Administrasi PERAN MILITER BUDAK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH

44 Tentara baru tersebut berasal dari etnis Turki yang dimana masa al- Mu‟tashim orang-orang Turki memainkan peranan penting dalam kancah pemerintahan. Saat orang-orang Turki naik tahta kepemerintahan mereka banyak menyiksa bangsa orang-orang Arab, karena sebelumnya orang-orang Arab banyak meremehkan orang-orang Turki setelah orang-orang Turki menang atas orang- orang Arab akhirnya derajat bangsa Arabpun turun. 61 Selain itu, al- Mu‟tashimpun mengirim surat kepada gubernur Mesir untuk menggantikan pegawai Arab dengan orang-orang Turki pernyataan tersebut ada di dalam kitab Tarikh al- Khulafa‟. 62

C. Keagamaan

Al- Mu‟tashim dilantik menjadi khalifah setelah meninggalnya al-Makmun pada bulan Rajab tahun 218 H. Dia bertindak seperti yang dilakukan al-Makmun dan menghabiskan masa-masa akhir hidupnya dengan menguji manusia tentang kemahlukan Al- Qur‟an. Dia menulis surat perintah agar semua penduduk mengakui hal itu. Dia memerintahkan kepada para guru dan pengajar untuk mengajari anak didik mereka menolak menyatakan bahwa Al- Qur‟an itu mahluk. Imam Ahmad sendiri adalah orang yang menerima petaka ini, dia dihukum cambuk. Pencambukan Imam Ahmad ini terjadi pada tahun 220 H. 63 Hal diatas menjelaskan mengenai Mihnah atau Inquisisi yang mana telah dilaksanakan oleh al-Mkamun sebelumnya dan kini al- Mu‟tashimlah yang meneruskannya. 61 Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al- Khulafa’, Juz I, Lebanon: 2008, cet-1 hal. 407. 62 Ibid. 63 Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al- Khulafa’, Juz I, Lebanon: 2008, cet-1 hal. 404. 45 Ketika al- Makmun berkuasa, pada saat itu ajaran Mu‟tazilah sedang berkembang. al-Makmun mengatakan bahwa jabatan negara tidak boleh dipegang oleh orang-orang musyrik orang-orang yang tak seide dengannya. Oleh karena itu, dia mengirim instruksi kepada para gubernurnya agar menguji para pemuka yang berpengaruh di masyarakat. Dengan demikian, timbulah istilah yang dikenal dengan mihnah atau inquisisi. 64 Paham tersebut didekritkan pada tahun 827 M. 65 Mihnah yang dilaksanakan oleh al- Mu‟tashim memakai metode seperti yang ditempuh oleh al-Makmun dengan tidak dialami perubahan sama sekali. 66 Bahkan pada masanya mihnah bukan hanya disebarkan kepada para pejabat maupun ulama, melainkan kepada semua lapisan masyarakat. 67 Beberapa kajian mengetahui ada dua unsur dasar yang melatar belakangi hegomoni al-Makmun ketika berhadapan dengan pluralism. Banyaknya kelompok yang berseberangan pendapat dengan pemerintahan atas dasar hokum agama yang memiliki sejarah panjang sejak periode khulafarrasyidin. 68 Mengenai pergerkan Zindiq, tentu berkaitan erat dengan apa yang menjadi garis kebijakan mihnah yang dijalankan khalifah al- Mu‟tashim. Pergerakan Zindiq lebih berbahaya bagi pemerintahan dan agama dari pergerakan apapun. Pengajaran-pengajaran zindiq sudah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan bermacam-macam interpretasi pengikutnya. 64 Harun Nasution, Teologi Islam Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1973, hal. 58. 65 Grunebeaum,, hal. 205. 66 Ahmad Amin, Duha al-Islam, juz III Kairo: Maktabah Nahdah al-Mishriyah 1936, hal. 178. 67 Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al- Khulafa’, Juz I, Lebanon: 2008, cet-1 hal. 31 68 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 201. 46 Pertama kali pengikut-pengikut kitab suci Zend di Persia dinamakan Zindiq atau Zanadiqa. Istilah ini berlaku bagi mereka yang tidak percaya bagi ketauhidan tuhan tetapi menerima dengan dualismenya. Akhirnya mereka yang percaya pada dua aspek Tuhan yaitu cahaya dan kegelapan, dijelmakan sebagai Yezdan dan Agriman. Orang-orang itu adalah orang-orang kafir, yang mempunyai kebudayaan mereka sendiri.

D. Membangun Kota Sammara

Dalam masa pemerintahan khalifah al-M u‟tashim, militer budak menjadi salah satu tumpuhan perang yang hebat yang dipercayai oleh beliau. Namun, militer budak yang oada awalnya memperkokoh kekuasaan khalifah, tetapi mereka sekaligus menjadi sumber kerusuhan. Kondisi kota Baghdad sendiri disebutkan semakin sesak dengan keturunan orang-orang Turki yang dihimpun oleh khalifah al- Mu‟tashim. Dengan jumlah mereka yang banyak mereka mengganggu hak-hak masyarakat umum serta menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di kota Baghdad. Kejadian ini mendorong penduduk Baghdad untuk datang menemui al- Mu‟tashim, mereka memprotes masalah social baru tersebut seraya berkata “ Jika kamu tidak mengusir mereka dari Baghdad dengan tentaramu, maka kami penduduk Baghdad akan memerangimu”. Al-Mu ‟tashim berkata, “ Bagaimana mungkin kalian bisa memerangiku?” dan mereka berkata, “ Kami akan memerangimu dengan panah malam do‟a” dengan jawaban seperti ini al- Mu‟tashim sudah tidak bisa berbuat apa-apa. 47 Inilah yang menyebabkan dia memindahkan ibu kota khilafah dari Baghdad ke Surra Man Raa. 69 Letak kota Sammara adalah di sebelah timur sungai Dajlah atau Tigris yang jauhnya kurang lebih 100 km si sebelah utara kota Baghdad. Dinamakan demikian, sebab setelah kota tersebut selesai dibangun menjadi kota yang indah dan ramai, serta menarik perhatian bagi s iapa saja yang melihatnya. Samara adalah sebuah kota kuno yang dibangun kembali oleh Daulah Abbasiyah, khususnya pada masa Harun ar-Rasyid. Akan tetapi, apa yang diusahakan oleh ar-Rasyid itu belum sempurna, seperti yang dilakukan al- Mu‟tashim putranya. Sebab ar-Rasyid hanya membangun sebuah istana dan menggali Sungai Qathul yang terletak berdampingan dengan kota Sammara. Pada tahun 221835M, kota ini kemudian dibangun kembali oleh al- Mu‟tashim dengan tujuan: sebagai tempat tinggal yang baru istana bagi khalifah, sebagai hadiah untuk Asynas, slah seorang komandan tentara yang berkebangsaan Turki. 70 , untuk menampung orang-orang Turki yang tidak tertampung di Baghdad, di samping karena mereka dibenci penduduk Baghdad, sebab mereka sering mengadakan kerusuhan dan perkelahian. 71 Pada tahun 223 H, al- Mu‟tashim melakukan peperangan ke negeri Romawi. Serangan ini menimbulkan kerugian yang sangat besar di pihak tentara Romawi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah dilakukan oleh khalifah manapun. Al- Mu‟tashim telah berhasil menghancurleburkan barisan mereka dan 69 Jalaluddin al-suyuti, Tarikh al- Khulafa’, Juz I, Terj. Samson Rahman Pustaka Kausar: 2000, cet-1 hal. 405 70 Br ockleman, Tarikh al- Syu’ub al-Islamiyah, terj. Nabih Amin Faris dan Munir al- Ba‟labaik, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin 1974, cet-4, hal. 210. 71 A hmad Syalabi, Sejarah dan Kebudaan Islam, Terj. Al-Mukkaram Ustad dan Labib Ahmad, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1993 , hal. 195.