Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi

menentukan jangka waktu prestasi harus dilaksanakan. Jika si debitur terlambat melaksanakan prestasi perlu diberikan jangka waktu untuk memastikan pelaksanaan prestasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan somasi yang menetukan kapan prestasi itu harus dilaksanakan. Akan tetapi bila debitur tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka ia dinyatakan lalai, dimana pihak kreditur dapat meminta ganti rugi. c. Pihak-berwajib melaksanakannya tetapi tidak secara yang semestinya dan atau tidak sebaik-baiknya. Dalam hal ini, pendapat umum menyatakan bahwa keadaan ini adalah sama dengan debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan somasi. Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut: 29 a. Perikatan tetap ada. Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditur berhak menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur melaksanakan prestasi tepat pada waktunya; b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur Pasal 1243 KUH Perdata; c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan ini timbul setelah debitur wanprestasi. Kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa; d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata. Menurut teori yang membedakan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum 30 yaitu tujuan gugatan wanprestasi adalah untuk menempatkan penggugat pada posisi seandainya perjanjian tersebut terpenuhi put the palintiff to the position if he would have been in had the contract been performed . Dengan demikian ganti rugi tersebut adalah berupa 29 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet 4, h. 99. 30 Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana, 2004, cet 1, h. 116. kehilangan keuntungan yang diharapkan atau disebut dengan istilah expectation loss atau wintsderving. Sedangkan tujuan gugatan perbuatan melawan hukum adalah untuk menempatkan posisi penggugat kepada keadaan semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum. Sehingga ganti rugi yang diberikan adalah kerugian yang nyata atau reliance loss.

E. Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya. Peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 31 Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah: 32 a. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap; b. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi ini dapat bersifat tetap atau sementara; c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur. 31 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011, cet 1, h. 91. 32 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011, cet 1, h. 91. Ajaran tentang keadaan memaksa tidak mendapat pengaturan secara umum dalam undang-undang. Karena itu hakim berwenang menilai fakta yang terjadi wanprestasi bahwa debitur ada dalam keadaan memaksa atau tidak, dan menentukan apakah debitur menanggung resiko tersebut. 33 Dalam Ketentuan-ketentuan umum mengenai perikatan pada buku III KUH Perdata, terdapat dua pasal yang mengatur tentang keadaan memaksa yaitu Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata berisi: “jika ada alasan untuk itu, debitur harus dihukum membayar ganti kerugian, apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak tepatnya melaksanakan perjanjian itu karena suatu hal yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, kecuali jika ada iktikad buruk pada debitur.” Yang dimaksud dengan “hal yang tidak dapat diduga” itu adalah keadaan memaksa yang membebaskan debitur dari tanggung jawab mengganti kerugian. Untuk membuktikan ada keadaan memaksa itu atau tidak, pembuktiannya diserahkan kepada debitur. 34 Sedangkan isi Pasal 1254 KUH Perdata adalah sebagai berikut: “Tidak ada ganti kerugian yang harus dibayar, apabila karena keadaan memaksa atau suatu kejadian yang tidak disengaja, debitur berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. ” 33 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011, cet 1, h. 97. 34 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011, cet 1, h. 104. Kedua pasal ini berbeda perumusannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat seperti berikut ini: 35 a. Pasal 1244 memakai perumusan positif yaitu “debitur harus membayar ganti kerugian”; sedangkan Pasal 1245 memakai perumusan negatif yaitu “tidak ada kerugian yang harus dibayar”; b. Pasal 1244 menyebutkan secara tegas kewajiban pembuktian ada pada debitur; sedangkan Pasal 1245 tidak menyebutkannya; c. Pasal 1244 hanya menyebutkan “hal yang tidak dapat diduga yang tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Sedangkan Pasal 1245 menyebutkan secara tegas keadaan memaksa”.

F. Somasi

Jika si berutang tidak melakukan kewajibannya atau lalai dari waktu yang telah ditentukan. Maka si terutang dapat melakukan penagihan yang menurut Pasal 1238 KUH Perdata berbunyi: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dari pasal tersebut mengandung makna yakni sebelum mengajukan gugatan wanprestasi seorang kreditur harus memberikan suatu peringatan atau somasi yang menyatakan bahwa debitur telah lalai dan agar memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Surat perintah yang dimaksud 35 Ahmad Yasir, dkk, Hukum Perikatan, Jakarta: Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2011, cet 1, h. 105-106. dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut adalah surat peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan. Perkataan akta sejenis, sebenarnya oleh Undang- Undang dimaksudkan sebagai suatu peringatan tertulis. 36 Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika tetap tidak melaksanakan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa. 37 Dari ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi in gebreke stelling. Adapun bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUH Perdata adalah: 38 1. Surat Perintah Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru sita”. 2. Akta Sejenis Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris. 3. Tersimpul dalam Perikatan itu Sendiri. Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi. 36 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 2005, cet. 19, h. 46. 37 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 2005, cet. 19, h. 47. 38 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003, cet. 1, h. 21.