Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
                                                                                secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan satu arah bersifat pengajaran semata.
9
Dalam  konteks  Islam,  persoalan  pendidikan  merupakan  masalah manusia  yang  berhubungan  dengan  kehidupan  baik
duniawi  maupun ukhrawi.  Dewasa  ini,  dapat  kita  saksikan  dalam  kehidupan  sehari-hari
bahwa  banyak  orang  yang  kehilangan  karakternya  sebagaimana  manusia. Mereka  yang  kehilangan  karakternya  cenderung  perilakunya  akan
didominasi oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah
tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa.
10
Kartadinata  menegaskan  bahwa  telah  terjadi  penyempitan  makna pendidikan  dilihat  dari  perspektif  penerapannya  di  lapangan.
Pendidikan  telah  diarahkan  untuk  membentuk  pribadi  cerdas  invidual semata  dan  mengabaikan  aspek-aspek  spiritualitas  yang  dapat
membentuk  karakter  peserta  didik  dan  karakter  bangsa,  yang merupakan identitas kolektif, bukan pribadi.
11
Undang-undang  Sisdiknas  No.  20  Tahun  2003,  BAB  I  Pasal  1 menyatakan  pendidikan  adalah  usaha  sadar  dan  terencana  untuk
mewujudkan  suasana  belajar  dan  proses  pembelajaran  agar  peserta didik  secara  aktif  mengembangkan  potensi  dirinya  untuk  memiliki
kekuatan  spiritual  keagamaan,  pengendalian  diri,  kepribadian, kecerdasan,  akhlak  mulia,  serta  keterampilan  yang  diperlukan  dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
12
BAB  II  Pasal  3  undang-undang  Sisdiknas,  bahwa  pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta  peradaban  bangsa  yang  bermartabat  dalam  rangka  mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
9
Tamyiz  Burhanudin, Akhlak  Pesantren  Solusi  bagi  Kerusakan  Akhlak,  Yogyakarta:  Ittaqa
Press, 2001, h. 1
10
Sholeh  Hasan,  “Analisis  Komparatif  Konsep  Pendidikan  Karakter  Perspektif  Thomas Lickona  dan  Al-Zarnuji  serta  implikasinya  terhdap  implikasinya  terhadap  pendidikan  Agama
Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016. 30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang 2016, h.779
11
Muhammad  Yaumi, Pendidikan  Karakter  Landasan,  Pilar    Implementasi,  Jakarta:
Prenada Media Grup, 2014, h. 123
12
Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004, h. 4
Yang  Maha  Esa,  berakhlak  mulia,  sehat,  berilmu,  cakap,  kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung
jawab.
13
Sisdiknas  telah  jelas  menguraikan  tujuan  pendidikan  nasional  bukan sekedar membentuk peserta didik cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu
pendidikan  juga  berfungsi  membangun  karakter,  watak,  serta  kepribadian bangsa.  Sehingga  nantinya  akan  lahir  generasi  bangsa  yang  tumbuh
berkembang  dengan  karakter  yang  bernafas  nilai-nilai  luhur  bangsa  serta agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi pendidikan sekarang ini,
khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi prioritas utama dalam implementasinya.
Amanah  UU  Sisdiknas  tahun  2003  menjadikan  pembentukan  karakter sebagai  tujuan  dari  pendidikan  nasional.  Namun  dalam  pelaksanannya,
pendidikan karakter justru dikesampingkan. Dalam pemikiran guru-guru di sekolah yang penting anak cerdas atau berhasil mencapai kriteria kelulusan
di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan perilaku anak didik tidak  menjadi  persoalan.  Hal  ini  menggambarkan  bahwa
mindset  guru harus dirubah.
Pendidikan  karakter  bukan  hal  yang  baru  dalam  sistem  pendidikan Islam sebab roh atau inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan karakter
yang  semula  dikenal  dengan  pendidikan  akhlak.
14
Oleh  karena  itu,  kajian pendidikan  karakter  dalam  Islam  tidak  bisa  dilepaskan  dari  kajian
pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan karakter sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari perintah Allah bahwa
misi utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya. Pembahasan  substansi  makna  dari  karakter  sama  dengan  konsep  akhlak
dalam Islam, keduanya membahas tentang perbuatan prilaku manusia.
15
13
Ibid.., h. 7
14
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, Jakarta: Amzah, 2015, h. 5
15
Nur  Ainiyah, Pembentukan  Karakter  Melalui  Pendidikan  Agama  Islam,    Jurnal  Al-Ulum
Jurnal Studi Islam, Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30
Kata  akhlak  berasal  dari  bahasa  Arab  yaitu  isim  masdar  dari akhlaqa,
yukhliqu, ikhlaqon. Yang berarti kelakuan tabiat, perangai, watak,  dasar.
16
Sedangkan  akhlak  menurut  istilah  yang  disampaikan  Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat yang tertanam
dalam  jiwa  manusia,  yang  dapat  melahirkan  suatu  perbuatan  yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan lebih lama.
Maka  jika  sifat  tersebut  melahirkan  suatu  tindakan  yang  terpuji  menurut ketentuan  akal  dan  norma  agama,  dinamakan  akhlak  yang  baik.  Tetapi
manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk.
17
Selain  itu,  dalam  Ensiklopedi  al-Q ur‟an  pengertian  akhlak  khuluq
adalah  watak  yang  diperoleh  seseorang  dari  pergaulannya  dengan  orang lain  atau  atas  bimbingan  orang  tua  dan  pihak-pihak  yang  bertanggung
jawab  dalam  proses  pendidikan.
18
Al-Qurtuby  mengatakan  bahwa “Suatu
perbuatan  manusia  yang  bersumber  dari  adab  kesopanannya  disebut akhlak,  karena  perbuatan  itu  termasuk  bagian  dari  kejadiannya.  Akhlak
merupakan bagian dari kejadian manusia yang dapat mempengaruhi setiap perbuatan manusia”.
19
Implementasi  akhlak  dalam  Islam  terdapat  pada  pribadi  Rasulullah Saw.  Dalam  pribadi  Rasul,  bersemai  nilai-nilai  akhlak  yang  mulia  dan
agung. Al- Qur‟an dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 menyatakan :
 
 
 
 
 
 
 
 
“Sesungguhnya  telah  ada  pada  diri  Rasulullah  itu  suri  tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan
kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah ”.
20
16
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h.1
17
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf , Jakarta: Kalam Mulia, 2009, h. 4
18
Ensiklopedi Al- Qur‟an Tematis Jilid 3, Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006 , h. 11
19
Mahjuddin, op. cit, h. 3
20
Al- Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, Jakarta:  Lentera Abadi, 2010, Jilid VII
h. 638
Demikian  juga  misi  diutusnya  Nabi  Muhammad  Saw adalah  untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda:
ِِإ ِِقَاْخَأاَِمِراَكَمَِمِمَتِأُِتْثِعُبِاَمَن
”
Sungguh aku diutus menjadi Rasul untuk menyempurnakan akhlak yang baik
” H.R. Imam Baihaqi.
21
Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam pembentukan karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani
karakter Nabi Muhammad Saw yang memiliki karakter yang sempurna. Karakter  atau  tabiat  manusia  merupakan  kemampuan  psikologis  yang
terbawa  sejak  kelahirannya.  Karakter  ini  berkaitan  dengan  tingkah  laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya
dengan  personalitas  kepribadian  seseorang.
22
Karakter  adalah  watak, sifat-sifat  kejiwaan,  akhlak  yang  membedakan  seseorang  dengan  orang
lain.
23
Pendidikan  karakter  bukan  hanya  berguna  bagi  pertumbuhan  dan perkembangan  individu  secara  akademik  dan  moral.  Pendidikan  karakter,
jika dilaksanakan dengan baik, akan dapat membantu individu agar dapat menjalani  hidup  lebih  bahagia  dan  bermakna.  Kebermaknaan  individu
akan  hidupnya  ini  dapat  meningkatkan  perbaikan  dan  memberikan kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan.
24
Selain  itu,  pendidikan  karakter  tidak  sekedar  memberikan  pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai
upaya  mengubah  sifat,  watak,  kepribadian  dan  keadaan  batin  manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji.
25
21
A mad Ibnu al usaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-Kubra, Juz 51
bab Kesempurnaan  Akhlak  dan  Keutamaannya  No.  Hadis  21301  Makkah:  Maktabah  Dār  Bāz,
1994 , h. 472
22
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, h. 52
23
Saliman, Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, h. 116
24
Doni  Koesoema, Pendidikan  Karakter  Utuh  dan  Menyeluruh,  Yogyakarta:  PT.  Kanisius,
2015, h. 24
25
Abuddin  Nata, Kapita  Selekta  Pendidikan  Islam,  Jakarta:  Raja  oleh  Grafindo  Persada,
2012, h. 165
Oleh  karenanya,  melalui  pendidikan  karakter  diharapkan  dapat melahirkan  manusia  yang  memiliki  kebebasan  menentukan  pilihannya
tanpa  paksaan  dan  penuh  tanggung  jawab.  Yaitu  manusia-manusia merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, baik terhadap
Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri. Dilihat  dari  sudut  pengertian,  ternyata  karakter  dan  akhlak  tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan  yang  terjadi  tanpa  ada  lagi  pemikiran  spontan  karena  sudah
tertanam dalam pikiran sehingga melahirkan perbuatan yang bernilai baik terhadap  Tuhan,  maupun  manusia.  Dengan  demikian,  pendidikan  akhlak
bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan pendidikan Islam. Muhammad  Athiyah  al-Abrasyi  mengata
kan  bahwa  “Pendidikan akhlak  adalah  ruhnya  dalam  pendidikan  Islam,  dimana  para  ulama  Islam
telah  sepakat  bahwa  pendidikan  akhlak  adalah  ruhnya  pendidikan  Islam, dan  untuk  mencapai  akhlak  yang  sempurna  itulah  yang  menjadi  tujuan
yang sebenarnya dari pendidi kan”.
26
Tujuan  tertinggi  pendidikan  akhlak  adalah  terbentuknya  karakter positif  dalam  perilaku  manusia.  Karakter  positif  ini  bersumber  dari
penghayatan dan pengamalan ajaran Allah SWT dalam rutinitas kehidupan manusia.  Keduanya  membutuhkan  tindakan  nyata  sebagai  ekspresi  nilai
personal  yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritualitas, agama, bahkan budaya.
27
Dengan  kata  lain,  pendidikan  harus  mampu  mengemban  misi pembentukan  karakter
character  building  sehingga  melahirkan  peserta didik yang dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dan berperan
sebagai agent  of  change  di  masa  sekarang  dan  masa  yang  akan  datang
tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan karakter mulia.
26
Musli, Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011,
h. 217
27
Mochamad Ziaulhaq, Sekolah Berbasis Nilai, Bandung: Ihsan Press, 2015, h.18
Diantara  tokoh-tokoh  intelektual  muslim  di  Indonesia  yang  memiliki perhatian  besar  dan  kontribusi  dalam  dunia  pendidikan  adalah  KH..
Hasyim  Asy‟ari  dan  Haji  Abdul  Malik  Karim  Amrullah  Hamka. Keduanya  adalah  ulama  yang  memiliki  integritas  dan  keteguhan  dalam
ilmu  agama  serta  banyak  melahirkan  karya.  Kedua  tokoh  ini  merupakan ulama  pejuang  dan  pejuang  yang  ulama  dalam  perlawanannya  terhadap
kolonial Belanda. “Suatu  bangsa  tidak  akan  maju  jika  warganya  bodoh.  Hanya  dengan
pengetahuan,  suatu  bangsa  akan  menjadi  baik”.  Ini  pernyataan  KH. Hasyim  Asy‟ari  ketika  menyikapi  kondisi  pendidikan  kita  yang
terbelakang saat itu, ia tidak hanya ngomong melainkan membuktikannya
dengan  membuka  pengajian  dan  membangun  pesantren.
28
KH.  Hasyim Asy‟ari  membawa  perubahan  baru  sepulangnya  dari  Makkah,  dengan
mendirikan  pesantren  Tebu  Ireng  yang  terkenal  di  Jombang  sampai sekarang.  Tebu  Ireng  berhasil  memadukan  tradisi  pesantren  dan
perkembangan ilmu pengetahuan umum. Hasyim
Asy‟ari  merupakan  tokoh  agama,  yang  semenjak  kecil dibesarkan  di  lingkungan  pesantren  Nggedang  dimana  ia  belajar  agama
langsung  dari  ayahnya  yang  seorang  ulama  yang  sangat  mendukung kemajuan  ilmu  agama.  Karena  merasa  haus  akan  ilmu,
Hasyim Asya‟ari kemudian pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pesanteren di Jawa.
Karakteristik  dari  Kiai  Hasyim  adalah  kekonsistenannya  dalam memegang
tradisi. Dengan
pandangan tradisionalisme
yang dipertahankannya
KH.  Hasyim  Asy‟ari  banyak  mengadopsi  tradisi pendidikan  Islam  klasik  yang  lebih  mengedepankan  normativitas.
29
KH. Hasyim Asy‟ari  adalah ulama sekaligus penulis  yang banyak melahirkan
karya.  Sebagaimana  nampak  dalam  karya-karyanya  yang  meliputi  bidang pendidikan, teologi, akhlak, fiqh, tasawuf, politik dan sebagainya.
28
Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, Yogyakarta: Ittaqa
Press, 2001, h. 19
29
Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU  Pendidikan Islam, Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2010, h. 82
Keinginan  yang  sangat  kuat  untuk  mempertahankan  bangunan  tradisi tersebut,  maka  bersamaan  dengan  tokoh-tokoh  Islam  tradisional,  Kiai
Hasyim  Asy‟ari  mendirikan  Nahdatul  Ulama  atau  kebangkitan  ulama NU. Organisiasi Islam terbesar di tanah air.
30
Akan tetapi ketokohan dan keharuman  nama  beliau  bukan  hanya  karena  aktivitas  beliau  sebagai
pendiri  NU,  melainkan  karena  beliau  juga  termasuk  pemikir  dan pembaharu  pendidikan  Islam  yang  dilahirkan  dari  keluarga  elit  kiai  di
Jombang.
31
Zamakhsyari  Dhofier  melukiskan  pribadi  Hasyim  Asy‟ari  sebagai seorang  yang  memiliki  kedalaman  ilmu  yang  luar  biasa,  melalui  tangan
beliau inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerah masing-masing.
32
Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan Hamka adalah  seorang  ulama  dan  tokoh  Islam  yang  sangat  toleran  dalam
kehidupan, tetapi di sisi lain beliau sangat kuat dan tegas ketika berbicara menyangkut  akidah.
33
Ia  adalah  putra  dari  seorang  tokoh  dan  ulama berdarah  minang  bernama  Dr.  H.  Abdul  Karim  Amrullah  yang  sangat
menginginkan  anaknya  kelak  menjadi  seorang  ulama.  Selain  belajar  dari ayahnya, ia juga belajar agama secara otodidak.
34
Menurut  Sutan  Mansyur,  dari  kecil  dalam  diri  Abdul  Malik  Karim Amrullah  memang  sudah  ada  tanda-tanda  ia  akan  menjadi  orang  besar.
Kata  dan  pikirannya  selalu  didengar  oleh  teman-teman  sebayanya, menjadikan  dia  selalu  menonjol  dalam  pergaulan.
35
Hamka  menurut
30
Ibid., h. 83
31
Khoiruddin, “Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy’ari Studi Kepustakaan dalam kitab  Adab  al-
Alim  Wal  Muta’allim”.  Tesis  pada  Pascasarjana  Universitas  Muhammadiyah Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h. 3
32
Ibid., h. 6
33
Irfan Hamka, Ayah, Republika: Jakarta, 2014, Pengantar Penerbit Republika dalam Novel
Ayah, h. viii
34
Sapiudin  Shidiq, Pendidikan  Menurut  Buya  Hamka,  Tahdzib  Jurnal  Pendidikan  Agama
Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008,  h. 109
35
Shalahuddin  Hamid,  Iskandar  Ahza, 100  Tokoh  Islam  Paling  Berpengaruh  di  Indonesia,
Jakarta: Intimedia, 2003, h. 63
Abdurrahman  Wahid  adalah  seorang  intelektual  yang  mempunyai pengetahuan yang banyak, baik pengetahuan agama maupun umum.
36
Buya Hamka dikenal sebagai seorang yang optimis, karena ia percaya bahwa  semua  orang  pada  dasarnya  baik  dan  punya  kemungkinan  untuk
menjadi  lebih  baik.  Dengan  berpegang  pada  prinsip  tersebut,  buya bersikap untuk berbuat apa adanya tanpa harus takut pada siapapun. Sikap
tegas  dalam  mempertahankan  prinsip  terbukti  saat  ia  mundur  dari  ketua MUI karena tetap mempertahankan fatwa haram menghadiri natal bersama
bagi umat Islam.
37
Hamka  adalah  salah  satu  tokoh  Indonesia  yang  pemikirannya  banyak dijadikan  sebagai  acuan  dalam  pengambilan  keputusan,  dan  teori-teori
beliau  cetuskan  dalam  bukunya  banyak  digunakan  untuk  memecahkan masalah baik yang terkait dengan masalah sosial, politik, agama, maupun,
pendidikan.  Selain  itu,  beliau  juga  melahirkan  karya  fenomenal  berupa tafsir Al-Azhar  yang banyak digunakan masyarakat  dalam memahami al-
Qur‟an.
38
KH. Hasyim  Asy‟ari  dan  Buya  Hamka  adalah  sosok  yang  tidak
diragukan  lagi,  selain  menonjol  dalam  hal-  hal  yang  telah  disebutkan  di atas,  keduanya  dikenal  cukup
concern  dan  sangat  peduli  dengan  nasib pendidikan  umat  serta  berwawasan  jauh  ke  depan.  Dilihat  dari  sikap  dan
karakter  mereka  yang  mempengaruhi  pemikiran  terhadap  sesuatu.  Dalam hal  pendidikan,  keduanya  memfokuskan  pentingnya  pendidikan  akhlak
atau budi pekerti dalam proses pendidikan. Beranjak  dari  apa  yang  dipaparkan  di  atas,  dipahami  bahwa  karakter
atau  budi  pekerti  adalah  perilaku  manusia  menuju  sifat-sifat  baik  yang berdampak  postif  untuk  lingkungan  sekitar.  Berdasarkan  hal  tersebut,
peneliti termotivasi untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul:
36
Sudin, Pemikiran Hamka Tentang Moral, Esensia, Vol. XII, No. 2 Juli 2011, h. 224
37
Ibid., h. 66
38
Laeli  Nafilah,  “Konsep  Pendidik  Menurut  Buya  Hamka  Telaah  buku  “Lembaga  Hidup” Karya  Hamka
”  Skripsi  pada  Fakultas  Ilmu  Tarbiyah  UIN  Sunan  Kali  Jaga  Yogyakarta:  2011, tidak dipublikasikan, h.4
“Studi  Komparasi  Pemikiran  KH.  Hasyim  Asy’ari  dan  Hamka Tentang Pendidikan Karakter
”.
                