Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

secara metodologis ternyata telah terjebak pada pola pendidikan satu arah bersifat pengajaran semata. 9 Dalam konteks Islam, persoalan pendidikan merupakan masalah manusia yang berhubungan dengan kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi. Dewasa ini, dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa banyak orang yang kehilangan karakternya sebagaimana manusia. Mereka yang kehilangan karakternya cenderung perilakunya akan didominasi oleh nafsu dan kepentingan-kepentingan instan. Meningkatnya intensitas tawuran antar warga, antar pelajar, serta kekerasan dalam rumah tangga hingga kekerasan terhadap anak, semakin meneguhkan bahwa ada yang tidak beres dalam karakter bangsa. 10 Kartadinata menegaskan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi cerdas invidual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, bukan pribadi. 11 Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, BAB I Pasal 1 menyatakan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 12 BAB II Pasal 3 undang-undang Sisdiknas, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan 9 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001, h. 1 10 Sholeh Hasan, “Analisis Komparatif Konsep Pendidikan Karakter Perspektif Thomas Lickona dan Al-Zarnuji serta implikasinya terhdap implikasinya terhadap pendidikan Agama Islam, Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Serentak Se Indonesia, 2016. 30 Maret. Semarang : Universitas Negeri Semarang 2016, h.779 11 Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter Landasan, Pilar Implementasi, Jakarta: Prenada Media Grup, 2014, h. 123 12 Undang-Undang tentang SISDIKNAS dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta: CV. Tamita Utama, 2004, h. 4 Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. 13 Sisdiknas telah jelas menguraikan tujuan pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik cerdas dalam berilmu tetapi lebih dari itu pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa. Sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Disadari atau tidak bahwa dengan kondisi pendidikan sekarang ini, khususnya mengenai pembentukan karakter belum menjadi prioritas utama dalam implementasinya. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 menjadikan pembentukan karakter sebagai tujuan dari pendidikan nasional. Namun dalam pelaksanannya, pendidikan karakter justru dikesampingkan. Dalam pemikiran guru-guru di sekolah yang penting anak cerdas atau berhasil mencapai kriteria kelulusan di setiap mata pelajaran, soal baik tidaknya sikap dan perilaku anak didik tidak menjadi persoalan. Hal ini menggambarkan bahwa mindset guru harus dirubah. Pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan Islam sebab roh atau inti dari pendidikan Islam adalah pendidikan karakter yang semula dikenal dengan pendidikan akhlak. 14 Oleh karena itu, kajian pendidikan karakter dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari kajian pendidikan Islam pada umumnya. Konsep pendidikan karakter sebenarnya telah ada sejak zaman Rasulullah Saw, terbukti dari perintah Allah bahwa misi utama Rasulullah adalah sebagai penyempurna akhlak bagi umatnya. Pembahasan substansi makna dari karakter sama dengan konsep akhlak dalam Islam, keduanya membahas tentang perbuatan prilaku manusia. 15 13 Ibid.., h. 7 14 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, Jakarta: Amzah, 2015, h. 5 15 Nur Ainiyah, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Ulum Jurnal Studi Islam, Vol. 13 Nomor 1, Juni 2013, h. 30 Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu isim masdar dari akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqon. Yang berarti kelakuan tabiat, perangai, watak, dasar. 16 Sedangkan akhlak menurut istilah yang disampaikan Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Mahjuddin merupakan suatu sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan tanpa melalui maksud untuk memikirkan lebih lama. Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal dan norma agama, dinamakan akhlak yang baik. Tetapi manakala tindakan yang jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk. 17 Selain itu, dalam Ensiklopedi al-Q ur‟an pengertian akhlak khuluq adalah watak yang diperoleh seseorang dari pergaulannya dengan orang lain atau atas bimbingan orang tua dan pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam proses pendidikan. 18 Al-Qurtuby mengatakan bahwa “Suatu perbuatan manusia yang bersumber dari adab kesopanannya disebut akhlak, karena perbuatan itu termasuk bagian dari kejadiannya. Akhlak merupakan bagian dari kejadian manusia yang dapat mempengaruhi setiap perbuatan manusia”. 19 Implementasi akhlak dalam Islam terdapat pada pribadi Rasulullah Saw. Dalam pribadi Rasul, bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung. Al- Qur‟an dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 menyatakan :                   “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah ”. 20 16 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h.1 17 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf , Jakarta: Kalam Mulia, 2009, h. 4 18 Ensiklopedi Al- Qur‟an Tematis Jilid 3, Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2006 , h. 11 19 Mahjuddin, op. cit, h. 3 20 Al- Qur‟an dan Tafsirnya, Departemen Agama RI, Jakarta: Lentera Abadi, 2010, Jilid VII h. 638 Demikian juga misi diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Rasulullah Saw bersabda: ِِإ ِِقَاْخَأاَِمِراَكَمَِمِمَتِأُِتْثِعُبِاَمَن ” Sungguh aku diutus menjadi Rasul untuk menyempurnakan akhlak yang baik ” H.R. Imam Baihaqi. 21 Hadis tersebut menggambarkan bahwa yang menjadi tolak ukur dalam pembentukan karakter mulia adalah kita harus mencontoh atau meneladani karakter Nabi Muhammad Saw yang memiliki karakter yang sempurna. Karakter atau tabiat manusia merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak kelahirannya. Karakter ini berkaitan dengan tingkah laku moral dan sosial serta etis seseorang. Karakter biasanya erat hubungannya dengan personalitas kepribadian seseorang. 22 Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak yang membedakan seseorang dengan orang lain. 23 Pendidikan karakter bukan hanya berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan individu secara akademik dan moral. Pendidikan karakter, jika dilaksanakan dengan baik, akan dapat membantu individu agar dapat menjalani hidup lebih bahagia dan bermakna. Kebermaknaan individu akan hidupnya ini dapat meningkatkan perbaikan dan memberikan kemajuan bagi masyarakat secara keseluruhan. 24 Selain itu, pendidikan karakter tidak sekedar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan terpuji. 25 21 A mad Ibnu al usaīn Ibnu „Alī Abū Bakar al Baīhaqī, Sunan al Baīhaqī al-Kubra, Juz 51 bab Kesempurnaan Akhlak dan Keutamaannya No. Hadis 21301 Makkah: Maktabah Dār Bāz, 1994 , h. 472 22 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, h. 52 23 Saliman, Kamus Pendidikan Pengajaran Dan Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, h. 116 24 Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015, h. 24 25 Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: Raja oleh Grafindo Persada, 2012, h. 165 Oleh karenanya, melalui pendidikan karakter diharapkan dapat melahirkan manusia yang memiliki kebebasan menentukan pilihannya tanpa paksaan dan penuh tanggung jawab. Yaitu manusia-manusia merdeka, dinamis, kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab, baik terhadap Tuhan, manusia, masyarakat, maupun dirinya sendiri. Dilihat dari sudut pengertian, ternyata karakter dan akhlak tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran spontan karena sudah tertanam dalam pikiran sehingga melahirkan perbuatan yang bernilai baik terhadap Tuhan, maupun manusia. Dengan demikian, pendidikan akhlak bisa dikatakan pendidikan karakter dalam tinjauan pendidikan Islam. Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengata kan bahwa “Pendidikan akhlak adalah ruhnya dalam pendidikan Islam, dimana para ulama Islam telah sepakat bahwa pendidikan akhlak adalah ruhnya pendidikan Islam, dan untuk mencapai akhlak yang sempurna itulah yang menjadi tujuan yang sebenarnya dari pendidi kan”. 26 Tujuan tertinggi pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku manusia. Karakter positif ini bersumber dari penghayatan dan pengamalan ajaran Allah SWT dalam rutinitas kehidupan manusia. Keduanya membutuhkan tindakan nyata sebagai ekspresi nilai personal yang tidak bisa lepas dari nilai-nilai spiritualitas, agama, bahkan budaya. 27 Dengan kata lain, pendidikan harus mampu mengemban misi pembentukan karakter character building sehingga melahirkan peserta didik yang dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dan berperan sebagai agent of change di masa sekarang dan masa yang akan datang tanpa mengabaikan ajaran agama dan meninggalkan karakter mulia. 26 Musli, Metode Pendidikan Akhlak Bagi Anak, Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011, h. 217 27 Mochamad Ziaulhaq, Sekolah Berbasis Nilai, Bandung: Ihsan Press, 2015, h.18 Diantara tokoh-tokoh intelektual muslim di Indonesia yang memiliki perhatian besar dan kontribusi dalam dunia pendidikan adalah KH.. Hasyim Asy‟ari dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah Hamka. Keduanya adalah ulama yang memiliki integritas dan keteguhan dalam ilmu agama serta banyak melahirkan karya. Kedua tokoh ini merupakan ulama pejuang dan pejuang yang ulama dalam perlawanannya terhadap kolonial Belanda. “Suatu bangsa tidak akan maju jika warganya bodoh. Hanya dengan pengetahuan, suatu bangsa akan menjadi baik”. Ini pernyataan KH. Hasyim Asy‟ari ketika menyikapi kondisi pendidikan kita yang terbelakang saat itu, ia tidak hanya ngomong melainkan membuktikannya dengan membuka pengajian dan membangun pesantren. 28 KH. Hasyim Asy‟ari membawa perubahan baru sepulangnya dari Makkah, dengan mendirikan pesantren Tebu Ireng yang terkenal di Jombang sampai sekarang. Tebu Ireng berhasil memadukan tradisi pesantren dan perkembangan ilmu pengetahuan umum. Hasyim Asy‟ari merupakan tokoh agama, yang semenjak kecil dibesarkan di lingkungan pesantren Nggedang dimana ia belajar agama langsung dari ayahnya yang seorang ulama yang sangat mendukung kemajuan ilmu agama. Karena merasa haus akan ilmu, Hasyim Asya‟ari kemudian pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai pesanteren di Jawa. Karakteristik dari Kiai Hasyim adalah kekonsistenannya dalam memegang tradisi. Dengan pandangan tradisionalisme yang dipertahankannya KH. Hasyim Asy‟ari banyak mengadopsi tradisi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan normativitas. 29 KH. Hasyim Asy‟ari adalah ulama sekaligus penulis yang banyak melahirkan karya. Sebagaimana nampak dalam karya-karyanya yang meliputi bidang pendidikan, teologi, akhlak, fiqh, tasawuf, politik dan sebagainya. 28 Tamyiz Burhanudin, Akhlak Pesantren Solusi bagi Kerusakan Akhlak, Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001, h. 19 29 Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU Pendidikan Islam, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010, h. 82 Keinginan yang sangat kuat untuk mempertahankan bangunan tradisi tersebut, maka bersamaan dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy‟ari mendirikan Nahdatul Ulama atau kebangkitan ulama NU. Organisiasi Islam terbesar di tanah air. 30 Akan tetapi ketokohan dan keharuman nama beliau bukan hanya karena aktivitas beliau sebagai pendiri NU, melainkan karena beliau juga termasuk pemikir dan pembaharu pendidikan Islam yang dilahirkan dari keluarga elit kiai di Jombang. 31 Zamakhsyari Dhofier melukiskan pribadi Hasyim Asy‟ari sebagai seorang yang memiliki kedalaman ilmu yang luar biasa, melalui tangan beliau inilah lahir ulama-ulama terkemuka di Jawa yang nyaris seluruhnya menjadi pendiri dan pengasuh pesantren di daerah masing-masing. 32 Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan Hamka adalah seorang ulama dan tokoh Islam yang sangat toleran dalam kehidupan, tetapi di sisi lain beliau sangat kuat dan tegas ketika berbicara menyangkut akidah. 33 Ia adalah putra dari seorang tokoh dan ulama berdarah minang bernama Dr. H. Abdul Karim Amrullah yang sangat menginginkan anaknya kelak menjadi seorang ulama. Selain belajar dari ayahnya, ia juga belajar agama secara otodidak. 34 Menurut Sutan Mansyur, dari kecil dalam diri Abdul Malik Karim Amrullah memang sudah ada tanda-tanda ia akan menjadi orang besar. Kata dan pikirannya selalu didengar oleh teman-teman sebayanya, menjadikan dia selalu menonjol dalam pergaulan. 35 Hamka menurut 30 Ibid., h. 83 31 Khoiruddin, “Pendidikan Karakter Menurut K.H Hasyim Asy’ari Studi Kepustakaan dalam kitab Adab al- Alim Wal Muta’allim”. Tesis pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo : 2016. tidak dipublikasikan, h. 3 32 Ibid., h. 6 33 Irfan Hamka, Ayah, Republika: Jakarta, 2014, Pengantar Penerbit Republika dalam Novel Ayah, h. viii 34 Sapiudin Shidiq, Pendidikan Menurut Buya Hamka, Tahdzib Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. II, No. 2, Juli 2008, h. 109 35 Shalahuddin Hamid, Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Jakarta: Intimedia, 2003, h. 63 Abdurrahman Wahid adalah seorang intelektual yang mempunyai pengetahuan yang banyak, baik pengetahuan agama maupun umum. 36 Buya Hamka dikenal sebagai seorang yang optimis, karena ia percaya bahwa semua orang pada dasarnya baik dan punya kemungkinan untuk menjadi lebih baik. Dengan berpegang pada prinsip tersebut, buya bersikap untuk berbuat apa adanya tanpa harus takut pada siapapun. Sikap tegas dalam mempertahankan prinsip terbukti saat ia mundur dari ketua MUI karena tetap mempertahankan fatwa haram menghadiri natal bersama bagi umat Islam. 37 Hamka adalah salah satu tokoh Indonesia yang pemikirannya banyak dijadikan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan, dan teori-teori beliau cetuskan dalam bukunya banyak digunakan untuk memecahkan masalah baik yang terkait dengan masalah sosial, politik, agama, maupun, pendidikan. Selain itu, beliau juga melahirkan karya fenomenal berupa tafsir Al-Azhar yang banyak digunakan masyarakat dalam memahami al- Qur‟an. 38 KH. Hasyim Asy‟ari dan Buya Hamka adalah sosok yang tidak diragukan lagi, selain menonjol dalam hal- hal yang telah disebutkan di atas, keduanya dikenal cukup concern dan sangat peduli dengan nasib pendidikan umat serta berwawasan jauh ke depan. Dilihat dari sikap dan karakter mereka yang mempengaruhi pemikiran terhadap sesuatu. Dalam hal pendidikan, keduanya memfokuskan pentingnya pendidikan akhlak atau budi pekerti dalam proses pendidikan. Beranjak dari apa yang dipaparkan di atas, dipahami bahwa karakter atau budi pekerti adalah perilaku manusia menuju sifat-sifat baik yang berdampak postif untuk lingkungan sekitar. Berdasarkan hal tersebut, peneliti termotivasi untuk menyusun karya ilmiah yang berjudul: 36 Sudin, Pemikiran Hamka Tentang Moral, Esensia, Vol. XII, No. 2 Juli 2011, h. 224 37 Ibid., h. 66 38 Laeli Nafilah, “Konsep Pendidik Menurut Buya Hamka Telaah buku “Lembaga Hidup” Karya Hamka ” Skripsi pada Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta: 2011, tidak dipublikasikan, h.4 “Studi Komparasi Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dan Hamka Tentang Pendidikan Karakter ”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, beberapa masalah mendasar dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Degradasi moral yang dialami bangsa Indonesia 2. Paradigma guru yang belum mengetahui pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter 3. Media pertelevisian yang kurang memperioritaskan pendidikan 4. Minimnya pengetahuan dasar agama, pendidikan dari orang tua serta pengawasan kepada anak dalam menghadapi arus globalisasi 5. Pola hidup bangsa Indonesia yang cendrung westernisasi akibat perkembangan zaman.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar permasalahan yang berkenaan dengan judul di atas tidak melebar, maka dalam pembahasannya penulis membatasi dan merumuskan permasalahan pada hal-hal ini sebagai berikut :

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, untuk lebih terarahnya penelitian ini dibatasi pada pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka terhadap pendidikan karakter.

2. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian yang akan dikaji, yaitu: a. Bagaimana pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter? b. Bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian atau penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka tentang pendidikan karakter

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah : a. Bagi peneliti, menemukan dam menambah pemahaman tentang pemikiran KH. Hasyim Asy‟ari dan Hamka terkait pendidikan karakter. Dan sebagai salah satu syarat menempuh jenjang strata satu. b. Bagi civitas akademik, untuk memperluas khazanah keilmuan dalam dunia pendidikan, terutama dalam pendidikan karakter. c. Bagi masyarakat, untuk menambah literature dan bahan bacaan, sehingga masyarakat bisa mengambil pelajaran positif dari pemikiran kedua tokoh ini. 14

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan

Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani yaitu, “pedagogia”, atau “peadgogos” yang berarti pembimbing anak, atau seseorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhannya ke arah kemandirian dan sikap tanggung jawab. 1 Pendidikan berasal dari kata “didik” yang artinya memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Mendapat awalan “pen” dan akhiran “an” yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. 2 Dari pengertian di atas, pendidikan pada dasarnya adalah proses membimbing, mengarahkan dan memberi latihan kepada seseorang atau sekelompok orang dalam rangka memelihara dan menumbuhkembangkan kemandirian, kecerdasan pikiran, serta sikap yang baik dalam pertumbuhan ke arah kedewasaan. Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan dikenal dengan tiga istilah, yaitu al-tarbiyah, al- ta’lim, dan al-ta’dib. Istilah “tarbiyah” ةيبرت dari kata ّ بر mengandung arti mengasuh, memelihara, memperbaiki, dan menumbuh kembangkan dengan penuh kasih sayang. Pengertian “ta’lim” 1 Chairul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, h. 32 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012, h. 326 ميلعت dari kata kerja م لع yang berarti pengajaran, pengarahan, dan pendidikan. Dan “ta’dib” بدعت dari kata بدأ yang berarti pendidikan, kepatuhan, sopan santun. 3 Makna al-tarbiyah atau pendidikan adalah istilah yang berkaitan dengan usaha menumbuhkan atau menggali segenap potensi fisik, psikis, bakat, minat, talenta dan berbagai kecakapan lainnya yang dimiliki manusia, atau mengaktualisasikan berbagai potensi manusia yang terpendam, kemudian mengembangkannya dengan cara merawat dan memupuknya dengan penuh kasih sayang. Yang di dalam proses tersebut terdapat unsur pendidik, peserta didik, dan unsur caranya. 4 Kata al- ta’lim banyak dijumpai di dalam al-Qur‟an, dan umumnya diartikan dengan pengajaran atau mengajar. Menurut Quraish Shihab sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengartikan kata yu’allimu dengan artian mengajar yang tidak lain kecuali hanya mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisik. Kata al- ta’lim ini termasuk yang paling popular dan banyak digunakan di Indonesia untuk kegiatan pendidikan non formal, seperti pada kegiatan majelis ta‟lim. Sedangkan kata al- ta’dib merupakan kegiatan pendidikan sebagai sarana tranformasi nilai-nilai akhlak mulia yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia, serta menjadi dasar bagi terjadinya proses Islamisasi ilmu pengetahuan. 5 Ketiga istilah tersebut jelas dipahami bahwa pendidikan adalah upaya yang dilakukan pendidik dalam rangka menumbuhkembangkan potensi 3 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Media Group, 2010, h. 8-14 4 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam Barat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012, h. 19 5 Ibid., h. 20