashim kebijakan tersebut diberlakukan kembali. Inquisisi ini merupakan ide awal dari al- Ma’mun untuk menguji dan mengajukan pertanyaan kepada orang lain; dengan materi pertanyaan apakah “kamu melakukan hal ini dan itu” secara terus menerus hingga orang tersebut mau mengatakan hal yang tidak ia katakan. Hal ini penyebab utama sebuah fatwa atau sikap pendapat ulama yang berlawanan dengan penguasa 19 . Sebab yang lain adalah situasi dan kondisi yang mempengaruhi lembaga kekhalifahan al- Ma’mun, antara lain meluasnya wibawa para ahli hukum dalam pandangan masyarakat, berkembangnya gerakan zindiq, serangan oposisi terhadap 18 Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hal. 219. 19 Muhammad Jabid al-Jabari, Tragedi Perselingkuhan Politik dan Agama, Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003 , hal. 136. 18 pemerintah, dan keinginan al- Ma’mun untuk menjadikan pemerintahan sebagai mediator berbagai aliran yang ada 20 . Mengenai pergerakan zindiq, tentu berkaitan erat dengan apa yang menjadi garis kebijakan mengenai Mihnah yang dijalankan khalifah al- Mu’tashim. Pergerakan zindiq lebih berbahaya bagi pemerintahan dan agama dari pergerakan apapun yang sudah disebutkan diatas. Pengajaran-pengajaran zindiq sudah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan interprestasi pengikutnya. Pertama kali pengikut-pengikut kitab suci Zend di Persia dinamakan Zindiq atau Zanadiqa. Istilah ini berlaku bagi mereka yang tidak percaya bagi ketauhidan Tuhan tetapi menerima dengan dualismenya. Akhirnya mereka yang percaya pada du aspek Tuhan yaitu cahaya dan kegelapan, dijelmakan sebagai Yezdan dan Agriman. Orang-orang itu adalah orang kafir, yang mempunyai kebudayaan mereka sendiri, beberapa dari mereka diangkat sebagai pembimbing khalifah-khalifah bani Umayyah 21 . Zindiq terus berlaku setelah zaman pemerintahan khalifah Abbasiyah, yaitu Harun ar-Rasyid dan pindah ke istana al- Mu’tashim, bahkan salah satu dari jenderal al- Mu’tashim, Afsin merupakan penganut Zindiq. Walaupun demikian orang-orang Zindiq banyak memberiakan sumbangan dalam pembangunan ilmu pengetahuan, literatur, dan politik 22 . Terlepas dari uraian diatas, masih ada lagi sebuah fenomena yang terjadi dalam pemerintahan khalifah al- Mu’tashim, salah satunya al-Mu’tashim pernah mengalami penyerangan terhadap wilayah kekuasaannya. Semenjak kehancuran 20 Ibid, hal. 39 21 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam Yogyakarta: Kota Pelajar, 1989, hal. 192 22 Ibid., hal 194 19 pasukan kaisar Theopilus dalam pertempuran Heraclea tahun 832 M, dengan persiapan yang matang ia pun melancarkan serangan pada seluruh perbatasan Asia Kecil. Tekanan terberat pada perbatasan Armenia dan Irak. Kaisar Theopilus berhasil menghalau pasukan muslim dan maju memasuki wilayah utara Irak lalu merebut dan menguasai kota Zapetra. Mereka membunuh para lelaki, anak-anak, dan memotongi telinga dan hidung mereka 23 . Kaisar Theopilus menaruh dendam terhadap orang-orang Kristen di Asia kecil yang berada di bawah kekuasaan kaum muslim. Di antara wanita-wanita menderita kebuasaan itu ada yang termasuk dari keluarga Hasyim. Kemudian salah seorang perutusan dari wanita Hasyim melaporkan kejadian tersebut kepada khalifah al- Mu’tashim. Sejarah mencatat khalifah al- Mu’tashim mempersiapkan kekuatan besar untuk menghadapi penyerangan tersebut. Di penghujung tahun 836 M khalifah al- Mu’tashim berangkat ke Utara dan langsung melakukan serangan balasan pada segenap penjuru perbatasan 24 . Di lain pihak, beberapa resimen baru Militer Budak yang pada awalnya memperkokoh kekuasaan khalifah, tetapi mereka sekaligus menjadi sumber kerusuhan. Kondisi kota Baghdad sendiri disebutkan semakin sesak dengan keturunan orang-orang Turki yang dihimpun oleh khalifah al- Mu’tashim. Dengan jumlah mereka yang banyak mereka menggangu hak-hak masyarakat umum serta 23 Yoesoef Soub’by, Sejarah Daulah Abbasiyah I, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hal. 225 24 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam Yogyakarta: Kota Kembang, 1989, hal. 225-226 20 menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di kota Baghdad. Melihat keadaan ini akhiranya rakyat mengadukan hal tersebut ke khalifah al- Mu’tashim 25 . Akhirnya khalifah al- Mu’tashim mengambil keputusan untuk membangun sebuah ibu kota baru dan memindahkan pasukan militer dari masyarakat umum. Pada tahun 836 M di bangunlah ibu kota Sammara. Dengan memindahkan mereka para militer, al- Mu’tashim mengharapkan akhir dari pertikaian antar warga dan pasukan tentara, namun kota tersebut malah melahirkan persaingan antara atasan dan berbagai resimen. Para pejabat menjadikan kalangan birokrat berada dalam perwaliannya, menguasai pengaruh di wilayah gubernur. Lebih jauh lagi mereka mengendalikan suksesi kekhalifahan 26 . Akhirnya persaingan antara resimen menimbulkan anarkis. Antara tahun 861-870 M sejumlah pejabat tinggi menjadi korban pembunuhan. Pasukan militer menjadi lepas kendali, dan sebagian mereka terlibat dalam serangkaian perampokan 27 . 25 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudaan Islam, Terj. Al-Mukkaram Ustad dan Labib Ahmad. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993 hal.182 26 Ira M. Lapidus, Sejarah Ummat Islam Terj. Gufron A. Mas’adi Jakarta: Rajawali Press 1999 , hal. 196 27 Ibid., hal. 196 21

BAB III MILITER BUDAK PADA MASA AL-

MU’TASHIM

A. Latar Belakang Munculnya Militer Budak

Dalam menyebutkan dalil mengenai latar belakang atau sebab akibat dari munculnya militer budak, kita bisa terbantu dengan menggunakan rumusan umum mengenai sebab akibat dari munculnya militer budak. Yakni dengan misalnya bahwa X menyebabkan Y, selanjutnya dari tiga hal yang harus disebutkan. Pertama, harus ada pertalian antara X dan Y. Kedua, harus ada hubungan waktu yang layak dalam peristiwa terjadinya X sebelum Y. Dalam kasus budak militer dan Islam, pertaliannya memang ada dan urutan waktunya tepat Islam lebih dulu lahir dari pada budak militer untuk membuktikan adanya hubungan kausalitas “Dugaan adanya pranatara yang menghubungkan keduanya harus dijelaskan”. Perbudakan militer telah dihubungkan dengan Islam sebagai agama atau peradaban Islam. Kalau militer budak itu dianggap merupakan bagian dari pada agama atau sistem hukumnya kita menyebutkan “Islamic”. Tetapi kalau sebuah aspek dari pada peradaban yang lebih menyebar yang menyertai budak itu, kita menyebutnya “ Islamicate“ 27 . Dasar-dasar Islam seluruh batang tubuh syari’ah yang mengatur aspek kehidupan muslim menjadi ciri kehidupan muslimin. Semua dasar tersebut timbul bersamaan dengan datangnya agama sebagai kumpulan ajaran Islam. Semua dasar tersebut non-fungsional dan hanya dapat dijelaskan menurut sudut pandang cita-cita dan tradisi Islam. Jelas perbudakan militer bukan “Islamic”, 27 Lihat Marshal Hodgson, The Venture of Islam I, Terj. Mulyadi Kartanegara Jakarta: Paramadina, 2002, hal. 21. 22 tidak ada sangsi agama yang dikenakan untuk itu. Tidak ada yang menyatakan perbudakan itu merupakan bagian dari agama Islam atau sistem hukumnya. Hal tersebut di atas menunjukkan kenyataan bahwa Islam, memberikan warnanya pada kebudayaan itu cenderung mengambil nya. Islam cenderung menimbulkan sebuah pola sosial total atas nama agama itu sendiri. Pada masa awal terbentuknya kawasan politik di Madinah peran dan fungsi militer sangat dominan pada saat itu. Dalam artian bahwa masyarakat kaum muslim dan masyarakat lainnya di Madinah sangat berperan aktif dalam dinas kemiliteran. Peran militer ditujukan sebagai dinamisator 28 dan stabilisator 29 dan bahkan mendukung bagi dakwah Nabi Muhammad Saw dalam penyebaran agama Islam. Hal ini dikuatkan dengan konstitusi Madinah atau piagam Madinah, yang sengaja dikeluarkan beliau dalam membina kawasan yang baru terbentuk itu. Dalam perkembangan selanjutnya dua wilayah keagamaan dan politis tersebut, bersamaan dengan bentuk-bentuk konstitusi fungsional yang umum, tidak lama kemudian tenggelam menjadi sebuah peradaban Timur Tengah yang tunggal. Betapapun besar kecilnya umat, merupakan sebuah kesatuan tunggal, yang secara I deal berada di bawah pimpinan seseorang, yang pada pemerintahan selanjutnya disebut dengan khalifah. Kesetiaan terhadap khalifah merupakan ungkapan perasaan yang nyata ketaatan kepada kesatuan ummat. Persatuan ummat dan pemerintahan khalifah menunjukkan ciri-ciri Islam Jihad, atau aksi 28 Menimbulkan atau menjadikan dinamika, hal atau benda yeng menyebabkan timbulnya tenaga untuk selalu bergerak. 29 Keseimbangan menciptakan suatu nasional yang dinamis bukanlah semata-mata tugas pemerintah dan aparatnya, melainkan tugas segenap masyarakatnya juga. 23 militer Madinah baik dimaksudkan untuk memperthankan diri maupun untuk memperluas wilayah yang diperintah kaum muslim. Tidak dapat disangkal, persatuan ummat berlangsung kira-kira tiga puluh tahun hingga saat terbunuhnya Ustman tahun 35 H656 M . Tetapi, perang besar sesama muslim bermula tahun 37 H657 M dengan timbulnya perang saudara antara Ali dan Muawiyah. Satu abad setelah itu, tahun 138 H756 M ummat secara resmi terpecah, ketika penguasa Umayyah di Spanyol tidak bersedia mengakui khalifah Abbasiyah sebagai penguasa. Sejak saat itu, setiap lima tahun sekali, setiap wilayah baru memerdekakan diri dan peristiwa demikian berlangsung kira-kira satu abad. Dalam kepemerintahan ternyata mereka masing-masing mempunyai basis militernya sendiri dalam pemerintahan pusat maupun daerah atau pinggiran. Bani Umayyah maupun pemerintahan Bani Abbasiyah tidak dapat memenuhi beberapa tuntutan masyarakat, banyak sebagian masyarakat meninggalkan baik dalam dinas kemeliteran maupun pemerintahan. Mereka lebih mencurahkan pada urusan- urusan yang di luar kedua dinas tersebut, dalam hal tertentu lambat laun mereka menjadi panutan bagi masyarakat banyak dalam agama. Posisi mereka secara tidak langsung menggantikan posisi khalifah dalam kewenangan masalah agama. Dalam waktu tertentu peran militer kaum muslim dalam hal ini suku Arab dan Persia mengalami penurunan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum al- Mu’tashim menjabat sebagai khalifah mendorong al-Mu’tashim kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang keturunan Persia dan Arab. Al- Mu’tashim menganggap bahwa orang-orang keturunan Persia, mereka mempunyai tujuan- tujuan tersembunyi untuk mendapatkan kekuasaan. Sikap ini jelas terlihat dari 24 berbagai keadaan, menyebabkan khalifah bertindak menindas mereka dengan berbagai cara, berawal dari Abu Salamah al-Khallal, Abu Muslim al-Khurasani, al-Fadl bin Sahl, dan seterusnya. Di pihak keturunan Arab juga mulai menyadari kekuasaan mereka kian merosot setelah mereka diruntuhkan dengan sengaja orang-orang Parsi. Karena peristiwa ini, al- Mu’tashim terpaksa mencari keturunan lain yang bisa diharapkan dan memberinya kepercayaan. Dari segi lain al- Mu’tashim mengikuti peperangan yang berkelanjutan dan pertempuran sengit melawan kelompok Zatti, Babik al-Khurrami dan tentara Romawi. Oleh sebab itu ia berpendapat perlunya diperkuat angkatan dengan laskar keturunan-keturunan lain yang dikenal gagah berani untuk mencapai kemenangan di medan peperangan tersebut, tentunya dalam hal kemiliteran pasukan dari etnis Turkilah yang menjadi tumpuhan al- Mu’tashim karena beliau menganggap pasukan tersebut sabar, berani dalam berperang. 30 Terlepas dari uraian diatas, kita bisa melihat pertama kali militer budak itu muncul dari segi waktu maupun perannya yang penting terhadap khalifah. Mengenai budak militer sebaya dengan adanya keberadaan manusia yang menurut sejarah jejaknya terlihat di tiap-tiap jaman dan bangsa. 31 Sejarah menyebutkan peperangan menyebabkan terjadinya atau adanya perbudakan. Penaklukan, dapat melakukan apapun terhadap musuhnya. Ia bisa membunuh tentara yang ditangkapnya, dan peperangan biasanya diikuti oleh sejumlah besar para budak. Kita bisa merasa asing mendengar apa yang di sebut dengan budak. Status budak itu tidak lebih dari sebuah barang yang dimiliki. Keberadaannya bisa 30 Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet- 4 hal.5-6 31 Rizvi Saeed, Slavery From Islamic and Christian Perspektive, Canada: Vancauver Islamoc Educational,tt, hal. 2.