Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi di LBH-APIK Medan)

(1)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

PERANAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi di LBH-APIK Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

JUPPA MAROLOB HALOHO NIM. 040200185

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Abul Khair, S.H., M.Hum NIP. 131 842 854

Pembimbing I Pembimbing II

Nurmalawaty, S.H., M.Hum. Edy Yunara, S.H., M.Hum.

NIP. 131 803 347 NIP. 131 639 812

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

ABSTRAK

Juppa Marolob Haloho, Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi di LBH-APIK Medan), skripsi, 2008.

Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga membawa angin segar bagi perempuan yang rentan menjadi korban. Masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak lagi menjadi masalah privat melainkan menjadi masalah publik. Ketiadaan hukum yang melindungi korban kekerasan tidak dapat lagi dijadikan alasan tingginya dark number kekerasan terhadap perempuan. Bahkan kelahiran UU ini mengatur secara khusus kerjasama beberapa pihak untuk memberikan perlindungan hukum/korban. Perlindungan korban berarti juga perlindungan terhadap hak asasi manusia. KDRT juga merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Korban KDRT membutuhkan perlindungan. Selain Negara, salah satu pihak yang dapat memberikan perlindungan korban KDRT ialah lembaga sosial yang perjuangannya dikhusukan kepada perempuan .

Landasan juridis lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum, peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum, kendala yang dihadapi lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum adalah tiga hal yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini.

Sosio legal juridis adalah metode penelitian yang digunakan untuk menjawab ketiga permasalahan tersebut dengan studi kepustakaan, wawancara serta observasi sebagai metode pengumpulan data. Penelitian yang dilakukan di LBH-APIK Medan mengindikasikan besar peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan korban KDRT. Kendala yang berasal dari dalam dan luar lembaga sosial menjadikan lembaga sosial menjadi lebih kreatif dalam mencapai tujuan UU.

Peran dan keefektifan LBH-APIK dalam memberikan perlindungan korban seharusnya menjadi motivator bagi Fakultas Hukum USU untuk mengaktifkan kembali Lembaga Bantuan Hukum.


(3)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penyertaan dan penyataan kuasaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Di LBH-APIK Medan)” ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pemahaman akan ilmu hukum yang sudah dipelajari penulis selama mengikuti perkuliahan menjadi dasar bagi penulis dalam mengerjakan skripsi ini dengan menggunakannya secara interdisipliner.

Dalam proses penulisan skripsi ini penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, perhatian, dan bantuan serta petunjuk/arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Runtung Sitepu, S.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Suhaidi, S.H., selaku Pembantu Umum I Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., LLM, selaku Pembantu Umum II Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

4. Bapak M.Husni, S.H.,M.Hum, selaku Pembantu Umum III Dekan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Edy Yunara, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah mengajari penulis dalam menulis skripsi ini.

7. Seluruf staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu hukum kepada penulis serta seluruh staf pegawai administrasi Fakultas Hukum USU.

8. Seluruh Staf LBH-APIK Medan yang membantu memberikan data dan pengalaman kepada penulis dalam proses penulisan skripsi ini, terutama K’ Ega (Koordinator Divisi Bantuan Hukum LBH-APIK Medan).

9. Teman-teman seangkatan yang sedang, telah, dan akan berjuang menyelesaikan skripsi.

10.Adik-Adik stambuk yang terus menanyakan perkembangan skripsi penulis.

11.Saudara-saudaraku di Pelayanan Persekutuan Siswa Perkantas Medan, Adik-adik KTB, teman-teman KTB, tim inti dan tim koordinator sekolah TPS, K’Lina yang terus memarahi dan mendorong penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.

12.Seluruh keluarga besar penulis, ibunda tercinta O. br Purba, Keluarga abang/kakak (R. Pangaribuan/R. br Haloho, J. Damanik/D. br Haloho, J. Saragih/D. br Haloho, K’Uli, K’Duma, K’Lasma, K’Pitah, K’Mesri)


(5)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

keberhasilan kalian menjadi motivasi tersendiri bagiku, keponakan (Cia, Johan, Chris,Daniel,Tesa) dan adik-adikku yang sedang berjuang (Afri, Okta, Yeyen, Barry, tetap semangat ya), skripsi ini kupersembahkan kepada kalian.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan terbatas dalam pembahasan skripsi ini, penulis siap dan mengharapkan saran, kritik, dan evaluasi terhadap penulisan ini. Harapan penulis, tulisan ini menginspirasi pembaca dan bermanfaat bagi pembaca.

Akhir kata, penulis mengucapkan selamat membaca. Terima kasih.

Medan, Juni 2008


(6)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Tulisan ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 10

G. Metodologi Penelitian ... 28

H. Sistematika Penulisan ... 30

BAB II PENGATURAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ... 33

B. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 37

C. Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 40

D. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ... 47

BAB III PERANAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Tujuan, Fungsi, dan Manfaat Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Lembaga Sosial ... 58 B. Cara dan Sistem Kerja Lembaga Sosial dalam Memberikan

Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga . 69

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI DAN UPAYA MENGATASI

KENDALA YANG DILAKUKAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


(7)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

A. Kendala yang Dihadapi Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan Korban KDRT ... 83

B. Upaya Lembaga Sosial untuk Mengatasi Kendala yang

Dihadapi dalam Memberikan Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 92

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ... 97 B. SARAN ... 104


(8)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

DAFTAR TABEL

TABEL JUDUL TABEL HALAMAN

2. 1 Nama-Nama Calon Anggota LPSK yang Lulus Seleksi Administratif dan Seleksi Kualifikasi serta Integritas Moral

44

3. 1 Mitra LBH-APIK Medan Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2006 s/d Mei 2008

66

3. 2 Proses Penyelesaian Perkara di LBH-APIK

MedanTahun 2007


(9)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR JUDUL GAMBAR HALAMAN

Gambar 3.1 Proses upaya pencegahan terjadinya KDRT oleh lembaga sosial

72 Gambar 3. 2 Kerjasama lembaga sosial dengan intansi lain

dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT


(10)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu masalah yang sudah lama terjadi di tengah-tengah masyarakat bagaikan fenomena gunung es. Buku berjudul ”Perempuan Dalam Budaya Patriarki” karangan Nawal El Saadawi menggambarkan bagaimana kekerasan dalam rumah tangga terjadi sejak adanya suatu budaya.1

KDRT atau biasa juga disebut sebagai kekerasan domestik ( domestic violence) merupakan suatu masalah yang sangat khas karena kekerasan dalam rumah tangga terjadi pada semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat berstatus sosial rendah sampai masyarakat berstatus sosial tinggi. Sebagian besar korban KDRT adalah perempuan, apakah istri atau anak perempuan dan pelakunya biasanya ialah suami (walaupun ada juga korban justru sebaliknya) atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Menko Kesra mengatakan pada tahun 2007, 75% pelaku kekerasan dalam rumah tangga

Buku yang ditulis berdasarkan pengalaman sendiri dan hasil konseling pasien yang datang kepada penulis (Nawal) menggambarkan bagaimana seorang perempuan akibat suatu budaya (patriarki) menjadi korban diskriminasi, penganiayaan, kekerasan seksual dan lainnya.

1

Nawal El Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 1-177


(11)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

dilakukan oleh suami.2

Ironisnya, perempuan yang menjadi korban KDRT ini sering menutupi kasus ini. Ada sebuah kasus yang diketahui penulis sendiri, seorang perempuan ketika berumur 5 tahun diperkosa oleh pamannya sendiri (belum menikah) yang tinggal bersama keluarganya. Sekarang, si paman telah menikah dan telah mempunyai anak sedangkan si perempuan yang menjadi korban pemerkosaan tetap menjadi perempuan yang kehilangan keperawanannya akibat suatu kekerasan. Bahkan si perempuan masih menutupi masalah itu sampai sekarang kepada kedua orang tuanya dengan alasan takut merusak hubungan kekeluargaan yang ada, takut aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, takut bahwa tidak ada pria yang akan menerimanya jika mengetahui keadaannya, dan sedikit berpasrah dengan alasan ”tidak ada gunanya hal itu diketahui orangtuaku karena tidak akan mengembalikan ’keperawananku’ yang telah hilang”.

Hubungan pelaku dengan korban KDRT ialah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembantu rumah tangga yang tinggal di rumah itu. Kekerasan itu terjadi dalam lingkungan orang-orang yang mengikatkan diri atas nama cinta.

3

Ada beberapa alasan yang menyebabkan kasus KDRT ini ditutup-tutupi misalnya karena terpaut faktor budaya (nilai patriarki masyarakat), agama, alasan-alasan subjektif korban dan/atau ketidaktahuan sistem hukum. Film Ayat-Ayat Cinta yang di putar sejak tanggal 28 Februari 2008 juga menyinggung masalah Kasus ini merupakan contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga.

2

3


(12)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

tindakan suami memukul istri menurut al-Quran. Ada pandangan yang menyatakan bahwa tindak kekerasan terhadap istri mendapat legitimitas dari Islam. Pandangan yang keliru itu tampaknya mengacu kepada beberapa ayat yang secara tekstual maknanya memang mengarah kepada justifikasi terhadap tindak kekerasan atas perempuan, khususnya dalam rumah tangga. Ayat-ayat tersebut diantaranya an-Nisa 4:34.4

Harkristuti Harkrisnowo dalam artikelnya ”Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan” mengatakan adanya non-reporting of crime disebabkan :5

1. Si korban malu karena peristiwa ini telah mencemarkan dirinya baik secara fisik, psikologis, sosial.

2. Si korban berkewajiban melindungi nama baik keluarganya terutama pelaku adalah anggota keluarga.

3. Si korban merasa bahwa proses peradilan pidana belum tentu dapat membuat dipidanya pembuat.

4. Si korban khawatir bahwa diprosesnya kasus ini akan membawa cemar yang lebih tinggi lagi bagi dirinya, misalnya publikasi di media massa. 5. Si korban khawatir akan adanya pembalasan dari pelaku.

6. Lokasi kantor polisi yang jauh dari tempat tinggal korban membuatnya enggan melapor.

7. Keyakinan korban bahwa walaupun ia melapor ia tidak akan mendapat perlindungan khusus dari penegak hukum.

8. Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadapnya merupakan suatu bentuk tindak kekerasan.

Ketidaktahuan korban bahwa yang dilakukan terhadapnya merupakan suatu bentuk tindak kekerasan, melahirkan kesadaran bagi perempuan untuk mempertahankan haknya sebagai perempuan. Berbagai aturan yang mengatur perlindungan terhadap hak perempuan mengembangkan kesadaran para

4

DR. Siti Musdah Mulia,MA.,APU. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Perspektif

Islam), sebuah artikel

5

Harkristuti Harkrisnowo, Hukum Pidana dan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Achie Sudiarti Luhulima (Ed.), Pemahaman Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: PT Alumni, 2000, halaman 82-83.


(13)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

perempuan untuk melindungi dan mempertahankan haknya. UUD RI 1945 mengenai hak asasi manusia, Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the elimination of All forms of Discrimination Against Woman/CEDAW) yang disetujui Majelis Umum PBB tanggal 18 Desember 1979 yang diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan oleh Pemerintah Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, menjadi dasar para perempuan untuk mempertahankan haknya sebagai perempuan.

Kelahiran Women’s Crisis Center di Indonesia sebagai salah satu bukti kesadaran perempuan untuk mempertahankan haknya. Women’s Crisis Center (WCC) memberikan perlindungan kepada perempuan untuk mempertahankan haknya dan meminimalisasi tindak kekerasan terhadap perempuan. Women’s Crisis Center (WCC) misalnya ialah Yayasan Annisa Swasti (YASANTI) Jogjakarta yang lahir pada tahun 1982, Mitra Perempuan, LBH-APIK, Yayasan Kalyanamitra tahun 1985, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Solidaritas Perempuan (SP), Kapal Perempuan, Rifka’s WCC Jogjakarta tahun 1993, Komnas Perempuan yang lahir dengan Keppres No. 181 Tahun 1998, dan lembaga atau yayasan lainnya yang melindungi dan mempertahankan hak perempuan. Lembaga seperti ini yang dibutuhkan seorang korban (terutama perempuan) untuk mempertahankan dan menuntut haknya.


(14)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Keberadaan WCC tidak hanya di pusat tetapi sudah ada di daerah-daerah dan kota Medan salah satunya. Misalnya, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan juga beberapa lembaga lain misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat Letare, Persatuan Sada Ahmo, dan lainnya yang menangani dan bergerak di bidang perlindungan hak-hak perempuan.

Keberadaan lembaga-lembaga sosial ini juga melahirkan para aktivis perempuan yang terus gencar mencari keberpihakan para pihak terhadap perempuan. Hal ini yang membuat ratusan aktivis prempuan dari 20 organisasi perempuan di Sumut yang bergabung dalam ”forum perempuan” berunjuk rasa ke kantor-kantor partai politik di Sumatera Utara yang mengancam akan memboikot jalannya Pemilihan Kepala Daerah Sumatera Utara, 16 April 2008 jika tidak ada keberpihakan para calon gubernur pada perempuan. Hal ini mendapat reaksi dari pasangan cagub dan cawagub Sumatera Utara pasangan H.Abdul Wahab Dalimunthe,SH dan M.Syafii,SH yang dalam visi dan misinya akan membangun perempuan di Sumut6

Pada akhir 2006 Komnas Perempuan dan Yayasan Mitra Perempuan melaporkan hasil penelitian tentang kondisi KDRT di Indonesia. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah itu meningkat 61% pada tahun 2002 menjadi 5.163 kasus. Pada tahun 2003, kasus KDRT meningkat 66% menjadi 7.787 kasus, lalu 2004 meningkat 56% menjadi 14.020 kasus dan tahun 2005 meningkat 69% menjadi 20.391 kasus. Pada tahun

.

6


(15)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

2006 penambahan diperkirakan 70% (masih berupa angka perkiraan)7. Pada tahun 2006, Mitra Perempuan menangani 336 kasus dan 85,42 % ialah kasus KDRT. Tahun 2007 dari 284 kasus yang ditangani Mitra Perempuan, 87, 32% ialah kasus KDRT.8

Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC dalam menanamkan kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan kepada korban kasus KDRT dipengaruhi oleh lahirnya peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Terhadap Perempuan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan hukum terhadap kasus KDRT dan termasuk lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam perlindungan terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.

Berdasarkan data diatas, persentase kasus KDRT mengalami kenaikan tiap tahun. Hal ini menandakan bahwa peranan WCC atau lembaga sosial yang bergerak dalam bidang perempuan sangat besar dalam memberikan kesadaran kepada perempuan dan masyarakat luas tentang hak perempuan dan melakukan upaya sebesar-besarnya untuk mempertahankan hak perempuan tersebut.

7

8


(16)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Hal-hal diatas tersebut yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian terhadap lembaga sosial yang berorientasi kepada perempuan secara khusus dalam hal kekerasan dalam rumah tangga di kota Medan. Data yang ada mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang harus dikurangi, keberadaan lembaga-lembaga sosial, dan korban yang tidak melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya, serta peranan dan pengaruh lembaga-lembaga sosial yang sudah ada menjadi alasan penulis untuk menulis skripsi dengan judul ”Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi di LBH-APIK Medan)”.

B. PERUMUSAN MASALAH

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini ialah :

1. Bagaimana pengaturan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT?

2. Bagaimana peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT?

3. Bagaimana upaya lembaga sosial dalam mengatasi kendala yang dihadapi dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun yang menjadi tujuan penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul ”Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan


(17)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi di LBH-APIK Medan)” ialah :

1. Untuk mengetahui pengaturan lembaga sosial dalam memberikan

perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Untuk mengetahui bagaimana peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan terhdap korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh lembaga sosial dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dan untuk mengetahui bagaimana upaya lembaga sosial dalam mengatasi kendala tersebut.

D. MANFAAT PENULISAN

Penulis berharap penelitian dan tulisan ini bermanfaat baik secara teoritis ataupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai penambah wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca

khususnya perempuan di bidang kekerasan dalam rumah tangga secara khusus dan kekerasan terhadap perempuan secara luas dan peranan suatu lembaga dalam perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

b. Sebagai bahan dasar bagi peneliti dan penulis lain untuk melakukan penelitian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga.


(18)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

2. Manfaat Praktis

a. Bagi civitas akademika (mahasiswa, dosen) sebagai bahan untuk memikirkan dibentuknya suatu lembaga sosial (apakah berbentuk LBH atau berbentuk LSM) yang berorientasi dalam memberikan perlindungan hukum terhadap orang-orang korban kekerasan dalam rumah tangga secara khusus dan kekerasan terhadap perempuan secara luas.

b. Bagi lembaga sosial yang berorientasi dalam memberikan

perlindungan hukum kepada korban kekerasan dalam rumah tangga untuk lebih menyadari betapa strategis dan pentingnya peranan yang mereka miliki dalam mengurangi angka kekerasan dalam rumah tangga sehingga memaksimalkan kinerja mereka.

c. Bagi lembaga penegak hukum lainnya (kepolisian dan kejaksaan serta pengadilan) untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga sosial dalam melakukan upaya mengurangi angka kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

d. Bagi lembaga lainnya yang disebutkan dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (pekerja sosial, pembimbing rohani, tenaga kesehatan, dan/atau pihak lainnya) untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga sosial dalam melakukan upaya mengurangi


(19)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

angka kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

e. Bagi korban, keluarga korban, dan masyarakat untuk tidak takut melaporkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dan meminta pendampingan terhadap korban kepada lembaga sosial yang ada.

E. KEASLIAN PENULISAN

Tulisan berjudul ”Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Korban KDRT (Studi di LBH-APIK)” adalah karya asli penulis berdasarkan pembelajaran, pemahaman, dan penelitian yang dilakukan oleh penulis sendiri. Tulisan dengan judul ”Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Korban KDRT (Studi di LBH-APIK)” belum pernah dibuat oleh penulis lain. Jika ada tulisan yang berjudul sama dengan tulisan ini, pasti memiliki pokok bahasan dan substansi yang berbeda.

F. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Penggunaan kata ”kekerasan” sangat sering di dengar di tengah masyarakat. Tetapi kadang orang menggunakan kata itu hanya dalam ruang pengertian yang sangat sempit misalnya hanya terbatas kepada tindakan fisik, bahkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengacu kepada perbuatan fisik.Terminologi kekerasan atau violence diartikan sebagai ”... the threat, attempt, or use of physical force by one or more persons that result in physical or non


(20)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

physical harm to one or more other persons”.9 (Suatu perbuatan melanggar hukum yang melukai orang lain atau harta benda orang lain). Dalam literatur Amerika ada beberapa kata untuk pengertian ”kekerasan” misalnya tort, battery, dan assault.10

Tort is a wrongful injury to a person or a person’s property. Tort yang dilakukan dengan sengaja disebut dengan “assault” sedangkan tort yang dilakukan karena suatu kelalaian disebut dengan “battery”.11

Assault are any willful attempt or threat to inflict injury upon the person of another; any intentional display of force such as would give the victim reason to fear or expect immediate bodily harm; an assault may be committed without actually touching or striking or doing bodily harm to the person or another.

Black’s Law Dictionary mengartikan bahwa:

12

Hukum Amerika mengartikan bahwa Assault is an attempt by one person to make harmful or offensive contact with another individual without consent actual physical is not necessary.

(Kesengajaan yang mengakibatkan penderitaan bagi orang lain atau pihak lain; kesengajaan yang menunjukkan suatu kekuatan misalnya membuat korban ketakutan dan merasa akan mendapat kerusakan tubuh; kesengajaan ini dapat dilakukan tanpa kontak fisik atau melakukan suatu perbuatan yang merusak bagian tubuh kepada orang atau pihak lain).

13

9

Neil Alan Weiner,dkk. 1990. Violence: Patterns, Causes, Public Policy. dalam

Perempuan, Kekerasan dan Hukum, Aroma Elimina Martha (Jogjakarta: UII Press, 2003) hlm. 21, 45.

10

Budi Sampurna, Pembuktian dan Penatalaksanaan Kekerasan terhadap Perempuan Tinjauan Klinis dan Forensik dalam Achie Sudiarti Luhulima (Ed.), op. cit., hlm. 53

11

Ibid

12

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, with pronounciation, fifth edition,

1983, St. Paul Minn West Publishing Co., USA.

13

Budi Sampurno, op. Cit dalamAchie Sudiarti Luhulima (Ed.), loc. cit.

(Suatu kesengajaan yang dilakukan oleh seseorang untuk membuat suatu penderitaan bagi orang lain tanpa memperdulikan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan kontak fisik secara langsung).


(21)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Black’s Law Dictionary mengartikan bahwa:

Criminal Battery defined as the unlawful application of force to the person or another, may be divided into its three basic elements :

1. The defendant’s conduct (act or ommission)

2. His ‘mental state’ which may be intent to kill or injure, or criminal negligence, or perhaps the doing of unlawful act.

3. The harmful result to the victim, which may be a bodily injury or an offensive touching.14

(Suatu tindakan kekerasan kepada orang lain yang harus memenuhi tiga elemen yaitu perbuatan pelakunya, keadaan jiwa pelaku dan akibat perbuatan pelaku kepada korban).

Dari pengertian di atas, kekerasan ialah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.

Istilah kekerasan dalam rumah tangga dalam literatur barat umumnya dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violence, family violence, wife abuse.15

14

Henry Black Campbell, op. cit.

15

Aroma Elimina Martha, 2003, Perempuan, Kekuasaan dan Hukum, Jogjakarta: UII Press, hlm.31. lihat juga hlm. 46.

Dalam terjemahan bebas, istilah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berarti kekerasan yang dilakukan atau yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga.

Pasal 1 angka 1 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 (UU PKDRT) memberikan pengertian bahwa:

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.


(22)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Pengertian diatas sama dengan pengertian yang berlaku di literatur barat (tort, assault, battery) yaitu perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban, dalam hal ini yang menjadi korban kekerasan ialah orang-orang yang berada dalam rumah tangga.

2. Sejarah Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga yang pada umumnya ditujukan kepada perempuan sudah sejak lama terjadi. Hal ini menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga tidak mudah untuk dihapuskan karena sudah mengakar akibat suatu budaya, penafsiran yang salah terhadap ajaran agama atau alasan lain. Bahkan mungkin saja kekerasan dalam rumah tangga sudah terjadi sepanjang peradaban manusia hanya tidak diketahui bahwa itu merupakan suatu bentuk kekerasan.

Nawal El Saadawi menceritakan bahwa seorang perempuan yang berada dalam budaya patriarki secara khusus di daerah timur tengah harus menderita akibat suatu budaya yaitu bahwa untuk menjaga keperawanan sampai dia menikah dan menjaga harga diri orang tua dan keluarga, seorang perempuan harus disunat (pemotongan klitoris) yang sebenarnya memberikan beberapa dampak negatif baginya. Peristiwa ini sudah terjadi ratusan tahun.16

16

Nawal El Saadawi, op. cit, hlm.75

Penyunatan dikenal di Eropa sampai akhir abad ke-19 sebagaimana juga di negara-negara seperti di Mesir, Sudan, Somalai, Etiopia, Kenya, Tanzania, Ghana, Guinea, dan Nigeria. Catatan pada masa lalu menyebutkan pada masa kerajaan Pharaoh dari Mesir


(23)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Kuno dan Herodotus menyebutkan adanya penyunatan perempuan 700 tahun sebelum Kristus lahir.17

Sebagai perbandingan, sejarah kekerasan suami terhadap istri pada awalnya berasal dari common law Inggris (1896), yang memberikan kekuasaan dan hak kepada suami untuk mendidik atau memberi disiplin kepada istri dengan cara menggunakan alat tongkat, yang disebut dengan istilah ”Rule of Thumb”, dengan cara suami boleh memukul istri dengan tongkat yang tidak lebih besar dari ibu jari. Di Inggris, masalah ini adalah masalah privat dan masalah yang berat sehingga polisi segan mencampuri pertikaian dalam keluarga.18

Kekerasan dalam rumah tangga yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi (privat) kini telah menjadi fakta dalam rumah tangga dan persoalan kekerasan dalam rumah tangga sudah menjadi domain publik. Strauss mengemukakan beberapa alasan mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang tadinya bersifat pribadi menjadi masalah umum :19

Pertama, para ilmuwan sosial dan masyarakat umum menjadi semakin peka terhadap kekerasan.

Kedua, munculnya gerakan perempuan yang memainkan peran khususnya dengan mengungkap tabir permaslahan rumah tangga dan menyampaikan permaslahan mengenai perempuan yang teraniaya secara terbuka.

Ketiga, adanya kenyataan perubahan model konsensus masyarakat yang diungkapkan oleh para ilmuwan sosial, dan tantangan berikutnya adalah bagaimana menghasilkan model konflik atau aksi sosial mengantisipasi perubahan tersebut.

Keempat, ada kemungkinan lain, dengan ditunjukkan penelitian mengenai kekerasan dalam tumah tangga yang dapat dilakukan untuk mengungkap lebih mendalam sisi kekerasan dalam rumah tangga.

17

Ibid, hlm. 77

18

Aroma Elimina Martha, op. cit, hlm. 38 19


(24)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Perjuangan gerakan perempuan di setiap negara membuahkan hasil dengan dibentuknya ruang pelayanan khusus di kepolisian yang secara khusus menangani tindak kekerasan terhadap perempuan termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Di Indonesia, hasil perjuangan gerakan perempuan ialah terbentuknya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 yang memerintahkan dibentuknya ruang pelayanan khusus (RPK) di lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia.20

1. kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat;

Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap persoalan kekerasan dalam rumah tangga semakin besar dan sudah menjadi domain publik.

3. Jenis dan Ruang Lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Mengacu kepada pasal 5 UU No. 23 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud :

21

2. kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang;22

3. kekerasan seksual yaitu yaang meliput i pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan/atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

20

Pasal 13 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 21

Pasal 6 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 22


(25)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu;23

4. penelantaran rumah tangga yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Dalam hal ini juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.24

Kekerasan dalam rumah tangga ialah suatu bentuk kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi :25

a. suami, isteri, dan anak;

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

23

Pasal 8 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 24

Pasal 9 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 25


(26)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

4. Korban dan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

A. Pengertian Korban

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli, peraturan perundang-undangan, dan juga dari konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya ialah:

1. Ralph de Sola

Korban (victim) adalah ”... person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemped criminal offense committed by another....”26

2. Muladi

(… orang yang mengalami penderitaan fisik atau mental, kehilangan barang-barang atau kematian yang merupakan akibat dari perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan orang lain….)

Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individu maupun kolektif telah menderita kerugian,termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.27

3. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985

Korban (victims) means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering,

26

Ralph de Sola, Crime Dictionary (New York: Facts on File Publication, 1998), hlm. 188 dalam Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

(Jakarta: Rajawali Press, 2006), hlm. 46. 27


(27)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omission of criminal abuse of power. (Korban ialah orang baik perseorangan atau kelompok yang mengalami penderitaan termasuk penderitaan fisik dan mental, emosi, ekonomi atau hak-hak asasi mereka yang lain melalui dilakukan atau tidaknya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan).

4. PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM yang berat dan UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.

5. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Korban ialah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.28

28

Pasal 1 angka 3 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

Korban ialah orang, baik individu atau kolektif yang mengalami penderitaan dan kerugian akan hak-hak asasinya akibat perbuatan. Dalam hal ini, tidak semua korban terjadi karena perbuatan orang lain, tapi juga dikarenakan keterlibatan korban atau perbuatan korban sendiri, misalnya dalam hal penggunaan narkotika.


(28)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

B. Tipologi Korban

Tipologi korban dapat diidentifikasikan menurut jenis korban, peranan korban, jumlah korban (Sellin dan Wolfgang), bahkan juga dapat diidentifikasikan berdasarkan status dan keadaan korban, yaitu:29

1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, dalam hal ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat.

2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh.

3. Participating victims, yaitu seorang yang tidak berbuat tetapi dengan sikapnya mendorong dirinya menjadi korban, misalnya seorang wanita jalan sendirian menggunakan banyak perhiasan yang mendorong seorang melakukan tindak pidana pencurian.

4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban, misalnya perempuan dan/atau anak-anak.

5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban, misalnya pembantu rumah tangga.

6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.

29


(29)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

C. Korban kekerasan dalam rumah tangga

Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, dilihat dari status dan keadaan korban, korban kekerasan dalam rumah tangga digolongkan menjadi

biologically weak victims yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. Dalam kekerasan dalam rumah tangga, pada umumnya yang menjadi korban ialah perempuan dan anak-anak karena secara anatomi dan fisiologi tubuh, kekuatan dan fisik perempuan berbeda dan lebih lemah dibandingkan lelaki. Selain itu, korban kekerasan dalam rumah tangga juga dapat digolongkan kepada socially weak victim yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. Hal ini disebabkan oleh budaya dan kebiasaan masyarakat dan pandangan masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai subordinari laki-laki. Kaum laki-laki di tempatkan pada posisi dominan sebagai kepala keluarga. Posisi yang superior menyebabkan dirinya sangat berkuasa di tengah-tenagh keluarga. Bahkan, pada saat laki-laki melakukan berbagi kekerasan terhadap anggota keluarga tidak ada seorangpun dapat menghalanginya. Bahkan perlakuan masyarakat yang membedakan sikap terhadap kelahiran anak laki-laki dan perempuan. Dalam budaya patriarki yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, kelahiran anak laki-laki mendapat perhatian khusus dari kerabat lainnya tetapi kelahiran anak perempuan dalam suatu keluarga tidak mendapat perhatian yang khusus dari kerabat. Misalnya ialah penulis merupakan anak satu-satunya laki-laki dalam keluarga. Sewaktu kelahiran penulis, semua keluarga baik dari keturunan bapak dan ibu dengan bersukacita menantikan kelahiran penulis dan setelah itu


(30)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

dilakukan syukuran yang meriah. Sedangkan, sewaktu kakak perempuan penulis lahir dua tahun sebelum kelahiran penulis, hanya orang tua dan beberapa kerabat yang menanti kelahirannya dan melakukan syukuran yang sederhana.

D. Perlindungan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Korban kekerasan dalam rumah tangga akan mengalami penderitaan yang sangat beragam baik fisik, materil, maupun psikis sehingga perlindungan yang diberikan kepada korban pun harus beragam. Perlindungan korban ini diberikan berdasarkan hak yang dimilikinya.

Pasal 10 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Korban berhak mendapatkan :

a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perun-dang-undangan; dan

e. pelayanan bimbingan rohani.

UU PKDRT juga membagi perlindungan menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:

1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama tujuh hari, dan dalam waktu 1 x 24 sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah


(31)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

perlindungan dari pengadilan. Perlindunagn sementara oleh kepolisisan ini dapat dilakukan bekerjasama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.30

2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku melalui mediasi, dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).31

3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama satu tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.32

30

Lihat pasal 16 dan 17 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 31

Lihat pasal 25 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 32

Lihat pasal 32, 34, dan 38 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004


(32)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.33

5. Pelayanan pekerja sosial diberikan melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban.34

6. Pelayanan relawan pendamping diberikan berupa menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping; mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.35

33

Pasal 21UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 34

Pasal 22 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 35


(33)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

7. Pelayanan pembimbing rohani dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.36

LSM yang dikenal sekarang ini, terutama untuk Indonesia, pengertiannya mengacu pada satu organisasi volunteer di luar struktur negara yang memiliki

5. Pengertian Lembaga Sosial dan Karakteristik Lembaga Sosial dalam UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

Lembaga sosial dalam hal ini merupakan organisasi non pemerintah (ornop) dan/atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Untuk memberikan pengertian lembaga sosial, mengacu kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Instruksi Menteri dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas menyebutkan :

Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Instruksi Menteri dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 menyebutkan

LSM adalah organisasi/lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sesuai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.

36


(34)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

bentuk pengorganisasian yang jelas, organisasinya relatif kecil, tidak berupa organisasi massa, dan memiliki sistem manajerial yang resmi.37

Perkembangan LSM dari generasi ke generasi mengalami pergeseran ideologi dan watak perilaku mereka. Generasi pertama memiliki ideologi untuk pengembangan masyarakat dengan mengembangkan swadaya masyarakat yang tidak terjamah pembangunan pemerintah. Pada perkembangan selanjutnya, muncul LSM-LSM yang kegiatannya mengarah kepada advokasi (pemberdayaan dan pembelaan atas hak-hak masyarakat) dan lingkungan hidup. Pada perkembangan terakhir muncul LSM-LSM yang kegiatannya mengikuti LSM sebelumnya dan juga bertindak untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan sesaat dan mungkin saja akan tidak muncul lagi jika program sudah selesai atau jika dana sudah habis.

Kelahiran LSM-LSM di Indonesia sangat tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan lembaga donor internasional dan LSM-LSM internasional. Kelahiran LSM pada umumnya mula-mula lahir di kota-kota besar, pertama di Jakarta dan baru kemudian di kota-kota lainnya. Kelahiran LSM di daerah juga dapat dipengaruhi oleh lembaga donor Internasional atau juga oleh perkembangan LSM pusat yang ingin mengepakkan sayap ke daerah.

38

David Korten, seorang aktivis dan pengamat LSM, mengemukakan ada empat generasi berdasarkan strategi yang dipilihnya.

39

37

Muhammad Budairi, Masyarakat Sipil dan Demokrasi, 2002, Jakarta: E-Law Indonesia, hlm. 70

38

Ibid

39

David Korten dalam Zaim Saidi, Secangkir Kopi Maxhavelar, LSM dan Kebangkitan Masyarakat, 1995, Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama.


(35)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan masyarakat. Pendekatannya adalah derma, dengan usaha untuk memenuhi sesuatu yang kurang dalam masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan, makanan, pendidikan, dan sebagainya. Generasi kedua, memusatkan perhatiannya ada upaya agar LSM dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Peran LSM disini bukan sebagai pelaku langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya adalah proyek pengembangan masyarakat dengan membantu masyarakat memecahkan masalah mereka misalnya program-program peningkatan pendapatan, industri kerajinan, pertanian, dan lainnya.

Generasi ketiga, memiliki pandangan yang lebih dalam. Keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai akibat dari masalah regional atau nasional. Untuk memperbaikinya harus dilakukan dengan melakukan peruabahan struktural yaitu kebijakan pemerintah. Generasi keempat adalah LSM yang termasuk bagian dari masyarakat. Generasi ini berusaha agar ada transformasi struktur sosial dalam masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan. Dalam hal ini dibutuhkan keterlibatan penduduk dunia.

Dalam Buku Agenda LSM menyongsong Tahun 2000, M.M. Billah sebagaimana di kutip Muhammad Budairi, mempersepsikan LSM sebagai:

1. LSM sebagai bagian integral dari pemerintah.

2. LSM sebagai mediator antara pemerintah dengan masyarakat.

3. LSM yang secara tegas menyatakan memihak rakyat dalam berhadapan dengan negara.


(36)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

4. LSM yang melebur dan menyatu dengan rakyat.40

UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 dalam penjelasannya menyatakan bahwa lembaga sosial yang dimaksud dalam UU ini ialah lembaga atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum.41

LSM merupakan mediator pemerintah dan masyarakat, dalam hal ini UU PKDRT memberikan kesempatan kepada LSM untuk bekerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya untuk mengurangi tingkat kekerasan dalam rumah tangga. LSM menyatu dengan masyarakat dalam berhadapan dengan negara dapat terjadi ketika lembaga sosial membantu masyarakat korban kekerasan dalam rumah tangga memperjuangkan hak. LSM menyatu dengan masyarakat ketika lembaga sosial turut merasakan penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga menuntut lahirnya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 dan membuka diri untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga tanpa memandang status sosial dan dengan menggunakan semboyan ”bantuan hukum non profit oriented atau prodeo”.

Berdasarkan persepsi M.M Billah, karakateristik lembaga sosial yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga dapat memenuhi beberapa persepsi LSM yang diberikannya. Hanya saja ada lembaga independen yang didirikan pemerintah yang bergerak dalam bidang sosial misalnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Nasional lanjut usia, dan lain sebagainya.

40

M.M. Billah dalam Muhammad Budairi, op. cit., hlm. 90 41


(37)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

G. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode penelitian yang digunakan

Metode yang akan dipergunakan dalam penelitian menggunakan metode gabungan antara pendekatan yang bersifat normatif (legal research) dan pendekatan yang bersifat empiris (juridis sosiologis). Dalam hal ini, penulis menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif untuk meneliti asas-asas hukum dan meneliti bagaimana pengaturan lembaga sosial dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif tertulis), buku-buku, majalah-majalah hukum, artikel dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini. Melalui metode pendekatan yang bersifat empiris, penulis berusaha mendapatkan data primer mengenai bagaimana peranan lembaga sosial dalam memberikan pelindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Jenis penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipe/jenis penelitian eksploratis yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai peran lembaga sosial dalam memberikan pelindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Medan. Lokasi ini dipilih karena LBH-APIK merupakan salah satu lembaga sosial yang peduli terhadap masalah


(38)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

kekerasan dalam rumah tangga yang berkantor pusat di Jakarta dan berkantor cabang di Medan.

4. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan penulis ialah dengan cara: A. Studi kepustakaan, sumber data diperoleh dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a. norma/kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; b. peraturan dasar, yaitu batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945;

c. peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional yang berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti: RUU, hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

3. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia, dan sebagainya.

B. Wawancara, hal ini dilakukan penulis terhadap orang yang bekerja di LBH-APIK Medan mengenai peran LBH tersebut, fungsi pemberian perlindungan hukum, cara dan sitem kerja dan hal-hal lain yang penting dan berkaitan dengan judul tulisan penulis.


(39)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

C. Observasi, hal ini dilakukan penulis dengan melakukan pengamatan langsung di LBH-APIK Medan bagaimana LBH tersebut mengerjakan peran mereka.

5. Analisis data

Pengolahan dan analisis data, dilakukan peneliti terhadap data yang diperoleh peneliti dengan menggunakan analisis kualitatif.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Tulisan yang berjudul ”Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi di LBH-APIK Medan) terdiri dari enam BAB yang pokok pembahasannya berupa:

BAB I Pendahuluan, penulis menguraikan latar belakang penulis memilih judul dan fokus permasalahan yang akan di bahas pada pembahasan selanjutnya. Dalam pembahasan ini, penulis juga membuat suatu tinjauan kepustakaan yang memudahkan pembaca mengerti pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini.

BAB II Pengaturan Lembaga Sosial terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga, penulis menguraikan hukum positif tertulis yang mengatur mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan secara khusus pengaturan yang memberikan kesempatan kepada lembaga sosial untuk berperan memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

BAB III Peranan Lembaga Sosial dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, penulis menguraikan


(40)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

fungsi, manfaat dan tujuan pemberian perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga serta cara/sistem kerja lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.

BAB IV Kendala dan Upaya Mengatasi Kendala dalam Pemberian Perlindungan Hukum oleh Lembaga Sosial, penulis menguraikan kendala-kendala yang dihadapi lembaga sosial dalam mengerjakan perannya secara khusus dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi upaya yang dihadapi tersebut.

BAB V Penutup, penulis menguraikan kesimpulan penulis terhadap permasalahan yang diangkat berdasarkan data-data yang ada serta saran untuk memaksimalkan peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.


(41)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

BAB II

PENGATURAN LEMBAGA SOSIAL DALAM

MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP

KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Dalam konstitusi negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat) bukan Negara Kekuasaan (Machtsstaat).42 Di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. 43

Negara hukum berarti semua warga negara baik masyarakat maupun pemerintah harus tunduk dan taat pada hukum yang berarti seluruh perilaku masyarakat harus sesuai dengan dan/atau dilindungi oleh hukum. Sama halnya dengan lembaga sosial yang peduli terhadap kekerasan dalam rumah tangga dalam

42

Pasal 1 ayat 3 UUD RI 1945, lihat juga penjelasan UUD RI 1945 bagian Sistem Pemerintahan Negara.

43

Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 69.


(42)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

bertindak dan/atau melakukan suatu upaya terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga harus sesuai dengan dan/atau dilindungi oleh hukum.

Landasan juridis lembaga sosial dalam bertindak dan/atau melakukan upaya perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yaitu :

1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

2. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT

3. Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 4. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Komisi Nasional Anti

Kekerasan terhadap Perempuan

A. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT diundangkan tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95. Fokus UU PKDRT ini ialah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.44

44

Penjelasan UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 bagian umum.

Pasal 3 UU PKDRT menyebutkan :

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas :


(43)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

a. penghormatan hak asasi manusia; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. nondiskriminasi; dan

d. perlindungan korban.

Pasal 4 UU PKDRT menyebutkan :

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan : a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan

d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dalam melakukan upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, UU PKDRT mewajibkan beberapa pihak untuk melakukan kerjasama supaya lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan rumah tangga yang diarahkan kepada keutuhan dan kerukunan rumah tangga.45

Dalam upaya pencegahan korban kekerasan dalam rumah tangga, lembaga sosial bekerjasama dengan pemerintah dalam hal menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan

Para pihak tersebut ialah aparat pemerintah, pekerja sosial, advokat, relawan pendamping, pembimbing rohani, lembaga sosial, dan/atau pihak lainnya. Lembaga sosial merupakan salah satu pihak yang diwajibkan untuk melakukan kerjasama dengan pihak/lembaga lainnya dalam mewujudkan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dalam tiap upaya yang terdapat di UU PKDRT.

45


(44)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender (oleh pemerintah).46

b. dengan Kepolisian dalam hal memberikan perlindungan sementara;

Dalam rangka melakukan upaya pencegahan terjadinya korban kekerasan dalam rumah tangga, pasal 15 UU PKDRT menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (termasuk lembaga sosial) wajib melakukan upaya sesuai dengan batas dan kemampuannya untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada pengadilan.

Lembaga sosial dalam melakukan upaya perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, mengacu kepada pasal 3 dan pasal 4 UU PKDRT mengenai asas dan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga serta pasal 10 angka (1) UU PKDRT yaitu korban kekerasan dalam rumah tangga berhak mendapat perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Sebagai salah satu pihak pemberi perlindungan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga, lembaga sosial wajib dan harus melakukan kerja sama dengan pihak/lembaga lainnya, misalnya :

47

46

Pasal 12 jo pasal 14 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 47


(45)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

c. dengan tenaga kesehatan untuk memeriksa kesehatan korban dan meminta surat keterangan medis hasil pemeriksaan;48

d. dengan pekerja sosial melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapat perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, mengantarkan korban ke rumah aman (shelter) milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat;49

e. dengan relawan pendamping untuk menginformasikan korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping, mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan membimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya, memberikan rasa aman kepada korban dengan pendampingan, memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban;50

f. dengan pembimbing rohani untuk memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban;51

g. dengan advokat dalam memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan, dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang

48

Pasal 21 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 49

Pasal 22 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 50

Pasal 23 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 51


(46)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya;52

h. dengan pengadilan dalam hal pengadilan memberikan tambahan satu atau lebih perintah perlindungan dan/atau satu atau lebih kondisi dalam perintah perlindungan yang mempertimbangkan keterangan pihak lainnya termasuk lembaga sosial.53

Dalam hal melakukan upaya pemulihan korban kekerasand dalam rumah tangga, UU PKDRT tidak mengatur secara rinci mengenai penyelenggaraan dan kerjasamapemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.54

52

Pasal 25 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 53

Pasal 33 jo Pasal 34 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 54

Pasal 43 UU PKDRT No. 23 Tahun 2004

Pengaturan lebih rinci mengenai hal ini di atur dalam PPRI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan KerjasamaPemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.

B. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

PPRI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan KerjasamaPemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut dengan PP PKPKKDRT berlaku sejak 13 Pebruari 2006 setelah diundangkan dalam Lembaran Negara RI No. 15 Tahun 2006 yang merupakan amanat pasal 43 UU PKDRT.


(47)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban ialah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya baik secara fisik maupun psikis.55 Penyelenggaraan pemulihan ialah segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan korban KDRT.56

1. ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian;

Pasal 2 ayat 1 PP PKPKKDRT menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Hal yang sama disebutkan dalam pasal 19 PP RI ini yang menyebutkan ”untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk berperan dalam melakukan upaya pemulihan korban KDRT.

Fasilitas yang dapat digunakan untuk penyelenggaraan pemulihan korban KDRT meliputi :

2. tenaga yang ahli dan profesional; 3. pusat pelayanan dan rumah aman; dan

4. sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.57

55

Pasal 1 angka 1 PP PKPKKDRT No. 4 Tahun 2006 56

Pasal 1 angka 2 PP PKPKKDRT No. 4 Tahun 2006 57

Pasal 2 ayat 1 PP PKPKKDRT No. 4 Tahun 2006


(48)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Pasal 4 PP PKPKDRT menyebutkan:

”Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi : a. pelayanan kesehatan;

b. pendampingan korban; c. konseling;

d. bimbingan rohani; dan e. resosialisasi.”

Secara tersurat, lembaga sosial melaksanakan resosialisasi korban bersama dengan instansi sosial (instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang ruang lingkup tugasnya menangani urusan sosial) yang bertujuan agar korban kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat.58

Sebelum korban KDRT dikembalikan ke masyarakat (resosialisasi), lembaga sosial melakukan pendampingan terhadap korban dengan cara berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak lain (tenaga kesehatan, pembimbing rohani, advokat, psikolog, pekerja sosial, relawan pendamping, lembaga sosial

Tetapi Lembaga sosial dapat melakukan lebih dari upaya resosialisasi, misalnya dengan menyediakan tenaga ahli dan profesional, pusat pelayanan dan rumah aman, sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban misalnya ruangan konseling pribadi, ruang perawatan. Selain itu, lembaga sosial juga melakukan upaya pendampingan terhadap korban yaitu segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

58


(49)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

lainnya, dan lainnya) agar korban KDRT mampu untuk bersosialisasi dengan masyarakat.

C. Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disebut dengan UU PSK berlaku sejak tanggal 11 Agustus 2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara RI No. 64 Tahun 2006. Pokok materi UU PSK ini meliputi perlindungan dan hak saksi dan korban, lembaga perlindungan saksi dan korban, syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan, serta ketentuan pidana.

RUU PSK ini pertama kali di usulkan oleh pemerintah tahun 2002, setelah perjuangan yang lama akhirnya pada tahun 2005 DPR-RI memberikan usulan RUU PSK kepada pemerintah.59 Presiden menyambut baik dan sangat menghargai pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang disampaikan oleh Ketua DPR-RI kepada Presiden RI dengan Surat Nomor: RU.02/4428/DPR-RI/ 2005, tanggal 30 Juni 2005, untuk dibicarakan dengan Presiden dalam sidang DPR guna mendapatkan persetujuan bersama. Pembentukan UU ini membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun dengan perubahan seperlunya terhadap materi yang diusulkan oleh DPR kepada pemerintah.60

59

15 April 2008. 60


(50)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

UU PSK ini dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban dalam proses pemeriksaan di pengadilan sehingga membutuhkan perlindungan yang efektif, profesional, dan proporsional terhadap saksi dan korban.

Perlindungan saksi dan korban dilakukan berdasarkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian hukum. Perlindungan saksi dan korban berlaku pada semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman pada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

Perlindungan saksi dan korban juga dilakukan karena adanya hak-hak seorang saksi dan korban yang harus dilindungi seperti:61

61

Pasal 5 UU PSK No. 13 Tahun 2006

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;


(51)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

i. mendapat identitas baru;

j. mendapatkan tempat kediaman baru;

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum;

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau

n. bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dalam hal saksi dan korban mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang berat.62

Undang-undang ini memperkenalkan satu lembaga independen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan membuat laporan pelaksanaan tugas secara berkala kepada DPR RI yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disebut sebagai LPSK yaitu lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan korban.63 LPSK berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan kebutuhan.64 Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).65 LPSK harus sudah terbentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) tahun setelah undang-undang ini diundangkan.66

62

Pasal 6 UU PSK No. 13 Tahun 2006 63

Pasal 1 angka 3 jo pasal 12 UU PSK No. 13 Tahun 2006 64

Pasal 11 UU PSK No. 13 Tahun 2006 65

Pasal 27 UU PSK No. 13 Tahun 2006 66

Pasal 45 UU PSK No. 13 Tahun 2006

Undang-undang PSK menyebutkan bahwa untuk proses pemilihan dan pembentukan LPSK diatur dalam Peraturan Presiden. Peraturan Presiden ini dikeluarkan tanggal 31 Maret 2007 dengan No.13 Tahun 2007 tentang Susunan


(52)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Panitia Seleksi, Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota LPSK.

Anggota LPSK ini terdiri dari tujuh orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat.67 Syarat menjadi anggota LPSK ialah tidak pernah dipidana yang ancaman pidananya lima tahun, berusia 40-65 tahun, berpendidikan S-1, berpengalaman di bidang hukum dan HAM paling singkat 10 tahun, dan memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela.68

1. panitia seleksi melakukan seleksi administratif dan seleksi kualifikasi serta integritas moral terhadap nama-nama calon anggota LPSK untuk mendapatkan 21 (dua puluh satu) orang;

Berdasarkan UU PSK No. 13 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2007 tentang Susunan Panitia Seleksi, Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota LPSK menyebutkan bahwa penyeleksian calon anggota LPSK melalui tiga tahap yaitu :

69

2. panitia seleksi mengajukan nama-nama calon anggota LPSK yang telah lulus seleksi pertama kepada Presiden untuk dipilih sebanyak 14 (empat belas) orang calon anggota LPSK yang akan diajukan kepada Dewan

67

Pasal 14 UU PSK No. 13 Tahun 2006 68

Pasal 23 UU PSK No. 13 Tahun 2006 jo Pasal 3 Perpres No. 13 Tahun 2007 69

Pasal 20 ayat (1) UU PSK No. 13 Tahun 2006 jo Pasal 5 jo Pasal 7 ayat (1) Perpres No. 13 Tahun 2007


(53)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan setelah melakukan uji kelayakan dan kemampuan;70

3. Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon yang diajukan oleh Presiden.71

Berdasarkan perintah undang-undang, LPSK seharusnya sudah terbentuk tanggal 11 Agustus 2007 yang terdiri dari tujuh orang anggota, tetapi pada kenyataannya proses penyeleksian calon anggota LPSK belum selesai sampai sekarang. Panitia seleksi yang diketuai oleh Harkristuti Harkrisnowo masih melakukan tahap penyeleksian yang pertama. Sekarang sudah ada 21 (dua puluh satu) nama calon anggota LPSK yang diajukan panitia kepada Presiden yang berasal dari berbagai profesi.

Tabel 2.1

Nama-Nama Calon Anggota LPSK yang Lulus

Seleksi Administratif dan Seleksi Kualifikasi serta Integritas Moral

N O

NAMA ALAMAT PROFES

I

1 S. Sugiyanto Jl. Al-Falah Kampung Kecil Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, DKI Jakarta

Purn. POLRI 2 MM. Bilah Jl. Cempaka Jaya 21 Jatiwaringin Pondok

Gede, Bekasi, Jawa Barat

LSM 3 Abdul Haris

Semendawai

Perumahan Villa Tanah Baru Blok D2 RT. 01/11 Tanah Baru Beji, Depok, Jawa Barat

LSM

4 Made Darma Weda

Gema Pesona Estate Blok K-15, Jl. Tole Iskandar, Depok, Jawa Barat

Dosen 5 Siti Roswati

Handayani

Dusun Tegal Sari RT. 04/17 Kec. Berbah, Kab. Sleman, DI Yogyakarta

Ombudsm an Daerah 6 La Ode Ronald

Friman

Jl. Camar 24 Blok AY-15 Bintaro Jaya Sektor 3 Tangerang, Banten

Advokat

70

Pasal 20 ayat (2) UU PSK No. 13 Tahun 2006 jo Pasal 7 ayat (2) Perpres No. 13 Tahun 2007

71


(54)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

7 Akhmad

Taufik

Jl. Kebon Pala I/79 RT. 004/013, Tanah Abang, Jakarta Pusat, DKI Jakarta

Jurnalis 8 H. Teguh

Soedarsono

Komplek POLRI Pondok Karya Blok H-13 Pela Mampang, Jakarta Selatan, DKI Jakarta

POLRI

9 Myra Diarsi Pengadengan Barat V No. 2 RT 011/07, Jakarta Selatan, DKI Jakarta

LSM 10 Christina

Widiantarti

Jl. Bunga Belakang II No. 3 RT. 09/09, Matraman, Jakarta Timur, DKI Jakarta

Advokat 11 I Ktut

Sudiharsa

Jl. YRS IA No.2 Kompleks Departemen Sosial Kel. Bintaro, Kec. Pesanggrahan, Jakarta Selatan, DKI Jakarta

POLRI

12 Irawati Harsono

Jl. Kebon Kopi b4 Pondok Betung, Pondok Aren, Tangerang, Banten

Dosen 13 Yoostha

Silalahi

Kompleks Imigrasi Kertapawitan No. 11 RT. 001/04, Jl. Daan Mogot Km. 14, Kel. Cengkareng, Jakarta Barat, DKI Jakarta

Pens. PNS

14 Lies Sulistiani Kompleks Taman Rahayu 2 Blok C-2 No. 4, Bandung, Jawa Barat

Dosen 15 Ruswiati

Suryasaputra

Darmo Permai Timur II/14, Surabaya, Jawa Timur

Dosen 16 Muh. Yahya

Sibe

Jl. Ketapang No. 16 Kav. 5A RT. 002 RW 010 Perumahan Ketapang Indah Jati Padang Pejaten Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta

Pens. PNS Kejaksaan

17 Lili Pintauli Jl. Bajak IV No. 29-D Lk. VII, Harjosari II, Kec. Medan Amplas, Medan, Sumatera Utara

Advokat

18 Carolus Irawan Saptono

Kompleks Mediterania Regency Cikunir Blok A/16, Bekasi, Jawa Barat

LSM 19 Dionisius

Prihamangku Setiohadi

Jl. Salemba Bluntas C-222 RT. 007/008 Paseban, Kec. Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta

Guru

20 RM. Shindu Krishno

Depok Maharadja, Blok I No. 1 RT. 04 RW. 14, Kel. Rangkepanjaya, Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat

Pens. PNS

21 SA. Supardi RT. 011 RW. 006, Kel. Cipinang Melayu, kec. Makasar, Jawa Timur, DKI Jakarta

Pens. POLRI

Sumber : Panitia Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota LPSK72

Keberadaan LPSK nantinya tidak cukup untuk memberikan perlindungan kepada semua saksi dan korban kejahatan yang mengajukan permohonan. LPSK

72


(1)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Sikap pelaku kekerasan yang melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama antara korban, pelaku, keluarga, dan/atau lembaga sosial menjadi kendala bagi lembaga sosial untuk mengerjakan peran yang dimilikinya. Pandangan masyarakat secara khusus laki-laki yang tidak percaya kepada lembaga sosial, anggapan masyarakat bahwa lembaga sosial mengajari perempuan untuk melawan suami, dan instansi lain seperti pengadilan dan kejaksaan yang sulit untuk bekerjasama menjadi adalah alasan-alasan eksternal yang menghambat lembaga sosial untuk mewujudkan tercapainya tujuan penghapusan KDRT

Untuk mengatasi kendala yang dihadapi lembaga sosial baik internal maupun eksternal, lembaga sosial melakukan beberapa tindakan untuk mengatasinya. Upaya-upaya mengatasi kendala tersebut lebih bersifat kondisional, maksudnya berdasarkan kasus yang terjadi.

Untuk mengatasi kendala yang berasal dari dalam lembaga ialah memperluas jaringan kerjasama dengan lembaga donor atau lembaga sosial lainnya, menanamkan visi perjuangan kaum feminis kepada aktivis-aktivis muda dan menantang untuk berkorban demi kepentingan korban.

Untuk mengatasi kendala dari luar lembaga ialah memberi ketegasan kepada korban untuk melakukan dan memilih pilihan yang baik menurutnya dan melakukan pilihan tersebut, memberdayakan korban dengan menumbuhkan rasa percaya diri kepada korban dan keberanian untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya, memperkenalkan lembaga kepada masyarakat dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga.


(2)

B. SARAN

Peranan lembaga sosial dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT sangat besar. Untuk itu, lembaga membutuhkan kerjasama yang baik dari semua pihak yang terkait, termasuklah keluarga korban dan masyarakat luas. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga sosial sebagai partner melindungi hak asasi manusia merupakan motivator bagi keberhasilan kinerja lembaga sosial.

Keberadaan lembaga sosial yang peduli terhadap kasus KDRT masih sedikit, sedangkan masyarakat yang tidak mengetahui hak asasinya dan masyarakat yang menumbuhkembangkan kekerasan dalam rumah tangga sangat banyak, untuk itu sangat dibutuhkan kehadiran lembaga-lembaga sosial baru yang peduli terhadap masalah KDRT.

Sebagai masyarakat yang sudah mengetahui hak asasi manusia, peraturan bentuk-bentuk kekerasan dan cara pencegahan terjadinya kekerasan, ikut sertalah dalam mensosialisasikan hal tersebut kepada masyarakat yang tidak mengetahui hal tersebut.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) ialah fakultas hukum pertama di Indonesia yang memiliki lembaga convention watch yang merupakan pemerhati pelaksanaan konvensi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Salah satu kegiatan lembaga convention watch ini ialah mengadvokasi masyarakat secara khusus perempuan untuk mengetahui hak asasi yang dimilikinya.

Convention watch ini juga memiliki kepedulian terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga. Lembaga convention watch FH-UI ini melakukan tugas


(3)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

tangga, mulai melakukan seminar untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, memberikan perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga.

Keefektifan LBH-APIK dan lembaga convention watch FH-UI dalam memberikan perlindungan korban layak dijadikan alasan bagi pembentukan lembaga convention watch di fakultas-fakultas hukum Perguruan Tinggi lainnya yang ada di Indonesia. Dengan adanya lembaga ini, selain melibatkan dan memberdayakan mahasiswa fakultas hukum yang membuka pemikiran mahasiswa terhadap konkretisasi ilmu yang dipelajari juga menegasikan anggapan masyarakat bahwa kalangan akademis kurang berdampak bagi masyarakat.

Penulis menyarankan agar Lembaga Bantuan Hukum Fakultas Hukum USU yang sudah lama vakum kembali di aktifkan dengan memberikan/ memperbaharui visi dan misinya serta memberikan karakter/ciri lembaga bantuan hukum tersebut. Pemberdayaan alumni, dosen/staf pengajar, mahasiswa yang peduli dalam upaya memberikan perlindungan korban menjadi satu keunggulan lembaga bantuan hukum tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arief, Barda Nawawi, 1998. beberapa Aspek Kebijkana Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Adtya Bakti.

_____ , 2001. Masalah Kebijakan Hukum dan Kebijakan Penganggulangan Kejahatan, Bandung: Citra Adtya Bakti.

Asshidiqie, Jimly, 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Budairi, Muhammad, 2002. Masyarakat Sipil dan Demokrasi, Jakarta: E-Law Indonesia.

Campbell Black, Henry, 1983. Black’s Law Dictionary, with pronounciation, fifth edition, St. Paul Minn West Publishing Co., USA.

Elimina Martha, Aroma, 2003. Perempuan, Kekuasaan dan Hukum, Jogjakarta: UII Press.

El Saadawi,Nawal, 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Rajawali Press.

Fakih, Mansour, 2004. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Pergolakan Ideologi LSM Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lilik Mulyadi, 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi, dan Victimologi, Jakarta: Djambatan.

Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Kansil, C.S.T., 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.


(5)

Juppa Marolob Haloho : Peranan Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban

Rambe, Ropaun, 2001. Teknik Praktek Advokat, Jakarta: PT Gramedia Wiasarana Indonesia.

Saidi, Zaim, 1995. Secangkir Kopi Maxhavelar, LSM dan Kebangkitan Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia Putaka Utama.

Sinulingga, Risnawaty, 2006. Pendidikan Agama Kristen, Medan: Pustaka Bangsa Press.

Sudiarti Luhulima, Achie (Ed.), 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: PT Alumni. Tapi Omas Ihromi, dkk. (Ed), 2006. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita,

Bandung: PT Alumni.

Winarta, Frans Hendra, 2000. Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Ketentuan Acara Pidana

Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Rancangan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban usulan pemerintah tahun 2002

Rancangan Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban usulan DPR 2005

Home Page


(6)

www.google.com www.hukumonline.com www.komisihukum.go.id


Dokumen yang terkait

Pengaruh Iklan Televisi Terhadap Perilaku Rumah Tangga Dalam Penggunaan Monosodium Glutamat di Kelurahan Sei Agul Kecamatan Medan Barat Kotamadya Medan Tahun 2002

1 39 72

Partisipasi Ibu Rumah Tangga dalam Mewujudkan Program Medan Green and Clean (MdGC) Melalui Pengelolaan Bank Sampah di Lingkungan II Kelurahan Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Tahun 2012

4 108 164

Tinjauan Hukum Terhadap Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Putusan Pengadilan Negeri Medan No.1345/Pid. B/2010/PN/Medan)

0 66 146

Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kelurahan Durian Kecamatan Medan Timur Kota Medan

10 114 91

Implementasi Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga di Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang

0 41 88

Persepsi Masyarakat tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga Selama Kehamilan di Lingkungan 03 Kelurahan 2 Kecamatan Medan Belawan

0 35 85

Penelantaran Istri Oleh Suami Sebagai Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Penerapan Hukumnya (Studi Kasus No: 378/Pid.B/2007/PN-Medan) dan (STUDI KASUS No: 1921/Pid.B/2005/PN-Medan)

1 44 93

Advokasi Sosial Untuk Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di LBH Apik Jakarta

4 66 182

PDAL PERANAN LEMBAGA SOSIAL RIFKA ANNISA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN BAGI ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

0 3 11

PENDAHULUAN PERANAN LEMBAGA SOSIAL RIFKA ANNISA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN BAGI ISTRI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.

0 4 16