Tradisi perkawinan bawah umur di kelurahan pamenang KEC.Pamenang KAB.Merangin Jambi

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SYORAYA NURJANNAH

NIM : 1110044100079

Oleh:

SYORAYA NURJANNAH

NIM : 1110044100079

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu pesyaratan memperoleh gelar strata 1 (satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan (plagiarisme) dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 Maret 2015


(5)

Syoraya Nurjannah

Tradisi Perkawinan Bawah Umur di Kelurahan Pamenang Kec. Pamenang Kab.Merangin Jambi

Perkawinan adalah sunnatullah yang akan dilalui setiap orang dalam proses perjalanan hidup. Untuk melanjutkan kejenjang perkawinan ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu, kesiapan fisik dan kesiapan menta. Kesiapan fisik seseorang dilihat dari kemampuan ekonomi, sedangkan kesiapan mental dilihat dari faktor usia. Akan timbul permasalahan jika perkawinan dilakukan di usia yang sangat muda yaitu, perkawinan dibawah umur yang dilakukan oleh masyarakat kelurahan Pamenang.

Perkawinan bawah umur tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat ekonomi lemah, tetapi juga dari kalangan masyarakat mapan. Adanya pelaku perkawinan bawah umur khususnya tempat penelitian penulis yaitu, kelurahan Pamenang, Merangin Jambi. Berhubungan dengan hal ini, maka Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menetukan batas usia minimal perkawinan, dalam pasal 15 ayat 1 menegaskan bahwa: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya 16 tahun. Akan tetapi perkawinan bawah umur yang terjadi dikelurahan Pamenang dianggap belum mampu dan tidak cakap untuk bertindak. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, bagaimana bentuk perkawinan bawah umur di kelurahan Pamenang ?, apa penyebab perkawinan bawah umur ?, apakah dampak terhadap perkawinan bawah umur ?, dan bagaimana pandangan masyarakat kelurahan pamenang terhadap perkawinan bawah umur.

Jenis penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif. Adapun sumber data primernya yaitu, data utama atau pokok dalam penelitian ini, yang diperoleh melalui wawancara terhadap pelaku perkawinan bawah umur pada masyarakat kelurahan Pamenang. Dalam penelitian ini peneliti wawancara langsung kepada pelaku perkawinan dini di kelurahan Pamenang. Adapun yang menjadi data sekunder dalam


(6)

dengan perkawinan bawah umur.

Hasil penelitian dalam skripsi ini, ada dua bentuk perkawinan bawah umur yaitu, tercatat di KUA setempat dan tidak tercatat, meskipun dengan cara memanipulasi (penambahan) usia. Yang menjadi penyebab maraknya perkawinan bawah umur dikarenakan pendidikan yang rendah dan pergaulan bebas. Sedangkan dampak yang dirasakan pelaku tidak mendapatkan ake kelahiran anaknya, cerai di usia muda, dan tidak mencapai keharmonisan dalam rumah tangga. Adapun pandangan pelaku terhadap perkawinan bawah umur yaitu mayoritas dari mereka umur bukan suatu patokan seseorang untuk menikah bagi yang siap lahir dan jika belum siap untuk menikah sebaiknya dihindarkan.


(7)

v

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad Saw, keluarga, sahabat dan seluruh umat Islam yang taat akan ajarannya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda Syaiful Bahri dan Ibunda Hj. Saudah Yahya yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya dari penulis. Penulis menyadari tidak akan dapat menyelasaikan skripsi ini tanpa adanya bantuan dari orang-orang yang ada disekitar penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saefudin Jahar, M.A, P.hd, selaku Dekan Fakultas Syaria’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, MH dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku Ketua dan sekretaris Program Studi Akhwal Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah banyak membantu penulis selama masih kuliah.


(8)

vi

kesabaran, serta meluangkan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada Dra. Hj. Maskufah, MA, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu mensuport, membimbing dan memotivasi penulis selama kuliah.

5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus Ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat serta menjadi keberkahan penulis dalam mengarungi samudra kehidupan.

6. Segenap staf Karyawan Akademik, Perpustakaan Utama UIN dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan kemudahan penulis dalam mencari referensi.

7. Terima kasih kepada Bapak Marzuki Idrus S.Ag (Pakcik) dan Ibu Rosidah S.pdi (Ibu), yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.

8. Kakak tercinta Syilvia Nurfitri serta adik-adik Syahri, Syuhada dan Satria yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

9. Teman-teman seperjuangan Peradilan Agama B angkatan 2010, terutama Erliyanti Lubis, Ema Pratiwi, Abiyati Atnan, Aulia Fitrotunnisa,


(9)

vii

Demikianlah ucapan terima kasih penulis haturkan kepada seluruh pihak, semoga Allah Swt membalas dan melipat gandakan jasa dan kebaikan semuanya. Akhir kata, dengan kerendahan hati semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Penulis mohon maaf apabila dalam penyusunan tugas akhir ini banyak kekurangan dan kealfaan. Semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.

Jakarta, 25 Maret 2015


(10)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Metodologi Penelitian ... 6

E. Review Studi Terdahulu ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II : KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan ... 12

B. Hukum Perkawinan ... 15

C. Rukun dan Syarat Perkawinan ... 17

D. Tujuan Perkawinan ... 23

E. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Fuqaha ... 26

F. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Perundang-undangan di Indonesia ... 30

BAB III : KONDISI OBYEKTIF KELURAHAN PAMENANG A. Keadaan Geografis Kelurahan Pamenang ... 37

B. Keadaan Demografis Kelurahan Pamenang ... 38

C. Keadaan Sosiologis Kelurahan Pamenang ... 41

D. Praktik Perkawinan di Kelurahan Pamenang ... 43

BAB IV : TRADISI PERKAWINAN BAWAH UMUR DI KELURAHAN PAMENANG A. Gambaran Perkawinan Bawah Umur di Kelurahan Pamenang .. 50

1. Pelaksanaan Perkawinan Bawah Umur ... 61

2. Faktor-faktor Terjadinya Perkawinan Bawah umur ... 64

3. Dampak Perkawinan Bawah Umur ... 67

4. Pandangan Masyarakat Tentang Perkawinan Bawah Umur ... 68


(11)

ix

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan manusia dengan segala fitrah yang beraneka ragam, begitupula perubahan zaman semakin berkembang pesat dalam segala hal dalam kehidupan manusia. Fenomena ini menimbulkan begitu kompleksnya tingkah laku manusia yang bermacam-macam, bahkan diantaranya mencakup aktifitas yang menyentuh nilai-nilai agama akan kebolehannya untuk dilakukan atau harus ditinggalkan.Sebagai mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, manusia dibekali dengan keinginan untuk melakukan perkawinan, karena perkawinan itu salah satu faktor untuk menjaga keberlangsungan kehidupan umat manusia di muka bumi.

Perkawinan seperti disebutkan pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal (1) bab I adalah:

“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengertian dan tujuan perkawinan dinyatakan pada pasal 2 yang menyatakan bahwa perkawinan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah kepada Allah SWT.Jadi tujuan perkawinan adalah untuk terciptanya keluarga


(13)

yang sejahtera selamanya dan bukan untuk waktu yang singkat.Lebih jelasnya disebutkan dalam pasal 3 yang menjelaskan tujuan perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.

Undang-undang perkawinan Indonesia menjelaskan bahwa apabila seorang akan melaksanakan perkawinan harus lebih masak jiwa raganya. Kemasakan jiwa raga ini ditentukan oleh umur seseorang, dimana keadaan fisik/jasmani sudah mencapai taraf kematangan.1

Faktor kematangan seseorang dan batas usia sangat diperlukan bila seseorang akan memasuki jenjang perkawinan, supaya berhasil dalam membina rumah tangga atau keluarga diperlukan persyaratan serta kemampuan dan tanggung jawab yang penuh.

Dalam pasal 7 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

2. Calon suami istri harus telah siap jiwa dan raganya untuk melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan calon suami istri yang masih usia muda.

1

M. Daud Ali dan Habibah Daud,Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Grafika Persada, 1995), hal.87.


(14)

Perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, yaitu batasan umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran menjadi lebih tinggi jika dihubungkan dengan batas umur yang lebih tinggi.Sehubungan dengan itu, maka Undang-undang perkawinan ini menentukan batas umur minimum bisa melangsungkan perkawinan bagi pria yaitu berumur 19 tahun dan bagi wanita berumur 16 tahun.

Meskipun Undang-undang Perkawinan di Indonesia sudah mengatur batas umur minimum untuk bisa melangsungkan perkawinan, namun di tengah-tengah masyarakat masih banyak dijumpai orang yang melakukan perkawinan bawah umur diantaranya adalah di Kelurahan PamenangKec. Pamenang Kab. Merangin, Jambi. Data dari kantor Kelurahan Pamenang menunjukkan bahwa pelaku perkawinan bawah umur ini tercatat sejumlah30 pasangan.2

Pelaku perkawinan bawah umur di Kelurahan Pamenang tersebut tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat ekonomi lemah, tetapi juga dari kalangan masyarakat mapan.Oleh karena banyaknya pelaku perkawinan bawah umur di Kelurahan Pamenang, penulis menilai bahwa permasalahan tersebut cukup menarik dan layak untuk diteliti dan dikaji dalam sebuah skripsi yang berjudul “TRADISI PERKAWINAN BAWAH UMUR DI KELURAHAN PAMENANG KEC. PAMENANG KAB. MERANGIN, JAMBI”.

2


(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai perkawinan sangatlah luas.Oleh karena itu, untuk memperjelas penulisan ini penulis membatasi pembahasan hanya pada persoalan tradisi perkawinan bawah umur yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Pamenang Kec.Pamenang.

Yang dimaksud bawah umur dalam penelitian ini pasangan yang menikah di bawah usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi wanita-wanita.

2. Perumusan Masalah

Dalam Undang-undang Perkawinan batas minimal umur kawin bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun kecuali adanya dispensasi nikah dari Pengadilan Agama.Namum dalam realita yang ada di masyarakat banyak yang telah melakukan perkawinan bawah umur tanpa adanya dispensasi nikah.

Hal inilah yang menyebabkan penulis hendak menulis skripsi ini. Adapun rumusan masalah dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana pelaksanaan perkawinan bawah umur di Kelurahan Pamenang Kec. Pamenang?

b. Apa latar belakang maraknya perkawinan di bawah umur di Kelurahan Pamenang?


(16)

d. Bagaimana pandangan masyarakat Kelurahan Pamenang Kec. Pamenang terhadap tradisi perkawinan bawah umur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

a. Untuk mengetahui bentuk perkawinan bawah umur di Kelurahan Pamenang.

b. Untuk mengetahui penyebab perkawinan bawah umur di Kelurahan Pamenang.

c. Untuk mengetahui dampak dari perkawinan bawah umur di Kelurahan Pamenang.

d. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Kelurahan Pamenang tentang tradisi perkawinan bawah umur.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat utama dalam penelitian ini bagi penulis adalah untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Manfaat lain dari penelitian ini bagi penulis adalah untuk lebih memahami tentang tradisi perkawinan yang ada di Kelurahan Pamenang, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para pembaca dan para ahli hukum.


(17)

c. Manfaat untuk warga masyarakat pamenang adalah untuk mengetahui lebihjelas tentang aturan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 agar dapat mengurangi terjadinya perkawinan bawah umur.

D. Metode Penelitian dan Pedoman Penulisan 1. Metode dan Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yang menggabungkan antara penelitian hukum normative dengan penelitian hukum empiris. Penelitian normative atau penelitian kepustakaan adalah penelitian menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Sedangkan penelitian empiris atau lapangan adalah penelitian menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan atau masyarakat berupa wawancara dengan objek terkait yang berhubungan dengan pembahasan.

Pendekatan dalam penulisan ini diaplikasikan model pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasil data deskriptif analisis, artinya metode yang yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan dilapangan berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang atau pelaku yang diamati.3

2. Sumber Data

a. Data Primer

3

Lexy Maelong J, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:PT. Remaja Karya, 2002), Cet. Ke-1, h.3


(18)

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pihak yang bersangkutan.Untuk memperoleh data yang valid peneliti melakukan interview mendalam dengan para pihak yang bersangkutan, yaitu pelaku perkawinan bawah umur dan tokoh masyarakat Kelurahan Pamenang.

b. Data Sekunder

Adapun data sekunder yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan referensi terkait seperti kitab-kitab, buku-buku, dan literatur-literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

3. Pengumpulan Data

1. Wawancara yaitu dialog secara pribadi dan mendalam yang dilakukan dengan para pihak pelaku perkawinan bawah umur dan tokoh masyarakat setempat tentang tradisi perkawinan bawah umur di Kelurahan Pamenang.Pemilihan sample yang akan diwawancarai adalah dengan cara acak (random sampling)sebanyak 15 pelaku perkawinan bawah umur.

Sedangkan untuk tokoh masyarakat yang diwawancarai diwakili oleh Tokoh Desa, Tokoh Agama, dan Tokoh Adat.

2. Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data di lapangan yang dilakukan dengan cara membaca, mencatat, merangkum dan menganalisis.


(19)

Data-data yang terkait dengan penelitian yang diperoleh dari perundang-undangan, buku-buku dan literature-literature lainnya.

4. Analisis Data

Dalam penganalisa data, menggunakan tekhnik deskriptif analisis yaitu teknis analisa dimana penulis menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan kemudian menganalisa dengan berpedoman pada sumber data tertulis yang didapat dari kepustakaan4.

Sedangkan dalam penulisan skripsi ini, peneliti mengacu kepada buku “Pedoman Penelitian Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

E. Review Kepustakaan

Review kepustakaan berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan diteliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau belum sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga keorisinian penelitian ini, penulis telah melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Adapun review kepustakaan yang telah dilakukan oleh penulis antara lain:

1. Pernikahan Dini Penyebab Putusnya Pendidikan (Studi kasus Desa Cibitung Wetan Kec. Pamijahan Kab. Bogor), Fakultas Syari’ah dan Hukum, oleh Ahmad Fauzi Syahputra, Tahun 2012. Peneliti ini menggunakan metode kualitatif. Hasil temuan dalam skripsi ini, pelaku perkawinan dini di desa cibitung hampir seluruhnya hanya

4


(20)

lulusan Sekolah Dasar (SD) bahkan ada juga di antara mereka yang tidak lulus. Perkawinan dini bisa menyebabkan putusnya pendidikan, selain itu putusnya pendidikan disebabkan oleh adanya pandangan dan pola fikir masyarakat untuk tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

2. Pernikahan Dini Menurut Perspektif Pelaku Pada Masyarakat Desa Kertaraharja Kecamatan Cikembar Kabupaten Sukabumi Dan Solusi Hukumnya, Fakultas Syari’ah dan Hukum, oleh Astrian Widiyantri, Tahun 2012. Metode penelitiannya kualitatif. Hasil temuan dalam skripsi ini, para orang tua di desa Kertaraharja berpandangan bahwa wanita bertugas melayani suami dan anak-anak, serta menghabiskan banyak waktu didapur, sehingga melanjutkan pendidikan tidak bermanfaat bagi mereka yang tidak bisa melanjutkan pendidikan karena penghasilan orang tua yang rendah maka mereka lebih memilih nikah di usia muda.

Skripsi-skripsi tersebut di atas memang memaparkan gambaran umum tentang perkawinan dini, namun inti dari skripsi tersebut berbeda dengan yang peneliti lakukan. Peneliti akan lebih fokus mengungkap bagaimana bentuk, apa faktor pelaku, dan bagaimana dampak dari perkawinan bawah umur yang terjadi di Kelurahan Pamenang, yang mana perkawinan bawah umur itu bukan hal yang asing di kalangan masyarakat karena sudah menjadi hal yang wajar di lakukannya perkawinan bawah umur sejak zaman dahulu sampai sekarang.


(21)

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membaginya ke dalam lima bab, yaitu:

Bab I : Berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah mengenai pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan pedoman penulisan, review kepustakaan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Menjelaskan kajian teoritis tentang perkawinan yang meliputi pengertian dan dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, batas minimal umur kawin menurut fuqaha dan menurut perundang-undangan di Indonesia.

Bab III : Kondisi obyektif Kelurahan Pamenang meliputi keadaan

geografis Kelurahan Pamenang, keadaan demografis

KelurahanPamenang, keadaan sosiologi Kelurahan Pamenang dan praktik perkawinan di Kelurahan Pamenang.

Bab IV : Menjelaskan tentang Tradisi Perkawinan Bawah Umur di Kelurahan Pamenang yang mencakup pelaksanaan perkawinan bawah umur, faktor-faktor terjadinya perkawinan bawah umur, dampak terhadap rumah tangga yang dibina dan pandangan masyarakat tentang perkawinan bawah umur.


(22)

11

A.Pengertian Perkawinan

Secara etimologi, nikah atau ziwaj dalam bahasa arab artinya adalah mendekap atau berkumpul. Sedangkan secara terminology, nikah adalah akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara’ yang bertujuan agar seorang laki -laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang dengan seorang laki-laki.

Menurut syara’, nikah adalah akad antara calon suami istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri.5Akad nikah adalah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki.6Selain itu, menurut pengertian fuqoha, perkawinan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj yang semakna keduanya.7

Sedangkan menurut golongan Malikiyah, nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha’, bersenang-senang dan menikmati yang ada pada diri wanita yang boleh nikah dengannya.8

5

Asmin, Status Perkawinan antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hal.28.

6

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), hal. 63.

7

Zakiah Drjat, Ilmu Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bakti, 1995), hal. 37.

8


(23)

Adapun pengertian (ta’rif) perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqaan ghaalizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.Maksudnya melakukan perbuatan ibadah berarti melaksanakan ajaran Agama.Perkawinan salah satu hukum yang dapat dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat.

Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah:

9

Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟

untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki

denganperempuan dan menghalalkan bersenang-senang perempuan

dengan laki-laki”.

Menurut Hanafiyah, kawin adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya perkawinan tersebut secara syar’i.Selain itu, menurut Hanabilah kawin adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna tazwij dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.10

Golongan Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), dapat berarti juga untuk hubungan

9

Abdur Rahman Al Ghazaly, Fiqih Munakat, (Bogor : Kencana, 2003), hal. 7-8.

10

Abdurrahman al-Jaziri,Kitab „ala madzahib al-Arba‟ah, (t.tp: Dar Ihya Turas al-Arabi, 1986), Juz IV, hal.3.


(24)

kelamin, namun dalam arti sebenarnya (arti majazi). Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar kata itu sendiri.

Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.11

Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsyiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.12Dengan redaksi yang berbeda, imam Taqiyyudin di dalam Kifayat al-Akhyar mendefinisikan nikah sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, serta yang dimaksud dengan akad adalah al-wat’ (bersetubuh).13

Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih di atas bernuansa biologis.Nikah dilihat hanya sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan.Hal ini semakin tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-wat‟ (persetubuhan).14

11

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 37.

12

Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsyiyyah, (Qohirah: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957), hal. 19.

13

Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifaratul Akhyar Juz II, (Jakarta: Dar al- Kutub al-Islamiyah, 2004), hal. 35.

14

Amir Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal. 39-40.


(25)

Menurut perspektifFikih yang mana telah dijelaskan oleh Wahbab al Zuhaily, mengenai perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’, dan berkumpul selama tersebut bukan wanita yang diharamkan baik sebab keturunan atau sepersusuan.15

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian perkawinan terdapat lima unsur didalamnya adalah sebagai berikut :

a. Ikatan lahir bathin

b. Antara seorang pria dengan seorang wanita c. Sebagai suami istri

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari Agama yang dianut suami istri.Hidup bersama suami istri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami istri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rukun, aman serta harmonis antara suami istri.

15

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu Juz VII, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), hal.29.


(26)

B. Hukum Perkawinan

Hukum melakukan perkawinan menurut jumhur ulama bahwa perkawinan itu hukumnya adalah sunnah. Golongan Zhahiriyah berpendapat perkawinan itu hukumnya wajib. Ulama Malikiyyah Mutaakhirin berpendapat bahwa perkawinan itu wajib bagi sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan orang yang lain.16

Selain itu, menurut al-Jaziry mengatakan bahwa sesuai dengan keadaan orang yang melakukan perkawinan, hukum kawin berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lima, adakalanya wajib, haram, makruh, sunnah (mandub) dan mubah.17 Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, di samping ada yang sunnah, wajib, haram dan makruh.18

Terlepas dari pendapat para imam mazhab, berdasarkan nash-nash baik Al-Qur’an maupun Sunnah (Al-Hadist) Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya. Maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah.

1. Melakukan Perkawinan yang hukumnya wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin, maka hukum perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini

16

Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,(Beirut:Dar al-Fikr,t.th), jilid II, hal.2.

17

Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh „ala al-madzahib al-Arba‟ah, (Mesir: Dar al-Irsyad, t.th), jilid VII, hal.4.

18


(27)

didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang.19

2. Melakukan Perkawinan yang hukumnya sunnah

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukumnya adalah sunnah.Sekalipun demikian perkawinan adalah lebih baik baginya, karena Rosulullah melarang hidup sendirian tanpa kawin.

3. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram

Bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melakukan kewajiban-kewajiban rumah tangga. Sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar dirinya dan istrinya, maka hukumnya adalah haram.

4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir dari perbuatan zina sekiranya tidak kawin.20Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri yang baik.

5. Melakukan perkawinan yang hukumya mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak dikhawatir akan berbuat zina dan apabila

19

Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), hal. 18-19.

20


(28)

melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan pnghambatan untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemauan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.

C. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun adalah sesuatu yang harus ada, yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidak sahnya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkain pekerjaan itu, selain itu sah adalah suatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.

Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Adapun rukun dan syarat sahnya perkawinan antara lain sebagai berikut:

1. Calon suami, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam

b. Laki-laki c. Jelas orangnya


(29)

d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan 2. Calon istri, syarat-syarat:

a. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani b. Perempuan

c. Jelas orangya

d. Dapat dimintai persetujuannya e. Tidak terdapat halangan perkawinan 3. Wali nikah, syarat-syarat:

a. Laki-laki b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwaliannya.21 4. Saksi nikah, syarat-syarat:

a. Minimal dua orang lai-laki b. Hadir dalam ijab qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam dewasa.

5. Ijab qabul, syarat-syarat:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

21

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal.62-63.


(30)

d. Antara ijab dan qabul bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umroh

g. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.22

Sedangkansyarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 meliputi:

a. Syarat-syarat materiil

1). Syarat-syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut:

a) Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai. Arti persetujuan yaitu tidak seorangpun dapat memaksa calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah pihak calon mempelai adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga.

b) Usia calon mempelai laki-laki sekurang-kurangnya harus sudah 19 tahun dan pihak calon mempelai wanita harus sudah berumur 16 tahun.

c) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.23

22

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal.63.

23

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hal. 22-24.


(31)

2). Syarat materiil secara khusus, yaitu:

a) Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 8, pasal 9, pasal 10, larangan perkawinan antara dua orang yaitu:

1. Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

2. Hubungan darah garis keturunan ke samping. 3. Hubungan semenda.

4. Hubungan susuan.

5. Hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi.

6. Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.

7. Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.

b) Izin dari kedua orang tua bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. Yang berhak memberi izin nikah, yaitu:

1. Orang tua dari kedua belah pihak calon mempelai.

2. Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

3. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya


(32)

maka izin diperoleh dari wali yang memelihara calon mempelai dan keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

4. Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) serta seorang atau lebih diantara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya, Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari pengadilan diberikan kepada atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan dan setelah lebih dulu pengadilan mendengar sendiri orang yang disebut dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat (2), (3) dan (4).24

b. Syarat-syarat formil

1). Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan yang harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dilaksanakan secara lisan atau tulisan oleh calon mempelai atau orang tuanya, dimana pemberitahuan tersebut memuatnama, agama / kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila

24

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hal. 25.


(33)

salah seorang atau keduanya telah kawin disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.

2). Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan, yaitu pengumuman tentang pemberitahuan oleh pegawai pencatat perkawinan apabila ia telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dilengkapi dan apakahtidak terdapat halangan perkawinan.pengumuman dilakukan dengan formulir khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum serta telah ditanda tangani oleh pegawai pencatat nikah.

Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari, tanggal, jam dan tempat akan dilangsungkan perkawinan.

3). Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, pelaksanaan perkawinan dilaksanakan setelah hari ke 10 sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat nikah. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi.

4). Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan dilakukan sejak pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dan berakhir sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan yaitu pada saat aktaperkawinan selesai ditanda tangani oleh kedua mempelai, kedua saksi, dan pegawai pencatat nikah yang menghadiri perkawinan dan wali


(34)

nikah. Dengan penandatangan akta perkawinan telah tercatat secara resmi.

D. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagian, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.

Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan.Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi, yakni manusia yang antara lain keperluan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.25Adapun tujuan perkawinan antara lain sebagai berikut:

1. Mendapatkan keturunan

Naluri manusia cenderung untuk mempunyai keturunan yang sah, keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat, Negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberikan jalan untuk itu.Agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia dunia dan

25


(35)

akhirat.Kebahagian dunia dan akhirat itu dicapai dengan hidup berbakti kepada Allah SWT secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan bermasyarakat.Kehidupan keluarga bahagia, umunya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak yang merupakan buah hati dan belahan jiwa. Banyak orang yang hidup berumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia anak. Sebagai mana yang tercantum dalam surat Al-Furqoan ayat 74 berbunyi:

Artinya: “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami),…(Q.S. Al-Furqan/25/74).

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah SWT pada surah Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan:

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun

adalah pakaian bagi mereka…(Q.S. Al-Baqarah:187).

Di samping perkawinan itu untuk pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Namun, penyaluran cinta dan kasih sayang yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan


(36)

tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma.26

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan dapat menimbulkan kerusakan, baik kerusakan diri sendiri ataupun orang lain bahkan masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu cenderung untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:

Artinya: “….sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan… (Q.S. Yusuf :53).

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai kebahagian, yang mana dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya.Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah tangga.

26


(37)

Selain itu, Allah menjadikan keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami istri dalam membentuk keluarga dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya. Sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an surat Ar-Ruum ayat 21, yakni:

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. Ar-Ruum :21).

E. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Fuqoha

Batas usia perkawinan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab fiqih. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih memperbolehkan kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil.Kebolehan tersebut karna tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara jelas dan terarah menyebutkan batas usia perkawinan dan tidak pula ada hadits yang secara langsung menyebutkan batas usia, bahkan Nabi sendiri mengawini Siti Aisyah pada saat umurnya 6 tahun dan menggaulinya setelah umur 9 tahun.27

Akan tetapi menurut mayoritas ahli fiqih sepakat jika batasan baligh itu ditentukan dengan hitungan tahun maka batasan usia minimal dalam perkawinan adalah 15 tahun, sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat batas usia tersebut adalah 17/ 18 tahun.28

27

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam, hal. 66

28


(38)

Meskipun secara terang-terangan tidak ada petunjuk Al-Qur’an atau hadits nabi tentang batas usia perkawinan, namun ada ayat Al-Qur’an dan begitu pula ada hadits Nabi secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia tertentu. Adapun Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 6:

Artinya: “ Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai

memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya ‟‟.

Dari ayat ini dipahami bahwa kawin itu mempunyai batas umur dan batas umur itu, maksudnya sudah baligh.

Agama Islam tidak menetapkan dengan tegas batas umur dari seseorang yang telah sanggup kawin.Al-Qur’an dan hadits hanyalah menetapkan dengan isyarat-isyarat dan tanda-tanda saja. Terserah kepada kaum muslim untuk menetapkan batas umur yang sebaiknya untuk kawin sesuai dengan isyarat atau tanda yang telah ditentukan itu, dan disesuaikan pula dengan keadaan setempat dimana hukum itu akan diundang-undangkan.29

Para ulama menentukan batas umur itu dengan dalil “maslahah mursalah’’, artinya dengan ditetapkan umur minimal bagi calon mempelai agar telah matang jiwa dan raganya.Dengan kematangan jiwa dan raga, diharapkan mendapatkan kebaikan/maslahat.30

29

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal 12

30


(39)

Hadits nabi menjelaskan bahwa yang diperintah kawin ialah orang-orang yang telah berumur sedemikian rupa, sehingga sanggup melakukan hubungan suami istri, memperoleh keturunan, berdasarkan hadits:

Artinya: “Dari Abdullah bin Mas‟ud ra ia berkata: telah berkata kepada

kami Rosulullah saw: “ Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kamu

yang telah sanggup melaksanakan kehidupan suami istri, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (mata) dan memelihara faraj.Dan barang siapa di antara yang tidak sanggup, hendaklah berpuasa.Maka puasa itu adalah perisai baginya‟‟. (H.R. Jamaah Ulama Hadits)

“Asy-Syabaab’’ berarti orang yang berumur antara 25 dan 31 tahun, seperti umur Nabi Muhammad saw, ketika ia kawin dengan Khodijah ra, yaitu umur 25 tahun. “Asy-Syabaab’’ itulah yang diperintahkan kawin oleh Rosulullah SAW.

Hadist di atas dapat dijadikan dasar oleh pemerintah untuk menetapkan umur yang paling tepat untuk melaksanakan perkawinan, sehingga perkawinan itu mencapai tujuannya.31

Para ahli fiqih sepakat bahwa dibolehkan bapak atau kakek mengawinkan anak-anak atau cucu-cucu mereka yang belum dewasa tanpa minta izin kepada yang bersangkutan terlebih dahulu. Pendapat ini didasarkan kepada perkawinan Rosulullah SAW dengan Aisyah ra yang waktu itu Aisyah belum baligh. Mazhab Syafi’i menganjurkan sebaiknya bapak atau kakek tidak mengawinkan

31

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987) hal. 40-41


(40)

anak-anak atau cucu-cucu mereka yang tidak mukallaf.32 Menurut Imam Syafi’I hanya bapak dan kakeklah yang boleh mengawinkan anak-anak dan cucu-cucu yang tidak mukallaf, sedang Imam Hanafi membolehkan semua wali semua wali mengawinkan orang-orang yang di bawah perwaliannya yang tidak mukallaf, karena anak kecil itu di bolehkan memilih apakah perkawinannya itu di teruskan atau tidak setelah mereka mukallaf.

Menurut Imam Abu Hazm bapak tidak boleh mengawinkan anak yang belum baligh (belum dewasa). Sekalipun pernah terjadi antara Aisyah r.a. dengan Rosulullah, tetapi ini merupakan kekhususan bagi Rosulullah saw. Pendapat Ibnu Hazm ini sesuai dengan salah satu tujuan perkawinan, yaitu melanjutkan keturunan.33

Selanjutnya mengenai perkawinan Rosulullah SAW dengan Aisyah, Ibnu Syubramah berpendapat bahwa itu merupakan hal yang tidak bisa dijadikah hujjah (alasan), karena perkawinan tersebut merupakan pengecualian atau suatu kekhususan bagi Nabi sendiri yang tidak di berlakukan bagi umatnya.

Perkawinan orang-orang yang belum dewasa tidak akan menghasilkan keturunan yang baik. Apabila perkawinan dilaksanakan oleh orang-orang yang belum dewasa, maka perkawinan itu tidak akan mencapai tujuannya, yakni keturunan yang baik. Berbeda pendapat Imam Syafi’i yang dimaksud dengan

32

Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rosulullah SAW Poligami Dalam Islam Vs Monogami Barat, h.10

33

Mustafa As-Syiba’iy, Wanita Di Antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, hal. 83


(41)

wanita “ wanita dewasa’’ ialah wanita yang pernah kawin, sedangkan menurut Imam Hanafi ialah wanita yang telah baligh.34

F. Batas Minimal Umur Kawin Menurut Perundang-undangan di Indonesia

Batas usia perkawinan yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Undang-undangan Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Adapun menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 7 menyebutkan bahwa:

a. Perkawinan diizinkan jika para pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Kemudian di pertegas lagi dalam pasal 15 ayat 1 KHI (Kompilasi Hukum Islam) dengan rumusan sebagai berikut:

1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telai mencapai umur yang di tetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Selain dua pasal di atas, ada pasal lain dalam Undang-undang Perkawinan yang mengatur masalah batasan usia perkawinan calon mempelai, yaitu pada Bab II pasal 6 ayat (2) yang menegaskan bahwa: 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat izin dari Orang Tua.

34

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-negara Islam, hal. 133


(42)

Dalam Undang-undang Perkawinan terdapat Asas-asas yang mengharuskan setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan harus adanya kematangan dari calon mempelai, sesuai dengan Asas-asas dalam Undang-undang Perkawinan yaitu:

a. Asas sukarela

b. Asas partisipasi keluarga c. Asas perceraian di persulit

d. Asas poligami dibatasi dengan ketat e. Asas kematangan calon mempelai f. Asas memperbaiki derajat kaum wanita g. Asas legalitas

h. Asas (prinsip) selektivitas35

Dan apabila di sederhanakan, asas perkawinan itu menggandung pengertian bahwa:

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

b. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

c. Asas monogamy.

d. Calon suami dan istri harus dewasa jiwa raganya. e. Mempersulit perceraian.

f. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.36

35

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Pradana Media Group), cet ke 2, hal 6


(43)

Dalam hal ini, masalah usia perkawinan berkaitan erat dengan asas pada point yang keempat yakni “calon suami dan istri harus matang jiwa dan raganya”. Penjelasannya adalah bahwa calon suami istri harus matang jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan yang mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian.37Kematangan yang dimaksud adalah kematang umur perkawinan, kematangan berfikir dan bertindak.

Prinsip tersebutpun erat kaitannya dengan masalah kependudukan. Karna dengan adanya pembatasan usia perkawinan bagi wanita maka diharapkan laju kelahiran dapat ditekan semaksimal mungkin. Ternyata bahwa batas usia yang rendah bagi wanita mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Dengan demikian program Keluarga Berencana dapat berjalan seiring dengan Undang-undang perkawinan ini.38

Sehubungan dengan kedua hal tersebut, maka perkawinan bawah umur di larang keras dan harus di cegah pelaksanaannya. Adapun perkawinan bawah umur sesuai dengan Instruksi Mendagri No.27 Tahun 1983 tentang usia perkawinan dalam rangka melindungi program kependudukan dan keluarga berencana menjelaskan definisi tentang:

Perkawinan bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan pada usia

di bawah 16 tahun bagi wanita dan di bawah 19 tahun untuk pria.”

36

Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hal 173

37

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Kencana, Agustus 2007), cet ke 2, hal.26

38

DEPAG, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, (DEPAG: Dirjen BIMAS Islam dan Penyelenggaraan Haji, Proyek Peningkatan Kehidupan Keluarga Sakinah, 2001), hal.3


(44)

Penyimpangan dari batas umur minimal perkawinan ini harus mendapat dispensasi terlebih dahulu dari Pengadilan Agama.Pengajuan dispensasi dapat diajukan oleh orang tua atau wali dari calon mempelai yang belum mencapai umur untuk melangsungkan perkawinan. Antara kedua calon mempelai harus ada kerelaan yang mutlak untuk melangsung perkawinan yang mereka harapkan.Mereka harus mempunyai suatu kesadaran dan keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya.39

Permohonan dispensasi perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah hukum pemohon.Dispensasi dari Pengadilan diberikan karena memang benar-benar adanya keadaan memaksa (darurat) sehingga perkawinan harus segera dilangsungkan walaupun calon mempelai berada dibawah umur, misalnya wanita hamil sebelum perkawinan dilangsungkan/hamil diluar nikah. Dalam hal demikian, KUA selaku lembaga pencatatan perkawinan harus mengawinkan calon mempelai yang berada dalam keadaan tersebut.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam pengajuan permohonan dispensasi kawin, antara lain:

1. Surat permohonan.

2. Fotocopy akta kawin orang tua sebagai pemohon yang bermaterai. 3. Surat pemberitahuan penolakan perkawinan dari KUA karena belum

cukup umur.

39


(45)

4. Fotocopy akta kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan atau fotocopy ijazah yang sah dan bermaterai.

Proses pengajuan permohonan perkara dispensasi kawin dilakukan secara tertulis dan dapat pula dilakukan secara lisan bagi yang tidak bisa baca tulis atau bagi yang tidak memiliki keahlian untuk membuatnya secara tetulis. Surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama, pemohon menuju ke Meja I yang akan menaksir besarnya panjar biaya perkara yang dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan mencukupi biaya pemeriksaan perkara sampai selesai dan diputuskan.Biaya tersebut meliputi biaya kepaniteraan dan materai, biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah, biaya pemeriksaan setempat dan tindakan lain hakim, biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah Pengadilan.40

Pemohon membayar panjar biaya perkara di Meja Kasir yang akan menerima dan mencatatnya kemudian menandatangani SKUM yang diserahkan kembali kepada pemohon. Selanjutnya, berkas perkara dan kelengkapannya didaftarkan ke Meja II yang akan mencatat kedalam Register Induk Perkara dan memberi nomor perkara sesuai nomor yang diberikan di kasir, berkas perkara diserahkan ke Wakil Panitera untuk disampaikan ke Ketua Pengadilan yang akan menunjuk Majlis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara.

40

Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,


(46)

Penetapan Hari Sidang dilakukan oleh Majelis Hakim dipimpin oleh Ketua Majelis dengan mempelajari berkas perkara dan menetapkan hari, tanggal serta jam kapan perkara untuk pertama kalinya disidang dan memerintahkan untuk memanggil pihak-pihak disertai dengan pemberitahuan bahwa mereka dapat mempersiapkan saksi-saksi dan bukti-bukti yang akan diajukan dalam persidangan.

Sebelum persidangan akan dilakukan pemanggilan kepada pihak-pihak yang berperkara, pemanggilan disampaikan langsung kepada pribadi yang dipanggil ditempat tinggalnya. Penyampaian relaas (Berita Acara Pemanggilan) kepada pihak harus dilakukan secara resmi dan patut, ditandatangani oleh jurusita/jurusita pengganti dan orang yang menerima panggilan. Semua proses pemeriksaan perkara dicatat dalam Berita Acara Persidangan.

Pada hari sidang yang telah ditetapkan,pemohon seta calon suaminya hadir secara pribadi di persidangan. Mereka memberikan keterangan dan penjelasan secukupnya dipersidangan.

Selanjutnya Majelis Hakim memberikan penjelasan hal-hal yang berkenaan dengan Dispensasi Nikah, mengingat usia pemohon belum mencapai 16 Tahun, namun pemohon dan calon suaminya tetap berkehendak untuk kawin, selanjutnya dibacakanlah permohonan pemohon.

Untuk memperkuat dalil-dalil permohonannya, pemohon mengajukan surat-surat bukti tertulis berupa: foto copy bermaterai, akta kelahiran atas nama pemohon dan surat pemberitahuan penolokan melangsungkan perkawinan yang


(47)

dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA), selain bukti tertulispemohon menghadirkan dua orang saksi di persidangan.

Setelah para saksi dihadirkan, kemudian pemohon menyatakan telah cukup memberikan keterangan dan alat bukti, selanjutnya pemohon berkesimpulan tetap dengan permohonannya dan memohon supaya Majelis Hakim segera menjatuhkan penetapannya.

Setelah memeriksa dalam persidang dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan.Maka Pengadilan Agama yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tingkat pertama menjatuhkan penetapan dalam perkara permohonan dispensasi nikah yang diajukan oleh pemohon.

Dalam hal ini pihak-pihak berkepentingan tidak dibenarkan membantu melaksanakan perkawinan bawah umur, pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi dengan peraturan yang berlaku.

Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dalam rumah tangga yang selalu mendapat hidayah dan taufik dari Allah SWT.Oleh karena itu agar tujuan yang diharapkan dapat terlaksana, maka kematangan calon mempelai sangat diharapkan.Kematangan dimaksud adalah kemantangan umur perkawinan, kematangan dalam berfikir dan bertindak sehingga tujuan perkawinan dapat terlaksana dengan baik.


(48)

37

A. Keadaan Geografis Kelurahan Pamenang

Kelurahan Pamenang sebagai salah satu bagian unit kerja organisasi yang merupakan perangkat kecamatan Pamenang, memiliki ciri dan karakteristik sebagai Desa menjadi Kelurahan baik dilihat dari perspektif territorial, kehidupan, ekonomi, sosial dan lingkungan. Dimana Kelurahan Pamenang merupakan salah satu Desa dibawah pemerintahan Kabupaten Merangin.

Luas wilayah administrative Kelurahan Pamenang meliputi 331 Ha, terdiri dari luas pemukiman 221 Ha dan luas kuburan 10 Ha. Jumlah penduduk tahun 2013 sebanyak 6019 jiwa terdiri dari laki-laki 3044 dan perempuan 2975 dan terdapat 450 kk41.

Dan secara administrative batas-batas wilayah Kelurahan Pamenang sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan desa mentawak baru b. Sebelah selatan berbatasan dengan desa rejosari sialang c. Sebelah timur berbatasan dengan desa kroya, pauh menang d. Sebelah barat berbatasan dengan desa muara belenggo

Sedangkan orbitrasi (jarak dari pusat ke desa) terhadap pusat-pusat fasilitas kota.

41


(49)

1. Jarak ke ibu kota Kecamatan; 01 km 2. Jarak ke ibu kota Kabupaten; 31 km 3. Jarak ke ibu kota Provinsi; 259 km

Penduduk keselurahan menurut hasil pendataan berjumlah 6016 jiwa terdiri dari laki-laki 3044 jiwa dan perempuan 2972 jiwa42.Kelurahan Pamenang terdiri dari 10 Rukun Warga (RW) dan 30 Rukun Tetangga (RT).

B. Keadaan Demografis Kelurahan Pamenang

Masyarakat Kelurahan Pamenang sebagian besar bermata pencarian sebagai petani yaitu berkebun / berladang dengan penghasilan utamanya karet dan kelapa sawit, selain itu sebagian masyarakat juga berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, pengrajin industri rumah tangga, peternak, nelayan, tni, polri, pengusaha kecil dan menegah,dan buruh43. Walaupun demikian masyarakat Kelurahan Pamenang memiliki ikatan emosional yang kuat, khusunya dalam kegiatan-kegiatan yang berdampak positif bagi warga.

Adapun fasilitas dan tingkat pendidikan masyarakat Kelurahan Pamenang dapat dilihat dari table berikut ini :

Tabel 1

Fasilitas Pendidikan Formal di Kelurahan Pamenang Tahun 2012-2013

No Fasilitas Pendidikan Jumlah Fasilitas

1. Play group 3

2. Tk 3

3. Sd / sederajat 4

4. Smp / sederajat 2

5. Sma / sederajat 2

Sumber: data potensi desa dan kelurahan Tahun 2012-2013

42

Data Potensi Desa dan Kelurahan Tahun 2012-2013

43


(50)

Tabel 2

Fasilitas Pendidikan Formal Keagamaan di Kelurahan Pamenang Tahun 2012-2013

No Fasilitas Pendidikan Jumlah Fasilitas

1 Raudhatul Athfal 1

2 Ibtidayah 3

3 Tsanawiyah 2

4 Aliyah 2

5 Pondok pesantren 2

Sumber: data potensi desa dan kelurahan Tahun 2012-2013

Mayoritas masyarakat di Kelurahan Pamenang memeluk agama Islam, sehingga hampir seluruhnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat lebih mengarah kepada unsur keagamaan, setiap tahun masyarakat selalu mengadakan kegiatan agama seperti maulud, rajab, dan setiap minggu selalu ada kegiatan pengajian rutin seperti yasinan dan majlis taklim yang di ikuti oleh bapak-bapak, ibu-ibu. Di kelurahan Pamenang jarang ditemui kegiatan-kegiatan untuk remaja sehingga menyebabkan banyak kaum remaja putra maupun putri yang dapat melakukan pergaulan tanpa adanya rem dari dalam dirinya, karena kurangnya pemahaman keagaamaan dalam diri mereka ditambah kurangnya perhatian orang tua dan mudahnya membuka situs-situs yang berbau pornografi akibat dari internet tidak sehat. Kondisi para remaja di Kelurahan Pamenang perlu diperhatikan dan perlu adanya kegiatan-kegiataan yang positif agar dapat menanbah pemahaman mereka.

Adapun fasilitas tempat ibadah di kelurahan Pamenang dapat dilihat dari table sebagai berikut:


(51)

Table 1

Fasilitas Musholla di Kelurahan Pamenang Tahun 2013

No Nama Musholla

1 Jami’atul Muttaqin

2 Hijrotul Muttaqin

3 Adz-Dzikro

4 Al Muttaqin

5 At Taqwa

6 Al Istiqomah

7 Al-Kautsar

8 Nurul Jadid

9 At Taubah

10 Bani Hasyim

11 Al-Kiromah

12 Darul Aman

13 Nurul Ikhsan

Sumber: data keagamaan kelurahan pamenang Tahun 2013 Tabel 2

Fasilitas Masjid di Kelurahan Pamenang Tahun 2013

No Nama Masjid

1 Al-Mukmin

2 Al-Muhajirin

3 Khairun Nashirin

4 As-Shobirin

5 Baitur rahim

Sumber: data keagamaan kelurahan pamenang Tahun 2013 Table 3

Fasilitas Gereja di Kelurahan Pamenang Tahun 2013

No Nama Gereja

1 HKBP

Sumber: data keagamaan kelurahan pamenang Tahun 2013

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tempat ibadah musholla dan masjid lebih banyak dari pada tempat ibadah non Islam (gereja), meskipun tempat beribadah mereka hanya ada satu tapi mereka bisa melaksanakannya dengan baik tanpa ada gangguan dari masyarakat yang mayoritas beragama


(52)

Islam, itu merupakan bentuk dari toleransi antar agama yang ada di Kelurahan Pamenang. Adapun jumlah penduduk menurut agama yang dianut dapat dilihat dalam table di bawah ini.

Tabel 4

Jumlah Penduduk Penganut Agama

Agama Jumlah Penduduk Penganut Agama

Islam 4498 orang

Khatolik 19 orang

Protestan 1499 orang

Hindu -

Budha -

Sumber:Data Monografi Kecamatan Pamenang

C. Keadaan Sosiologis Kelurahan Pamenang

Desa Pamenang dapat dikategorikan sebagai wilayah desa dengan jumlah penduduk yang relatif besar jika dibandingkan dengan wilayah lainnya yang ada dalam provinsi jambi. Angka kelahiran dan kematian berbanding sangat kontradiktif yang berarti bahwa tingkat kelahiran sangat tinggi jika dibandingkan angka kematian. Kenyataan ini makin dikuatkan dengan adanya anggapan yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat bahwa banyak anak banyak rezeki. Secara tidak langsung memotivasi masyrakat untuk memiliki keturunan sebanyak-banyaknya. Dengan ini dapat dipastikan bahwa setiap keluarga minimal memiliki tiga orang anak, padahal hampir setiap datangnya lebaran haji akanada minimal tiga pasang remaja yang melangsungkan perkawinan.

Secara sosial, masyarakat desa ini di kenal ramah dan sangat santun dalam bersikap. Hal ini misalnya terlihat dari penilaian-penilaian yang


(53)

dilontarkan oleh beberapa pendatang musiman maupun yang telah menetap lama di wilayah ini. Ketika berjumpa bahkan tidak segan-segan mereka menyapa satu sama lainnya, bahkan terhadap orang asing sekalipun. Hal ini mungkin disebabkan oleh budaya mereka yang sangat menjunjung tinggi persaudaraan dan silaturahmi dengan sesama.

Meskipun berpredikat sebagai penduduk mayoritas muslim, masyarakat desa sangat menjunjung tinggi toleransi beragama. Menurut pendapat masyarakat desa ini, setiap orang berhak untuk dihormati dan menghormati tanpa memandang latar belakang agama yang dianutnya. Hal ini terlihat dengan keramahan yang mereka tunjukan terhadap orang-orang dari kalangan non muslim. Kalangan seperti ini biasannya terdiri dari tenaga pengajar, tenaga kesehatan, serta para pekerja di berbagai lapangan pekerjaan yang ada di Kelurahan Pamenang. Sampai saat ini terbukti tidak pernah terjadi gesekan yang berujung pada perselisihan berlatar belakang agama, karena masing-masing pihak menghormati haknya.

Di waktu sore hari, banyak di antara mereka yang memilih untuk bersantai di balai-balai yang berada di pinggiran sungai atau di depan toko-toko. Di sini terlihat bagaimana keakraban dan kebersamaan di antara mereka tetap terjaga. Topik-topik obrolan mereka beragam, ada yang seputar pekerjaan mereka ,rumah tangga, masyarakat, bahkan persoalan politik dan ekonomi saat ini. Realitas demikian wajar terjadi karena dengan keuntungan penjualan karet yang mereka miliki. Masyarakat desa ini dapat mengakses beragam informasi melalui sarana radio dan televisi, sarana telekomunikasi


(54)

terutama handphone mulai menjamur dan tidak lagi menjadi barang langka di kelurahan ini karena hampir sebagian orang terutama para remaja telah memiliki perangakat komunikasi ini.

Dari aspek politik, masyarakt Kelurahan Pamenang adalah warga negara yang baik, terutama terindikasi dari tingginya tingat partisipasi masyarakat untuk mengikuti beragam pemilihan umum yang di selenggarakan di negeri ini. Masyarakat dengan sukarela dan tanpa intimidasi dapat memilih partai politik yang menjadi pilihannya. Perbedaan pilihan partai politik sejauh ini tidak menjadi hambatan dan memecah persatuan masyarakat kelurahan Pamenang. Konflik kecil-kecilan sering terjadi, tetapi biasanya hanya menjelang pemilu atau pilkada. Setelah event-event tersebut berlalu, maka perselisihan tersebut pun hilang dengan sendirinya. Hal ini dapat di mengerti karena masyarakat desa Pamenang merupakan sebuah keluarga besar, di mana antara yang lain jika ditelusuri masih memiliki hubungan darah atau bersaudara.

D. Praktik Perkawinan di Kelurahan Pamenang

Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang di alami oleh hampir semua manusia di muka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.

Perkawinan di Kelurahan Pamenang terkesan rumit karena banyaknya tahapan-tahapan sebelum dan sesudah melangsungkan perkawinan.


(55)

Kerumitan tersebut muncul karena perkawinan di masyarakat Kelurahan Pamenang harus mendapatkan restu baik dari orang tua maupun keluarga besar dari kedua belah pihak, jika ada di antara keluarga mereka yang tidak merestui maka akan sulit untuk melangsungkan perkawinan. Adapun diantara banyaknya tahapan-tahapan yang harus dilakukan sebelum dan sesudah melangsungkan perkawinan sebagai berikut:

1. Lamaran

Lamaran di Jambi disebut sebagar antar tando sebelum diadakan acara lamaran, biasanya akan ada utusan dari pihak laki-laki yang akan bertanya ataupun bersilaturahmi ke keluarga dari pihak wanita. Utusan ini akan mencari tahu apakah wanita yang dimaksud sudah ada yang melamar atau belum ada yang melamar, jika wanita yang dimaksud belum ada yang melamar maka setelah itu akan dilakukan prosesi lamaran. Lamaran ini biasanya dihadiri tuo tengganai dari kedua belah pihak keluarga, pada saat lamaran keluarga laki-laki akan membawa syarat adat, diantaranya44: a. Cincin pengikat, cincin ini hanya untuk dipakai wanita bukan cincin

satu pasang karena tukar cincin baru akan akan dilakukan saat akad nikah nanti.

b. Pakaian sepelulusan, berupa kain kebaya untuk acara akad dan kain bawahannya bisa berupa batik atau songket, terkadang juga dilengkapi dengan selop dan dompet.

44


(56)

c. Sirih pinang, berupa perlengkapan untuk makan sirih berupa daun sirih, kapur sirih, tembakau serta pinang yang diletakan di tempat sirih khusus.

Prosesi lamaran biasanya berupa seloko-seloko (berbalas pantun) antar wakil keluarga terlebih dahulu yang kira-kira isinya adalah menanyakan maksud dan tujuan keluarga laki-laki bertamu ke keluarga wanita. Setelah prosesi lamaran itu sendiri berupa pemasangan cincin ke calon wanita, kemudian dilanjutkan dengan acara makan bersama. Setelah selesai makan maka akan dilakukan perundingan keluarga inti, dimana untuk membicarakan tentang kelanjutan lamaran yang berupa pembicaraan tanggal, adat dan lain-lainnya. Pembicaran yang dilakukan antara lain: a. Tanggal perkawinan, apakah upacara perkawinan akan dilaksanan

sepanen jagung (3 bulan) atau sepanen padi (6 bulan) atau yang lain.

b. Adat yang digunakan, apakah akan menggunakan adat jambi secara keselurahan atau ada campuran dari adat lain.

c. Seserahan, apa saja hantaran yang akan diberikan keluarga laki-laki kepada pihak perempuan.

d. Uang adat, uang adat disini ada dua (2) yaitu, uang adat biasanya hanya berjumlah sedikit berkisar 50-100 ribu. Uang selemak semanis jumlahnya cukup besar disesuaikan dengan kemampuan keluarga laki-laki, uang selemak semanis ini merupakan urunan atau membantu belanja untuk acara resepsi perkawinan nanti.


(57)

2. Hantaran

Adat Jambi, memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan hantaran. Ada beberapa barang yang harus dibawa ketika prosesi hantaran tersebut, beberapa benda tersebut antara lain adalah45:

a. Isi kamarberupa tempat tidur, lemari, meja rias, kasur, bed cover,sampai gorden untuk kamar pengantin.

b. Peralatan make-up.

c. Bahan pakaian atau kebaya atasan dan bawahan (2 pasang). d. Sepatu atau selop (2 pasang).

e. Tas (2pcs).

f. Baju tidur (2 pasang). g. Underwear (2 set).

h. Kain panjang (2 lembar) gunanya adalah untuk dijadikan kain basahan ketika mandi disungai.

i. Peralatan mandi berupa sabun, sampho dan lain-lainnya. Beberapa daerah di jambi ada yang membawa gayung dan ember yang di hias dengan pita.

j. Perlengkapan ibadah.

k. Bumbu dapur berupa cabe, bawang, merica, tomat, garam, beras, telur dan lain-lainnya. Bahkan ada yang membawa kerbau yang di hias dengan pita dan di masukan kedalam tempat dimana acara

45


(58)

diselenggarakan. Hal ini merupakan perlambangan dari keluarga laki-laki turut serta membantu logistic acara resepsi.

l. Uang selemak semanis. 3. Perkawinan

a. Akad Nikah

Akad nikah biasanya dilakukan di rumah mempelai wanita atau masjid.Penganten pria bersama rombongan datang kerumah penganten wanita yang dihadiri oleh ninik mamak (orang adat). Maka diadakanlah akad nikah yang dihadiri oleh penghulu, wali, dan saksi-saksi.Setelah acara akad nikah selesai maka para keluarga dari kedua belah pihak makan bersama atau syukuran di acara perkawinan.keluarga yang menyediakan adalah pihak perempuan yang telah menyiapkan semua hidangan.

b. Resepsi Perkawinan

Setelah akad nikah maka akan diadakannya resepsi atau pesta, untuk mengundang para tamu undangan, kerabat dekat maupun jauh. Resepsi ini diadakan di rumah penganten wanita namun ada juga diadakan di rumah penganten pria tergantung kesepakatan keluarga. Pada acara resepsi ini penganten memakai baju adat lengkap dengan dihiasi pelaminan, biasanya dihiburkan dengan music, organ tunggal untuk menghibur penganten dan para tamu undangan.


(59)

Setelah acara resepsi perkawinan selesai masih ada tradisi adat yang dilakukan oleh pasangan penganten baru yaitu46:

1. Ulu Anta, mamak (paman) dari pihak laki-laki mengantarkan anak laki-lakinya ke pihak keluargaperempuan yang diterima oleh

ninik mamak dari pihak keluargaperempuan.

2. Tunjuk Aja (mengajarkan), mamak (paman) dari kedua belah pihak atau perangkat desa memberikan pengajaran tentang bagaiman cara berumah tangga dan mengajarkan adab atau akhlak terhadap keluarga kedua belah pihak.

3. Ajum Arah (diatur atau mengarahkan), ninik mamak menunjukkan arah mana yang harus dituju kepada kedua mempelai dalam kehidupan berumah tangga agar bisa mengatasi masalah yang timbul setelah kawin.

4. Ma Urak Silo, ninik mamak mengajarkan kepada mempelai laki-laki cara duduk basilo (duduk dengan melipatkan kaki kanan di atas dan kaki kiri di bawah) yang benar. Hal ini menunjukan akhlak yang sopan kepada keluarga perempuan agar di terima dengan baik menjadi anggota keluarga.

Perkawinan dikelurahan Pamenang, sama halnya dengan perkawinan pada umumnya. Perkawinan yang sah harus memenuhi syarat-syarat perkawinan yaitu; adanya kedua calon mempelai, wali, saksi dan ijab qobul.Ijab qobul atau akad nikah

46


(60)

dapat dilaksanakan di KUA (Kantor Urusan Agama), masjid atau di rumah calon mempelai wanita dan diucapkan oleh mempelai pria dihadapan amil (penghulu), wali, saksi, masyarakat yang hadir pada saat ijab qobul.Setelah ijab qobul kedua mempelai menandatangani buku nikah.

Setelah acara akad nikah selesai maka keluarga dari kedua belah pihak mengadakan syukuran atau makan bersama, selesai makan bersama maka diadakannya resepsi perkawinan.


(61)

50

PAMENANG

A. Gambaran Perkawinan Bawah Umur Di Kelurahan Pamenang

Perkawinan bawah umur merupakan hal yang biasa ditemui di Kelurahan Pamenang. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis berhasil mewawancarai beberapa orang pelaku perkawinan bawah umur. Berikut paparannya:

a. Kasus I

Rani menikah saat umurnya 14 tahun, saat ini rani mempunyai seorang anak laki-laki dari perkawinannya, rani menikah di usianya yang sangat muda bukan karena hamil di luar nikah, tetapi karena sudah menjalin hubungan yang cukup lama dengan pacarnya sehingga ketika pacarnya mengajak rani untuk menikah rani langsung menerimanya. Mereka menikah secara sah walaupun harus memanipulasi umur dikarenakan umur rani saat itu masih sangat muda.Ketika rani memberitahukan niat baik sang pacar kepada orangtuanya, awalnya orangtua rani tidak setuju dengan keputusan rani untuk menikah akan tetapi rani terus berusaha meyakinkan orangtuanya dan akhirnya orangtua rani membolehkan rani untuk menikah karena mereka takut rani akan kawin lari karena tidak direstui oleh orang tuanya.


(62)

Rani tidak pernah menyesal dengan keputusannya menikah diusia muda karena pada saat itu rani sudah tidak sekolah dan juga tidak bekerja. Untuk mengurangi beban orangtuanya rani milih untuk nikah.Sudah 4 tahun rani menikah, keadaan rumah tangganya saat ini baik-baik saja meskipun tidak berjalan dengan mulus ada saja masalah yang datang dalam rumah tangganya. Meskipun rani menikah diusia muda akan tetapi rani bisa mengatasi masalah rumah tangganya sehingga perkawinan mereka masih utuh sampai saat ini.47

b. Kasus II

Sebut saja namanya sumi, sumi menikah pada saat usia 15 tahun. Sumi sempat mengenyam pendidikan di salah satu sekolah hanya saja saat sumi kelas 2 Mts dia berhenti sekolah dan pada saat itu sumi sudah memiliki pacar tidak berapa lama kemudian sumi dan pacarnya memutuskan untuk menikah. Keinginan sumi untuk menikah diusia muda tidak mendapat izin dari orangtuanya karena orangtua sumi masih ingin melihat sumi melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi keputusan sumi sudah bulat untuk menikah dan orangtuanya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengizinkan anaknya menikah.Sumi menikah diusia muda perkawinannya sah dan tercatat meskipun pada saat itu sumi memanipulasi (menambah) usianya supaya bisa menikah.Pada saat itu sumi tidak mengetahui adanya dispensasi nikah bagi yang belum cukup umur untuk menikahsehingga mereka bisa menikah dengan adanya izin dari Pengadilan

47


(63)

Agama.Perkawinan sumi tidak berlangsung dengan harmonis mereka sering berselisih paham sehingga mereka memutuskan untuk berpisah meskipun pada saat itu mereka sudah memiliki seorang putri yang masih kecil dan masih membutuhkan ayah dan ibunya.Setelah bercerai sumi mengalami kesulitan ekonomi untuk membiayai kehidupannya dan anaknya, mantan suaminya hanya sesekali memberi nafkah untuk anaknya.Setelah beberapa tahun bercerai sumipun menikah kembali dan sekarang sumi sudah memiliki 3 orang anak dari perkawinanya yang kedua, sekarang sumi hidup bahagia bersama anak dan suaminya.48

c. Kasus III

Nurhepni sekarang berumur 28 tahun, nur menikah saat usianya 14 tahun.Sekarang nur mempunyai 5 orang anak yang masih kecil-kecil.Nur menikah pada saat usianya masih sangat muda, perkawinannya tercatat karena nur memanipulasi usianya pada saat mau menikah dan pada saat itu nur tidak mengetahui tentang dispensasi nikah.

Awalnya orang tua nur tidak menyetujui keputusannya untuk menikah karena pada saat itu nur terlalu muda, keinginan nur untuk menikah membuat orang tuanya khawatir nur akan melakukan hal-hal yang mereka tidak inginkan dan pada akhirnya mereka membolehkan nur menikah dengan pria yang sudah lama menjalin hubungan dengannya. Sekarang usia perkawinannya sudah 14 tahun, tidak mudah bagi nur untuk mempertahankan perkawinanya. Awal perkawinannya nur sering berantem

48


(64)

dengan suaminya dan nur bisa mempertahankan rumah tangganya demi anak-anaknya, sekarang nur hidup bahagia bersama anak dan suaminya.49 d. Kasus IV

Saat paini menikah usianya 15 tahun, meskipun belum cukup umur untuk menikah paini tetap ingin menikah karena paini ingin menggurangi beban orang tuanya.Paini berasal dari keluarga yang kurang mampu sehingga paini harus menikah agar bisa membantu ekonomi orangtuanya, kini paini memiliki 2 orang anak hasil dari perkawinannya.

Paini melangsungkan perkawinanya secara sederhana hanya dihadiri oleh keluarga/kerabat dekat saja, meskipun paini menikah umurnya masih 15 tahun akan tetapi perkawinannya tercatat karena paini melakukan penambahan umurnya agar tidak sulit untuk melangsungkan perkawinannya. Seiring berjalannya waktu paini dan suaminya memilih untuk berpisah karena sudah tidak memiliki kecocokan lagi, meskipun begitu paini tidak pernah menyesali pernah hidup bersama dengan mantan suaminya dan sekarang paini hidup bahagia bersama anaknya.50

e. Kasus V

Saat menikah umur tutri baru 14 tahun, pendidikan tutri hanya sampai di sekolah dasar setelah lulus SD tutri hanya membantu meringankan pekerjaan orang tuanya. Pada saat umur 13 tahun tutri memiliki pacar yang lebih dewasa darinya dan pada saat itu pacarnya sudah bekerja, setelah menjalin hubungan selama 1 tahun pacarnya

49

Wawancara Pribadi dengan Nurhepni, di Kediaman Responden, 12 Semptember 2014

50


(65)

mengajak tutri untuk menikah dengan senang hati tutri menerima ajakan pacarnya untuk menikah. Sebenarnya orang tua tutri tidak membolehkan anaknya menikah di usianya yang masih sangat muda,tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa mereka berfikir kalau dilarang takut akan menimbulkan masalah sehingga akhirnya orang tua tutri menerima keputusan tutri untuk menikah.

Perkawinantutri berlangsung sangat sederhana hanya dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak saja, meskipun tutri menikah umur 14 tahun tetapi perkawinannya tercatat karena adanya penambahan usia tutri pada saat itu.Setelah menikah tutri sering mendengar omongan orang yang negatif tentang dirinya, tutri menanggapinya hanya dengan senyuman.Saat ini tutri menggandung anak pertamanyausia kandungan tutri 3 bulan ketika mengetahui bahwa dia lagi hamil tutri sangat senang dia tidak sabar menunggu sang buah hati dilahirkan.51

f. Kasus VI

Dewi menikah saat umur 15 tahun, dewi menikah karena sudah tidak bisa melanjutkan pendidikannya karena keadaan ekonomi keluarga yang membuat dewi tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Kebetulan pada saat itu pacarnya mengajak dewi menikah, pada saat itu dewi berfikir kalau dia menikah akan bisa membantu meringankan ekonomi keluarganya. Pacar dewi sudah bekerja dan menurut dewi pacarnya itu dewasa dan bisa menafkahi dewi jika mereka menikah.

51


(66)

Orang tua dewi terutama ibunya sangat kecewa dengan keputusan dewi untuk segera menikah, ibunya sangat ingin dewi melanjutkan pendidikannya meskipun ibunya harus banting tulang bekerja untuk membiayai dewi sekolah sebagai anak dewi tidak mau menyusahkan ibunyadan membiarkan ibunya bekerja keras demi dia. Perkawinan dewi tercatat karena ada penambahan umur waktu dewi membuat ktp, perkawinannya saat ini bisa dibilang harmonis meski sering berantem sama suaminya tapi itu hanya sebentar kemudian mereka kembali harmonis.52

g. Kasus VII

Yuliana menikah saat usianya 14 tahun, dia baru beberapa bulan menikah. Yuli menikah karena sangat mencintai pacarnya dan takut akan kehilangan sang pacar makanya yuli menikah meskipun masih dibawah umur. Orang tua yuli awalnya sangat kaget ketika yuli memberi tahu akan keinginannya untuk menikah dan saat itu orang tuanya tidak melarang kalau yuli benar-benar ingin nikah hanya saja orang tuanya sempat memberikan nasehat atas keputusannya apalagi yuli masih belum cukup umur untuk menikah.

Meskipun yuli menikah saat usianya 14 tahun tapi mereka melaksanakan perkawinannya secara sah dan diakui negara namun yuli

52


(1)

10. Bagaimana sih menurut kamu perkawinan dini itu?

Jawaban: menurut saya nikah dini itu tidak menjadi masalah karena setelah nikah saya jadi lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak.


(2)

Nama : Lena Agustina

Alamat : Dusun Tengah, Rt 11/6 Waktu : 20 Januari 2015

Tempat : Kediaman Informan 1. Waktu menikah umur berapa?

Jawaban: 15 tahun

2. Waktu nikah udah selesai belom sekolahnya? Jawaban:udah kak cuma sampai SMP sekolahnya 3. Sudah punyak anak belum ya?

Jawaban: belum kak saya baru 5 bulan nikah

4. Waktu proses perkawinan bagaimana sih, dicatat nggak di KUA? Jawaban: cuma keluarga aja kak yang hadir waktu nikah, dicatat kak 5. Bagaimana sih respon keluarga terhadap perkawinan?

Jawaban: awalnya orang tua ga setuju sih

6. Perkawinan bagaimana, apa pernah dimarahin sama suaminya? Jawaban:baik-baik aja, marah kecil-kecil sih pernah

7. Pernah menyesal nggak sudah menikah, melihat teman-teman kamu masih pada sekolah?

Jawaban: ga kak kan ini kemauan aku sendiri buat nikah 8. Apa sih alasan bisa secepat ini nikah?

Jawaban:ketemu jodohnya cepat kali ya kak

9. Apa sih dampak perkawinan dini yang kamu rasakan? Jawaban: Alhamdulillah nggak ada dampak selama ini 10. Bagaimana sih menurut kamu perkawinan dini itu?

Jawaban: kawin muda itu bisa di bilang pilihan yah sekarang nggak lihat dari umur kalau mau nikah dan kalau yang sudah siap untuk nikah kenapa nggak.


(3)

HASIL WAWANCARA

Nama : Rita Kusmala Dewi Alamat :Kampung Duren, Rt 5/3 Waktu : 20 Januari 2015

Tempat : Kediaman Informan

1. Waktu menikah umurnya berapa? Jawaban: 15 tahun

2. Waktu nikah udah selesai belom sekolahnya? Jawaban:udah ga sekolah kak

3. Sudah punyak anak belum ya? Jawaban: belum kak

4. Waktu proses perkawinan bagaimana sih, dicatat nggak di KUA?

Jawaban:alhamdulillah proses waktu nikah sih lancar kak, tercatat kan di ktp umur saya ditambah kak

5. Bagaimana sih respon keluarga terhadap perkawinan?

Jawaban: keluarga yang pasti senang kak apalagi orang tua saya kak mereka takut saya pacaran terlalu bebas dari pada bikin malu keluarga mendingan nikah kak

6. Perkawinan bagaimana, apa pernah dimarahin sama suaminya? Jawaban: alhamdulillah baik, belum pernah dimarahin sih kak

7. Pernah menyesal nggak sudah menikah, melihat teman-teman kamu masih pada sekolah?

Jawaban: ga kepikiran buat nyesal kak 8. Apa sih alasan kamu bisa secepat ini nikah?

Jawaban: saya ga mau nyusahin orang tua kak saya pengen ngebantu beban orang tua dengan saya nikah beban orang tua saya kan berkurang dan saya juga bisa lah bantu orang tua meskipun dikit


(4)

10. Bagaimana sih menurut kamu perkawinan dini itu?

Jawaban: menurut saya sih nikah dini biasa aja karena zaman sekarang banyak kok yang nikah dini.


(5)

HASIL WAWANCARA

Nama : Sri Lestari

Alamat : Dusun Baru, Rt 6/3 Waktu : 20 Januari 2015 Tempat : Kediaman Informan

1. Waktu menikah umur berapa? Jawaban: 14 tahun

2. Waktu nikah udah selesai belom sekolahnya? Jawaban: aku masih kelas 2 Mts kak

3. Perkawinan kamu tercatat nggak di KUA? Jawaban: nggak kak

4. Sudah punyak anak belum ya? Jawaban: belum punya

5. Waktu proses perkawinan bagaimana sih?

Jawaban: aku nikah ga dihadirin sama orang tua kak 6. Bagaimana sih respon keluarga terhadap perkawinan?

Jawaban: orangtua ga setuju kak

7. Perkawinan kamu bagaimana, apa pernah dimarahin sama suaminya? Jawaban: baik kak, pernah kak biasanya sih kalau aku salah suami marah 8. Pernah menyesal nggak sudah menikah, melihat teman-teman kamu masih

pada sekolah?

Jawaban: pernah sih tapi mau gimana lagi kak aku ga punya pilihan selain nikah

9. Apa sih alasan bisa secepat ini nikah?

Jawaban:alasan aku nikah yah karna udah hamil duluan kak nggak mau bikin keluarga malu yah aku mutusin buat nikah

10. Apa sih dampak perkawinan dini yang kamu rasakan?

Jawaban: belum merasakan adanya dampak yah karna aku baru beberapa bulan kawin jadi belum merasakan dampaknya.


(6)

untuk mempertahankannya. Tapi mayoritas di pamenang yang nikah muda itu bisa menjalankan dan mempertahankan hubungan rumah tangga mereka dengan baik.