BAHAN DAN ALAT Simpulan

11 II. METODOLOGI

3.1 BAHAN DAN ALAT

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah SCFA butirat yang dihasilkan dari fermentasi pati resisten tipe 3 dengan bakteri fermentatif Clostridium butyricum BCC B2571 yang berasal dari Balai Besar Veteriner Bogor. Pati resisten yang digunakan merupakan pati ubi jalar varietas Jago yang diperoleh dari Balai Penelitian Ubi-ubian dan Serealia Baliser Malang. Sampel yang digunakan berupa cell free supernatant yang memiliki rasio molar asam asetat, propionat, dan butirat 52.95 mM : 66.93 mM : 92.41 mM atau 1 : 1.3 : 1.7. SCFA butirat ini kemudian diperlakukan pada sel VERO ATCC CCL-81 dan sel HCT-116 ATCC CCL-247 yang didapat dari Pusat Studi Satwa Primata Bogor. Sel VERO merupakan sel lestari non kanker yang diisolasi dari organ ginjal monyet hijau afrika dewasa sedangkan sel HCT 116 merupakan sel kanker kolon yang diisolasi dari jaringan kolon manusia. Bahan yang digunakan adalah media Dulbecco’s Modified Eagle Medium DMEM Gipco USA yang disuplementasikan dengan Fetal Bovine Serum 10 Gipco USA dan antibiotik penisilin 100 unitmL; streptomycin 100μgmL Invitrogen USA, Phosphate Buffer Saline PBS 1X steril Gipco USA, Trypsin 0.25, Glutaraldehyde 2, serta pewarna Hoescht 33258 10 mgL Sigma USA. Sedangkan alat yang digunakan adalah flask T25, hemasitometer, mikroskop inversi, mikroskop fluorosencence, biosafety cabinet, refrigerator, mikro pipet, pipet steril, sentrifuse 1500 G, tabung sentrifuse, water-bath, spectrophotometry double beam, microplate 24 well.

3.2 METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu : tahap penyiapan sel dan pengkulturan sub kultur, tahap analisa toksisitas dengan metode hemasitometer, dan tahap deteksi apoptosis dengan pewarnaan Hoescht 33258.

3.2.1 Penyiapan Sel dan Pengkulturan Sub Kultur Purwani, 2011

Sel yang digunakan untuk analisis ini merupakan sel yang dibekukan dalam freezer bersuhu -70°C sehingga harus dilakukan pencairan thawing dalam water-bath bersuhu 37°C. Sel tersebut kemudian ditanam ke dalam flask T25 dengan diisikan media Dulbecco’s Modified Eagle Medium DMEM yang telah disuplementasikan dengan serum Fetal Bovine Serum 10 dan antibiotik penisilin 100 unitmL ; streptomycin 100 μgmL. Setelah ditanam dalam flask T25, sel kemudian diinkubasikan dalam inkubator bersuhu 37°C dan 5 CO 2 . Sub kultur sel dilakukan setiap seminggu sekali dengan bergantung pada jumlah konfluensi sel yang telah mencapai 100. Selain itu, untuk menjaga kebutuhan nutrisi sel yang cukup maka media diganti setiap 2-3 hari. Proses subkultur sel dilakukan dengan membuang media sel dalam flask yang kemudian ditambahkan dengan Phosphate Buffered Saline PBS 1X sebanyak 5 ml untuk mencuci media yang masih tertinggal dalam flask T25. Setelah PBS dibuang, trypsin 0.25 sebanyak 5 ml ditambahkan ke dalam flask untuk melepaskan sel yang menempel pada dinding-dinding flask kemudian diinkubasikan pada 12 suhu 37°C dan 5 CO 2 selama 5-10 menit. Media sebanyak 3 ml kemudian ditambahkan pada flask T25 berisi trypsin 0.25 dan dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse. Suspensi sel kemudian disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Setelah mendapatkan pellet dan supernatan, media kemudian dibuang untuk membuang sekaligus menghentikan kerja trypsin hingga yang tersisa hanya pellet. Pellet kemudian diresuspensikan dengan media segar DMEM sebanyak 3 ml dan dihitung dengan hemasitometer untuk mengetahui jumlah sel yang akan ditanam secara akurat. Setiap sub kultur, sel yang ditanam sebanyak 1x10 5 sel ke dalam flask T25.

3.2.2 Analisa Toksisitas Purwani. 2011

Analisa toksisitas dengan metode hemasitometer dilakukan pada sel VERO dan sel HCT-116. Analisis ini dilakukan untuk mencari konsentrasi yang tepat dari SCFA butirat yang memiliki toksisitas kurang dari 50 terhadap sel VERO serta konsentrasi SCFA butirat yang memiliki daya toksisitas lebih dari 50 terhadap sel HCT-116. Tahap awal yang dilakukan adalah penanaman sel pada microplate 24 well dengan jumlah 1x10 4 sel dan disuplementasi dengan 1 ml media tumbuh untuk setiap well. Tahap selanjutnya adalah pengenceran SCFA dari konsentrasi awal ke beberapa konsentrasi yaitu 10 mM; 5 mM; 2.5 mM; 1.25 mM; dan 0.625 mM untuk sel VERO dan konsentrasi 1.25 mM; 0.625 mM; 0.313 mM; 0.156 mM; dan 0.078 mM untuk sel HCT-116. Pada tiap konsentrasi pengenceran SCFA butirat dengan media DMEM dipersiapkan sebanyak 2 mL. Media sel dalam microplate 24 well kemudian diganti dengan media yang telah diencerkan dengan konsentrasi SCFA yang telah dibuat. Setiap konsentrasi yang dibuat dilakukan duplo. Sel dalam media yang mengandung konsentrasi SCFA hasil pengenceran tersebut kemudian diinkubasikan kembali pada suhu 37°C dan CO 2 5 selama 48 jam. Setelah 48 jam, sel kemudian dihitung menggunakan me tode hemasitometer sebanyak 50 μL menggunakan tryphan blue 0.1, pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop inversi. Pada perhitungan, jumlah selmL dapat dihitung dengan rumus : Persen inhibisi dapat dihitung dengan rumus Purwani, 2011: Keterangan: A = Jumlah sel hidup pada kontrol B = Jumlah sel hidup pada perlakuan dengan SCFA pada konsentrasi tertentu 13

3.2.3 Deteksi Apoptosis menggunakan pewarnaan Hoechst

33258 Purwani, 2011 Deteksi apoptosis menggunakan pewarnaan Hoechst 33258 ini dilakukan pada sel HCT-116 yang telah diberikan perlakuan dengan SCFA butirat dengan tiga konsentrasi yang dipilih dari hasil perhitungan hemasitometer yang menunjukkan daya inhibisi tinggi terhadap sel HCT-116 dan daya inhibisi rendah terhadap sel VERO yaitu pada konsentrasi 0.625 mM, 1.00 mM, dan 1.25 mM. Deteksi apoptosis ini dilakukan pada slide chamber 8 well dengan menanamkan sebesar 10 4 sel HCT-116 per well dan diikubasi selama 24 jam pada inkubator bersuhu 37°C dan CO 2 5. Setelah inkubasi, media dibuang kemudian diganti dengan media berisi konsentrasi pengenceran 1.25 mM; 1.00 mM; dan 0.625 mM dan diinkubasi kembali selama 48 jam. Pewarnaan dilakukan setelah inkubasi 48 jam. Media tumbuh sel dibuang kemudian sel dicuci dengan Phosphate Buffer Saline 1X sebanyak tiga kali pencucian. Fiksasi sel dimulai dengan menambahkan glutaraldehyde 2 sebanyak 250 μL per well kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam. Pencucian glutaraldehyde 2 kemudian dilakukan dengan PBS 1X selama tiga kali. Tahap selanjutnya adalah pewarnaan dengan Hoechs t 33258 10 mgL sebanyak 250 μL per well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah 30 menit, pencucian kembali dilakukan dengan PBS 1X untuk menghilangkan sisa-sisa pewarna ataupun larutan-larutan yang tersisa yang dapat menghambat pengamatan. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop fluoroscent dengan eksitasi cahaya pada 365 nm dan emisi cahaya pada 460 nm.

3.2.4 Deteksi Gula Pereduksi dengan Metode DNS Miller, 1959

Metode DNS merupakan metode yang digunakan untuk mengukur kandungan gula pereduksi yang terdapat dalam suatu bahan pangan, dalam penelitian ini metode ini digunakan untuk mengukur jumlah gula pereduksi yang terkandung pada SCFA butirat dengan konsentrasi tertentu. Prinsip dari pengukuran dengan metode DNS ini gula pereduksi yang memiliki suasana alkali basa mereduksi asam 3,5-dinitrosalisilat DNS membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. Perubahan warna yang terbentuk adalah cairan sampel ketika dipanaskan berubah menjadi warna merah.

3.2.4.1 Penyiapan Pereaksi DNS

Pereaksi DNS dibuat dengan melarutkan 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisilat dan 19,8 g NaOH ke dalam 1416 ml air. Setelah itu ditambahkan 306 g Na-K Tartrat, 7,6 g fenol yang dicairkan pada suhu 50oC dan 8,3 g Na-Metebisulfit. Larutan ini diaduk rata, kemudian 3 ml larutan ini dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkusar 5-6 ml. Jika kurang dari itu harus ditambahkan 2 g NaOH untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N. 14

3.2.4.2 Penetapan Kurva Standar Glukosa

Kurva standar glukosa dibuat dengan mengukur nilai gula pereduksi pada glukosa pada selang 0,2 – 0,5 mgl. Kemudian nilai gula pereduksi dicari dengan metode DNS. Hasil yang didapatkan diplotkan dalam grafik secara linier. Tetapi dalam penelitian ini, kurva standar glukosa dibuat pada selang 0.001- 0.01 μgml.

3.2.4.3 Penetapan Total Gula Pereduksi

Pengujian gula pereduksi menggunakan kurva standar DNS adalah sebagai berikut : 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Biarkan sampai dingin pada suhu ruang. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 550 nm menggunakan spektrofotometer. Blanko yang digunakan adalah 1 ml aquades dengan 3 ml pereakis DNS. 15 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. TOKSISITAS SHORT CHAIN FATTY ACID TERHADAP SEL VERO

DAN SEL HCT-116 Pengamatan terhadap toksisitas SCFA dilakukan terhadap sel VERO dan sel HCT-116. Sel VERO merupakan sel lestari non kanker yang berasal dari organ ginjal kera hijau Afrika Purwani, 2011. Sel VERO ini digunakan karena sel ini dapat beradaptasi untuk tumbuh di suspensi, mampu tumbuh dalam media serum free dan protein free yang dengan kata lain sel VERO ini digunakan karena sel lestari yang berasal dari organ kolon sangat terbatas dan tidak dapat diperoleh secara komersil . Pengamatan toksisitas SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO ini dilakukan setelah sel diinkubasikan selama 48 jam dengan menggunakan metode perhitungan hemacytometer pada mikroskop inversi. Dengan metode hemacytometer ini, sel dihitung dalam microplate 24 well sebanyak 50μL dengan menggunakan tryphan blue 0.1. Penggunaan tryphan blue ini berfungsi untuk mewarnai sel yang telah mati. Menurut Freshney 1987, reaktivitas pewarna tryphan blue didasarkan pada kemampuan chromopore yang bermuatan negatif dan tidak berinteraksi dengan membran sel kecuali pada sel yang rusak. Maka itu, pewarna tryphan blue ini hanya mewarnai sel yang telah rusak atau mati sehingga pada saat pengamatan sel, sel yang hidup dapat terlihat sebagai sel yang tidak mengalami perubahan warna menjadi biru. Selain sifat dari tryphan blue yang dapat mewarnai, pewarna tryphan blue dapat menjadi toksik terhadap sel hidup apabila dilakukan kontak cukup lama. Penghitungan sel ini dilakukan dengan menggunakan metode hemasitometer. Metode hemasitometer merupakan metode yang umumnya digunakan untuk menghitung jumlah sel dalam suatu kultur sel. 16 Tabel 1. Inhibisi SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO Konsentrasi SCFA butirat mM Inhibisi Kontrol 0.00 0.625 33.33 1.25 46.97 2.5 56.06 5 56.06 10 84.85 Tabel 2. Inhibisi SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel HCT 116 Konsentrasi SCFA butirat mM Inhibisi Kontrol 0.00 0.078 -41.67 tidak menghambat 0.156 -54.17 tidak menghambat 0.313 -22.92 tidak menghambat 0.625 8.33 1.25 85.42 SCFA butirat yang digunakan merupakan SCFA yang dihasilkan dari proses fermentasi pati resisten ubi jalar jago terhadap bakteri Clostridium butyricum BCC B2571. Fermentasi ubi jalar ini menghasilkan rasio molar asetat : propionat : butirat sebesar 52.95 mM : 66.93 mM : 92.41 mM atau 1 : 1.3 : 1.7 . SCFA butirat dengan konsentrasi 92.41 mM kemudian diencerkan sehingga mencapai konsentrasi butirat sebesar 0.625 mM hingga 10 mM. Pemilihan konsentrasi butirat sebesar 0.625 mM hingga 10 mM didasarkan pada studi sebelumnya. Menurut Adiputra 2012, konsentrasi SCFA butirat dari pati resisten tipe 3 ubi jalar Sukuh hasil fermentasi Eubacterium rectale 17629 mulai 1.25 mM hingga 10 mM telah diteliti toksik terhadap sel VERO. Pada Tabel 1 didapatkan bahwa pada 17 konsentrasi mulai dari 2.5 mM hingga 10 mM SCFA butirat toksik terhadap sel VERO. Hal ini dikarenakan perbedaan jenis bakteri yang digunakan pada proses fermentasi dan perbedaan jenis sumber pati resisten yang digunakan. Berbeda dengan Purwani 2011, supernatan yang mengandung SCFA asetat, propionat, butirat yang berasal dari pati resisten sagu pada konsentrasi 2.7 mM tidak toksik terhadap sel VERO. Hal ini dapat dikarenakan perbedaan jenis bakteri yang digunakan pada proses fermentasi dan perbedaan jenis sumber pati resisten yang digunakan. Perbedaan polimorfisme pati resisten dapat menginduksi koloni bakteri yang berbeda yang juga mengakibatkan pembentukan SCFA butirat yang berbeda jumlah Lesmes et al. 2008 Berdasarkan Tabel 1 toksisitas SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO pada beberapa konsentrasi menunjukkan daya inhibisi yang berbeda-beda. Inhibisi tertinggi terdapat pada konsentrasi SCFA 10 mM yaitu sebesar 84.85, persen inhibisi selanjutnya diikuti oleh konsentrasi SCFA 5 mM sebesar 56.06 dan konsentrasi 2.5 mM sebesar 56.06. Pada konsentrasi 1.25 mM daya inhibisi yang dicapai rendah 50 yaitu sebesar 46.97, dan inhibisi terkecil terdapat pada konsentrasi 0.625 mM yaitu sebesar 33.33. Apabila dilihat dari besar inhibisi yang didapat maka semakin besarnya konsentrasi SCFA yang diberikan pada sel VERO maka semakin besar pula daya inhibisinya. Data ini sejalan dengan Purwani 2011 yang menyatakan bahwa supernatan SCFA butirat hasil fermentasi Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap pati resisten tipe 3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase pada konsentrasi 2.7 mM tidak toksik terhadap sel VERO, tetapi pada konsentrasi 10.6 mM toksik terhadap sel VERO. Pada Tabel 2 menunjukkan besar penghambatan yang dihasilkan SCFA butirat terhadap sel HCT-116. Sel HCT-116 merupakan sel kanker kolon yang digunakan dalam penelitian. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil perlakuan SCFA butirat pada beberapa konsentrasi terpilih terhadap sel HCT-116 berpengaruh terhadap persen inhibisi yang terjadi. Berdasarkan Tabel 2, inhibisi tertinggi terdapat pada konsentrasi 1.25 mM dengan nilai penghambatan sebesar 85.42 . Pada konsentrasi 0.625 mM besar penghambatan yang dihasilkan sebesar 8.33 . Berbeda dengan Purwani 2011, pada konsentrasi 2.7 mM SCFA hasil fermentasi Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap pati resisten tipe 3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase dapat menghambat pertumbuhan sel HCT 116 sebanyak 13.3 dan pada konsentrasi SCFA butirat 10.6 mM memberikan hambatan maksimum sebesar 66.7. Perbedaan besar konsentrasi yang mampu menghambat pertumbuhan sel HCT 116 dapat disebabkan karena perbedaan jenis asal pati resisten yang digunakan. Menurut Lesmes et al 2008, perbedaan polimorfisme pati resisten dapat menginduksi koloni bakteri yang berbeda yang juga mengakibatkan pembentukan SCFA butirat yang berbeda jumlah. Pada tiga konsentrasi selanjutnya, SCFA butirat menghasilkan nilai minus pada pertumbuhan sel kanker. Konsentrasi 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM masing-masing memberikan nilai penghambatan sebesar -22.92 , -54.17 , dan -41.67. Nilai minus yang terdapat pada Tabel 2 menggambarkan besar nilai pertumbuhan sel HCT 116. Pengujian lanjut untuk mengetahui faktor yang dapat memicu pertumbuhan sel HCT-116 ini adalah dengan melakukan pengujian terhadap gula pereduksi yang terkandung dalam SCFA butirat pada konsentrasi yang memberikan nilai pertumbuhan tertinggi yaitu konsentrasi 0.156 mM dan 0.078 mM. Konsentrasi 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM penghambatan menunjukkan nilai minus, apabila dilihat dari konsentrasi sel yang ada, hal ini dapat diakibatkan pada konsentrasi tersebut terdapat growth factor atau komponen- komponen yang mampu menunjang perkembangan sel dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi SCFA butirat yang diberikan. Salah satu growth factor yang dibutuhkan oleh sel adalah gula sebagai sumber energinya. 18 Tabel 3. Konsentrasi gula pereduksi pada konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM Konsentrasi sampel mM Rata-rata μgml 0.078 0.0085 0.156 0.0056 Berdasarkan data pada Tabel 3, pada dua konsentrasi sampel terkecil yaitu 0.078 mM dan 0.0156 mM menghasilkan jumlah gula pereduksi sebesar 0.0085 μgml dan 0.0056 μgml. Hal ini menunjukkan bahwa kedua konsentrasi ini mengandung sejumlah gula yang merupakan sumber energi pertumbuhan dari sel. Gula-gula ini dapat berasal dari fermentasi pati menjadi SCFA dengan dihasilkannya piruvat dan laktat. Glukosa merupakan salah satu jenis karbohidrat yang sering digunakan sebagai sumber energi kultur sel. proses fermentasi pati menjadi SCFA merpakan proses dari metabolisme glukosa. Bahan utama dari fermentasi ini adalah gula-gula sederhana seperti glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Gula-gula sederhana ini merupakan gula pereduksi. Sebagai penghasil energi pertumbuhan sel, glukosa dapat disubstitusi dengan fruktosa atau galaktosa. Pada pertumbuhan yang lambat, kedua gula pereduksi ini dapat mereduksi pembentukan asam laktat Freshney. 1992. Pada konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM, SCFA tidak dapat menghambat pertumbuhan sel kanker karena pada kedua konsentrasi tersebut terkandung gula pereduksi. Berdasarkan data Tabel 3, Konsentrasi gula pereduksi semakin bertambah banyak pada konsentrasi yang lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan adanya gula pereduksi yang belum termetabolisme sempurna sehingga masih terkandung dalam SCFA. 19 Bahan Jumlah gL Calcium Chloride2H 2 O 0.265 Ferric Nitrate9H 2 O 0.0001 Magnesium Sulfate 0.09767 Potassium Chloride 0.4 Sodium Chloride 6.4 Sodium Phosphate Mono 0.109 L-ArginineHCl 0.084 L-Cystine2HCl 0.0626 L-Glutamine 0.584 Glycine 0.03 L-HistidineHClH 2 O 0.042 L-Isoleucine 0.105 L-Leucine 0.105 L-LysineHCl 0.146 L-Methionine 0.03 L-Phenylalanine 0.066 L-Serine 0.042 L-Threonine 0.095 L-Tryptophan 0.016 L-Tyrosine2Na2H 2 O 0.10379 L-Valine 0.094 Choline Chloride 0.004 Folic Acid 0.004 myo-Inositol 0.0072 Niacinamide 0.004 D-Pantothenic Acid, Ca 0.004 PyridoxalHCl 0.004 Riboflavin 0.0004 ThiamineHCl 0.004 D-Glucose 1 Gambar 4. Komposisi Dulbecco Modified Eagle’s Medium DMEM. Medium DMEM merupakan medium yang digunakan untuk menunjang pertumbuhan sel HCT 116 Purwani. 2011 Gambar 4 merupakan gambar yang menjelaskan komposisi nutrien-nutrien yang terdapat dalam media DMEM. Komposisi media DMEM juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan sel kanker. Sel membutuhkan growth factors untuk tumbuh. Beberapa growth factors seperti asam amino yang dibutuhkan oleh sel untuk pembentukan protein dan sintesis asam nukleat DNA dan RNA, sumber karbohidrat seperti glukosa yang berfungsi untuk memberikan energi pertumbuhan bagi sel, serta beberapa vitamin seperti kolin, asam folat, pyridoxal, riboflavin, asam pantothenat, thiamin, dan inositol Freshney. 1992. Pada pengenceran konsentrasi 0.078 mM, 0.156 mM, dan 0.313 mM, jumlah media DMEM yang digunakan untuk menumbuhkan sel HCT 116 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SCFA butirat yang dicampurkan dengan media sehingga tidak menghambat pertumbuhan sel HCT 116 tetapi menumbuhkan sel HCT 116 karena faktor-faktor penunjang pertumbuhan tersedia cukup untuk menunjang pertumbuhan sel HCT 116. 20 Pemilihan dua konsentrasi lanjutan yang digunakan dalam analisis daya inhibisi pada sel HCT-116 ini dilakukan dengan melihat besar konsentrasi SCFA butirat yang toksisitas atau persen inhibisi kurang dari 50 pada sel Vero. Konsentrasi 1.25 mM dan 0.625 mM dipilih sebagai konsentrasi pengenceran selanjutnya untuk perlakuan SCFA butirat terhadap sel HCT-116. Menurut Ruemmele et al 19 99 efek penghambatan butirat dapat diamati pada konsentrasi 0.1 mM 100 μM dengan maksimal penghambatan sekitar 30-50 terdapat pada konsentrasi 10 mM. Berbeda dengan hasil yang didapat, pada konsentrasi 1.25 mM efek penghambatan butirat terletak cukup tinggi lebih dari 50 yaitu sekitar 85.42. SCFA butirat yang difermentasi dari pati resisten tipe 3 ubi jalar Jago ini menunjukkan daya penghambatan yang lebih tinggi pada konsentrasi yang lebih rendah dari studi sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dari sel kanker yang digunakan sehingga terjadi perbedaan hasil yang didapatkan Adiputra. 2012 Gambar 5. Besar nilai penghambatan pertumbuhan dengan perlakuan SCFA butirat terhadap sel VERO dan sel HCT-116 pada berbagai konsentrasi Pada gambar 5 menggambarkan efek inhibisi pada berbagai konsentrasi SCFA butirat terhadap sel VERO dan sel HCT-116 terlihat bahwa daya penghambatan sel kanker dengan pemberian perlakuan SCFA pada berbagai konsentrasi pada sel VERO dan sel HCT-116 cukup berbeda. Pada konsentrasi 1.25 mM, perlakuan pada sel VERO menunjukkan inhibisi sebesar 46.97 sedangkan pada sel HCT-116 menunjukkan inhibisi sebesar 85.42. Data ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi SCFA butirat yang sama, SCFA butirat memiliki kemampuan untuk menghambat perkembangan sel HCT-116 lebih besar dibandingkan pada sel VERO. Hal ini diduga karena adanya perbedaan sifat permukaan sel antara sel normal dengan sel kanker Purwani. 2011. Pada sel normal, permukaan selnya memiliki letak mikrovili yang seragam, sedangkan pada sel kanker yang memiliki DNA cacat letak mikrovilinya tidak seram, hal ini berakibat pada sel normal SCFA digunakan sebagai sumber energi dan metabolisme sel tetapi pada sel kanker SCFA digunakan untuk menghambataktivitas enzim histon deacetylase HDAC yang mengakibatkan terjadinya apoptosis. 21 Gambar 6. Sel VERO dengan perlakuan SCFA butirat: a tanpa perlakuan; b 0.625 mM; dan c 10 mM a b c 22 Gambar 7. Sel HCT 116 dengan perlakuan SCFA butirat a tanpa perlakuan; b 0.625 mM; dan c 1.25 mM Dari gambar 6 terlihat bahwa sel VERO dengan perlakuan 10 mM c memperlihatkan morfologi sel yang rusak dengan ditandai jumlah sel yang tidak konfluen tidak penuh. Morfologi ini dapat disebabkan oleh adanya cytophatic effect. Menurut Brouqui et al 1994, efek cytopathic sel yang terinfeksi mudah terlihat dan ciri perkembangannya cenderung ditandai dengan kelompok sel a b c 23 bengkak dan bulat yang terjadi secara individu atau dalam fokus kecil dan menjadi menonjol di atas sel normal di sekitarnya. Pada perlakuan terhaadap sel VERO pada konsentrasi 0.625 mM, sel masih terlihat konfluen penuh, hal ini sejalan dengan tabel 1 yang memperlihatkan konsentrasi 0.625 mM pada sel VERO menghasilkan penghambatan sebesar 50. Cytophatic effect ini digunakan sebagai penanda bahwa sel tersebut mulai menunjukkan keabnormalannya. Gambar 7 memperlihatkan morfologi sel HCT-116 tanpa perlakuan, konsentrasi 0.625 mM, dan konsentrasi 1.25 mM. Pada konsentrasi tanpa perlakuan terlihat bahwa sel HCT mengalami pertumbuhan dengan terlihatnya sel yang berkumpul membentuk koloni sehingga menyerupai suatu benjolan besar, sedangkan pada konsentrasi 0.625 mM sel HCT-116 terlihat tidak begitu konfluen, pada konsentrasi 1.25 mM terlihat bahwa tingkat konfluen sel HCT-116 lebih sedikit, terlihat dari jumlah sel HCT-116 yang lebih sepi dibandingkan pada konsentrasi 0.625 mM. Menurut Hinnebusch et al 2002, kemampuan short chain fatty acid untuk menginduksi penghambatan pertumbuhan sel, diferensiasi, dan apoptosis di sel kanker kolon tergantung pada efek histon hiperasetilasi. SCFA butirat dapat menaikkan jumlah dari histon asetilasi dan menghambat aktivitas histon deasetilisasi HDAC. Pada konsentrasi SCFA butirat 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM sel HCT-116 mengalami pertumbuhan, hal ini dapat dikarenakan saat konsentrasi 0.078 mM sampai 0.313 mM jumlah butirat yang terkandung dalam ekstrak tidak mencukupi untuk menghambat HDAC. Karena HDAC tidak terhambat maka kromatin sel tidak kompak yang menyebabkan fragmentasi DNA tidak terjadi. DNA tergabung dalam suatu bentuk kompak bernama kromatin, suatu komplek DNA-protein yang dinamis. Subunit inti dari kromatin yaitu nukleosom yang terbuat dari suatu oktamer dari 4 inti histon Ruijter et al. 2003. Berbeda halnya pada konsentrasi 0.625 mM, SCFA butirat masih mampu menghambat HDAC. Berdasarkan studi Davie 2003, selama penghambatan aktivitas HDAC oleh butirat, aktivitas HAT tetap berlangsung yang menyebabkan histon hiperasetilisasi masih tersedia sehingga penghambatan sel HCT-116 tetap berlangsung. HAT ini memiliki aktivitas sebagai koaktifator transkripsi dan berperan sebagai gen promoter dari faktor transkripsi maka HAT dapat meningkatkan jumlah histon asetilase dan meningkatkan transkripsi promoter Davie. 2003.

B. DETEKSI APOPTOSIS HASIL PERLAKUAN SCFA TERHADAP SEL HCT-116

Sel dapat mengalami kerusakan salah satunya dengan cara apoptosis. Apoptosis merupakan suatu kematian sel secara terprogram yang melibatkan sel tersebut sendiri. Istilah apoptosis ini berasal pada tahun 1972 dari literatur biomedis untuk menjelaskan struktur khas kematian sel yang menggambarkan kehilangan sel dalam jaringan hidup. Kerusakan sel ini dimulai dengan adanya penyusutan sel yang disertai oleh transien, tetapi sel kemudian mengalami penggemukan dan blebbing dari permukaan, dan berakhir pada pemisahan sel ke dalam beberapa bagian-bagian yang dibatasi oleh membran tubuh. Deteksi apoptosis ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop fluorscent. Sebelum pengamatan, sel diberikan pewarnaan hoescht 33258. Pada pewarnaan ini, pewarna Hoechst akan menembus membran plasma dan DNA dalam sel. Berbeda dengan sel normal, inti sel yang mengalami apoptosis memberikan warna sangat kental kromatin yang seragam saat diwarnai dengan Hoechst 33342. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bentuk crescent sekitar pinggiran inti, atau inti keseluruhan dapat terlihat seperti berbentuk manik-manik bulat terang. 24 Gambar 8. Hasil pewarnaan Hoechst pada beberapa konsentrasi SCFA butirat a tanpa perlakuan; b 0.625 mM; c 1.25 mM b a c 25 Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop fluorescent, apoptosis terjadi pada sel HCT-116 pada perlakuan dengan konsentrasi 1.25 mM. Apoptosis ini terlihat dengan adanya fragmentasi DNA ditunjukkan oleh tanda panah yang merupakan salah satu dari ciri khas terjadinya apoptosis Gambar 8. Pada pengamatan, fragmentasi DNA pada konsentrasi SCFA butirat 1.25 mM lebih banyak dibandingkan pada konsentrasi SCFA butirat 0.625 mM dan tanpa perlakuan. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa butirat dapat menghambat perkembangan sel kanker melalui apoptosis Purwani 2012; Ruemmele 1999;. Tabel 4. Besar penghambatan butirat pada beberapa sel kanker dari berbagai bahan dan kemampuan apoptosisnya Bahan Jenis sel kanker Konsentrasi mM Persen inhibisi Jenis bakteri Apoptosis Rasio molar asetat : propionat : butirat RS 3 dihidrolisis enzim amilase Sagu RSSA Purwani. 2011 HCT 116 2.7 13.30 Clostridium butyricum BCC B2571 ada 2 : 1 : 1 RS 3 dihidrolisis enzim amilase Sagu RSSA Purwani. 2011 HCT 116 7.2 71.40 Eubacterium rectale DSM 17629 ada 2 : 1 : 1 RS 3 Ubi Jalar Sukuh Adiputra. 2012 HCT 116 0.65 75.10 Eubacterium rectale DSM 17629 ada 1.3 : 1.1 : 1 RS 3 Ubi Jalar Jago HCT 116 1.25 85.42 Clostridium butyricum BCC B2571 ada 1 : 1.3 : 1.7 Chios Mastic Gum Balan et al. 2005 HCT 116 0.05 50.00 tidak ada ada tidak disebutkan SCFA butirat Ruemmell e et al. 1999 Caco-2 5 87.90 tidak ada ada tidak disebutkan Tabel 4 memperlihatkan bahwa apoptosis terjadi pada sel kanker yang diberikan perlakuan dengan butirat. Besar penghambatan sel kanker berbeda-beda tergantung dari jenis bahan penghasil butirat dan jenis bakteri penghasil butirat. Pada beberapa studi, besar penghambatan pertumbuhan sel kanker yang diberikan pearlakuan SCFA butirat dari berbagai bahan menghasilkan nilai yang berbeda. 26 Pada SCFA butirat hasil fermentasi RS 3 Ubi Jalar Jago yang merupakan sampel penelitian ini memperlihatkan bahwa pada konsentrasi 1.25 mM memberikan nilai penghambatan sebesar 85.42, bila dibandingkan dengan SCFA butirat hasil fermentasi RS3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase pada konsentrasi lebih tinggi 2.7 mM memberikan penghambatan pertumbuhan sebesar 13.3 padahal kedua perlakuan ini menggunakan bakteri fermentatif yang sama yaitu Clostridium butyricum BCC B2571. Perbedaan bahan yang digunakan untuk menghasilkan SCFA butirat mempengaruhi nilai konsentrasi serta besar penghambatan SCFA butirat terhadap sel kanker. Apoptosis merupakan suatu proses fisiologis kematian sel yang terprogram terhadap sel yang tidak berguna dieliminasi selama pembentukan dan proses biologis normal lainnya. Mekanisme dari apoptosis erat kaitannya dengan mekanisme aktivasi caspase. Balan et al 2005 menyebutkan bahwa aktivasi caspase-3 merupakan muara dari aktivasi caspase-8 dan caspase-9, dan dikaitkan dengan proses kematian. Pengaktifan caspase-8 menginduksi aktivasi dari bid suatu domain untuk mengaktifkan gen Bcl BH3. Gen BH3 ini kemudian menempel pada protein Bax yang memicu keluarnya sitokrom-C dari mitokondria. Protein Bax merupakan salah satu protein yang pro terhadap apoptosis dan digunakan untuk menginduksi keluarnya sitokrom-C dari mitokondria, sehingga dapat mengaktifkan caspase-9 untuk memicu terjadinya fragmentasi DNA. Caspase berperan penting dalam apoptosis dengan mengaktifkan DNAase, menghambat DNA repairing enzyme, dan memecah struktur protein di inti sel Elmore. 2007 Gambar 9. Mekanisme apoptosis sel Elmore. 2007 Beberapa studi menyebutkan mekanisme apoptosis dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu death receptor, perubahan struktur membran, protease cascade sinyal untuk mengaktifkan famili sistein protease intraseluler, perubahan mitokondria pengeluaran sitokrom-C, dan fragmentasi DNA. Gambar 9 menggambarkan proses apoptosis melalui tiga jalur yaitu jalur ekstrinsik, jalur intrinsic jalur mitokondria, dan jalur perforin. Ketiga jalur ini memiliki muara yang sama yaitu pada pengaktifan caspase 3. Pengaktifan caspase 3 menyebabkan terjadinya fragmentasi DNA. Fragmentasi DNA merupakan tanda terjadinya apoptosis pada sel. 27 IV. KESIMPULAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, SCFA butirat hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 ini dapat menghambat perkembangan sel kanker kolon dengan cara apoptosis. Konsentrasi SCFA butirat sebesar 1.25 mM menunjukkan persen inhibisi yang tinggi sebesar 85.42 terhadap sel HCT-116 tetapi pada perlakuan dengan sel VERO menunjukkan persen inhibisi yang rendah yaitu sebesar 46.97. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi SCFA butirat sebesar 1.25 mM toksik terhadap sel HCT-116 dan tidak toksik terhadap sel VERO. Pada konsentrasi SCFA butirat 0.078 mM, 0.156 mM, dan 0.313 mM tidak mampu menghambat pertumbuhan sel kanker sebesar - 41.67, -54.17, dan -22.92. Hasil uji gula pereduksi terhadap konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM menunjukkan bahwa kedua konsentrasi tersebut mengandung sejumlah gula pereduksi sebesar 0.0085 μgml dan 0.0056 μgml. Semakin kecil konsentrasi SCFA maka jumlah gula pereduksi yang terkandung semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya jumlah sel kanker pada ketiga konsentrasi tersebut dapat disebabkan karena adanya kandungan gula pereduksi yang berfungsi sebagai sumber energi bagi pertumbuhan sel kanker. Selain itu adanya asam-asam amino, vitamin, serta growth factor lain yang terdapat dalam media pertumbuhan sel HCT 116 juga dapat mempengaruhi pertumbuhan sel HCT 116. Penghambatan perkembangan sel HCT-116 juga didukung oleh hasil deteksi apoptosis pada konsentrasi SCFA butirat 1.25 mM dan 0.625 mM menunjukkan adanya apoptosis yang terjadi pada sel HCT-116 dengan terlihatnya fragmentasi DNA pada sel HCT 116.

5.2 Saran