Oleh karena itu, perlu dilakukan budidaya lobster air laut dengan menggunakan keramba jaring apung untuk membantu mencukupi ketersediaan
permintaan pasar yang semakin lama semakin meningkat. Budidaya lobster air laut sulit untuk dilakukan karena terkendala dalam
ketersediaan benih. Benih biasanya diperoleh dari alam yang merupakan sisa-sisa lobster hasil tangkapan yang berukuran kecil, kemudian dilakukan pembesaran di
dalam keramba jaring apung sampai mencapai ukuran layak jual. Untuk itu perlu sebuah alat bantu pengumpul benih juvenil lobster.
Pengumpulan benih juvenil lobster dilakukan dengan cara memikat agar juvenil berkumpul dan operasi penangkapan berjalan mudah. Salah satu cara
memikat juvenil lobster ini dengan pembuatan atraktor. Atraktor yang telah dibuat, kemudian diletakkan di dalam alat yang bernama korang.
Korang merupakan alat pasif yang berguna untuk menampung ikan atau juvenil lobster. Selain itu korang juga digunakan untuk meletakkan atraktor yang
merupakan daya pikat agar ikan dan lobster juvenil dapat berkumpul. Perbedaan atraktor umumnya berpengaruh terhadap tertangkap atau
tidaknya juvenil lobster. Untuk itu perlu dikaji atraktor yang efektif dalam menangkap juvenil lobster tersebut.
Hubungan antara penggunaan atraktor yang berbeda untuk penangkapan juvenil lobster belum diketahui, padahal informasi ini sangat penting untuk
diketahui terutama bagi nelayan yang menangkap sekaligus membudidayakan lobster. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh jenis
atraktor terhadap hasil tangkapan juvenil lobster.
1.2 Tujuan
1. Membandingkan hasil tangkapan juvenil lobster dengan korang
menggunakan atraktor yang berbeda. 2.
Menganalisis pengaruh atraktor terhadap hasil tangkapan juvenil lobster. 3.
Menentukan atraktor yang efektif untuk penangkapan juvenil lobster dengan korang.
1.3 Manfaat
Hasil penelitian yang dicapai diharapkan dapat memberikan masukan bagi nelayan untuk menentukan jenis atraktor yang tepat sehingga efektivitas
penangkapan juvenil lobster dapat tercapai.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lobster
2.1.1 Biologi lobster
Lobster merupakan hewan nokturnal, yang berarti mencari makan di malam hari. Lobster memakan kumpulan benthic yang berbeda jenis dan spesies fauna
lainnya. Lobster juga memakan hewan lunak mollusca seperti siput, krustasea kecil, echinoderm, polychaeta Phillip Kittaka 2000.
Tubuh lobster diselubungi dengan kerangka kulit yang keras dan berzat kapur serta terdapat duri-duri. Pada kerangka kulit ini terdapat warna-warna yang
indah. Duri-duri besar dan kecil yang kukuh serta tajam-tajam mulai dari ujung sungut kedua second antenna, kepala, bagian belakang badannya abdomen dan
lembaran ekornya Subani 1978.
Sumber: http:research.myfwc.com 18 Sep 2011
Gambar 1 Bagian-bagian tubuh lobster
Antennule
Antennae
Carapace
Abdomen
Menurut Holthuis 1991, lobster yang terkait dengan Genus Panulirus, diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Phyllum : Arthropoda
Class : Crustacea Order : Decapoda
Sub Order : Macrura Reptantia Super Family : Palinuroidea
Family : Palinuridae Genus : Panulirus
Species :
Panulirus homarus
Linnaeus 1758
Panulirus longipes Milne Edward 1868 Panulirus ornatus Fabricius 1798
Panulirus penicillatus Olivier 1791 Panulirus polyphagus Herbst 1793
Panulirus versicolor Latreille 1804 Menurut Williams 1986, jenis lobster yang tertangkap di perairan selatan
Jawa adalah: 1 Lobster hijau pasir Panulirus homarus; 2 Lobster bunga Panulirus longipes; 3 Lobster mutiara Panulirus ornatus; 4 Lobster batu
Panulirus penicillatus; 5 Lobster bambu coklat Panulirus polyphagus; dan 6 Lobster hijau Panulirus versicolor.
Ciri-ciri khusus lobster yang hidup di seluruh perairan pantai di Indonesia adalah Moosa dan Aswandy 1984; Holthuis 1991:
1 Lobster hijau pasir Panulirus homarus Linnaeus 1758 Lobster ini bernama Scalloped spiny lobster nama internasional dan lobster
hijau pasir nama indonesia. Lobster ini mempunyai warna dasar kehijauan atau kecoklatan dengan dihiasi bintik-bintik terang tersebar di seluruh permukaan
segmen abdomen dan kaki bebercak-bercak putih. Ukuran panjang tubuh maksimum adalah 31 cm, panjang karapas 12 cm dan rata-rata panjang tubuh
antara 20 – 25 cm. Panulirus homarus aktif di malam hari dan hidup berkoloni.
Lobster mendiami perairan dangkal antara 1 – 90 meter, kebanyakan berada pada
kedalaman 1 – 5 meter dan tinggal diantara batu-batu, sering di zona ombak,
kadang-kadang di air agak keruh. Lobster muda mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kekeruhan, sedangkan lobster dewasa lebih menyukai perairan
yang cerah.
Sumber: Holthuis 1991.
Gambar 2 Lobster hijau pasir Panulirus homarus Linnaeus 1758
Penyebaran secara geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik Barat, Afrika Timur ke Jepang, Indonesia, Australia dan Kaledonia Baru. Penyebaran lobster ini
di wilayah perairan Pulau Jawa adalah di perairan Teluk Palabuhanratu, Pameungpeuk, Pacitan, Tanjung Panaitan, dan Kepulauan Seribu.
Sumber: Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan derah sebaran
lobster Panulirus homarus di seluruh dunia.
Gambar 3 Penyebaran lobster hijau pasir Panulirus homarusi Linnaeus 1758
2 Lobster bunga Panulirus longipes Milne Edwards 1868 Lobster ini bernama Longlegged spiny lobster nama internasional dan lobster
bunga nama indonesia. Lobster ini berwarna dasar kecoklatan dengan warna kebiruan pada ruas I antenna. Lobster ini memiliki bintik puti di bagian abdomen.
Kaki jalan berbintik-bintik putih dengan warna pucat memanjang pada tiap-tiap ruas kaki. Ukuran panjang tubuh maksimum adalah 30 cm dengan rata-rata
panjang tubuh antara 20 – 25 cm, dan maksimum panjang karapas 12 cm dengan
rata-rata panjang karapas antara 8 – 10 cm. Panulirus longipes mendiami tempat
yang sedikit terlindung dan menyukai perairan yang bersifat oseanik. Lobster ini tinggal di dalam lubang batu atau karang dan pada malam hari naik ke tubir untuk
mencari makan. Lobster hidup di air yang jernih atau sedikit keruh pada kedalaman antara 1
– 18 m meskipun ditemukan juga pada kedalaman perairan 122 m di daerah berbatu dan terumbu karang, aktif di malam hari dan hidup
soliter.
Sumber: Holthuis 1991.
Gambar 4 Lobster bunga Panulirus longipes Milne Edwards 1868. Penyebaran geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik Barat, Afrika Timur
ke Jepang dan Polinesia. Dua sub-spesies yang dikenali sebagai Panulirus longipes adalah lobster wilayah barat yang mendiami dari Afrika Timur ke
Thailand, Taiwan, Filipina dan Indonesia, sedangkan lobster wilayah timur yang dikenali dengan sub-spesies Panulirus femoristriga mendiami Jepang, Maluku,
Papua New Guinea, Australia timur, Kaledonia baru dan Polinesia. Penyebaran
lobster ini di wilayah perairan Pulau Jawa adalah di perairan Pangandaran dan Situbondo.
Sumber: Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan derah sebaran
lobster Panulirus longipes di seluruh dunia.
Gambar 5 Penyebaran lobster bunga Panulirus longipes Milne Edwards 1868 3 Lobster mutiara Panulirus ornatus Fabricius 1798
Lobster ini bernama Ornate spiny lobster nama internasional dan lobster mutiara nama indonesia. Lobster ini memiliki warna dasar biru kehijauan sampai biru
kekuningan. Pada bagian segmen abdomen berwarna kegelapan pada bagian tengah dan bagian sisi mempunyai bercak putih. Lobster ini memiliki kaki
bebercak putih. Lobster ini mendiami perairan dangkal di pantai antara 1 – 8 m
yang kadang-kadang sedikit keruh, tetapi juga ditemukan pada kedalaman lebih dari 50 m. Hidup di substrat berpasir dan berlumpur, kadang-kadang di bawah
batu dan terumbu karang. Lobster ini memiliki ukuran panjang maksimum hingga 50 cm. Lobster mutiara Panulirus ornatus biasanya ukurannya jauh lebih kecil,
yaitu antara 30 – 35 cm.
Sumber: Holthuis 1991.
Gambar 6 Lobster mutiara Panulirus ornatus Fabricius 1798
Penyebaran geografis lobster ini berada di Indo-Pasifik Barat dari Laut Merah dan Afrika Timur, ke selatan Jepang, Kepulauan Solomon, Papua New
Guinea, Australia, Kaledonia Baru dan Fiji. Tahun 1988, lobster ini ditemukan di pantai timur Israel di Mediterania. Penyebaran lobster ini adalah di wilayah
perairan selatan Pulau Jawa yaitu di perairan Teluk Palabuhanratu, Pameungpeuk, Tanjung Panaitan, dan kepulauan Seribu.
Sumber: Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah
sebaran lobster Panulirus ornatus di seluruh dunia.
Gambar 7 Penyebaran lobster mutiara Panulirus ornatus Fabricius 1798 4 Lobster batu Panulirus penicillatus Olivier 1791
Lobster ini bernama pronghorn spiny lobster nama internasional dan
lobster batu nama indonesia. Lobster ini berwarna dasar hijau muda sampai hijau kecoklatan. Lobster jantan biasanya berwarna lebih gelap. Kaki berwarna
putih. Habitat dari lobster batu Panulirus penicillatus ini mendiami perairan dangkal antara 1
– 4 m dengan substrat berbatu dan kondisi air jernih serta tidak dipengaruhi oleh adanya keberadaan sungai. Lobster ini seringkali berada dalam
zona surfing dan dalam perairan bergelombang. Oleh karena itu sering berada di dekat pantai dan pulau-pulau kecil. Lobster ini aktif pada malam hari dan hidup
soliter. Panjang tubuh maksimum sekitar 40 cm, panjang tubuh lobster dewasa sekitar 30 cm. Lobster jantan biasanya memiliki ukuran tubuh jauh lebih besar
dibandingkan betina.
Sumber: Holthuis 1991.
Gambar 8 Lobster batu Panulirus penicillatus Olivier 1791 Penyebaran geografis berada di Indo-Pasifik Barat dan Pasifik Timur: Laut
Merah, timur Afrika ke Jepang, Hawaii, Samoa, dan Kepulauan Tuamotu dan lebih ke timur ke pulau-pulau lepas pantai barat Amerika Pulau Clipperton,
Kepulauan Revillagigedo, Pulau Cocos, Kepulauan Galapagos dan di beberapa daerah dekat pantai Meksiko Sinaloa, Nayarit, dan Guerrero.
Penyebaran lobster ini di wilayah perairan selatan Pulau Jawa adalah di perairan Teluk Palabuhanratu,
Pameungpeuk, Pacitan, dan Tanjung Panaitan.
Sumber: Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran
lobster Panulirus penicillatus di seluruh dunia.
Gambar 9 Penyebaran lobster batu Panulirus penicillatus Olivier 1791 5 Lobster bambu coklat Panulirus polyphagus Herbst 1793
Lobster ini bernama mud spiny lobster nama internasional dan lobster bambu coklat nama indonesia. Lobster ini memiliki warna dasar hijau muda
kebiruan dengan garis putih melintang terdapat pada setiap segmen. Kaki bercak putih. Panulirus polyphagus mendiami perairan yang keruh dan sering ditemukan
hidup pada dasar laut yang berlumpur dengan kisaran kedalaman perairan antara 3 – 90 m, tapi biasanya pada kedalaman di bawah 40 m. Panjang tubuh maksimum
dapat mencapai 40 cm dengan rata-rata panjang tubuh antara 20 – 25 cm.
Sumber: Holthuis 1991.
Gambar 10 Lobster bambu coklat Panulirus polyphagus Herbst 1793
Penyebaran geografis berada di Indo-Pasifik Barat: mulai dari pantai Pakistan dan India ke Vietnam, Filipina, Indonesia, Barat Laut Australia dan Teluk
Papua. Penyebaran lobster ini di wilayah perairan selatan Pulau Jawa adalah di perairan Teluk Palabuhanratu, Pameungpeuk, dan Tanjung Panaitan.
Sumber: Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran
lobster Panulirus polyphagus di seluruh dunia.
Gambar 11 Penyebaran lobster bambu coklat Panulirus polyphagus Herbst 1739
6 Lobster hijau Panulirus versicolor Latreille 1804 Lobster ini bernama painted spiny lobster nama internasional dan lobster
hijau nama indonesia. Lobster ini memiliki warna-warni yang indah. Antenna berwarna merah jambu di bagian dasarnya dan warna yang serupa juga terlihat
pada bagian sisi karapas. Warna dasar lobster adalah hijau terang dengan garis putih melintang yang diapit oleh garis hitam. Pada lobster yang masih muda
warna dasarnya adalah kebiruan atau keunguan. Panulirus versicolor mendiami perairan dangkal dari sublitoral hingga ke kedalaman 15 m, di daerah terumbu
karang, di perairan yang jernih dan daerah surfing. Lobster ini aktif pada malam hari dan hidup soliter. Panjang tubuh maksimum dapat mencapai 40 cm dan rata-
rata panjang tubuh adalah kurang dari 30 cm.
Sumber: Holthuis 1991.
Gambar 12 Lobster hijau Panulirus versicolor Latreille 1804
Penyebaran geografis pada lobster hijau Panulirus versicolor berada di Indo-Pasifik Barat: mulai dari Laut Merah dan seluruh pantai timur Afrika, ke
selatan Jepang, Mikronesia, Melanesia, Australia Utara dan Polinesia. Penyebaran lobster ini di wilayah perairan Pulau Jawa adalah di perairan Teluk
Palabuhanratu, Pameungpeuk, Tanjung Panaitan, kepulauan Seribu, dan Situbondo.
Sumber: Holthuis 1991. Keterangan: daerah yang diarsir dengan warna merah pada gambar merupakan daerah sebaran
lobster Panulirus versicolor di seluruh dunia.
Gambar 13 Penyebaran lobster hijau Panulirus versicolor Latreille 1804 Salah satu yang paling mengesankan dan menjadi karakteristik dari
Panulirus sp. adalah jarak tempuh migrasi selama hidupnya yang terkadang
membuat suatu model tertentu Herrnkind 1980. Migrasi dari Panulirus sp. berupa musiman dan terjadi di sekitar pantai, lepas pantai dan sepanjang garis
pantai serta melakukan migrasi secara bergerombol Phillips Kittaka 2000.
2.1.2 Siklus hidup lobster
Phillips et al. 1980 mengatakan bahwa lobster memiliki lima fase yaitu dewasa, telur, filosoma larva, puerulus post-larva dan juvenil. Tiap fase diikuti
dengan pergantian kulit. Menurut Subani 1984 dalam Utami 1999, semenjak telur menetas
menjadi larva hingga mencapai tingkat dewasa dan akhirnya mati, maka selama pertumbuhannya lobster selalu mengalami pergantian kulit molting. Pergantian
kulit tersebut lebih sering terjadi pada stadia larva. Menurut Subani 1984 dalam Nawangwulan 2001, secara umum dikenal
adanya tahapan stadia larva, ya itu “naupliosoma”, “filosoma”, “puerulus”.
Perubahan dari stadia satu ke stadia berikutnya selalu terjadi pergantian kulit yang diikuti perubahan-perubahan bentuk metamorpose yang terlihat dengan adanya
modfikas-modifikasi terutama pada alat geraknya. Pada stadia filosoma pergantian kulit yang terakhir, terjadi stadia baru yang bentuknya sudah mirip lobster dewasa
walaupun kulitnya belum mengeras atau belum mengandung zat kapur. Pertumbuhan berikutnya setelah mengalami pergantian kulit lagi, terbentuklah
lobster muda yang kulitnya sudah mengeras karena diperkuat adanya zat kapur. Bentuk dan sifatnya sudah mirip lobster dewasa induknya atau disebut dengan
juvenil. Naupliosoma biasanya terjadi dalam tempo pendek, kemudian setelah
mengalami pergantian kulit menjadi yang disebut filosoma. Stadia ini berbentuk pipih, tembus cahaya dan memiliki kaki-kaki yang berfungsi sebagai alat apug
berenang. Stadia filosoma terdiri dari beberapa tingkatan dan tiap tingkatan dicirikan oleh adanya umbai-umbai, bulu-bulu cetae dan bentuk dari cephalic
shield Subani 1984. Pergantian kulit yang terakhir dari stadia filosoma, terjadi stadia baru yang
bentuknya sudah mirip lobster dewasa walaupun kulitnya belum mengeras belum mengandung zat kapur. Stadia ini disebut “puerila”. Pertumbuhan berikutnya
setelah mengalami pergantian kulit lagi, terbentuklah lobster muda yang kulitnya sudah mengeras karena diperkuat adanya zat kapur. Bentuk dan sifatnya sudah
mirip dengan lobster dewasa induknya atau disebut sebagai juvenil. Mereka hidup di dasar perairan karang, liang-liang atau lubang-lubang karang Subani
1984. Phillips Kittaka 2000 mengatakan bahwa pada fase juvenil, mereka baru terpisah menjadi hewan yang hidupnya di alga atau memasuki fase benthic.
Juvenil lobster ini memiliki tiga perbedaan fase ekologi yaitu fase algal, muda, dan post-algal. Pada fase algal, juvenil lobster memiliki panjang karapas
CL sekitar 5-15 mm. Pada juvenil muda, ukuran panjang yang dimiliki yaitu sekitar 20-45 mm, sedangkan pada fase post-algal panjang karapas yang dimiliki
juvenil lobster sekitar 45 mm. Fase ini banyak ditemukan pada bulan September sampai dengan November Phillips Kittaka 2000.
Lama hidup sebagai stadia larva untuk lobster berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Lobster yang hidup di perairan tropis prosesnya lebih cepat
dibandingkan yang hidup di daerah sub-tropis, yaitu memerlukan waktu sekitar 3 sampai 7 bulan Subani 1984 diacu dalam Utami 1999.
2.1.3 Musim dan daerah penangkapan lobster
Menurut Muljanah et al. 1994, pada perikanan lobster dikenal 2 siklus musim, yaitu:
1 Siklus Musim Lima Tahunan
Siklus musim ini merupakan musim besar yang terjadi setiap 4 - 5 tahun sekali. Siklus ini pernah dialami pada tahun 1886 yang diikuti tahun 1991. Pada
musim besar yang tertangkap sangat banyak dan berlangsung setiap bulan sepanjang tahun.
2 Siklus Musim Tahunan
Siklus musim ini berlangsung sekitar 5 bulan per tahun. Siklus ini umumnya berlangsung antara bulan September sampai dengan bulan Januari yang biasanya
bersamaan dengan musim hujan. Pada musim paceklik biasanya ombak besar sehingga nelayan sulit melaut.
Lobster banyak terdapat di Perairan Indonesia karena terdapatnya habitat yang baik berupa karang yang tumbuh subur. Perairan Indonesia mempunyai
iklim tropis dan mempunyai suhu rata-rata 28
o
C Suman et al. 1993. Lobster ini biasanya terdapat pada kedalaman 10 - 15 m. Pada siang hari lobster ini
bersembunyi diantara karang-karang, gua-gua karang dan pada malam hari keluar mencari makan ke tempat-tempat yang relatif dekat sekali dengan pantai terutama
pada waktu air pasang Suman et al. 1993.
2.2 Rumpon
Rumpon adalah suatu benda menyerupai pepohonan yang dipasang di suatu tempat di laut. Menurut SK Mentan No. 51KptsIK.250197, rumpon
didefinisikan sebagai alat bantu, penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Berdasarkan tempat pemasangan dan pemanfaatan
rumpon menurut SK tersebut, dikategorikan ada 3 jenis rumpon, yaitu : 1
Rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut.
2 Rumpon perairan dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman sampai dengan 200 meter.
3 Rumpon perairan dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang
dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman lebih 200 meter. Martasuganda 2008 mengatakan bahwa tujuan pemasangan rumpon di
suatu perairan adalah untuk memikat ikan yang beruaya agar mau singgah, beristirahat, berkumpul, atau terkonsentrasi di sekitar rumpon, sehingga akan
mempermudah nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan fishing ground. Kepastian daerah penangkapan ikan menyebabkan waktu dan biaya
operasi penangkapan bisa diprediksi secara akurat sehingga usaha penangkapan ikan menjadi lebih efektif dan efisien.
Disamping berfungsi sebagai pengumpul kawanan ikan, rumpon pada prinsipnya juga memudahkan kawanan ikan untuk ditangkap sesuai dengan alat
tangkap yang dikehendaki. Penggunaan rumpon oleh kapal penangkap ikan juga dapat menghemat waktu dan bahan bakar, karena tidak perlu lagi mencari dan
mengejar gerombolan-gerombolan ikan Subani 1986; Wudianto dan Linting 1988.
Menurut Badan Litbang Perikanan 1992, rumpon yang dikembangkan saat ini dapat dikelompokkan berdasarkan :
1 Posisi dari pemikat atau pengumpul agregator, rumpon dibagi mejadi
rumpon perairan permukaan dan lapisan tengah dan dasar. Rumpon perairan permukaan dan lapisan tengah terdiri dari jenis rumpon perairan dangkal
dan rumpon perairan dalam. 2
Kriteria portabilitas, rumpon dikelompokkan menjadi rumpon yang dijangkar secara tetap statis dan rumpon yang dijangkar tetapi dapat
dipindah-pindah dinamis 3
Tingkat teknologi yang digunakan, rumpon dikelompokkan menjadi tradisional dan moderen.
Rumpon tradisional umumnya digunakan oleh nelayan tradisional yang terdiri dari pelampung, tali jangkar atau pemberat serta pemikat yang dipasang
pada kedalaman 200 - 300 meter. Rumpon moderen umumnya terdiri dari pelampung yang terbuat dari bahan plat besi atau drum, tali jangkar terbuat dari
kabel baja steel wire, tali sintesis dan dilengkapi dengan swivel, pemberat biasanya terbuat dari semen cor. Pemikat biasanya terbuat dari bahan alami dan
bahan sintesis seperti ban, pita plastik dan lain-lain Nahumury 2001. Rumpon merupakan
alat pemikat ikan yang digunakan untuk
mengkonsentrasikan ikan sehingga operasi penangkapan ikan dapat dilakukan dengan mudah Subani 1972 . Cara pengumpulan ikan dengan pikatan berupa
benda terapung tersebut menurut Sondita 1986 yang merupakan salah satu bentuk dari Fish Aggregating Device FAD, yaitu metode benda atau bangunan
yang dipakai sebagai sarana untuk penangkapan ikan dengan cara memikat dan mengumpulkan ikan tersebut.
Subani 1972 menerangkan bahwa biasanya kegiatan penangkapan di sekitar rumpon dilakukan setelah sepuluh hari rumpon tersebut dipasang.
Beberapa hari setelah rumpon ditanam dan bila diketahui bahwa di sekitar rumpon tersebut banyak kerumunan ikan kemudian baru dilakukan operasi penangkapan
ikan. Rumpon laut dalam maupun rumpon laut dangkal secara garis besar terdiri
dari empat komponen utama yaitu 1 pelampung atau float, 2 tali panjang atau
rope, 3 pemikat ikan atau atraktor, 4 pemberat atau sinker. Pada tali yang menghubungkan antara pemberat dan pelampung pada jarak tertentu disisipkan
atraktor dengan panjang tali yang bervariasi. Setelah dipasang kedudukan rumpon ini ada yang dapat diangkat-angkat, tetapi ada pula yang bersifat tetap tergantung
pada pemberat yang digunakan Subani 1986. Tim Pengkaji Rumpon Institut Pertanian Bogor 1987 mengemukakan
bahwa persyaratan umum komponen dari konstruksi rumpon adalah: 1
Pelampung float; mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik bagian yang mengapung di atas 13 bagian, konstruksi cukup kuat, tahan
terhadap gelombang, mudah dikenali dari jarak jauh dan bahan pembuatannya mudah diperoleh.
2 Pemikat atraktor; mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan, tahan
lama, mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke bawah dan terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama dan kuat.
3 Tali temali rope; terbuat dari bahan yang kuat dan tidak mudah busuk,
harga relatif murah, mempunyai daya apung yang cukup untuk mencegah gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap arus dan tidak
bersimpul less knot. 4
Pemberat sinker; bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh serta massa jenisnya besar, permukaannya tidak licin dan dapat mencengkram.
Boy dan Smith 1984 menerangkan bahwa appendage atau atraktor yang berupa daun kelapa, tyrewall, jaring dan kumpulan tali-temali yang diikatkan pada
bagian rakit telah berhasil meningkatkan efektivitas rumpon untuk memikat ikan. Keng 1978 mengemukakan bahwa atraktor alami seperti daun kelapa
Cocos nucifera Linn, daun kelapa sawit Elaeis gunieensis Jacq. dan daun aren Arenga saccharifera Labiil masuk ke dalam famili yang sama yaitu famili
Cycadaceae, hanya genus dan spesiesnya saja yang berbeda. Betuk fisik diantara ketiganya hampir sama yaitu: pohon tinggi, bentuk daun pinnate atau palmate
seperti kipas, pelepah daun berserabut, tidak kasar dan bentuknya tidak tubular serta buah simetris.
Soedharma 1994 menyatakan bahwa hal yag perlu diperhatikan pada rumpon adalah penggantian atraktor secara berkala, karena atraktor merupakan
komponen yang paling mudah rusak dibandingkan komponen rumpon lainnya. Atraktor yang terlalu lama diletakkan pada rumpon akan menyebabkan semakin
sedikit ikan-ikan yang berkumpul disekitarnya.
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian