Amar Putusan Majelis Hakim

Sesuai Pasal 1338 KUH Perdata semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga mengacu pada teori Prof. Subekti S.H, terhadap item pekerjaan ini, masuk dalam kategori tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Sedangkan untuk item pekerjaan membangun pagar pembatas, PT Mulia Persada Pacific tidak melakukan pemagaran sepenuhnya yaitu antara tanah milik Penggugat I Penggugat II yang berbatasan dengan fasilitas umum tanah milik GKBI yang terletak di Jl. Jenderal Sudirman Kav. 44-46 Jakarta. Dengan demikian berdasarkan teori Prof. Subekti S.H, pihak Tergugat yaitu PT Mulia Persada Pacific, masuk dalam kategori wanprestasi melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya. Menurut penulis mengenai tidak dilakukannya pemagaran secara tegas, padahal hal tersebut terdapat dalam klausul perjanjian dan telah disepakati oleh para pihak sehingga tidak terdapat alasan untuk melakukan prestasi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. Sedangkan untuk pembangunan Gedung BRI III, PT Mulia Persada Pacific tidak membangunnya sehingga dapat dikatakan bahwa PT Mulia Persada Pacific telah wanprestasi dengan tidak melakukan prestasi sama sekali. Seharusnya apabila mengacu pada perjanjian BOT yang telah disepakati antara para pihak, perjanjian yang telah disepakati merupakan undang-undang bagi para pihak yang melakukan perikatan. Dalam kasus ini penulis tidak menemukan adanya keadaan kahar yang menjadi alasan bagi Tergugat PT Mulia Persada Pacific, untuk tidak melaksanakan sama sekali pembangunan Gedung BRI III. Menurut pengertiannya, keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya. Peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 53 Seharusnya pembangunan BRI III bersamaan dengan pengelolaan BRI II pada tanggal 11 April 1992 dan tidak lebih dari akhir tahun 1995. Jelas pihak Tergugat telah mengetahui akan batas akhir pelaksanaan prestasinya, tetapi terhadap pembangunan Gedung BRI III Tergugat sama sekali tidak mengajukan izin untuk membangun pada Dinas Tata Kota DKI Jakarta seperti pengelolaan Gedung BRI II. Padahal sebelum tahun 1998 masih berlaku SK Gubernur Nomor: 678 Tahun 1994 yang masih mengijinkan pembangunan Gedung BRI III. Mengacu pada asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. ” Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak 53 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011, h. 91 berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Diketahui PT Mulia Persada Pacific dengan sadar tidak mengurus perizinan sehingga saat peraturan berubah, menjadi halangan untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan perjanjian. Perjanjian aqad tidak hanya terdapat dalam hukum positif tetapi juga dalam hukum Islam. Islam melihat suatu perjanjian tidak sebatas hubungan keperdataan antara manusia, melainkan juga hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Dalam konsep hukum Islam sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Maidah 1:                            Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad 54 itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. Yang demikian itu dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki- Nya”. Prinsip pada hukum Islam suatu perjanjian aqad harus didasarkan pada suatu hal yang halal diperbolehkan dalam agama. Maka ketika suatu perjanjian telah disepakati, para pihak harus berlaku adil dan memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing. Dalam hukum Islam, pelaku usaha dalam 54 Aqad perjanjian mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.