Asas kerja-sama yang saling menguntungkan, dimana pemilik lahan yang semula hanya memiliki lahan atau beserta bangunannya saja setelah
adanya kerjasama dengan Perjanjian BOT pada suatu saat akan memiliki bangunan atau bangunan yang lebih baik dari bangunan semula.
Begitupula pihak Pemerintah yang semula hanya pemegang hak ekslusif saja yang bilamana akan mewujudkan fisik bangunannya tidak mempunyai
dana yang cukup. Setelah adanya kerjasama dalam bentuk perjanjian BOT diharapkan akan memiliki fisik bangunan. Demikian pula bagi pihak
investor dengan adanya kerjasama dalam perjanjian BOT akan mendapat suatu keuntungan dari pengelolaannya.
Asas kepastian hukum, bahwa pada suatu saat investor akan mengembalikan bangunan beserta fasilitasnya yang melekat padanya
asset kepada pihak pemilik lahan pemegang hak ekslusif. Asas musyawarah, jika timbul perselisihan antara pihak investor
dengan pihak pemilik lahan pemegang hak ekslusif, baik saat membangun, mengoperasionalkan hasil bangunan serta hal-hal lainnya, mereka akan
menyelesaikannya dengan cara mengadakan musyawarah. Apabila musyawarah tidak tercapai, maka penyelesaiannya pada keadilan putusan
hakim.
2. Karakteristik Perjanjian Build Operate and Transfer
Setiap proyek BOT mempunyai ciri pertimbangan khusus tersendiri, namun terdapat beberapa karateristik yang sama, diantaranya:
a. Masa konstruksi, jika dibandingkan dengan pembangunan industri
komersial lain, biasanya proyek BOT mempunyai masa konstruksi yang lebih lama, karena dikombinasikan dengan kebutuhan
mengkapitalisasikan modal sampai penyempurnaan hasil dengan biaya tinggi;
b. Hasil akhir, biasanya mempunyai masa guna yang relatif lebih panjang
yang pada umumnya adalah 30 tahun; c.
Proyek yang telah jadi, umumnya hanya membutuhkan biaya pemeliharaan dan operasi yang rendah;
d. Perlindungan investor terhadap resiko proyek sangat riskan, tetapi
proyek BOT merupakan suatu proyek konstruksi beresiko tinggi diikuti oleh suatu proyek pengguna dengan resiko rendah.
E. Keadaan Paksa dalam Build Operate Transfer
Berdasarkan naskah akademis peraturan perundang-undangan tentang perjanjian BOT, keadaan paksa adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan
salah satu atau kedua pihak tidak dapat melaksanakan perjanjian sesuai dengan kesepakatan bersama sebelumnya.
47
Jika perjanjian diakhiri, baik secara sepihak atau secara bersama sebagai akibat adanya keadaan paksa,
maka salah satu pihak tidak dapat menuntut pihak lainnya untuk melaksanakan kewajiban dan sebaliknya, tidak harus pula melaksanakan apa
yang menjadi kewajibannya terhadap pihak lainnya.
47
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT Build, Operate, and Transfer, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995,
cet 1, h. 18.
Apabila suatu pihak mengakhiri perjanjian secara sepihak, pihak yang mengakhiri itu pada umumnya dibebani dengan kewajiban tertentu, misalnya
dengan mengganti kerugian yang diderita oleh pihak lainnya. Kerugian itu dapat meliputi kerugian karena biaya-biaya yang nyata-nyata telah
dikeluarkan. Dalam hal-hal tertentu, kerugian itu dapat pula meliputi kerugian karena keuntungan yang diharapkan akan diperoleh yang namun tidak jadi
diperoleh karena perjanjian diakhiri secara sepihak. Ketentuan umum bagi pengakhiran secara sepihak di atas tidak berlaku bagi keadaan paksa. Menurut
undang-undang, keadaan paksa akan menyebabkan perjanjian batal demi hukum. Ini berarti bahwa segala kerugian menjadi resiko yang ditanggung
masing-masing pihak. Sebagai salah satu bentuk perjanjian, perjanjian BOT dapat pula, meski
tidak harus, memuat ketentuan mengenai keadaan paksa ini. Kalaupun keadaan paksa ini tidak dimuat dalam perjanjian, maka pihak yang mengakhiri
apabila secara sepihak, dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan. Namun, dari segi kepastian hukum, lebih baik ketentuan ini dimuat dalam
perjanjian. Pemuatan klausul mengenai keadaan-paksa mempunyai keuntungan-keuntungan:
48
a. Para pihak dapat mengatur sendiri keadaan-keadaan apa yang dapat
dianggap sebagai keadaan paksa yang disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi konkrit para pihak. Sebagaimana diketahui, setiap perjanjian
48
Departemen Kehakiman RI, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perjanjian BOT Build, Operate, and Transfer, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995,
cet 1, h. 19.