Pengertian Perikatan TINJAUAN UMUM PERIKATAN

Dalam perjanjian perikatan, yang diperjanjikan hendaklah suatu hal tertentu, sehingga jenis barang yang diperdagangkan harus jelas dan tidak boleh samar-samar. 4 Syarat Suatu Hal Klausul Yang Halal Dalam perjanjian perikatan, yang diperjanjikan hendaklah suatu hal yang halal, sehingga tidak boleh memperjanjikan barang yang tidak sesuai dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

2. Asas Perikatan

Di dalam hukum perjanjian terdapat sepuluh asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsesualisme, asas pacta sunt servanda asas kepastian hukum, asas iktikad baik, asas kepribadian, perjanjian batal demi hukum, keadaan memaksa overmacht, asas canseling, asas obligatoir, dan asas zakwaarneming. Kesepuluh asas tersebut akan dijelaskan berikut ini. 17 a. Asas Kebebasan Berkontrak Maksud dari asas ini adalah para pihak bebas membuat kontrak dan menentukan sendiri isi kontrak tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kebiasaan dan didasari atas iktikad baik. Dengan demikian asas ini mengandung makna bahwa kedua pihak bebas dalam menentukan isi perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundangan. Karena adanya asas kebebasan berkontrak ini, dalam praktik ini timbul jenis-jenis perjanjian yang pada mulanya tidak diatur dalam KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” b. Asas Konsensualisme Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya 17 Azharudin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009, h. 43-46. kesepakatan kedua belah pihak. Tanpa adanya kesepakatan ini, perjanjian tersebut batal demi hukum. Dan kesepakatan ini dicapai dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dan tekanan salah satu pihak. c. Asas Pacta Sunt Servanda Secara harfiah berarti janji itu mengikat. Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus saling menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang.” d. Asas Iktikad Baik Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang yang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang objektif. e. Asas Kepribadian Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur bagi diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. f. Perjanjian Batal Demi Hukum Yaitu, suatu asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian akan batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat objektif. g. Keadaan Memaksa Overmacht Yaitu suatu kejadian yang tak terduga dan terjadi diluar kemampuannya sehingga terbebas dari keharusan membayar ganti kerugian. h. Asas Canseling Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dimintakan pembatalan. i. Asas Obligatoir Asas obligatoir suatu kontrak maksudnya bahwa setelah sahnya suatu kontrak, kontrak tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. j. Asas Zakwaarneming Dimana bagi seseorang yang melakukan pengurusan terhadap benda orang lain tanpa diminta oleh orang yang bersangkutan, ia harus segera mengurusnya sampai selesai.

C. Tinjauan Umum Tentang Prestasi

Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur yang merupakan hak dari kreditur. 18 Prestasi menurut ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata adalah setiap perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dengan demikian wujud prestasi itu adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Dan kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalu disertai dengan tanggung jawab 19 baik dengan jaminan harta atau pertanggung jawaban di muka hukum. 18 Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2008, cet 5, h. 140. 19 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011, cet 1, h.79.