Penyembahan Roh Leluhur di Jepang

30 Tahapan untuk menjadi hotoke adalah acara kematian, acara ke 7 hari, acara ke 49 hari, acara 100 hari, acara isshuki 1 tahun, sankaiki ke 3 tahun, nanakaiki ke 7 tahun, juusankaiki ke13 tahun, juunanakaiki ke 17 tahun, nijuusankaiki ke 23 tahun, dan sanjusankaiki ke 33 tahun Tsuboi dalam Situmorang 2009: 49 Setelah menjadi sonsen, tidak perlu lagi diadakan upacara khusus, karena roh tersebut sudah masuk kedalam senzodaidai kelompok nenk moyang. Roh tersebut dianggap pergi ke gunung dan dari sanalah mereka mengawasi anak dan cucunya. Kemudian di waktu-waktu tertentu misalnya pada waktu obon, tahun baru, dan roh leluhur tersebut dipercaya datang berkunjung ke rumah anak cucunya. Senzo roh nenek moyang adalah ubusunagami dewa daerah. Roh dalam kondisi ini berada dalam keadaan suci dan kondisi tenang. Kemudian dalam kondisi ini dipercaya roh akan lahir kembali sebagai roh anak cucunya. Oleh sebab itu di Jepang jika anak yang baru lahir sering kali diberi nama yang sama dengan nama kakeknya. Namun terkadang masyarakat tradisional Jepang juga memilih nama untuk anak melalui orang yang terhormat seperti pendeta budha dan shinto, memilih nama dengan cara omikuji kertas digulung dari kuil shinto, atau dengan mencocokkan nama dengan situasi sewaktu anak dilahirkan.

2.3 Penyembahan Roh Leluhur di Jepang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyembahan berarti 1 proses, cara, perbuatan menyembah; 2 pemujaan, sedangkan roh berarti 1 sesuatu unsur Universitas Sumatera Utara 31 yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup kehidupan; nyawa. Roh manusia pada saat berada di dunia ini dan pada waktu berada di dunia ini dan pada waktu berada di dunia kematian dipercaya mengalami proses perubahan tsuka. Tsoboi Yobumi mengatakan bahwa perubahan tersebut dapat dibagi dua yaitu perubahan dari masa kelahiran hingga mati dan dari kematian sampai ke sorei atau leluhur. Situmorang 2006: 44 Pandangan roh orang Jepang dipengaruhi kepercayaan Shinto dan Buddha. Pandangan roh orang Jepang berhubungan dengan dunia sana dunia setelah mati. Pada waktu manusia lahir rohnya datang dari leluhurnya. Dan pada waktu meninggal rohnya akan kembali ke senzodaidai generasi leluhur Situmorang 2009: 41 Menurut Lawanda 2004: 23 esensi hubungan interaksi orang Jepang ada dua sistem keyakinan, yaitu berdasarkan ikatan darah sebagai ikatan komunitas yang dekat dan tanpa hubungan darah, diadopsi oleh individu atau pilihan kelompok yang bersifat kompleks, berlapis-lapis dan sinkretik. Pola keyakinan berdasarkan pada kekerabatan agama asli yang berpusat pada penyembahan leluhur mengacu pada agama asli yang berpusat pada penyembahan leluhur mengacu pada shinto dan bercampur dengan berbagai agama, seperti konfusianisme, buddisme dan taoisme. Pemujaan leluhur ini menurut Bellah adalah merupakan religi keluarga yang sangat umum di Jepang. Di mana setiap keluarga memiliki dua objek pemujaan yaitu altar shinto dan budha. Upacara singkat akan selalu dilakukan diwaktu pagi dan juga sore hari dengan cara menghidupkan lampu dan Universitas Sumatera Utara 32 mempersembahkan sejumlah makanan. Hal ini merupakan cara untuk terus menerus mengingatkan arti suci garis leluhur dan tanggung jawab semua anggota keluarga terhadapnya. Motori Norinaga dalam Bellah 1985: 110 Pemujaan leluhur merupakan serangkaian ritual yang dilakukan dengan cara memberikan persembahan berupa barang sesajen atau doa sebagai wujud dari penghormatan para keturunan kepada leluhur. Pemujaan leluhur ini dilakukan karena pengaruh ajaran budha mengenai faham reinkarnasi, tujuannya supaya kelak roh orang yang meninggal tersebut ketika lahir kembali akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan pengaruh dari ajaran shinto yang mempercayai bahwa arwah orang yang telah meninggal dapat memenuhi keinginan ataupun kebutuhan serta menjaga para keturunannya, dalam hal ini apabila penyembahan- penyembahan dilakukan, sebaliknya apabila penyembahan-penyembahan tidak dilakukan maka arwah tersebut akan menjadi roh gentayangan yang berpotensi mendatangkan bahaya dan mengganggu keturunannya. Pemujaan menurut shinto terdiri dari tiga macam, yaitu penghormatan, sesajen, dan doa. Sebelum melakukan hal tersebut setiap orang harus membersihkan diri, terdiri dari: a. Harai pengusir roh jahat yang dilakukan oleh pendeta b. Misogi pembersihan diri yang dilakukan dengan air atau garam c. Imi pantangan dilakukan oleh pendeta, karena merupakan usaha untuk menghindarkan kekotoran, antaranya dengan jalan berpantang Rosidi 1981: 83 Universitas Sumatera Utara 33 Stratifikasi masyarakat Jepang terbentuk atas klen, desa, dozoku dan Ie. Setiap kelompok masyarakat memiliki leluhur pertama. Leluhur pertama dianggap sebagai pencipta dan leluhur selanjutnya selalu dipuja karena menjadi sumber kehidupan dan rahmat dari penerus setiap kelompok. Leluhur dipuja melalui keyakinan yang berasal dari pengaruh budha, bahwa setiap orang yang meninggal akan menjadi dewa setelah 33 tahun kematian Yanagita, Hori dalam Lawanda 2004: 23 Penyembahan-penyembahan dalam pemujaan leluhur selama 33 tahun atau 49 tahun adalah suatu usaha yang membutuhkan kesinambungan orang yang melaksanakan penyembahan tersebut. Maka yang bertanggung jawab atas kesinambungan pemujaan leluhur tersebut adalah Ie. Ariga dalam Situmorang 2006: 33 mengatakan bahwa butsudan dan kamidana di dalam rumah berfungsi sebagai acara pemujaan yang terikat dengan Ie, ini mempunyai tanggung jawab pemujaan leluhur oleh kepala keluarga. Ito Kenji mengatakan, Ie adalah tempat tingal roh nenek moyang, kalau dikatakan orang-orang kembali kembali ke Ie berarti adalah meminta perlindungan pada leluhur. Kemudian kepala keluarga dalam memimpin Ie adalah merupakan kewajiban kepada leluhur, atau anggota keluarga mengikuti kepala keluarga berarti mengkuti, melayani roh leluhur. Situmorang 2006: 34 Begitu pula dengan roh anak-anak, roh anak yang meninggal tetap disembah di dalam rumah-rumah orang Jepang yang memiliki anak atau bayi yang meninggal. Dan diperlakukan tidak jauh berdebda dengan orang dewasa yang meninggal. Universitas Sumatera Utara 34 Tentang hubungan Ie dan pemujaan leluhur yang tidak dapat dipisahkan, dijelaskan oleh Aoyama adalah, pemujaan leluhur sangat melekat dengan sistem Ie, keberadaan Ie dan Ihai adalah sama. Pemikiran seperti ini ada sejak zaman Edo. Jikalau Ie tetap eksisten, maka penyembahan leluhur bisa tetap berjala. Sebaliknya Ie hancur maka penyembahan leluhur akan berhenti, oleh karena itu roh leluhur akan menjadi muenbotoke roh gentayangan dan apabila roh leluhur menjadi muenbotoke maka di percaya nasib Ie akan semakin hancur. Oleh karena itu disini kelihatan hubungan fungsional antara orang hidup dan orang mati di dalam keluarga sistem Ie. Situmorang 2006: 32 Secara umum, masyarakat Jepang percaya bahwa dunia ini terdiri dari dua dimensi, yaitu: dunia gaib dan dunia nyata. Dunia nyata adalah dunia tempat manusia hidup, sedangkan dunia gaib adalah dunia tempat manusia melanjutkan kehidupan sesudah mati. Dunia gaib ini disebut dengan alam roh. Sesuai dengan eksistensinya yang hanya berhubungan dengan manusia yang telah mati, maka alam roh ini dianggap sebagai alam yang suci, alam yang secara spritual lebih tinggi dari alam dunia nyata. Alam gaib dihuni oleh berbagai jenis makhluk. Akan tetapi secara umum bisa dikelompokkan menjadi dua jenis; kami dewa, dan roh leluhur. Manusia yang meninggal dunia, akan melalui proses penyucian yang panjang di alam gaib sebelum nantinya ia menghadap dan menjadi salah satu dari dewa itu sendiri. Jadi, orang yang meninggal sebenarnya merupakan orang yang sedang melakukan perjalanan untuk menuju sebuah tempat yang tinggi, tempat menuju kesempurnaan untuk menjadi kami dewa nenek moyang. Kaga 1992: 6 menegaskan, karena inilah pada zaman dahulu, kuburan Jepang itu sering juga Universitas Sumatera Utara 35 disebut dengan istilah yama, yang mengandung makna tempat yang tinggi dan suci. Dari keterangan di atas, bisa diambil kesimpulan tentang alasan yang membuat masyarakat Jepang begitu kaya akan upacara-upacara yang mengatas namakan pemujaan terhadap roh leluhurnya. Di samping tentunya untuk membantu perjalanan anggota keluarga tersebut menuju tempat yang tinggi, tentunya juga merupakan suatu keuntungan jika seandainya anggota keluarga sukses melakukan perjalan menuju kesempurnaan menjadi kami tersebut. Roh leluhur yang sukses menjadi kami dipercaya akan memberikan keberuntungan terhadap anak-cucunya di kemudian hari. Sedangkan roh yang tersesat karena tidak dituntun melalui upacara-upacara oleh keluarganya natinya bisa mendatangkan kesialan terhadap anak-cucunya tersebut. Oleh karena itu, jika seorang anggota keluarga mati, maka pihak keluarga akan melakukan beberapa prosesi ritual sebagai berikut; a pra pemakaman tanah, b pasca pemakaman tanah. a. Pra Pemakaman Tanah Setelah proses kremasi dilakukan. Abu jenazah akan disemayamkan di rumah keluarga selama 49 hari. Selama itu, setiap hari ke tujuh selama tujuh kali diadakan upacara pemujaan terhadap roh anggota keluarga yang baru meninggal tersebut serta roh leluhur. Waktu tujuh hari ke tujuh dan dilaksanakan sebanyak tujuh kali tersebut dipercaya sebagai waktu kunjungan roh nenek moyang sebelum jenazah baru dikuburkan. Untuk menyambut itulah, makanya upacara pemujaan Universitas Sumatera Utara 36 dilaksanakan. Setelah sampai 49 hari, abu jenazah tersebut kemudian dikuburkan ke dalam pemakaman keluarga. b. Pasca Pemakaman Tanah Setelah abu jenazah disemayamkan dan dibekali dengan beberapa kali ritual roh, abu jenazah disemayamkan di makam keluarga. Akan tetapi, bukan berarti prosesi atau upacara yang mesti dilakukan pihak keluarga yang tinggal telah berakhir. Dalam keluarga yang menganut sistem tradisional, harus membuat altar pemujaan roh di rumah, dan melanjutkan ritual pemujaan roh di rumah. Waktu-waktu upacaranya adalah hari ke-100, setahun, tiga tahun, terakhir 33 tahun. Upacara pada tahun ke-33 adalah upacara pamungkas. Setelah upacara tersebut, roh yang meninggal dipercaya sudah berada di tempat yang suci dan menjadi kami. Tinggal pihak anak-cucu menunggu berkah dan perlindungan yang akan turun dari kami tersebut. http:hendrizalman.blogspot.com201110arti- kematian-dan-pemakaman-bagi.html

2.4 Pandangan Kematian Anak – Anak di Jepang