Pihak yang Terlibat Dalam Build Operate Transfer Keadaan Paksa dalam Build Operate Transfer

Apabila suatu pihak mengakhiri perjanjian secara sepihak, pihak yang mengakhiri itu pada umumnya dibebani dengan kewajiban tertentu, misalnya dengan mengganti kerugian yang diderita oleh pihak lainnya. Kerugian itu dapat meliputi kerugian karena biaya-biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan. Dalam hal-hal tertentu, kerugian itu dapat pula meliputi kerugian karena keuntungan yang diharapkan akan diperoleh yang namun tidak jadi diperoleh karena perjanjian diakhiri secara sepihak. Ketentuan umum bagi pengakhiran secara sepihak di atas tidak berlaku bagi keadaan paksa. Menurut undang-undang, keadaan paksa akan menyebabkan perjanjian batal demi hukum. Ini berarti bahwa segala kerugian menjadi resiko yang ditanggung masing-masing pihak. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, perjanjian BOT dapat pula, meski tidak harus, memuat ketentuan mengenai keadaan paksa ini. Kalaupun keadaan paksa ini tidak dimuat dalam perjanjian, maka pihak yang mengakhiri apabila secara sepihak, dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan. Namun, dari segi kepastian hukum, lebih baik ketentuan ini dimuat dalam perjanjian. Pemuatan klausul mengenai keadaan-paksa mempunyai keuntungan-keuntungan: 48 a. Para pihak dapat mengatur sendiri keadaan-keadaan apa yang dapat dianggap sebagai keadaan paksa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi konkrit para pihak. Sebagaimana diketahui, setiap perjanjian 48 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT Build, Operate, and Transfer, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995, cet 1, h. 19. mempunyai sifat-sifat dan situasi-situasi khas yang mungkin tidak ada dalam perjanjian lain yang serupa. Klausul yang diatur dapat saja lebih luas, namun tidak boleh lebih sempit, daripada apa yang ditentukan dalam undang-undang dan kebiasaan yang berlaku. b. Para pihak dapat segera menyelesaikan persoalan yang timbul dari pengakhiran perjanjian, baik secara sepihak maupun bersama, karena tidak harus mengikutsertakan peran pengadilan. Para pihak telah mengetahui posisi para pihak dengan pasti. Penyelesaian secara musyawarah ini menguntungkan karena : a Salah satu pihak tidak harus mengeluarkan biaya perkara yang sebenarnya tidak perlu. Hal ini akan terasa memberatkan, khususnya bagi pihak pemilik yang secara finansial kurang begitu kuat dibandingkan pihak lainnya. b Hubungan baik antara para pihak masih dapat terpelihara, sehingga apabila keadaan paksa itu telah berlalu dan para pihak masih ingin melanjutkan perjanjian, maka hal itu akan lebih mudah dilaksanakan. Penyelesaian melalui pengadilan sering menimbulkan suasana tidak enak antara para pihak, sehingga di kemudian hari akan lebih sulit untuk memulai ataupun meneruskan kembali perjanjian. Keadaan paksa dapat terjadi karena berbagai hal. Tidak setiap keadaan atau kejadian dapat menimbulkan keadaan paksa. Menurut ICC Standart Clause, keadaan atau kejadian yang dapat dianggap sebagai keadaan paksa harus memenuhi syarat-syarat secara kumulatif sebagai berikut: 49 a. Kejadian itu disebabkan oleh sesuatu yang berada di luar kekuasaan salah satu ataupun para pihak. Kejadian itu dapat menimbulkan antara lain : 1 Perang, aksi perbudakan atau pembakaran yang disebabkan oleh kekacauan atau huru-hara umum, sabotase; 2 Bencana alam, seperti banjir, letusan gunung, disambar petir, wabah penyakit atau yang sejenisnya; 3 Kebakaran, ledakan bahan berbahaya, kerusakan mesin atau pabrik dan semacamnya; 4 Aksi mogok atau boikot; 5 Keluarnya peraturan oleh pemerintah yang mengakibatkan isi perjanjian menjadi sesuatu yang melanggar hukum, misalnya ada larangan 49 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT Build, Operate, and Transfer, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995, cet 1, h. 19. membangun di suatu wilayah tertentu, sedangkan isi perjanjian ada mengenai pengoperasian suatu bangunan di wilayah yang belum ada larangan membangun. b. Kejadian itu atau akibat-akibat dari kejadian itu tidak mungkin diketahui sebelumnya pada waktu perjanjian dibuat; dan c. Kejadian itu atau akibat-akibat dari kejadian itu tidak dapat dihindari. Pihak yang terpaksa mengakhiri perjanjian karena adanya keadaan- paksa wajib memberitahukan mengenai hal itu kepada pihak lainnya mengenai halangan yang menyebabkan ia tidak dapat menerusakan perjanjian. Melalui pemberitahuan itu ia tidak dapat meneruskan perjanjian. Melalui pemberitahuan itu ia menyampaikan keinginannya untuk entah mengakhiri perjanjian seluruhnya ataupun untuk sementara saja, tergantung dari jenis keadaan paksa yang ada. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku jika keadaan- paksa itu kemudian berakhir, jika perjanjian hanya diakhiri secara sementara. 50 Pembebasan dari kewajiban biasanya berlaku segera setelah pemberitahuan dilakukan secara layak. Kelalaian pemberitahuan akan mengakibatkan pihak yang mengakhiri akan tetap menanggung kerugian yang terjadi sampai pada saat pemberitahuan dilakukan secara layak, karena jika pemberitahuan telah dilakukan lebih dahulu, maka pihak yang lain itu mungkin tidak akan melakukan suatu kegiatan yang mengeluarkan biaya yang 50 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT Build, Operate, and Transfer, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995, cet 1, h. 20. sebenarnya tidak perlu dikeluarkan apabila ia telah mendapat pemberitahuan sebelumnya mengenai keadaan paksa yang terjadi. Di dalam perjanjian diatur apakah pengakhiran karena keadaan paksa itu akan meniadakan seluruh hak dan kewajiban para pihak. Para pihak dapat pula memperjanjikan bahwa hal-hal tertentu yang akan masih tetap menjadi hak dan kewajiban para pihak sepanjang hal itu dianggap perlu, seperti misalnya pembayaran bunga pinjaman. Para pihak dapat pula memperjanjikan bahwa keadaan paksa itu hanya bersifat menunda perjanjian untuk sementara waktu sampai keadaan paksa berakhir. Penentuan mengenai waktu sementara itu tergantung pada kemampuan dari pihak yang terpaksa menunda perjanjian itu untuk memulai kembali syarat-syarat dalam perjanjian serta keinginan dan minat pihak lainnya untuk menerima keadaan penundaan sementara. Lamanya waktu sementara itu perlu pula diatur oleh para pihak. Jika waktu sementara itu dilampaui, maka perjanjian dapat diakhiri tanpa hak menuntut agar perjanjian tetap diteruskan. Apa yang telah diterima oleh masing-masing pihak sebelum perjanjian diakhiri tidak dapat diminta kembali oleh para pihak. 51 Masing-masing pihak dibebaskan dari kewajiban atau pelaksanaan kewajiban berdasarkan perjanjian build, operate, and transfer ini yang disebabkan oleh keadaan atau kejadian atau lain-lain hal yang berada di luar 51 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT Build, Operate, and Transfer, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995, cet 1, h. 20. kewajiban para pihak, seperti misalnya secara mendadak dan tidak terduga terjadi kebakaran, bencana alam, perang, huru-hara, terjangkit penyakit edemi wabah, atau adanya peraturan pemerintah yang secara langsung berkaitan atau mempengaruhi pelaksanaan perjanjian BOT, atau adanya kebijakan Pemerintah karena untuk kepentingan umum tanah tersebut terkena proyek Pemerintah atau proyek yang disetujui Pemerintah atau karena terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang tidak dapat dihindari oleh pihak kesatu, tanah dan turutannya tersebut tidak bisa dikuasai dan dimiliki lagi oleh pihak kesatu, atau seandainya ada pelebaran jalan, sehingga pelaksanaan perjanjian BOT tidak dapat diteruskan, maka hal itu diluar kesalahan dan tanggung jawab dari pihak kesatu. Demikian pula segala kerugian yang timbul menjadi risiko dan tanggung jawab oleh masing-masing pihak, sama-sama tidak menuntut yang satu terhadap yang lain. Apabila pekerjaan dari perjanjian BOT tersebut akan dilakukan, maka perlu diadakan negosiasi jadwal pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang ada. 52 52 Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT Build, Operate, and Transfer, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995, cet 1, h. 21. 41

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Pendahuluan

Dalam perjanjian terdapat kemungkinan-kemungkinan terjadinya wanprestasi yang dapat menimbulkan akibat hukum, misalnya digugatnya salah satu pihak di Pengadilan, pemutusan perjanjian, ganti kerugian atas wanprestasi dan lain sebagainya. Wanprestasinya salah satu pihak terjadi misalnya karena salah satu pihak tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan menurut waktu yang telah ditentukan. Padahal jelas sebelum perjanjian ditanda-tangani para pihak telah setuju dengan hal-hal apa saja yang akan menjadi kewajibannya. Hal ini menyebabkan pihak yang merasa dirugikan akan meminta pembatalan terhadap perjanjian. Sedangkan apabila terjadi wanprestasi dari pihak yang memborongkan atau debitur, biasanya dilakukan musyawarah terlebih dahulu. Apabila kemudian tidak ditemui kata sepakat, maka pihak pemborong akan mengajukan gugatannya ke Pengadilan Negeri. Seperti terdapat dalam ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam perjanjian. Pasal 1266 KUH Perdata berbunyi : “Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.” Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban ini dinyatakan dalam perjanjian. Sehingga dapat dimintakan pertimbangan majelis hakim mengenai sengketa yang terjadi. Tetapi sebelumnya haruslah dilakukan somasi, seperti yang dijelaskan di dalam AV Algemene Voorwaarden in Indonesia, dikatakan bahwa pihak yang memborongkan terlebih dahulu memberikan teguran atau penagihan agar pihak yang wanprestasi memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam jangka waktu yang telah diberikan. Mengenai tata cara pengajuan perselisihan kepada Pengadilan Negeri tunduk pada Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia sebagai yang tercantum dalam Reglement Indonesia yang diperbarui HIR Stbl. 1941 No. 44. Dalam penyelesaian perselisihan perkara perdata, terdapat pihak penggugat dan pihak tergugat. Surat gugatan yang sudah ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat tinggal tergugat. Bahwa terhadap permasalahan tersebut penulis membahas kasus wanprestasi dalam perjanjian build, operate, transfer yang terjadi antara PT Bank Rakyat Indonesia, Dana Pensiun BRI dan PT Mulia Persada Pacific dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 30 Desember 2010.

B. Posisi Kasus

Para Penggugat adalah PT Bank Rakyat Indonesia PT BRI PERSERO Tbk. Sebagai Penggugat I dan Dana Pensiun BRI DP BRI sebagai Penggugat II. Sedangkan Tergugat adalah PT Mulia Persada Pacific PT MPPC. Pada Tanggal 11 April 1990 telah diadakan Perjanjian BOT Build, Operate, Transfer antara Penggugat I dengan Penggugat II, dimana Penggugat I memberikan hak penuh kepada Penggugat II untuk menguasai dan melakukan pembangunan gedung BRI II di atas tanah Penggugat I untuk kepentingan Penggugat I atas biaya Penggugat II yang selanjutnya akan dikelola secara komersil oleh Penggugat II. Bahwa pada tanggal 11 April 1990 telah diadakan perjanjian BOT antara Tergugat Nomor 58 yang kemudian dirubah dan ditambah dengan Adendum Perjanjian No. 72 tanggal 24 Mei 1991 dengan Penggugat II. Dimana Penggugat II memberi mengalihkan semua hak yang diperoleh dari Penggugat I kepada Tergugat dalam mengembangkan membangun tanah tersebut. Bahwa Penggugat II dan Tergugat bermaksud untuk atas nama Penggugat I mengembangkan tanah tersebut dengan membangun bangunan perkantoran berikut fasilitas-fasilitas pendukung lainnya Gedung BRI II untuk dikelola secara komersil atas biaya Tergugat yang selanjutnya akan dikelola secara komersil oleh Tergugat. Pada Tanggal 11 April 1990 telah diadakan perjanjian BOT Nomor 62 antara Tergugat yang kemudian dirubah dan ditambah dengan Addendum Perjanjian No.73 tanggal 24 Mei 1991 dengan Penggugat II. Dimana Penggugat II mewajibkan Tergugat untuk membangun gedung parkir dan gedung perkantoran kedua gedung BRI III berikut fasilitas-fasilitas pendukungnya untuk dikelola secara komersil. Dalam Akta Perjanjian Nomor 58 jo. Addendum Perjanjian Nomor 72 diatur dan disepakati kewajiban yang harus dipenuhi oleh Tergugat antara lain: a. Pembangunan gedung BRI II sekurang-kurangnya berlantai 27 termasuk banking hall berikut fasilitas-fasilitas pendukung lainnya serta gedung parkir penunjangnya minimal sebesar ± 99.000 M² Pasal 1.9; b. Jangka waktu pengelolaan 30 tahun Pasal 1. 16; c. Pembangunan gedung BRI III yaitu bangunan komersil yang wajib dibangun oleh Tergugat untuk Penggugat II di atas sebagian blok A, sebagian blok B, sebagian blok C dengan lantai tinggi dan luas minimal sama dengan gedung BRI II dalam jangka waktu pengelolaan gedung BRI II tetapi tidak lebih dari tahun 1995, kecuali apabila Penggugat II belum berhasil membebaskan blok C Pasal 1. 11; d. Membangun gedung parkir di atas blok A seluas 27.000 M² dengan 230 sticker khusus untuk BRI;