Tugas Pokok Militer Budak

33 dan didapati menaruh perhatian penuh terhadap rekan-rekannya di samping setia kepada tuannya, barulah setelah ia berusia tiga puluh lima atau empat puluh tahun, mereka mengangkatnya menjadi amir dan menugaskannya di sebuah propinsi. 40 Selama seribu tahun penuh, yakni sejak awal abad ke 3H9 M hingga awal abad ke 13 H19 M, orang-orang muslim, secara tetap, teratur dan sengaja memperkejakan budak-budak sebagai serdadu. Hal ini terjadi di semua tempat dalam dunia Islam, dan Afrika tengah sampai Asia Tengah, dari Spanyol ke Bengal dalam kurun waktu yang sedemikian panjang yang begitu luas. 41 Berbicara mengenai munculnya pertama kali budak militer dalam Islam, ada dua pertanyaan yang harus dijawab mengenai siapa dan kapan pertama kali terjadinya perbudak militer atau sistem pekerjaannya dan bagaimana hal itu berkembang. pembahasan ilmiah modern semuanya sependapat untuk mengetengahkan nama al- Mu’tashim kedalam usaha untuk memasukkan orang- orang Turki ke dalam angkatan perang dan usahanya untuk mengembangkan perbudakan militer. Dia bertanggung jawab atas kepercayaan yang berlebihan pada suatu bentuk baru dari ketentaraan, sehingga dia telah membuka jalan untuk adanya suatu pengambil alihan kekuasaan militer setelah ia meninggal. Namun dalam hal ini masih ada keraguan, apakah al- Mu’tashim adalah orang pertama kali menggunakan orang-orang Turki atau al- Ma’mun? Dalam kesempatan ini dapat kita sebutkan beberapa pendapat mengenai siapa pertama kali yang memperkejakan serdadu-serdadu budak. Montgomery mengatakan bahwa al- Ma’mun dikatakan sebagai orang yang pertama kali memperkejakan serdadu-serdadu budak dari perbatasan kerajaan, kebanyakan 40 Daniel Pippes, Sistem Militer Pemerintahan Islam , hal. 313-314. 41 Ibid., hal. 93-94. 34 mereka adalah dari suku Barbar dari Sahara atau suku Turki dari seberang sungai Oxsus. Orang-orang itu tidak berpihak kemana-mana dalam pertikaian politik dan pasukan yang lebih baik sebagai pertimbangan utama-mereka. 42 Pernyataan Lapidus justru berbeda dan terkesan kurang jelas dalam memberikan argumentasinya dalam menilai siapa yang pertama kali memasukkan budak Turki dalam ketentaraan. Akan tetapi Lapidus seolah-olah menjelaskan bahwa antara al- Ma’mun dan al-Mu’tashim menyebutkan secara bersamaan. Sampai pada masa khalifah al-Mansur jumlah mereka sangat sedikit. Al-Mansur adalah orang pertama yang sengaja mengumpulkan orang-orang Turki. Pada masa al- Ma’mun peran mereka meningkat, sehingga tujuan awal dari pertama digunakannya orang-orang Turki tersebut sering kali terlupakan. 43 Al- Mu’tashim mengikuti contoh al-Ma’mun untuk membeli orang-orang Turki dengan harga tinggi; dimasukan untuk dilatih secara sistematik beberapa orang untuk menjadi penasehat dan untuk menarik orang-orang Asia tengah masuk Islam serta bergabung dalam ketentaraan muslim. Lebih jauh al- Mu’tashim membeli budak-budak Turki karena pada hakekatnya dia disuruh al- Ma’mun. dengan diakuinya peran utama yang dimainkan al- Ma’mun, slah satu penelaahan yang menyebutkan bahwa, al- Ma’mun telah mengawali penggunaan orang-orang Turki dalam dinas kemiliteran. Biarpun nyatanya al- Ma’mun adalah tokoh yang mengawali praktik ini, namun sistem perbudakan militer belum ada pada masa al- Ma’mun. kesimpulannya adalah al- Mu’tashimlah yang pertama kali dengan sistemnya jelas- jelas adanya perbudakan militer. Akibatnya sebagian besar tentaranya terdiri dari 42 Montgomery W.Watt, Kejayaan Islam, Kajian Kritis Dari Tokoh Orientalis Yogyakarta: Tiara Wicana, 1990. Hal. 123-124. 43 Ira M.Lapidus, Sejarah Ummat Islam, hal. 251. 35 budak Turki, yang kemudian juga mendominasi ketentaraan, sebagian dari mereka sudah memeluk Islam sejak masa Ummayah diantara mereka juga ada yang Majusi dan menyembah berhala dan saat itu pula orang-orang Turki sudah belajar bahsa Arab. 44 44 Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, juz I, Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet-4 hal. 6. 36

BAB IV PERAN MILITER BUDAK PADA MASA PEMERINTAHAN KHALIFAH

AL- MU’TASHIM

A. Keamanan

Sebelum al- Mu‟tashim diangkat menjadi kepala pemerintahan, beliau adalah tangan kanan al- Ma‟mun dalam memadamkan beberapa pemberontakan diantaranya; melawan kaum zot, babik al-khurami, dan meneruskan peperangan dengan Romawi. Dan ketika al- Mu‟tashim menjabat sebagai kepala pemerintahan masalah demi masalah datang kepadanya diantaranya adalah; Pada tahun 218 H 44 834 M, muncul pemberontakan yang dimotori oleh keturunan Ali, yaitu Muhammad Ibnu Qasim bin Ali bin Umar bin Ali bin Husain bin Ali. Pemberontakan tersebut pertama kali muncul di Kuffah dan di Khurasan, yang kemudian merambat ke kota-kota lain. Akan tetapi, lagi-lagi pemberontakan inipun dapat dipadamkan, karena kerja keras yang dilakukan oleh Abdullah bin Thahir. Sedangkan Muhammad sendiri dapat ditangkap dan diserahkan kepada al- Mu‟tashim dan akhirnya dipenjarakan di Sammara, nasibnya tidak diketahui sama sekali. Ketika al- Mu‟tashim diangkat sebagai khalifah ada seorang laki-laki menyatakan bantahannya kepada al- Ma‟mun ketika ia berada di Syam dengan berkata; “wahai amirul mu‟minin lihatlah betapa serupanya apa yang dimiliki orang Arab di Syam dengan apa yang dimiliki ahli Khurasan dan juga mu‟tashim mulai merasa dengan lemahnya kepercayaan orang-orang Furs kepadanya, yang 44 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam , hal. 75. 37 dimana itu ditunjukkan ketika kematian al- Ma‟mun, pada waktu itu tentara- tentara tersebut lebih condong kepada Ibnu Abbas di karenakan keturunan ibunya dari Persia. Dan Tabari menyebutkan, bahwa dari orang-orang Persia sangat menentang ketika di baiatnya Abu Ishaq atau yang lebih dikenal al- Mu‟tashim menjadi kepala pemerintah, dimana mereka meminta dan menyerukan agar al- Abbas yang menjadi kepala kekhalifahan. Maka, saat itu Abu Ishaq mengutus seorang untuk mendatangkan Abu Abbas di hadapannya untuk membaiatnya sebagai kepala khalifah, dan akhirnya Abu Abbas membaitnya. Dari kejadian ini menjadikan Abu Ishaq al- Mu‟tashim agar berfikir untuk tidak mengulangi kejadian ini dan bagaimana caranya untuk meminta pertolongan kepada kaum selain orang Persia dan Arab, yang dimana permintaannya di tujukkan kepada orang-orang Turki. 45 Salah satu dari penggunaan budak militer secara besar-besaran dalam sejarah terjadi dalam ekspedidi al- Mu‟tashim tahun 213 H828 M, yang terdiri dari 4000 orang Turki yang dikirim ke Mesir selama dua tahun. Sementara budak-budak militer datang untuk kemudian menjadi bagian terbesar bagi pasukan Abbasiyah pada dekade-dekade berikutnya. Budak-budak itu mendapat peran yang lebih besar di Mesir. Mereka mencapai puncaknya pada tahun 254 H868 M, ketika seorang putra dari budak Turki, Ahmad bin Tulun menjadi gubernur propinsi Mesir tersebut dan menjadi penguasa yang independen. 46 Sejak pasukan dari Khurasan telah menjadi mandiri di situ pasukan budak militer terlihat berperan sekali pada masa al- Mu‟tashim. Di sana terlihat ada kecenderungan al- Mu‟tashim terhadap pasukan budak untuk dijadikan pengganti 45 Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, ju z I, Mesir: Maktabah Nahdah al-Mishriyah, 1966, cet- 4, hal 3-4. 46 Daniel Pippes, Sistem Militer, hal. 251. 38 pasukan kesukuan dengan di luar pasukan yang bukan dari pasukan kesukuan sebagai basis pasukan yang loyal terhadap dirinya. Al- Mu‟tashim mempunyai kepercayaan yang berlebihan terhadap pasukan dari budak, pada masanya al- Mu‟tashim mampu menghindari bahaya lawan politiknya untuk kembali berkuasa. Pindahnya kekuasaannya ke Sammara‟ setelah mengalami kebosanan di Baghdad. Siasat ini digunakan karena al- Mu‟tashim ingin membentuk sebuah sistem yang kuat dalam kekuasaannya dan beliau memilih orang-orang Turki dalam hal ini. Di antara khalifah Dinasti Abbasiyah yang pernah memanfaatkan tenaga orang-orang Turki adalah al-Mansur, walaupun saat itu jumlahnya relatif sedikit dan belum mempunyai peran apa-apa di dalam istana. Sebab, pada saat itu yang berperan lebih condong kepada orang-orang etnis Arab dan Persia. Akan tetapi, setelah terjadi persaingan antara orang-orang Arab dan Persia pada masa al- Manshur, lenyaplah kekuatan Arab bersamaan dengan lenyaplah kekuasaan al- Amin yang mana berasal dari kubu Arab. Kemudia tumbuhlah kekuasaan Persia yang dimotori oleh khalifah al- Ma‟mun, yang semenjak saat itu al-Mu‟tashim mulai memikirkan bagaimana caranya agar Etnis Persia dapat dilenyapkan dalam tahta kerajaan. 47 Seperti diterangkan dalam latar belakang bahwa dalam segi keturunan beliau berasal dari Turki dan itu kita bisa lihat dari ibunya, yang banyak mempengaruhi tabi‟atnya sehingga beliau berwatak pemberani seperti kebanyakan orang-orang Turki. Jadi merupakan hal yang wajar jika dia berusaha 47 Jurji Zaidan, Tārikh al-Tamaddun al-Islām, juz IV Beirut: Darul Hilal, 1958, hal. 177. 39 untuk mengumpulkan orang-orang Turki yang jumlahnya berkisar antara 8.000- 18.000 orang. 48 Mereka gagah berani, perkasa dan kesehatannya cukup terjamin. Oleh karena itu mereka dilatih kemiliteran, dan diberi tempat yang nyaman dengan pakaian militer sehingga membuat mereka bertambah semangat. Setelah al- Mu‟tashim memegang kendali pemerintahan, banyak diantara mereka yang diberi jabatan penting, seperti pengawal istana dan lain sebagainya. Dengan demikian orang-orang etnis Turki dapat memperkokoh Dinasti Abbasiyah dalam mengahadapi lawan-lawannya, baik dari dalam maupun luar negeri. Adapun orang-orang Turki yang diberi jabatan adalah Afsyin, Asynas, dan Itakh, nama- nama inilah yang mengharumkan masa pemerintahan al- Mu‟tashim dan mereka semuanya merupakan komandan tentara yang pernah berjasa dalam menghadapi tentara Romawi. Meskipun demikian, Afsyin mengadakan kerjasama dengan Maziyar untuk merongrong kekuasaan al- Mu‟tashim. Saat itu, Afsyin ingin melepaskan diri dari pemerintaha pusat dan ingin mendirikan negara yang merdeka di Maa wara‟an-Nahr Transoksania. Di samping itu, dia juga ingin menghidupkan kembali agama lamanya yaitu Majusi, bahkan di rumahnyapun sudah dipasang sebuah patung sebagai sembahyangnya dan juga buku-buku yang berkaitan dengan agama tersebut. Namun, apa yang terjadi akhirnya dia mati diracun dan jenazahnya disalib, kemudian dibakar bersamaan dengan patung yang ada dirumahnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 226 H841 M. 49 48 Ahmad Amin, Zuhr al- Islām, juz I, Mesir: Maktabah Nahdah al- Mishriyah, 1966, cet-4, hal. 3. 49 Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam., hal. 289.