Batasan Usia Perkawinan menurut Fiqh

di bawah umur sangat terkait erat dengan kesejahteraan perempuan muda yang mengalaminya. Kebijakan baru ini dimaksudkan agar pasangan yang kawin benar-benar telah matang lahir dan batin.

D. Batasan Usia Perkawinan menurut Fiqh

Batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil. Kebolehan tersebut karena tidak ada ayat al- Qur‟an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya 9 tahun dan menggaulinya setelah umur 12 tahun. 40 Akan tetapi menurut mayoritas ahli fiqih sepakat jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun maka batasan usia minimal dalam perkawinan adalah 15 tahun, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat batas usia tersebut adalah 1718 tahun. 41 Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk al- Qur‟an atau hadits nabi tentang batas usia perkawinan, namun ada ayat al- Qur‟an dan begitu pula ada hadits Nabi secara tidak 40 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam, h., 66. 41 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan, h., 90. langsung mengisyaratkan batas usia tertentu. Adapun al- Qur‟an adalah firman Allah dalam surat An- Nisa‟ ayat 6:              …. Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas pandai memelihara harta, maka serahkanlah kepada mereka harta- hartanya”. QS. An-Nisaa’: 4 ayat 6 Dari ayat ini dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu, maksudnya sudah baligh. Agama Islam tidak menetapkan dengan tegas batas umur dari seseorang yang telah sanggup kawin. Al-Quran dan hadits hanyalah menetapkan dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslim untuk menetapkan batas umur yang sebaiknya untuk kawin sesuai dengan isyarat atau tanda yang telah ditentukan itu, dan disesuaikan pula dengan keadaan setempat dimana hukum itu akan di Undang- undangkan. 42 Para ulama menentukan batas umur itu dengan dalil “maslahah mursalah”, artinya dengan ditetapkan umur minimal bagi calon mempelai agar telah matang jiwa dan raganya. Dengan kematangan jiwa dan raga, diharapkan mendapatkan kebaikanmaslahat. 43 42 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h., 12. 43 Narson Haroen, ushul Fiqih, Jakarta: PT Logos Ilmu, 1997, h., 123. عه نننَص ِْ َ ننن َع نننَلَق َ نننَس َِ نننَس نننَلَع عَق نننَََ ِ َعنننْاَع ت َ َنننَرٍَ ْعنننََ ِْ ْبنننََِع َعنننَع َب َاَُنننَ ا ْعنننٍَ ْس َِنننهَقا ََنننٍَََََ َم َيه نننَ َ ْ نننَ َ َع ِ بْنننََُا نننهنْإَ َ ه َ ََُ َق نننَ َ َ نننََِقا ي اَلنننٍْ َجْ َق هنْإَ ْ َ هَق َْ ْ َ َ َََ َ ْاََُرَم َيَق َعٍََ ْ ََََْ ْق َعَفَلَاَ َََََِْ ْق Artinya: “Dari Abdullah bin Mas‟ud ra ia berkata: telah berkata kepada kami Rosulull ah saw: “Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu yang telah sanggup melaksanakan kehidupan suami istri, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan mata dan ememlihara faraj. Dan barang siapa di antara yang tidak sanggup, hendaklah berpuasa. Maka puasa itu adalah perisai bag inya”. HR. B. Al-Bukhari dan Muslim 44 Selanjutnya mengenai perkawinan Rosulullah SAW dengan Aisyah, Ibnu Syubramah berpendapat bahwa itu merupakan hal yang tidak bisa dijadikan hujjah alasan, karena perkawinan tersebut merupakan pengecualian atau suatu kekhususan bagi Nabi sendiri yang tidak diberlakukan bagi ummatnya. Perkawinan orang-orang yang belum dewasa tidak akan menghasilkan keturunan yang baik. Apabila perkawinan dilaksanakan oleh orang-orang yang belum dewasa, maka perkawinan itu tidak akan mencapai tujuannya, yakni keturunan yang baik. Berbeda pendapat Imam Syafi‟I yang dimaksud dengan wanita “wanita dewasa” ialah wanita yang pernah kawin, sedangkan menurut Imam Hanafi ialah wanita yang telah baligh. 45 Menurut Abdul Rahim Umran, batasan usia nikah dapat dilihat dalam beberapa arti sebagai berikut: 46 44 Syekh H. Abd. Syukur Rahimy, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Jakarta: PT Bumirestu, 1984, h., 45. 45 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam, h., 133. 46 Abdurrahim Umran, Islam dan KB Jakarta: Lentera Batritama, 1997, h., 18. 1 Biologis, secara biologis hubungan kelamin dengan isteri yang terlalu muda yang belum dewasa secara fisik dapat mengakibatkan penderitaan gabi isteri dalam hubungan biologis. Lebih-lebih ketika hamil dan melahirkan. 2 Sosio-Kultural, secara sosio-kultural pasangan suami isteri harus mampu memenuhi tuntutan sosial, yakni mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anak. 3 Demografis kependudukan, secara demografis perkawinan dibawah umur merupakan salah satu faktor timbulnya pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi. Menurut para Ulama, dalam Islam menentukan batasan usia perkawinan bisa dikembalikan kepada tiga landasan, yaitu: 1 Usia kawin yang dihubungkan dengan usia dewasa baligh; 2 Usia kawin yang didasarkan kepada keumuman arti ayat al- Qur‟an yang menyebutkan batas kemampuan untuk kawin. 3 Hadist yang menjelaskan tentang usia Aisyah waktu nikah dengan Rasulullah SAW. Sedangkan para Ulama Ushul Fiqh menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki kecakapan bertindak hukum setelah Aqil Baligh mukallaf dan cerdas, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa 4 ayat: 6, yang berbunyi:                                           Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas pandai memelihara harta, Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan janganlah kamu tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. barang siapa di antara pemelihara itu mampu, Maka hendaklah ia menahan diri dari memakan harta anak yatim itu dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi tentang penyerahan itu bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas atas persaksian itu.” ”. QS. An-Nisa 4 ayat: 6 Dalam hal ini untuk menentukan kedewasaan dengan umur terdapat beberapa pendapat diantaranya: 47 1 Menurut Abu Hanifah, kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik untuk pihak laki-laki maupun untuk perempuan. 2 Menurut Syafi‟i dan Hanabillah menentukan bahwa masa untuk menerima kedewasaan dengan tanda-tanda diatas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua 47 Helmi Karim, Kedewasaan Untuk menikah Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, h., 70-71. orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal, dengan akal lah dan taklif, dan karena akal pula adanya hukum. 3 Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun untuk pria. Hal ini karena diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggung jawab sosial. 4 Yusuf Musa mengatakan, batas usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern ini orang memerlukan persiapan yang matang. 44

BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA KEDUNG JAYA KEC.

BABELAN KABUPATEN BEKASI

A. Letak Geografis

Kelurahan Kedung Jaya sebagai salah satu bagian unit kerja organisasi yang merupakan perangkat Kecamatan Babelan, memiliki ciri dan karakteristik sebagai Desa menjadi Kelurahan baik dilihat dari perspektif territorial, kehidupan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimana Kelurahan Kedung Jaya merupakan salah satu Desa dibawah pemerintahan Kebupaten Bekasi. Luas wilayah yang bersertifikat 2500 M2, dan jumlah tanah desa 2500 M2 Desa Kedung Jaya Kecamatan Babelan Kabupaten Bekasi seluas 223, 775 ha. Dan secara administrative batas-batas wilayah Desa Kedung Jaya adalah sebagai berikut: 1 Sebelah utara berbatasan dengan kelurahan buni bakti 2 Sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan desa kedung pengawas 3 Sebelah timur berbatasan dengan desa muara bakti 4 Sebelah barat berbatasan dengan desa bahagia Sedangkan orbitrasi jarak dari pusat ke desa terhadap pusat-pusat fasilitas kota