23
bengkak dan bulat yang terjadi secara individu atau dalam fokus kecil dan menjadi menonjol di atas sel normal di sekitarnya. Pada perlakuan terhaadap sel VERO pada konsentrasi 0.625 mM, sel masih
terlihat konfluen penuh, hal ini sejalan dengan tabel 1 yang memperlihatkan konsentrasi 0.625 mM pada sel VERO menghasilkan penghambatan sebesar 50. Cytophatic effect ini digunakan sebagai
penanda bahwa sel tersebut mulai menunjukkan keabnormalannya. Gambar 7 memperlihatkan
morfologi sel HCT-116 tanpa perlakuan, konsentrasi 0.625 mM, dan konsentrasi 1.25 mM. Pada konsentrasi tanpa perlakuan terlihat bahwa sel HCT mengalami pertumbuhan dengan terlihatnya sel
yang berkumpul membentuk koloni sehingga menyerupai suatu benjolan besar, sedangkan pada konsentrasi 0.625 mM sel HCT-116 terlihat tidak begitu konfluen, pada konsentrasi 1.25 mM terlihat
bahwa tingkat konfluen sel HCT-116 lebih sedikit, terlihat dari jumlah sel HCT-116 yang lebih sepi dibandingkan pada konsentrasi 0.625 mM.
Menurut Hinnebusch et al 2002, kemampuan short chain fatty acid untuk menginduksi penghambatan pertumbuhan sel, diferensiasi, dan apoptosis di sel kanker kolon tergantung pada efek
histon hiperasetilasi. SCFA butirat dapat menaikkan jumlah dari histon asetilasi dan menghambat aktivitas histon deasetilisasi HDAC. Pada konsentrasi SCFA butirat 0.313 mM, 0.156 mM, dan
0.078 mM sel HCT-116 mengalami pertumbuhan, hal ini dapat dikarenakan saat konsentrasi 0.078 mM sampai 0.313 mM jumlah butirat yang terkandung dalam ekstrak tidak mencukupi untuk
menghambat HDAC. Karena HDAC tidak terhambat maka kromatin sel tidak kompak yang menyebabkan fragmentasi DNA tidak terjadi. DNA tergabung dalam suatu bentuk kompak bernama
kromatin, suatu komplek DNA-protein yang dinamis. Subunit inti dari kromatin yaitu nukleosom yang terbuat dari suatu oktamer dari 4 inti histon Ruijter et al. 2003. Berbeda halnya pada
konsentrasi 0.625 mM, SCFA butirat masih mampu menghambat HDAC. Berdasarkan studi Davie 2003, selama penghambatan aktivitas HDAC oleh butirat, aktivitas HAT tetap berlangsung yang
menyebabkan histon hiperasetilisasi masih tersedia sehingga penghambatan sel HCT-116 tetap berlangsung. HAT ini memiliki aktivitas sebagai koaktifator transkripsi dan berperan sebagai gen
promoter dari faktor transkripsi maka HAT dapat meningkatkan jumlah histon asetilase dan meningkatkan transkripsi promoter Davie. 2003.
B. DETEKSI APOPTOSIS HASIL PERLAKUAN SCFA TERHADAP SEL HCT-116
Sel dapat mengalami kerusakan salah satunya dengan cara apoptosis. Apoptosis merupakan suatu kematian sel secara terprogram yang melibatkan sel tersebut sendiri. Istilah apoptosis ini berasal
pada tahun 1972 dari literatur biomedis untuk menjelaskan struktur khas kematian sel yang menggambarkan kehilangan sel dalam jaringan hidup. Kerusakan sel ini dimulai dengan adanya
penyusutan sel yang disertai oleh transien, tetapi sel kemudian mengalami penggemukan dan blebbing dari permukaan, dan berakhir pada pemisahan sel ke dalam beberapa bagian-bagian yang dibatasi oleh
membran tubuh. Deteksi apoptosis ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop fluorscent. Sebelum
pengamatan, sel diberikan pewarnaan hoescht 33258. Pada pewarnaan ini, pewarna Hoechst akan menembus membran plasma dan DNA dalam sel. Berbeda dengan sel normal, inti sel yang
mengalami apoptosis memberikan warna sangat kental kromatin yang seragam saat diwarnai dengan Hoechst 33342. Hal ini dapat dilihat dengan adanya bentuk crescent sekitar pinggiran inti, atau inti
keseluruhan dapat terlihat seperti berbentuk manik-manik bulat terang.
24
Gambar 8. Hasil pewarnaan Hoechst pada beberapa konsentrasi SCFA butirat a tanpa perlakuan; b 0.625 mM; c 1.25 mM
b a
c
25
Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop fluorescent, apoptosis terjadi pada sel HCT-116 pada perlakuan dengan konsentrasi 1.25 mM. Apoptosis ini terlihat dengan adanya
fragmentasi DNA ditunjukkan oleh tanda panah yang merupakan salah satu dari ciri khas terjadinya apoptosis Gambar 8. Pada pengamatan, fragmentasi DNA pada konsentrasi SCFA butirat 1.25 mM
lebih banyak dibandingkan pada konsentrasi SCFA butirat 0.625 mM dan tanpa perlakuan. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa butirat dapat menghambat
perkembangan sel kanker melalui apoptosis Purwani 2012; Ruemmele 1999;. Tabel 4. Besar penghambatan butirat pada beberapa sel kanker dari berbagai bahan dan kemampuan
apoptosisnya
Bahan Jenis sel
kanker Konsentrasi
mM Persen
inhibisi Jenis bakteri
Apoptosis Rasio
molar asetat :
propionat : butirat
RS 3 dihidrolisis
enzim amilase
Sagu RSSA
Purwani. 2011
HCT 116 2.7
13.30 Clostridium
butyricum BCC B2571
ada 2 : 1 : 1
RS 3 dihidrolisis
enzim amilase
Sagu RSSA
Purwani. 2011
HCT 116 7.2
71.40 Eubacterium
rectale DSM 17629
ada 2 : 1 : 1
RS 3 Ubi Jalar Sukuh
Adiputra. 2012
HCT 116 0.65
75.10 Eubacterium
rectale DSM 17629
ada 1.3 : 1.1 : 1
RS 3 Ubi Jalar Jago
HCT 116 1.25
85.42 Clostridium
butyricum BCC B2571
ada 1 : 1.3 : 1.7
Chios Mastic
Gum Balan et
al. 2005 HCT 116
0.05 50.00
tidak ada ada
tidak disebutkan
SCFA butirat
Ruemmell e et al.
1999 Caco-2
5 87.90
tidak ada ada
tidak disebutkan
Tabel 4 memperlihatkan bahwa apoptosis terjadi pada sel kanker yang diberikan perlakuan dengan butirat. Besar penghambatan sel kanker berbeda-beda tergantung dari jenis bahan penghasil
butirat dan jenis bakteri penghasil butirat. Pada beberapa studi, besar penghambatan pertumbuhan sel kanker yang diberikan pearlakuan SCFA butirat dari berbagai bahan menghasilkan nilai yang berbeda.
26
Pada SCFA butirat hasil fermentasi RS 3 Ubi Jalar Jago yang merupakan sampel penelitian ini memperlihatkan bahwa pada konsentrasi 1.25 mM memberikan nilai penghambatan sebesar 85.42,
bila dibandingkan dengan SCFA butirat hasil fermentasi RS3 sagu yang dihidrolisis enzim amilase pada konsentrasi lebih tinggi 2.7 mM memberikan penghambatan pertumbuhan sebesar 13.3
padahal kedua perlakuan ini menggunakan bakteri fermentatif yang sama yaitu Clostridium butyricum BCC B2571. Perbedaan bahan yang digunakan untuk menghasilkan SCFA butirat mempengaruhi nilai
konsentrasi serta besar penghambatan SCFA butirat terhadap sel kanker. Apoptosis merupakan suatu proses fisiologis kematian sel yang terprogram terhadap sel yang
tidak berguna dieliminasi selama pembentukan dan proses biologis normal lainnya. Mekanisme dari apoptosis erat kaitannya dengan mekanisme aktivasi caspase. Balan et al 2005 menyebutkan bahwa
aktivasi caspase-3 merupakan muara dari aktivasi caspase-8 dan caspase-9, dan dikaitkan dengan proses kematian. Pengaktifan caspase-8 menginduksi aktivasi dari bid suatu domain untuk
mengaktifkan gen Bcl BH3. Gen BH3 ini kemudian menempel pada protein Bax yang memicu keluarnya sitokrom-C dari mitokondria. Protein Bax merupakan salah satu protein yang pro terhadap
apoptosis dan digunakan untuk menginduksi keluarnya sitokrom-C dari mitokondria, sehingga dapat mengaktifkan caspase-9 untuk memicu terjadinya fragmentasi DNA. Caspase berperan penting dalam
apoptosis dengan mengaktifkan DNAase, menghambat DNA repairing enzyme, dan memecah struktur protein di inti sel Elmore. 2007
Gambar 9. Mekanisme apoptosis sel Elmore. 2007 Beberapa studi menyebutkan mekanisme apoptosis dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu
death receptor, perubahan struktur membran, protease cascade sinyal untuk mengaktifkan famili sistein protease intraseluler, perubahan mitokondria pengeluaran sitokrom-C, dan fragmentasi
DNA. Gambar 9 menggambarkan proses apoptosis melalui tiga jalur yaitu jalur ekstrinsik, jalur intrinsic jalur mitokondria, dan jalur perforin. Ketiga jalur ini memiliki muara yang sama yaitu pada
pengaktifan caspase 3. Pengaktifan caspase 3 menyebabkan terjadinya fragmentasi DNA. Fragmentasi DNA merupakan tanda terjadinya apoptosis pada sel.
27
IV. KESIMPULAN
5.1 Simpulan