TOKSISITAS SHORT CHAIN FATTY ACID TERHADAP SEL VERO

15 III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. TOKSISITAS SHORT CHAIN FATTY ACID TERHADAP SEL VERO

DAN SEL HCT-116 Pengamatan terhadap toksisitas SCFA dilakukan terhadap sel VERO dan sel HCT-116. Sel VERO merupakan sel lestari non kanker yang berasal dari organ ginjal kera hijau Afrika Purwani, 2011. Sel VERO ini digunakan karena sel ini dapat beradaptasi untuk tumbuh di suspensi, mampu tumbuh dalam media serum free dan protein free yang dengan kata lain sel VERO ini digunakan karena sel lestari yang berasal dari organ kolon sangat terbatas dan tidak dapat diperoleh secara komersil . Pengamatan toksisitas SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO ini dilakukan setelah sel diinkubasikan selama 48 jam dengan menggunakan metode perhitungan hemacytometer pada mikroskop inversi. Dengan metode hemacytometer ini, sel dihitung dalam microplate 24 well sebanyak 50μL dengan menggunakan tryphan blue 0.1. Penggunaan tryphan blue ini berfungsi untuk mewarnai sel yang telah mati. Menurut Freshney 1987, reaktivitas pewarna tryphan blue didasarkan pada kemampuan chromopore yang bermuatan negatif dan tidak berinteraksi dengan membran sel kecuali pada sel yang rusak. Maka itu, pewarna tryphan blue ini hanya mewarnai sel yang telah rusak atau mati sehingga pada saat pengamatan sel, sel yang hidup dapat terlihat sebagai sel yang tidak mengalami perubahan warna menjadi biru. Selain sifat dari tryphan blue yang dapat mewarnai, pewarna tryphan blue dapat menjadi toksik terhadap sel hidup apabila dilakukan kontak cukup lama. Penghitungan sel ini dilakukan dengan menggunakan metode hemasitometer. Metode hemasitometer merupakan metode yang umumnya digunakan untuk menghitung jumlah sel dalam suatu kultur sel. 16 Tabel 1. Inhibisi SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO Konsentrasi SCFA butirat mM Inhibisi Kontrol 0.00 0.625 33.33 1.25 46.97 2.5 56.06 5 56.06 10 84.85 Tabel 2. Inhibisi SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel HCT 116 Konsentrasi SCFA butirat mM Inhibisi Kontrol 0.00 0.078 -41.67 tidak menghambat 0.156 -54.17 tidak menghambat 0.313 -22.92 tidak menghambat 0.625 8.33 1.25 85.42 SCFA butirat yang digunakan merupakan SCFA yang dihasilkan dari proses fermentasi pati resisten ubi jalar jago terhadap bakteri Clostridium butyricum BCC B2571. Fermentasi ubi jalar ini menghasilkan rasio molar asetat : propionat : butirat sebesar 52.95 mM : 66.93 mM : 92.41 mM atau 1 : 1.3 : 1.7 . SCFA butirat dengan konsentrasi 92.41 mM kemudian diencerkan sehingga mencapai konsentrasi butirat sebesar 0.625 mM hingga 10 mM. Pemilihan konsentrasi butirat sebesar 0.625 mM hingga 10 mM didasarkan pada studi sebelumnya. Menurut Adiputra 2012, konsentrasi SCFA butirat dari pati resisten tipe 3 ubi jalar Sukuh hasil fermentasi Eubacterium rectale 17629 mulai 1.25 mM hingga 10 mM telah diteliti toksik terhadap sel VERO. Pada Tabel 1 didapatkan bahwa pada 17 konsentrasi mulai dari 2.5 mM hingga 10 mM SCFA butirat toksik terhadap sel VERO. Hal ini dikarenakan perbedaan jenis bakteri yang digunakan pada proses fermentasi dan perbedaan jenis sumber pati resisten yang digunakan. Berbeda dengan Purwani 2011, supernatan yang mengandung SCFA asetat, propionat, butirat yang berasal dari pati resisten sagu pada konsentrasi 2.7 mM tidak toksik terhadap sel VERO. Hal ini dapat dikarenakan perbedaan jenis bakteri yang digunakan pada proses fermentasi dan perbedaan jenis sumber pati resisten yang digunakan. Perbedaan polimorfisme pati resisten dapat menginduksi koloni bakteri yang berbeda yang juga mengakibatkan pembentukan SCFA butirat yang berbeda jumlah Lesmes et al. 2008 Berdasarkan Tabel 1 toksisitas SCFA hasil fermentasi bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap sel VERO pada beberapa konsentrasi menunjukkan daya inhibisi yang berbeda-beda. Inhibisi tertinggi terdapat pada konsentrasi SCFA 10 mM yaitu sebesar 84.85, persen inhibisi selanjutnya diikuti oleh konsentrasi SCFA 5 mM sebesar 56.06 dan konsentrasi 2.5 mM sebesar 56.06. Pada konsentrasi 1.25 mM daya inhibisi yang dicapai rendah 50 yaitu sebesar 46.97, dan inhibisi terkecil terdapat pada konsentrasi 0.625 mM yaitu sebesar 33.33. Apabila dilihat dari besar inhibisi yang didapat maka semakin besarnya konsentrasi SCFA yang diberikan pada sel VERO maka semakin besar pula daya inhibisinya. Data ini sejalan dengan Purwani 2011 yang menyatakan bahwa supernatan SCFA butirat hasil fermentasi Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap pati resisten tipe 3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase pada konsentrasi 2.7 mM tidak toksik terhadap sel VERO, tetapi pada konsentrasi 10.6 mM toksik terhadap sel VERO. Pada Tabel 2 menunjukkan besar penghambatan yang dihasilkan SCFA butirat terhadap sel HCT-116. Sel HCT-116 merupakan sel kanker kolon yang digunakan dalam penelitian. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil perlakuan SCFA butirat pada beberapa konsentrasi terpilih terhadap sel HCT-116 berpengaruh terhadap persen inhibisi yang terjadi. Berdasarkan Tabel 2, inhibisi tertinggi terdapat pada konsentrasi 1.25 mM dengan nilai penghambatan sebesar 85.42 . Pada konsentrasi 0.625 mM besar penghambatan yang dihasilkan sebesar 8.33 . Berbeda dengan Purwani 2011, pada konsentrasi 2.7 mM SCFA hasil fermentasi Clostridium butyricum BCC B2571 terhadap pati resisten tipe 3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase dapat menghambat pertumbuhan sel HCT 116 sebanyak 13.3 dan pada konsentrasi SCFA butirat 10.6 mM memberikan hambatan maksimum sebesar 66.7. Perbedaan besar konsentrasi yang mampu menghambat pertumbuhan sel HCT 116 dapat disebabkan karena perbedaan jenis asal pati resisten yang digunakan. Menurut Lesmes et al 2008, perbedaan polimorfisme pati resisten dapat menginduksi koloni bakteri yang berbeda yang juga mengakibatkan pembentukan SCFA butirat yang berbeda jumlah. Pada tiga konsentrasi selanjutnya, SCFA butirat menghasilkan nilai minus pada pertumbuhan sel kanker. Konsentrasi 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM masing-masing memberikan nilai penghambatan sebesar -22.92 , -54.17 , dan -41.67. Nilai minus yang terdapat pada Tabel 2 menggambarkan besar nilai pertumbuhan sel HCT 116. Pengujian lanjut untuk mengetahui faktor yang dapat memicu pertumbuhan sel HCT-116 ini adalah dengan melakukan pengujian terhadap gula pereduksi yang terkandung dalam SCFA butirat pada konsentrasi yang memberikan nilai pertumbuhan tertinggi yaitu konsentrasi 0.156 mM dan 0.078 mM. Konsentrasi 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM penghambatan menunjukkan nilai minus, apabila dilihat dari konsentrasi sel yang ada, hal ini dapat diakibatkan pada konsentrasi tersebut terdapat growth factor atau komponen- komponen yang mampu menunjang perkembangan sel dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi SCFA butirat yang diberikan. Salah satu growth factor yang dibutuhkan oleh sel adalah gula sebagai sumber energinya. 18 Tabel 3. Konsentrasi gula pereduksi pada konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM Konsentrasi sampel mM Rata-rata μgml 0.078 0.0085 0.156 0.0056 Berdasarkan data pada Tabel 3, pada dua konsentrasi sampel terkecil yaitu 0.078 mM dan 0.0156 mM menghasilkan jumlah gula pereduksi sebesar 0.0085 μgml dan 0.0056 μgml. Hal ini menunjukkan bahwa kedua konsentrasi ini mengandung sejumlah gula yang merupakan sumber energi pertumbuhan dari sel. Gula-gula ini dapat berasal dari fermentasi pati menjadi SCFA dengan dihasilkannya piruvat dan laktat. Glukosa merupakan salah satu jenis karbohidrat yang sering digunakan sebagai sumber energi kultur sel. proses fermentasi pati menjadi SCFA merpakan proses dari metabolisme glukosa. Bahan utama dari fermentasi ini adalah gula-gula sederhana seperti glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Gula-gula sederhana ini merupakan gula pereduksi. Sebagai penghasil energi pertumbuhan sel, glukosa dapat disubstitusi dengan fruktosa atau galaktosa. Pada pertumbuhan yang lambat, kedua gula pereduksi ini dapat mereduksi pembentukan asam laktat Freshney. 1992. Pada konsentrasi 0.078 mM dan 0.156 mM, SCFA tidak dapat menghambat pertumbuhan sel kanker karena pada kedua konsentrasi tersebut terkandung gula pereduksi. Berdasarkan data Tabel 3, Konsentrasi gula pereduksi semakin bertambah banyak pada konsentrasi yang lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan adanya gula pereduksi yang belum termetabolisme sempurna sehingga masih terkandung dalam SCFA. 19 Bahan Jumlah gL Calcium Chloride2H 2 O 0.265 Ferric Nitrate9H 2 O 0.0001 Magnesium Sulfate 0.09767 Potassium Chloride 0.4 Sodium Chloride 6.4 Sodium Phosphate Mono 0.109 L-ArginineHCl 0.084 L-Cystine2HCl 0.0626 L-Glutamine 0.584 Glycine 0.03 L-HistidineHClH 2 O 0.042 L-Isoleucine 0.105 L-Leucine 0.105 L-LysineHCl 0.146 L-Methionine 0.03 L-Phenylalanine 0.066 L-Serine 0.042 L-Threonine 0.095 L-Tryptophan 0.016 L-Tyrosine2Na2H 2 O 0.10379 L-Valine 0.094 Choline Chloride 0.004 Folic Acid 0.004 myo-Inositol 0.0072 Niacinamide 0.004 D-Pantothenic Acid, Ca 0.004 PyridoxalHCl 0.004 Riboflavin 0.0004 ThiamineHCl 0.004 D-Glucose 1 Gambar 4. Komposisi Dulbecco Modified Eagle’s Medium DMEM. Medium DMEM merupakan medium yang digunakan untuk menunjang pertumbuhan sel HCT 116 Purwani. 2011 Gambar 4 merupakan gambar yang menjelaskan komposisi nutrien-nutrien yang terdapat dalam media DMEM. Komposisi media DMEM juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan sel kanker. Sel membutuhkan growth factors untuk tumbuh. Beberapa growth factors seperti asam amino yang dibutuhkan oleh sel untuk pembentukan protein dan sintesis asam nukleat DNA dan RNA, sumber karbohidrat seperti glukosa yang berfungsi untuk memberikan energi pertumbuhan bagi sel, serta beberapa vitamin seperti kolin, asam folat, pyridoxal, riboflavin, asam pantothenat, thiamin, dan inositol Freshney. 1992. Pada pengenceran konsentrasi 0.078 mM, 0.156 mM, dan 0.313 mM, jumlah media DMEM yang digunakan untuk menumbuhkan sel HCT 116 lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SCFA butirat yang dicampurkan dengan media sehingga tidak menghambat pertumbuhan sel HCT 116 tetapi menumbuhkan sel HCT 116 karena faktor-faktor penunjang pertumbuhan tersedia cukup untuk menunjang pertumbuhan sel HCT 116. 20 Pemilihan dua konsentrasi lanjutan yang digunakan dalam analisis daya inhibisi pada sel HCT-116 ini dilakukan dengan melihat besar konsentrasi SCFA butirat yang toksisitas atau persen inhibisi kurang dari 50 pada sel Vero. Konsentrasi 1.25 mM dan 0.625 mM dipilih sebagai konsentrasi pengenceran selanjutnya untuk perlakuan SCFA butirat terhadap sel HCT-116. Menurut Ruemmele et al 19 99 efek penghambatan butirat dapat diamati pada konsentrasi 0.1 mM 100 μM dengan maksimal penghambatan sekitar 30-50 terdapat pada konsentrasi 10 mM. Berbeda dengan hasil yang didapat, pada konsentrasi 1.25 mM efek penghambatan butirat terletak cukup tinggi lebih dari 50 yaitu sekitar 85.42. SCFA butirat yang difermentasi dari pati resisten tipe 3 ubi jalar Jago ini menunjukkan daya penghambatan yang lebih tinggi pada konsentrasi yang lebih rendah dari studi sebelumnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dari sel kanker yang digunakan sehingga terjadi perbedaan hasil yang didapatkan Adiputra. 2012 Gambar 5. Besar nilai penghambatan pertumbuhan dengan perlakuan SCFA butirat terhadap sel VERO dan sel HCT-116 pada berbagai konsentrasi Pada gambar 5 menggambarkan efek inhibisi pada berbagai konsentrasi SCFA butirat terhadap sel VERO dan sel HCT-116 terlihat bahwa daya penghambatan sel kanker dengan pemberian perlakuan SCFA pada berbagai konsentrasi pada sel VERO dan sel HCT-116 cukup berbeda. Pada konsentrasi 1.25 mM, perlakuan pada sel VERO menunjukkan inhibisi sebesar 46.97 sedangkan pada sel HCT-116 menunjukkan inhibisi sebesar 85.42. Data ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi SCFA butirat yang sama, SCFA butirat memiliki kemampuan untuk menghambat perkembangan sel HCT-116 lebih besar dibandingkan pada sel VERO. Hal ini diduga karena adanya perbedaan sifat permukaan sel antara sel normal dengan sel kanker Purwani. 2011. Pada sel normal, permukaan selnya memiliki letak mikrovili yang seragam, sedangkan pada sel kanker yang memiliki DNA cacat letak mikrovilinya tidak seram, hal ini berakibat pada sel normal SCFA digunakan sebagai sumber energi dan metabolisme sel tetapi pada sel kanker SCFA digunakan untuk menghambataktivitas enzim histon deacetylase HDAC yang mengakibatkan terjadinya apoptosis. 21 Gambar 6. Sel VERO dengan perlakuan SCFA butirat: a tanpa perlakuan; b 0.625 mM; dan c 10 mM a b c 22 Gambar 7. Sel HCT 116 dengan perlakuan SCFA butirat a tanpa perlakuan; b 0.625 mM; dan c 1.25 mM Dari gambar 6 terlihat bahwa sel VERO dengan perlakuan 10 mM c memperlihatkan morfologi sel yang rusak dengan ditandai jumlah sel yang tidak konfluen tidak penuh. Morfologi ini dapat disebabkan oleh adanya cytophatic effect. Menurut Brouqui et al 1994, efek cytopathic sel yang terinfeksi mudah terlihat dan ciri perkembangannya cenderung ditandai dengan kelompok sel a b c 23 bengkak dan bulat yang terjadi secara individu atau dalam fokus kecil dan menjadi menonjol di atas sel normal di sekitarnya. Pada perlakuan terhaadap sel VERO pada konsentrasi 0.625 mM, sel masih terlihat konfluen penuh, hal ini sejalan dengan tabel 1 yang memperlihatkan konsentrasi 0.625 mM pada sel VERO menghasilkan penghambatan sebesar 50. Cytophatic effect ini digunakan sebagai penanda bahwa sel tersebut mulai menunjukkan keabnormalannya. Gambar 7 memperlihatkan morfologi sel HCT-116 tanpa perlakuan, konsentrasi 0.625 mM, dan konsentrasi 1.25 mM. Pada konsentrasi tanpa perlakuan terlihat bahwa sel HCT mengalami pertumbuhan dengan terlihatnya sel yang berkumpul membentuk koloni sehingga menyerupai suatu benjolan besar, sedangkan pada konsentrasi 0.625 mM sel HCT-116 terlihat tidak begitu konfluen, pada konsentrasi 1.25 mM terlihat bahwa tingkat konfluen sel HCT-116 lebih sedikit, terlihat dari jumlah sel HCT-116 yang lebih sepi dibandingkan pada konsentrasi 0.625 mM. Menurut Hinnebusch et al 2002, kemampuan short chain fatty acid untuk menginduksi penghambatan pertumbuhan sel, diferensiasi, dan apoptosis di sel kanker kolon tergantung pada efek histon hiperasetilasi. SCFA butirat dapat menaikkan jumlah dari histon asetilasi dan menghambat aktivitas histon deasetilisasi HDAC. Pada konsentrasi SCFA butirat 0.313 mM, 0.156 mM, dan 0.078 mM sel HCT-116 mengalami pertumbuhan, hal ini dapat dikarenakan saat konsentrasi 0.078 mM sampai 0.313 mM jumlah butirat yang terkandung dalam ekstrak tidak mencukupi untuk menghambat HDAC. Karena HDAC tidak terhambat maka kromatin sel tidak kompak yang menyebabkan fragmentasi DNA tidak terjadi. DNA tergabung dalam suatu bentuk kompak bernama kromatin, suatu komplek DNA-protein yang dinamis. Subunit inti dari kromatin yaitu nukleosom yang terbuat dari suatu oktamer dari 4 inti histon Ruijter et al. 2003. Berbeda halnya pada konsentrasi 0.625 mM, SCFA butirat masih mampu menghambat HDAC. Berdasarkan studi Davie 2003, selama penghambatan aktivitas HDAC oleh butirat, aktivitas HAT tetap berlangsung yang menyebabkan histon hiperasetilisasi masih tersedia sehingga penghambatan sel HCT-116 tetap berlangsung. HAT ini memiliki aktivitas sebagai koaktifator transkripsi dan berperan sebagai gen promoter dari faktor transkripsi maka HAT dapat meningkatkan jumlah histon asetilase dan meningkatkan transkripsi promoter Davie. 2003.

B. DETEKSI APOPTOSIS HASIL PERLAKUAN SCFA TERHADAP SEL HCT-116