Fungsi Patung Ojizo Dalam Masyarakat Jepang

(1)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘Alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, para sahabatnya, dan seluruh umat yang senantiasa mengikuti tauladan beliau.

Adapun skripsi ini berjudul: Fungsi Patung Ojizo Dalam Masyarakat Jepang.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapat bantuan moril maupun materil dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang,

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M. S., Ph. D., selaku Dosen Pembimbing I

yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Ibu Adriana Hasibuan, S. S, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah

bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam mengerjakan skripsi.

5. Seluruh staf pengajar dan staf pegawai Fakultas Ilmu Budaya USU, khususnya pada

Departemen Sastra Jepang yang telah berusaha memberikan yang terbaik dalam mengajarkan ilmunya kepada penulis.


(2)

6. Ayahanda Junaidi dan Ibunda Mimi Asyiah dua orang terkasih yang senantiasa memberikan segala cinta dan kasih sayang tiada henti. Terimakasih karena telah menjadi orang tua yang sangat luar biasa dalam hidupku.

7. Bang Edwin/istri, kak Defi/suami, kak Fatma/suami, dan keponakan aunty tersayang

Faiqah dan Naura yang telah menjadi penghibur bagi penulis sampai saat ini, penulis akan berusaha lebih baik lagi ke depannya dan menjadi kebanggaan kalian.

8. Nenek, ibu, om, pak uda, uda, tulang, nantulang, adik-adik dan seluruh keluargaku

yang selalu menyemangati.

9. Ibu/bapak langkat sekeluarga bang Ryan, kak Ika, kak Lia dan Gitty yang selalu

menyemangati dan selalu peduli.

10.Untuk sahabat-sahabatku Aan, Bubui, Cunuk dan para EDA terimakasih untuk canda

tawa, suka duka yang kita lewati selama ini. Semoga silahtuhrahmi tetap terjalin diantara kita, aamiin. Tetaplah menjadi gadis manis.

11.Seluruh kawan-kawan Sastra Jepang Stambuk 2010 dan bang Ardi yang telah

memberi banyak bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dan yang telah menemani penulis dalam menghadapi dunia perkuliahan sampai saat ini.

Penulis menyadari skripsi jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pembaca yang ingin mengetahui tentang fungsi patung Ojizo.

Medan, Oktober 2014

Penulis,


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang lingkup pembahasan ... 7

1.4 Tinjauan pustaka dan Kerangka teori... 7

1.5 Tujuan dan Manfaat penelitian ... 10

1.6 Metode penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MASYARAKAT JEPANG ... 13

2.1 Keluarga Jepang ... 13

2.1.1 Kazoku ... 15

2.1.2 Ie ... 18

2.2 Reinkarnasi di Jepang ... 24

... 2.2.1 Proses Reinkarnasi... 26

... 2.2.2 Akhir Proses Reinkarnasi... 27

2.3 Penyembahan Roh Leluhur di Jepang ... 30

2.4 Pandangan kematian Anak-Anak di Jepang ... 36

2.5 Ojizo dan Penyembahan realita ... 39

BAB III OJIZO DALAM MASYARAKAT JEPANG ... 43

3.1 Fungsi Patung Ojizo dalam Masyarakat Jepang ... 43


(4)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

... 4.1 Kesimpulan... 49

...4.2 Saran... 50

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(5)

ABSTRAK

Fungsi Patung Ojizo dalam Masyarakat Jepang

Jepang dikenal sebagai negara dengan tingkat perekonomian terbesar di dunia

dengan IPTEK yang pesat dan modern tapi masyarakatnya sangat menghargai budaya dan tradisi tradisi leluhur. Terbukti dengan masih banyaknya masyarakat Jepang saat ini yang masih menjalankan dan merealisasikan segala penyembahan dan ritual sehubungan dengan kepercayaan yang mereka anut.

Dewa yang dipercayai orang Jepang sangat banyak jumlahnya, dan setiap

dewa memiliki tugas dan peran masing-masing. Di Jepang, setiap manusia yang meninggal dipercaya akan menjadi roh leluhur atau dewa namun setelah mencapai jangka tahun tertentu. Dewa-dewa ini juga harus mendapatkan sesajen atau

penyembahan yang layak dalam ritualnya agar dewa dapat melindungi keluarganya

yang berada di dunia. Jika tidak mendapatkan penyembahan yang layak maka dewa-dewa ini akan menjadi roh gentayangan yang bisa mengganggu keluarga dan keturunannya.

Dari proses kelahiran hingga kematian, di Jepang selalu diadakan upacara dan

ritual. Masyarakat Jepang percaya bahwa bayi yang lahir di Jepang merupakan reinkarnasi para dewa atau leluhur mereka terdahulu. Sehingga sering nama yang diberikan untuk bayi sama dengan nama leluhur mereka.

Didasari oleh hal tersebut maka ada begitu banyak upacara atau ritual-ritual

yang diadakan di Jepang yang dipersembahkan untuk para dewa yang dilaksanakan di setiap fase. Dimana diyakini pantas untuk mengadakan upacara maupun ritual tersebut


(6)

sesuai kebutuhan mereka. Ini bertujuan untuk menjauhkan masyarakat Jepang dari musibah yang bisa mengancam keselamatan.

Salah satu dewa yang sangat berperan di Jepang adalah Ojizo, Ojizo adalah

patung Budha kecil yang biasanya ada dilereng gunung, atau berjajar dikawasan

kuil.Ojizo di Jepang sama dengan Ksitigarbha yang ada dalam ajaran Hindu India.

Ojizo ini dipercaya orang Jepang sebagai pelindung arwah anak bayi. Wajah Ojizo

pun umumnya dibuat seperti muka bayi agar lebih menyerupai anak-anak.

Ojizo adalah pelindung bayi dan anak-anak di dunia bawah (neraka), dewa pelindung yang menolong anak-anak dari setan yang datang dari neraka. Maksudnya adalah anak- anak yang meninggal sebelum dilahirkan seperti keguguran, sakit, dan

cacat. Ojizo disebutkan sebagai makhluk yang menghuni neraka dengan sosok Budha,

ia berjanji tidak akan meninggalkan neraka sampai isi neraka kosong. Beberapa anak kecil bisa dibuatkan dalam satu makam Menurut adat istiadat, anak-anak yang

meninggal mendahului orangtuanya dianggap sebuah dosa. Sehingga para Ojizo

diharapkan membantu para arwah anak-anak dan dipuja sebagai pelindung jiwa

mizuko, jiwa yang mati sewaktu dilahirka

Masyarakat Jepang percaya bahwa jiwa anak-anak yang meninggal

mendahului orangtuanya tidak dapat menyeberan

mengumpulkan perbuatan baik yang cukup banyak dan karena mereka telah membuat

orangtuanya menderita. Terkadang, patung tersebut terlihat memakai pakaian

anak-anak atau oto, celemek makan bayi, mainan, makanan ringan, buah-buahan yang


(7)

orangtua. Persembahan diberikan oleh para orang tua sebagai tanda terima kasih


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut pandangan yang popular, masyarakat dilihat sebagai kekuatan impersonal yang mempengaruhi, mengekang dan juga menentukan tingkah laku anggota-anggotanya.

Menurut Betrand dalam Wisadirana (2004: 23) masyarakat merupakan hasil dari suatu periode perubahan budaya dan akumulasi budaya. Jadi masyarakat bukan sekedar jumlah penduduk saja, melainkan sebagai suatu system yang dibentuk dari hubungan antar mereka, sehingga menampilkan suatu realita tertentu yang mempunyai ciri-ciri sendiri.

Masyarakat dan kebudayaan sebenarnya merupakan perwujudan dari perilaku manusia. Antara masyarakat dan kebudayaan dalam kehidupan nyata, keduanya tidak dapat dipisahkan dan merupakan dwi tunggal, bagaikan dua sisi mata uang (Wisadirana 2004: 24)

Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya. Dan konsep tentang kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Kontjraningrat 1976: 28)

Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009: 2-3) menjelaskan kebudayaan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan adalah seluruh cara


(9)

hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata). Ienaga menjelaskan bahwa kebudayaan ialah keseluruh hal yang bukan alamiah. Sedangkan dalam arti sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni, oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat semiotik.

Menurut Ihromi, T.O (2006: 18) Kebudayaan adalah adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.

Sehingga dapat ditarik suatu pengertian yaitu kebudayaan adalah segala hasil karya cipta dan gagasan manusia yang mengalami suatu proses adaptasi sehingga menciptakan suatu sistem dalam masyarakat, baik itu berupa ilmu pengetahuan, nilai, norma dan juga sistem kepercayaan di dalam kehidupan masyarakat.

Jepang tidak terlepas dari hal-hal yang berbau dengan kepercayaan yang sudah berlangsung lama dalam masyarakat Jepang. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo (1982:196-197), Jepang memiliki berbagai kepercayaan yang dianut oleh warga negaranya. Mulai dari kepercayaan kuno yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun maupun kepercayaan yang terus bermunculan sesuai perkembangan zaman, dan juga kepercayaan yang berasal dari luar jepang seperti Buddhisme, Taoisme dan Kristen.


(10)

Kepercayaan asli Jepang adalah Shinto. Hampir sebagian besar penduduk Jepang mempercayai Shinto. Shinto adalah gabungan dari 2 huruf kanji yang berarti Jalan Tuhan atau dewa. Dewa dalam bahasa Jepang disebut Kami. Shinto adalah kepercayaan kuno yang merupakan campuran dari Animisme dan Dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya akan kekuatan benda, alam ataupun Roh. Dalam kepercayaan Shinto juga mempercayai bahwa saat seseorang meninggal maka arwahnya menjadi Kami (dewa) dan harus dihormati. Layaknya kepercayaan yang berakar dari Animisme, Shinto sama sekali tidak memiliki ajaran khusus yang dipelajari.

Shinto juga tidak memilik kitab suci, simbol ataupun nabi sebagai penemu atau penyebar agama pertama kali, jadi Shinto lahir dan berkembang secara alami dalam masyarakat, sedangkan ajaran Shinto yang menyebutkan kaisar sebagai dewa matahari mulai muncul dan popular pada masa Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai kepercayaan resmi negara dan kaisar sebagai dewa yang hidup di dunia yang disebut dengan Kokka Shinto (Shinto Negara).

Jepang juga merupakan negara yang memiliki sistem kepercayaan politheisme yaitu melakukan penyembahan kepada Kami (dewa) yang sangat banyak. Orang Jepang juga mempercayai ajaran budha, yang mana terdapat patung Ojizo.Ojizo adalah patung Budha kecil yang biasanya ada dilereng gunung, atau berjajar dikawasan kuil. Ojizo di Jepang sama dengan Ksitigarbha yang ada dalam ajaran Hindu India.


(11)

Ojizo ini dipercaya orang Jepang sebagai pelindung arwah anak bayi.

Ojizo adalah pelindung bayi dan anak-anak di dunia bawah (neraka), dewa pelindung yang menolong anak-anak dari setan yang datang dari neraka. Maksudnya adalah anak- anak yang meninggal sebelum dilahirkan seperti

keguguran, sakit, dan cacat. Ojizo disebutkan sebagai makhluk yang menghuni

neraka dengan sosok Budha, ia berjanji tidak akan meninggalkan neraka sampai isi neraka kosong (http://www.japanese-buddhism.com/jizo-bosatsu.html # sthash.NJFl5hD1.dpuf)

Kadang kala, patung Ojizo diletakkan oleh masyarakat disertai batu-batu dan kerikil-kerikil kecil, dengan harapan agar dapat mempersingkat waktu penderitaan anak-anak di neraka. Terkadang, patung tersebut terlihat memakai pakaian anak-anak atau oto, celemek makan bayi, mainan, makanan ringan, buah-buahan yang disukai anak-anak yang diletakkan di sekitar patung sebagai tanda kedukaan para orangtua. Ini bertujuan agar anak mereka yang telah meninggal

secara khusus dapat perlindungan Ojizo. Persembahan diberikan oleh para

orangtua sebagai tanda terimakasih kepada Ojizo karena menyelamatkan anak

mereka dan melindunginya. Wajah Ojizo umumnya dibuat lebih seperti muka bayi

agar menyerupai anak-anak yang ia lindungi.

Karena ia penyelamat jiwa bayi yang menderita di neraka (dunia bawah),

maka patung Ojizo diletakkan di kuburan, di lereng gunung dan di kuil.

Di


(12)

bisa dibuatkan dalam satu makam Ojizo. Nama bayi yang meninggal ditulis di sisi kana

Mizuko (水子) secara harfiah "anak air" , adalah istilah Jepang untuk janin

yang mati atau mayat bayi. Adapula Mizuko kuyō

(

供 养

) adalah

"upacara peringatan janin", yaitu upacara masyarakat Jepang bagi mereka yang telah mengalami keguguran, atau aborsi. Upacara ini sudah ada sejak tahun 1970-an dengan membangun kuil yang ditujukan hanya untuk ritual ini. Alasan melaksanakan upacara ini adalah untuk para orang tua yang ingin menghibur jiwa janin.

Menurut adat istiadat, anak-anak yang meninggal mendahului orang

tuanya dianggap sebuah dosa. Sehingga para Ojizo diharapkan membantu para

arwah anak-anak dan dipuja sebagai pelindung jiwa mizuko, jiwa yang mati

sewaktu dilahirka

Dalam dongeng masyarakat Jepang, dikatakan bahwa jiwa para anak-anak

yang meninggal mendahului orang tuanya tidak dapat

menyeberangi mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengumpulkan perbuatan baik yang cukup banyak dan karena mereka telah membuat orang tuanya menderita.

Dipercaya bahwa Ojizo menyelamatkan jiwa-jiwa mereka dari menjadi batu abadi

di tepi sungai sebagai para


(13)

Penulis memilih judul ini dikarenakan tertarik akan pembahasannya yang unik, dan terdapat perbedaan diantara pandangan masyarakat Jepang dan Indonesia. Karena beberapa agama di Indonesia percaya bahwa bayi dan janin yang meninggal akan masuk ke surga karena dianggap masih suci. Sedangkan masyarakat di Jepang menganggap sebaliknya, bahwa bayi dan janin yang meninggal akan masuk neraka. Selanjutnya hal ini akan penulis bahas melalui

skripsi yang berjudul “PATUNG OJIZO DALAM MASYARAKAT JEPANG”

1.2 Perumusan Masalah

Ojizo merupakan patung yang mempunyai peran yang penting dalam kehidupan masyarakat Jepang. Karena masyarakat yang ada di Jepang

menjalankan tradisi menyembah Ojizo. Banyak terdapat dongeng dari Jepang

jaman dahulu tentang kebaikan hati Ojizo yang dapat dijadikan sebagai pesan

moral.

Guba dalam Moleong (2007: 93) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara 2 faktor atau lebih yang menghasilkan situasi lain yang menyeret mereka dalam hubungan yang rumit

yang mereka sendiri sulit memahaminya. Kini Ojizo tetap menjadi perhatian

dalam kehidupan masyarakat Jepang. Maka dari penelitian ini yang menjadi rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan adalah:

1. Bagaimana keberadaan patung Ojizo bagi masyarakat Jepang?


(14)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan masalah karena dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu melebar sehingga penulis dapat lebih fokus terhadap pembahasan dalam masalah tersebut dan agar tidak menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang dibahas.

Masyarakat di negara manapun pasti berpendapat bahwa anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dengan sebaik mungkin karena anak merupakan hal yang sangat berharga dalam hidup. Baik saat anak masih hidup maupun saat sudah tiada. Sehingga saat anak telah tiada biasanya apapun akan dilakukan orang tua untuk bisa merasa lebih dekat dengan anak mereka. Untuk membatasi ruang lingkup dalam pembahasannya, maka dalam penulisan ini hanya akan membahas

masalah fungsi patung Ojizo untuk anak yang meninggal di bawah usia 7 tahun

dalam masyarakat Jepang. Dan untuk mendukung pembahasan ini penulis juga

akan membahas tentang keluarga Jepang, Ie dan Kazoku sebagai pelaksana

pemujaan.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Darsono (2004: 26) menyebutkan paling sedikit memiliki tiga wujud kebudayaan yaitu:


(15)

1. Wujud kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma- norma, peraturan-peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini bersifat abstrak, tidak dapat dilihat., diraba atau difoto. Kebudayaan ide disebut juga dengan istilah tata kelakuan atau adat istiadat, karena fungsi dari kebudayaan ini adalah sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari

manusia dalam masyarakat atau disebut system sosial. System sosial terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi., berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain, sehingga wujud kebudayaan ini bersifat abstrak namun dapat diobservasi.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia disebut

kebudayaan fisik yang bersifat paling konkret.

Menurut Koentjaningrat dalam Wisadirana (2004: 25) kebudayaan adalah gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar secara keseluruhandari hasil budi dan karyanya itu, atau kebudayaan merupakan semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat/manusia.

Rasa dan cipta merupakan kebudayaan rohaniah atau spiritual, sedangkan karya merupakan kebudayaan jasmaniah berupa teknologi. Berdasarkan pengertian kebudayaaan yang disebutkan Koentjaningrat tersebut, maka didalam kebudayaaan dikenal beberapa istilah kebudayaaan menurut wujudnya yaitu:

1. Kebudayaan materil, yaitu kebudayaan yang berwujud benda-benda atau


(16)

2. Kebudayaan immaterial adalah kebudayaan yang bukan berwujud benda atau teknologi, tetapi berwujud nilai-nilai kerohanian yang mencakup kepercayaan, ide, kebiasaan dan bangunan sosial.

2. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian perlu adanya kerangka teori untuk mendukung penelitian tersebut, menurut Koentjaraningrat (1976: 1) kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak ke dalam bentuk yang nyata.

Proses sosialisasi dibutuhkan oleh suatu sistem dalam rangka pemeliharaan pola-pola yang laten (tidak kentara atau tidak berwujud) melalui pranata-pranata yang ada didalam masyarakat. Proses itu mencakup pembentukan nilai-nilai budaya atau pemeliharaan pola-pola budaya lama yang berfungsi sebagai sarana integrasi (Situmorang 1995: 3)

Masyarakat Jepang melaksanakan ritual ada yang wajib dilaksanakan sebagai pertanggung jawaban moral kepada masyarakat dimana ia menjadi anggotanya, dan ada juga yang dilaksanakan hanya karena hal itu telah menjadi kebiasaan dari lingkungan dimana ia tinggal.

Ritual-ritual tersebut dalam pelaksanaan tidak lepas dari peran agama dan kepercayaan yang dianut oleh pelaku ritual tersebut. Maka untuk menganalisis masyarakat ke individu; menyelidiki tata cara masyarakat, kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama, sebagaimana agama itu sendiri mempengaruhi mereka, maka harus dilakukan dengan pendekatan sosiologis (Suprayogo dalam Damayanti 2009: 9)


(17)

Disini penulis menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena pembahasan dalam pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial dan sebagainya (Dudung 1999: 11). Menurut Weber dalam Dudung (1999: 11) tujuan penelitian ini adalah memahami arti subjektif dari perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya.

Penulis menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui latar belakang dan pengaruh patung Ojizo di Jepang.

1.5 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui latar belakang terjadinya penyembahan patung Ojizo

oleh masyarakat Jepang sampai sekarang.

2. Untuk mengetahui makna berbagai sesaji untuk penyembahan di depan

patung Ojizo.

2. Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan bagi penulis dan pembaca mengenai Ojizo.

2. Diharapkan mampu menambah informasi bagi para pembaca khususnya


(18)

3. Menjadi bahan referensi bagi pembaca yang ingin meneliti masalah Ojizo

lebih jauh.

1.6 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian sangat diperlukan metode-metode yang mendukung penelitian untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para pembaca. Maka dalam mengerjakan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya, dengan cara penyusunan yaitu

mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan

menginterpretasikan data.

Penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh, dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diinterpretasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada (Koentjaraningrat 1976: 30)

Selain itu untuk pengumpulan data penulisan menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library research). Menurut Nasution (1996 : 14), metode

kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca

referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran. Data dihimpun dari


(19)

berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book

dilakukan diberbagai perpustakaan. Data juga didapat melalui Internet yang

berhubungan mengenai masalah Ojizo dan hal-hal yang berhubungan dengan


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT JEPANG

Masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Masyarakat merupakan kumpulan kelompok yang memiliki budaya, dan kebudayaan. Budaya dan kebudayaaan akan berbeda menurut faham yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Masyarakat Jepang merupakan salah satu masyarakat yang memiliki kebudayaan yang unik diantara masyarakat di dunia saat ini. Berikut akan dipaparkan tentang masyarakat Jepang secara umum.

2.1 KELUARGA JEPANG

Keluarga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah 1 ibu dan bapak beserta anak-anaknya; seisi rumah 2 orang seisi rumah yg menjadi tanggungan; batih 3 kaum; sanak saudara; kaum kerabat 4 satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat.

Dewasa ini setiap keluarga Jepang memiliki nama keluarga masing-masing. Namun dahulu kala nama keluarga sebernarnya tidak pernah ada di Jepang. Mulai tanggal 13 februari 1875 pemerintahan Meiji melakukan program westernisasi. Dari program ini semua warga diwajibkan mendaftar dengan menggunakan sebuah nama keluarga. Program ini diberlakukan secara umum, terlepas dari status sosial, resmi atau tidak resmi, sah atau tidak, setiap penduduk wajib memiliki nama keluarga masing-masing. Dibandingkan dengan negara asia


(21)

lainnya sekarang Jepang adalah negara yang sangat kaya dengan nama keluarga. Berdasarkan dari data statistik saat ini Jepang memiliki lebih dari 100.000 buah

nama keluarga. Ada lima nama keluarga Jepang yang paling umum yaitu: Sato,

Suzuki, Takahashi, Tanaka dan Watanabe.

Untuk nama keluarga Sato kanji “sa” adalah pembacaan alternatif “suke” yang berarti gelar birokrasi, sementara kanji “to” adalah wisteria “fuji” yang menunjukkan klen bersejarah Fujiwara yaitu kekuatan dibalik tahta seluruh periode Heian (784-1185). Dewasa ini terdapat dua juta warga dengan nama

keluarga Sato. Nama ini paling banyak ditemukan di timur Jepang dengan tiga

pengucualian Hiroshima, Takushima dan Oita prefektur.

Untuk nama keluarga Suzuki saat ini terdapat 1,8 juta warga yang memiliki nama keluarga Suzuki yang tersebar diseluruh Jepang.

Nama keluarga Takahashi artinya adalah “jembatan tinggi”. Walau

sekarang jembatan jenis ini sudah sangat langka, tapi di zaman kuno sangat

penting dan bersejarah. Nama keluarga Takahashi terdapat hampir diseluruh

wilayah Jepang mulai dari utara sampai ke selatan.

Sedangkan untuk keluarga Tanaka yang berarti “di tengah-tengah sawah”

sejarah nama ini adalah sebuah keluarga yang memiliki sawah yang sangat luas dengan sebuah rumah yang terdapat di tengah sawah, yang secara alami ingin menunjukkan kemakmuran.

Dan nama keluarga Watanabe awalnya adalah nama tempat yang berada di


(22)

warga yang memiliki nama keluarga Watanabe dari seluruh Jepang. (http://asgar.or.id/info-jepang/nama-keluarga-yang-paling-umum-di-jepang/)

2.1.1 Kazoku

Manusia dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah kelompok yang disebut dengan istilah keluarga. Keluarga adalah lembaga sosial yang berkembang dalam masyarakat. (J. Goode dalam Hasibuan 2001: 5)

Menurut Marioka Kiyomi dalam Hasibuan (2001: 2) kazoku dapat

diartikan kelompok yang membentuk hubungan saudara dekat yang penting seperti kakak adik dan orang tua anak dengan suami istri sebagai dasar dan dengan didukung oleh rasa kesatuan yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan.

Dengan demikian, kazoku atau keluarga adalah kelompok yang terdiri dari ayah,

ibu dan anak-anak dengan hubungan suami istri sebagai dasar pembentukannya. Akan tetapi tidak berarti bila suatu kelompok yang hanya terdiri dari ayah dan anak atau ibu dan anak tidak dapat disebut kazoku.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan kazoku dinilai

kurang lengkap, antara lain adalah faktor muitoteki betsuri, yaitu perpisahan yang disebabkan kematian dan itoteki betsuri yaitu perpisahan disebabkan perceraian yang direncanakan.

Disamping faktor tersebut terdapat pula faktor bekkyo yaitu perpisahan

dalam arti pisah tempat tinggal. Antara suami dan istri, dan iki yaitu pergi


(23)

adanya ketidak cocokan antara suami dan istri, sedangkan iki terjadi karena kemiskinan atau kekurangan biaya hidup, tapi bisa juga karena pekerjaan yang mengharuskan seseorang meninggalkan rumah dan pindah ke kota lain. Hubungan antar individu dalam kazoku didasarkan kasih sayang sebagai kerabat dekat dan kebersamaan dalam kehidupan menimbulkan rasa kesatuan untuk

mempertahankan kazokunya. (Hasibuan 2001: 6)

Dengan adanya keutuhan kazoku, diharapkan tujuan untuk mencapai

kesejahteraan dapat terlaksana. Untuk itu kazoku berfungsi sebagai tempat

dilaksanakannya proses sosialisasi anak, alat untuk menstabilkan moril dan materi anggotanya, serta pemenuhan kebutuhan seksual (Morioka dalam Hasibuan 2001: 6)

Hasibuan (2001 : 7-9) menyebutkan kazoku adalah kelompok sosial yang

ada dalam setiap masyarakat memiliki bentuk yang beragam. Pembagian bentuk

kazoku ditentukan oleh beberapa faktor, pertama yaitu faktor hubungan antar individu dalam kazoku, faktor kedua ialah ada tidaknya wewenang dalam kazoku. Sedangkan faktor ketiga ditentukan oleh besar kecilnya kelompok dalam

komunitas. Pembagian bentuk kazoku ini tidak mudah, karena perbedaan batasan,

ruang lingkup dan istilah yang digunakan untuk menyebutkannya berbeda disetiap masyarakat. Kazoku terbagi atas:

a. Daikazoku

Daikazoku atau keluarga besar adalah kazoku yang anggotanya tidak hanya terdiri dari suami dan istri serta anak-anak saja. Tetapi juga terdiri dari orang-orang yang dekat dengan mereka, seperti orang tua dan


(24)

bokeisha yaitu saudara kandung sampai dengan kemanakan, sehingga bentuk kazoku ini dapat disebut juga dengan istilah bokei kazoku. Bentuk

kazoku seperti ini banyak terdapat di daerah pertanian., karena untuk mengolah lahan pertanian dibutuhkan tenaga kerja yang cukup, oleh karena itu jumlah anggota keluarga tetap dipertahankan. Disamping itu

apabila seorang anggota dari kazoku meninggalkan kelompoknya maka ia

berhak menerima pembagian harta kekayaan kazoku yang berupa lahan

pertanian.

b. Shokazoku

Shokazoku yaitu keluarga kecil anggotanya terdiri dari suami istri dan

anak-anak yang belum menikah. Kazoku seperti ini terbentuk dengan

terjadinya perkawinan. Pasangan suami istri baru akan menjadi unit

kazoku yang berdiri sendiri terpisah dari orang tuanya. Proses ini akan berlangsung dari generasi ke generasi. Dewasa ini bentuk kazoku seperti ini banyak dijumpai dalam masyarakat manapun, terutama di negara-negara maju. Industrialisasi telah menyebabkan sebagian dari masyarakat menjadi orang upahan yang menjalankan industri. Mereka tidak lagi berperan sebagai produsen bahan kehidupan seperti halnya masyarakat

tani, melainkan berkembang mengarah pada pembentukan kazoku kecil.

Kecenderungan ini menyebabkan sulitnya mempertahankan daikazoku


(25)

Jenis- jenis kazoku adalah:

a. Keluarga batih (nuclear family)

b. Keluarga poligami (polygamous family)

c. Keluarga luas (extended family)

2.1.2 Ie

Corak struktur masyarakat Jepang terkandung dalam konsep Ie, yaitu suatu satuan keluarga yang luas yang juga bercorak korporasi karena kegiatan utamanya bisnis. Dalam Ie ayah merupakan kacho (kepala rumah tangga) yang memegang

kekuasaaan, chonan (anak laki-laki pertama) merupakan pewaris utama dan

penerus Ie (Nakane dalam Lawanda 2004: 2). Sedangkan saudara-saudara

sekandung harus keluar dari Ie nya dan menjadi yosonamono (orang luar).

Keberadaan Ie disakralkan melalui serangkaian matsuri karena keberadaan Ie

merupakan kepanjangan dari kehidupan abadi leluhur dunia gaib dari Ie. Adapun

hubungan antara leluhur dengan Ie diantarai oleh matsuri. Dengan demikian,

sebuah Ie disamping dapat dilihat sebagai sebuah satuan korporasi bisnis dapat juga dilihat sebagai sebuah satuan kehidupan sakral karena adanya leluhur dalam kehidupan Ie yang diaktifkan melalui serangkaian matsuri.

Menurut Ito dalam Situmorang (2006: 25) Ie adalah sebuah bentuk

keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat akar pada masyarakat

Jepang. Oleh karena itu Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai

dan struktur masyarakat Jepang, dan juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri.


(26)

Ie adalah keluarga luas, di dalamnya ada satu atau lebih pasangan

perkawinan. Sebagai kepala keluarga Ie dilanjutkan dari generasi orang tua

kepada generasi anak. Keluarga Ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti

satu garis keturunan ayah. Perbedaan yang paling utama antara keluarga Ie dengan keluarga Kazoku adalah bahwa Kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau

istri atau karena perceraian, jadi keberadaan Kazoku adalah satu generasi.

Sedangkan unsur keluarga Ie terbentuk minimal dua generasi, oleh karena itu Ie

tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut (Situmorang 2006: 23)

Ie sebagai satuan keluarga luas Jepang bukan hanya sekedar sistem

kekerabatan pada hubungan darah saja melainkan juga sebagai sebuah korporasi yang memiliki fungsi ekonomi, fungsi politik, fungsi budaya dan fungsi sosial. selain itu menurut Kaga Noboru dalam Oktolanda (2005: 29) mengatakan fungsi

Ie adalah untuk melestarikan silsilah, peralatan atau harta Ie, dan kuburan.

Keluarga Ie juga merupakan mekanisme kontrol dan pedoman hidup orang Jepang

yang kebenaran dan kesakralannya diyakini berasal dari leluhur untuk memberi

rahmat dan kesejahteraan hidup. Penggolongan yang terdapat dalam Ie,

konsep-konsep dan teori di dalamnya, menekankan kehidupan yang berjenjang dan menekankan pentingnya kesesuaian dalam hubungan-hubungan berdasarkan hubungan timbal balik diantara manusia, dan manusia dengan gaib, kekuatan gaib dengan dunia gaib beserta alam sekitar (Lawanda 2004: 34)

Ie sebagai suatu yang utama menjadi pedoman bagi kehidupan, ditentukan

oleh dan diwariskan dari leluhur yang dianggap sakral dan memiliki sanksi gaib. Prinsip utama dalam Ie adalah oon dan hoon (kewajiban tukar-menukar) yang


(27)

berlangsung di seluruh aspek kehidupan masyarakat Jepang, baik dalam kehidupan antara sesama manusia di alam nyata maupun dengan kehidupan di dunia gaib. Prinsip timbal balik yang berarti pembayaran kembali atas segala sesuatu yang telah diterima dari pihak lain menghasilkan kegiatan balas membalas memberikan berupa barang ataupun jasa dan pujian.

Menurut Ariga Kizaemon dalam Situmorang (2006: 24) Ie adalah

kelompok kerja sama dalam mengelola kehidupan. Ariga tidak menyetujui apabila

Ie dikatakan ikatan kelompok sedarah, karena pekerja di dalam Ie pun merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang bukan hubungan darahpun dimungkinkan menjadi anggota keluarga. Sebaliknya, orang yang dilahirkan di dalam keluarga, tetapi karena berbagai penyebab dapat menjadi orang luar.

Karena Ie adalah kelompok usaha kehidupan, maka orang yang tidak

mempunyai hubungan darah dapat menjadi anggota kelompok. Diantara anggota kelompok yang mempunyai hubungan darahpun dibagi menjadi dua jenis yaitu:

a. Chakukei seiin merupakan anggota keluarga yang bakal menjadi generasi penerus Ie. Chakusei seiin adalah anak laki-laki tertua di dalam keluarga tersebut. Tugas chakukei seiin adalah penanggung jawab pengeluaran serta

pendapatan Ie, pengurusan kamidana, penanggung jawab dalam

penyembahan leluhur dan juga penyatuan seluruh anggota keluarga Ie

untuk melanjutkan kehidupan Ie tersebut.

b. Boukei seiin adalah anggota keluarga yang berfungsi sebagai pekerja tetapi


(28)

adalah anak laki-laki kedua atau ketiga dan juga para pekerja di dalam

keluarga Ie tersebut. Boukei seiin mendapat pekerjaan atas pemberian

Kacho (kepala keluarga) untuk melakukan pekerjaan penyembahan leluhur,

mengurus keuangan keluarga Ie dan lainnya (Ariga dalam Situmorang

2006: 27)

Terjadinya keluarga Ie adalah karena apabila orang tua dalam keluarga

sudah meninggal, maka dibuatlah kuburan keluarga dan juga dibuat altar pemujaan di rumah. Dalam kepercayaan tradisional Jepang roh orang tua tersebut harus mendapat pemujaan dan persembahan-persembahan atau sesajen hingga 33 tahun menurut kepercayaan yang dipengaruhi budha dan 49 tahun menurut kepercayaaan shinto, agar roh tidak menjadi muenbotoke.

Oleh karena itu untuk menjamin tanggung jawab penyembahan roh leluhur, maka harta Ie tidak dapat dibagi-bagi. Keluarga sistem Ie merupakan keluarga yang terdiri minimal dua generasi dan kemudian akan berlanjut terus menerus.

Anggota Ie adalah seluruh anak-anak yang masih hidup di dalam Ie termasuk

orang-orang yang bekerja di dalam Ie. Apabila kepala keluarga (shuto) meninggal maka akan digantikan oleh kepala keluarga yang baru itu adalah anak laki-laki yang tertua, tetapi apabila keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki maka dapat juga suami anak perempuan tertua diangkat menjadi kepala keluarga (kacho) dengan cara mokuyoshi (pengangkatan menjadi marga istri). Kemudian apabila keluarga tersebut tidak memiliki keturunan, maka kepala keluarga dapat diangkat dari pekerja (hokonin). Hal inilah yang membuktikan bahwa persyaratan

untuk menjadi kepala keluarga Ie tidak mengutamakan keturunan hubungan darah,


(29)

menjamin kesinambungan keluarga Ie tersebut untuk dapat menjamin kesinambungan pemujaan leluhur Ie.

Kemudian ciri khas Ie yang lainnya adalah bahwa kekuasaan kepala

keluarga dilanjutkan oleh seorang anak laki-laki. Dalam Ie, kepala keluarga

adalah seseorang yang memiliki hak untuk membuat keputusan karena ia yang

memiliki hak dan tanggung jawab untuk meneruskan nama keluarga. Chonan

(anak laki-laki) mendapat hak istimewa dalam nama kepemilikan material dan

menghubungkn dengan leluhur. Chonan yang mengelola Ie Honke (utama)

mendistribusikan kapital simbolik dan material Ie kepada Bunke (cabang)

berdasarkan hubungan obligasi (on), pengabdian, dan kesetiaan. Bunke terdiri dari

Ie saudara sekandung chonan atau juga yang diangkat menjadi kacho yang tidak sedarah yang diakui obligasi dan setia terhadap Ie tersebut. Bunke menjadi pemeliharaan keseimbangan dalam distribusi kekuasaan. Kesadaran untuk menjaga dan meneruskan kehormatan, nama baik dan kepemilikan material

diturunkan oleh leluhur sebagai cikal bakal dari semua kapital dari suatu Ie

(Lawanda 2004: 22). Keyakinan pada leluhur sebagai sumber rahmat menjaga

keberadaan Ie. Keyakinan ini membentuk satu karakter kebudayaan Jepang, yaitu

sosen suhai (pemujaan leluhur). Ie merupakan tempat roh para leluhur dianalogikan seperti jinja, tempat berdiam para dewa.

Pelanjutan di dalam Ie adalah memperjelas pelanjuta hubungan leluhur

dengan keturunan. Persyaratan pelanjutan di dalam Ie ada dua hal yaitu yang

bersifat material dan yang bersifat spiritual. Yang bersifat spiritual adalah adanya pemujaan leluhur di dalam Ie, dan yang bersifat material adalah adanya pelanjutan harta benda (Ito dalam Situmorang 2006: 26)


(30)

Sehingga pada waktu melanjutkan Ie tidak ada pembagian warisan. Di

dalam Ie ada pelanjutan garis keluarga yang bersifat monolateral, harta dan

simbol-simbol Ie tidak dibagi-bagi oleh anak, tetapi penggolongannya diteruskan oleh generasi penerus. Karena dalam Ie hal yang paling penting adalah pelanjutan pemujaan leluhur Ie. Satu lagi yang penting dari keluarga Ie adalah (Ie seido) yang merupkan kesinambungan keluarga. Objek dari kesinambungan tersebut adalah hubungan darah yaitu (hubungan orang tua dan anak, hubungan abang adik) hubungan tempat tinggal (rumah dan perkarangan), hubungan ekonomi (produksi, konsumsi, usaha dan harta)

Simbol-simbol keluarga sistem Ie:

a. Nama keluarga Ie

b. Tradisi keluarga Ie

c. Peraturan-peraturan keluarga Ie

d. Ajaran-ajaran di dalam Ie

Simbol-simbol Ie diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,

atau dari zaman dahulu hingga sekarang dan masa yang akan datang. Simbol Ie

sekarang masih kelihatan pada kuburan-kuburan Jepang. Simbol Ie pada kuburan

Jepang misalnya adalah Kamon (lambang Ie) dan Kamyo (nama Ie) yang ditulis pada batu nisan kuburan Jepang.

Sifat keagamaan Ie menurut Marioka Kyomi dalam Situmorang (2006: 31)


(31)

b. Adalah kelompok yang mempercayai bahwa anggota keluarga sekarang harus mengembangkan pekerjaan yang sudah dilakukan pendahulunya di dalam Ie

c. Adalah kelompok dimana anggotanya sebagian besar adalah anggota

seumur hidup

d. Adalah kelompok yang menyadari suatu sisi yang penting adalah

perasaan senasib

e. Keseluruhan kelompok tersebut mempunyai sifat religius.

Sistem Ie di Jepang ada berlapis-lapis, yaitu mulai dari keluarga sebagai rumah tangga, keluarga sebagai wilayah, keluarga sebagai sebuah perusahaan, dan keluarga sebagai satu negara. Marioka dalam Oktolanda (2005: 31)

mengatakan karena adanya lapisan-lapisan sistem Ie ini maka untuk setiap

lapisan ada tempat penyembahan. Dalam keluarga ada tempat penyembahan leluhur keluarga, di dalam sebuah desa ada tempat penyembahan untuk leluhur desa, dan untuk satu bangsa ada tempat penyembahan leluhur bangsa. Oleh karena itu dikatakan bahwa agama Jepang adalah agama penyembahan leluhur.

2.2 Reinkarnasi di Jepang

Reinkarnasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berati penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yg telah mati. Reinkarnasi berasal dari untuk "lahir kembali" atau "kelahiran semula", merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat


(32)

ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil pebuatannya terdahulu.

Seperti yang diketahui bahwa orang Jepang mempercayai bahwa bayi-bayi yang baru lahir merupakan reinkarnasi dari kakek atau leluhur mereka, dari itu mereka berpendapat jika bayi-bayi meninggal maka sebenarnya leluhur merekalah yang meninggal untuk kesekian kalinya, sehingga sangat berhubungan dengan

taatnya mereka memberikan sesajen dan penyembahan untuk Ojizo.

Terdapat dua aliran utama yaitu pertama, mereka yang mempercayai bahwa manusia akan terus menerus lahir kembali. Kedua, mereka yang mempercayai bahwa manusia akan berhenti lahir semula pada suatu ketika apabila mereka melakukan kebaikan yang mencukupi atau apabila mendapat kesadaran

a

Kelahiran kembali adalah suatu proses penerusan kelahiran di kehidupan sebelumnya. Dalam manusia untuk sadar terhadap kebahagiaan yang sebenarnya dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Selama manusia terikat pada siklus reinkarnasi, maka hidupnya tidak luput dari duka. Selama jiwa terikat pada hasil perbuatan yang buruk, maka ia akan bereinkarnasi menjadi orang yang selalu duka. Dalam kesempatan untuk menikmati kebahagiaan yang tertinggi. Hal tersebut terjadi apabila manusia tidak terpengaruh oleh kenikmatan maupun kesengsaraan duniawi sehingga tidak pernah merasakan duka, dan apabila mereka mengerti arti hidup yang sebenarnya.


(33)

Dalam agama Buddha dipercayai bahwa adanya suatu proses kelahiran kembali. Semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini akan terus menerus mengalami tumimbal lahir selama makhluk tersebut belum mencapai tingkat kesuci baik akan terlahir di alam bahagia, bila ia jahat ia akan terlahir di alam yang

menderitakan. Kelahiran kembali juga dipengaruhi oleh Garuka Kamma yang

artinya karma pada detik kematiannya, bila pada saat ia meninggal dia berpikiran baik maka ia akan lahir di alam yang berbahagia, namun sebaliknya ia akan

terlahir di alam yang menderitakan, sehingga segala sesuatu tergantung dari

masing-masing. (http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi) 2.2.1 Proses Reinkarnasi

Pada saat

yang rusak, sehingga

hasil perbuatannya. Pada saat memasuki badan yang baru, roh yang utama membawa hasil perbuatan dari kehidupannya yang terdahulu, yang mengakibatkan baik-buruk nasibnya kelak. Roh dan jiwa yang lahir kembali tidak akan mengingat kehidupannya yang terdahulu agar tidak mengenang duka yang bertumpuk-tumpuk di kehidupan lampau. Sebelum mereka bereinkarnasi,

biasanya jiwa pergi ke

Dalam filsafat agama yang menganut faham reinkarnasi, neraka dan surga adalah suatu tempat persinggahan sementara sebelum jiwa memasuki badan yang baru. Neraka merupakan suatu pengadilan agar jiwa lahir kembali ke badan yang sesuai dengan hasil perbuatannya dahulu. Dalam hal ini, manusia bisa


(34)

bereinkarnasi menjadi makhluk berderajat rendah seperti hewan, dan sebaliknya hewan mampu bereinkarnasi menjadi manusia setelah mengalami kehidupan sebagai hewan selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Sidang neraka juga memutuskan apakah suatu jiwa harus lahir di badan yang cacat atau tidak.

2.2.2 Akhir Proses reinkarnasi

Selam

ia tidak akan mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yakni lepas dari siklus

reinkarnasi. Maka, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi tersebut

utama melalui badan kasarnya berusaha melepaskan diri dari belenggu duniawi dan harus mengerti hakikat kehidupan yang sebenarnya. Jika tubuh terlepas dari belenggu duniawi dan jiwa sudah mengerti makna hidup yang sesungguhnya, maka perasaan tidak akan pernah duka dan jiwa akan lepas dari siklus kelahiran

kembali. Dalam keadaan tersebut, jiwa menyatu dengan

(http://id.wikipedia.org/wiki/Reinkarnasi)

Menurut Situmorang (2009: 45) Roh manusia pada waktu berada di dunia dan pada waktu berada di dunia kematian dipercaya mengalami proses perubahan (tsuka). Perubahan tersebut dapat dibagi dua yaitu perubahan dari masa kelahiran hingga mati dan dari kematian sampai menjadi leluhur (sorei).

Proses tersebut merupakan perubahan dari kondisi kekotoran kepada

kondisi kesucian. Dalam proses pendewasaan dan dalam proses menjadi sosen

dilakukan banyak acara-acara setiap melakukan tahapan. Yang termasuk kekotoran dalam pandangan Jepang adalah darah dan mayat. Oleh karena itu bayi yang baru lahir karena dianggap baru bersentuhan dengan darah ibu yang


(35)

melahirkan dianggap dalam kondisi kotor, sedangkan roh yang baru mati dianggap kotor karena baru keluar dari tubuh. Kondisi kekotoran ini mengakibatkan roh seseorang dianggap dalam keadaan labil dan berbahaya. Sehingga diperlukan upacara-upacara dan doa-doa untuk penyucian.

Menurut pandangan Jepang umumnya kekotoran dibagi dua yaitu akafuju

dan shirofuju. Tetapi di Okinawa terdapat tiga yaitu akafuju berarti darah,

shirofuju berarti kelahiran dan kurofuju yang berarti kematian (Ikegami dalam Situmorang 2009: 46)

Sesuatu benda yang bersentuhan dengan yang kotor (tercemar) maka akan ikut tercemar juga, sebab itu apabila ada benda-benda suci maka harus dijauhkan dari yang tercemar.

Menurut Sasaki dalam Situmorang (2009: 46) dalam kepercayaan masyarakat Jepang yang tercemar itu adalah mayat, kelahiran dan keluar darah. Sehingga ibu yang sedang melahirkan juga termasuk dalam kondisi tercemar karena mengeluarkan darah. Namun seiring waktu bayi yang dianggap kotor kini

tumbuh dan mengenal masyarakat luas maka didakan girei atau acara selamatan,

artinya ketika seseorang beralih dari suatu usia tertentu ke usia lain maka kekotorannya dianggap sudah menipis sehingga diadakan acara selamatan.

Setelah menikah masih ada lagi upacara bagi pribadi, tetapi bukan upacara pendewasaan atau untuk menenangkan roh melainkan upacara menjauhkan dari musibah, seperti upacara selamatan bagi laki-laki umur 42 tahun dan upacara selamatan bagi perempuan umur 33 tahun. Bagi laki-laki umur 42 tahun disebut dengan shini (mati) karena itu dianggap usia yang berbahaya, sedangkan wanita


(36)

tidak melahirkan di umur 33 tahun. Tujuan upacara-upacara tersebut dilakukan untuk menjauhkan dari musibah.

Upacara-upacara selamatan lainnya adalah bagi mereka yang berusia 66

tahun (kankrekiiwai), 70 tahun (kokiiwai), 77 tahun (kijuuiwai), 80 tahun

(sotsujuu), 88 tahun (beijuuiwai), dan 99 tahun (hakujuuiwai). Upacara tersebut ditujukan untuk mengutarakan rasa terima kasih dari anak-anak kepada orang tuanya. Di mana status orang tuanya yang sebelumnya adalah merupakan kepala keluarga yang kemudian berubah menjadi penasehat di dalam keluarga.

Upacara untuk kehamilan disebut obiiwai yang bertujuan agar bayi lahir dalam keadaan selamat. Dalam kehidupan orang Jepang dari lahir hingga mati, mengikuti beberapa acara yang memiliki tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah acara untuk proses pendewasaan dan acara kedewasaan, juga acara setelah mati yaitu acara proses menjadi sorei dan acara untuk sorei itu sendiri. Manusia dalam perpindahan dari satu tahap ketahap lainnya memiliki tempat khusus,

misalnya pada waktu lahir masuk ke sanya atau rumah bersalin kemudian pada

waktu menikah masuk ke konshukuya atau rumah perkawinan dan kemudian pada

saat meninggal masuk ke moya atau rumah untuk orang meninggal lalu pada tahap

menjadi dewa masuk ke shinshi (Tsuboi dalam Situmorang 2009: 46-48)

Manusia dari lahir hingga mati, atau dari waktu mati hingga tomurai age

mengalami reinkarnasi, dan setiap reinkarnasi tersebut memiliki tempat khusus setiap tempat-tempat tersebut merupakan batas antara dunia kotor dan dunia suci, dan juga merupakan tempat meninggalkan suatu tahap dan memasuki tahap lainnya dalam hidup.


(37)

Tahapan untuk menjadi hotoke adalah acara kematian, acara ke 7 hari, acara ke 49 hari, acara 100 hari, acara isshuki (1 tahun), sankaiki (ke 3 tahun),

nanakaiki (ke 7 tahun), juusankaiki (ke13 tahun), juunanakaiki (ke 17 tahun),

nijuusankaiki (ke 23 tahun), dan sanjusankaiki (ke 33 tahun) (Tsuboi dalam Situmorang 2009: 49)

Setelah menjadi sonsen, tidak perlu lagi diadakan upacara khusus, karena

roh tersebut sudah masuk kedalam senzodaidai (kelompok nenk moyang). Roh

tersebut dianggap pergi ke gunung dan dari sanalah mereka mengawasi anak dan

cucunya. Kemudian di waktu-waktu tertentu misalnya pada waktu obon, tahun

baru, dan roh leluhur tersebut dipercaya datang berkunjung ke rumah anak cucunya.

Senzo (roh nenek moyang) adalah ubusunagami (dewa daerah). Roh dalam kondisi ini berada dalam keadaan suci dan kondisi tenang. Kemudian dalam kondisi ini dipercaya roh akan lahir kembali sebagai roh anak cucunya. Oleh sebab itu di Jepang jika anak yang baru lahir sering kali diberi nama yang sama dengan nama kakeknya. Namun terkadang masyarakat tradisional Jepang juga memilih nama untuk anak melalui orang yang terhormat seperti pendeta budha dan shinto, memilih nama dengan cara omikuji (kertas digulung) dari kuil shinto, atau dengan mencocokkan nama dengan situasi sewaktu anak dilahirkan.

2.3 Penyembahan Roh Leluhur di Jepang

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penyembahan berarti 1 proses, cara, perbuatan menyembah; 2 pemujaan, sedangkan roh berarti 1 sesuatu (unsur)


(38)

yang ada dalam jasad yang diciptakan Tuhan sebagai penyebab adanya hidup (kehidupan); nyawa.

Roh manusia pada saat berada di dunia ini dan pada waktu berada di dunia ini dan pada waktu berada di dunia kematian dipercaya mengalami proses

perubahan (tsuka). Tsoboi Yobumi mengatakan bahwa perubahan tersebut dapat

dibagi dua yaitu perubahan dari masa kelahiran hingga mati dan dari kematian sampai ke sorei atau leluhur. (Situmorang 2006: 44)

Pandangan roh orang Jepang dipengaruhi kepercayaan Shinto dan Buddha. Pandangan roh orang Jepang berhubungan dengan dunia sana (dunia setelah mati). Pada waktu manusia lahir rohnya datang dari leluhurnya. Dan pada waktu

meninggal rohnya akan kembali ke senzodaidai (generasi leluhur) (Situmorang

2009: 41)

Menurut Lawanda (2004: 23) esensi hubungan interaksi orang Jepang ada dua sistem keyakinan, yaitu berdasarkan ikatan darah sebagai ikatan komunitas yang dekat dan tanpa hubungan darah, diadopsi oleh individu atau pilihan kelompok yang bersifat kompleks, berlapis-lapis dan sinkretik. Pola keyakinan berdasarkan pada kekerabatan agama asli yang berpusat pada penyembahan leluhur mengacu pada agama asli yang berpusat pada penyembahan leluhur mengacu pada shinto dan bercampur dengan berbagai agama, seperti konfusianisme, buddisme dan taoisme.

Pemujaan leluhur ini menurut Bellah adalah merupakan religi keluarga yang sangat umum di Jepang. Di mana setiap keluarga memiliki dua objek pemujaan yaitu altar shinto dan budha. Upacara singkat akan selalu dilakukan diwaktu pagi dan juga sore hari dengan cara menghidupkan lampu dan


(39)

mempersembahkan sejumlah makanan. Hal ini merupakan cara untuk terus menerus mengingatkan arti suci garis leluhur dan tanggung jawab semua anggota keluarga terhadapnya. (Motori Norinaga dalam Bellah 1985: 110)

Pemujaan leluhur merupakan serangkaian ritual yang dilakukan dengan cara memberikan persembahan berupa barang (sesajen) atau doa sebagai wujud dari penghormatan para keturunan kepada leluhur. Pemujaan leluhur ini dilakukan karena pengaruh ajaran budha mengenai faham reinkarnasi, tujuannya supaya kelak roh orang yang meninggal tersebut ketika lahir kembali akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan pengaruh dari ajaran shinto yang mempercayai bahwa arwah orang yang telah meninggal dapat memenuhi keinginan ataupun kebutuhan serta menjaga para keturunannya, dalam hal ini apabila penyembahan-penyembahan dilakukan, sebaliknya apabila penyembahan-penyembahan-penyembahan-penyembahan tidak dilakukan maka arwah tersebut akan menjadi roh gentayangan yang berpotensi mendatangkan bahaya dan mengganggu keturunannya.

Pemujaan menurut shinto terdiri dari tiga macam, yaitu penghormatan, sesajen, dan doa. Sebelum melakukan hal tersebut setiap orang harus membersihkan diri, terdiri dari:

a. Harai (pengusir roh jahat) yang dilakukan oleh pendeta

b. Misogi (pembersihan diri) yang dilakukan dengan air atau garam

c. Imi (pantangan) dilakukan oleh pendeta, karena merupakan usaha untuk

menghindarkan kekotoran, antaranya dengan jalan berpantang (Rosidi 1981: 83)


(40)

Stratifikasi masyarakat Jepang terbentuk atas klen, desa, dozoku dan Ie. Setiap kelompok masyarakat memiliki leluhur pertama. Leluhur pertama dianggap sebagai pencipta dan leluhur selanjutnya selalu dipuja karena menjadi sumber kehidupan dan rahmat dari penerus setiap kelompok. Leluhur dipuja melalui keyakinan yang berasal dari pengaruh budha, bahwa setiap orang yang meninggal akan menjadi dewa setelah 33 tahun kematian (Yanagita, Hori dalam Lawanda 2004: 23)

Penyembahan-penyembahan dalam pemujaan leluhur selama 33 tahun atau 49 tahun adalah suatu usaha yang membutuhkan kesinambungan orang yang melaksanakan penyembahan tersebut. Maka yang bertanggung jawab atas

kesinambungan pemujaan leluhur tersebut adalah Ie. Ariga dalam Situmorang

(2006: 33) mengatakan bahwa butsudan dan kamidana di dalam rumah berfungsi

sebagai acara pemujaan yang terikat dengan Ie, ini mempunyai tanggung jawab

pemujaan leluhur oleh kepala keluarga. Ito Kenji mengatakan, Ie adalah tempat

tingal roh nenek moyang, kalau dikatakan orang-orang kembali kembali ke Ie

berarti adalah meminta perlindungan pada leluhur. Kemudian kepala keluarga

dalam memimpin Ie adalah merupakan kewajiban kepada leluhur, atau anggota

keluarga mengikuti kepala keluarga berarti mengkuti, melayani roh leluhur. (Situmorang 2006: 34)

Begitu pula dengan roh anak-anak, roh anak yang meninggal tetap disembah di dalam rumah-rumah orang Jepang yang memiliki anak atau bayi yang meninggal. Dan diperlakukan tidak jauh berdebda dengan orang dewasa yang meninggal.


(41)

Tentang hubungan Ie dan pemujaan leluhur yang tidak dapat dipisahkan, dijelaskan oleh Aoyama adalah, pemujaan leluhur sangat melekat dengan sistem

Ie, keberadaan Ie dan Ihai adalah sama. Pemikiran seperti ini ada sejak zaman Edo. Jikalau Ie tetap eksisten, maka penyembahan leluhur bisa tetap berjala. Sebaliknya

Ie hancur maka penyembahan leluhur akan berhenti, oleh karena itu roh leluhur

akan menjadi muenbotoke (roh gentayangan) dan apabila roh leluhur menjadi

muenbotoke maka di percaya nasib Ie akan semakin hancur. Oleh karena itu disini kelihatan hubungan fungsional antara orang hidup dan orang mati di dalam keluarga sistem Ie. (Situmorang 2006: 32)

Secara umum, masyarakat Jepang percaya bahwa dunia ini terdiri dari dua dimensi, yaitu: dunia gaib dan dunia nyata. Dunia nyata adalah dunia tempat manusia hidup, sedangkan dunia gaib adalah dunia tempat manusia melanjutkan kehidupan sesudah mati. Dunia gaib ini disebut dengan alam roh. Sesuai dengan eksistensinya yang hanya berhubungan dengan manusia yang telah mati, maka alam roh ini dianggap sebagai alam yang suci, alam yang secara spritual lebih tinggi dari alam dunia nyata.

Alam gaib dihuni oleh berbagai jenis makhluk. Akan tetapi secara umum bisa dikelompokkan menjadi dua jenis; kami (dewa), dan roh leluhur. Manusia yang meninggal dunia, akan melalui proses penyucian yang panjang di alam gaib sebelum nantinya ia menghadap dan menjadi salah satu dari dewa itu sendiri. Jadi, orang yang meninggal sebenarnya merupakan orang yang sedang melakukan perjalanan untuk menuju sebuah tempat yang tinggi, tempat menuju

kesempurnaan untuk menjadi kami (dewa) nenek moyang. Kaga (1992:


(42)

disebut dengan istilah yama, yang mengandung makna tempat yang tinggi dan suci.

Dari keterangan di atas, bisa diambil kesimpulan tentang alasan yang membuat masyarakat Jepang begitu kaya akan upacara-upacara yang mengatas namakan pemujaan terhadap roh leluhurnya. Di samping tentunya untuk membantu perjalanan anggota keluarga tersebut menuju tempat yang tinggi, tentunya juga merupakan suatu keuntungan jika seandainya anggota keluarga

sukses melakukan perjalan menuju kesempurnaan menjadi kami tersebut. Roh

leluhur yang sukses menjadi kami dipercaya akan memberikan keberuntungan

terhadap anak-cucunya di kemudian hari. Sedangkan roh yang tersesat karena tidak dituntun melalui upacara-upacara oleh keluarganya natinya bisa mendatangkan kesialan terhadap anak-cucunya tersebut. Oleh karena itu, jika seorang anggota keluarga mati, maka pihak keluarga akan melakukan beberapa prosesi ritual sebagai berikut; a) pra pemakaman tanah, b) pasca pemakaman tanah.

a. Pra Pemakaman Tanah

Setelah proses kremasi dilakukan. Abu jenazah akan disemayamkan di rumah keluarga selama 49 hari. Selama itu, setiap hari ke tujuh selama tujuh kali diadakan upacara pemujaan terhadap roh anggota keluarga yang baru meninggal tersebut serta roh leluhur. Waktu tujuh hari ke tujuh dan dilaksanakan sebanyak

tujuh kali tersebut dipercaya sebagai waktu kunjungan rohnenek moyang sebelum


(43)

dilaksanakan. Setelah sampai 49 hari, abu jenazah tersebut kemudian dikuburkan ke dalam pemakaman keluarga.

b. Pasca Pemakaman Tanah

Setelah abu jenazah disemayamkan dan dibekali dengan beberapa kali ritual roh, abu jenazah disemayamkan di makam keluarga. Akan tetapi, bukan berarti prosesi atau upacara yang mesti dilakukan pihak keluarga yang tinggal telah berakhir. Dalam keluarga yang menganut sistem tradisional, harus membuat altar pemujaan roh di rumah, dan melanjutkan ritual pemujaan roh di rumah. Waktu-waktu upacaranya adalah hari ke-100, setahun, tiga tahun, terakhir 33 tahun. Upacara pada tahun ke-33 adalah upacara pamungkas. Setelah upacara tersebut, roh yang meninggal dipercaya sudah berada di tempat yang suci dan

menjadi kami. Tinggal pihak anak-cucu menunggu berkah dan perlindungan yang

akan turun dari kami tersebut. (http://hendrizalman.blogspot.com/2011/10/arti-kematian-dan-pemakaman-bagi.html)

2.4 Pandangan Kematian Anak – Anak di Jepang

Anak adalah anugerah terindah bagi setiap orang tua. Kehadirannya yang selalu dinanti, tidak hanya menambah “gelar” kedua orang tua, dari yang semula hanya sebagai suami dan istri bagi pasangannya, menjadi ayah dan ibu bagi anak-anaknya. Anak menjadi aset berharga, tumpuan harapan di dunia dan akhir masa, juga merupakan sebab diangkatnya kedudukan kedua orang tua ke derajat yang

lebih mulia. Maka akan sangat menderitanya orang tua apabila anak yang mereka


(44)

anak tidak ada lagi di dunia, berbagai cara dilakukan oleh orang tua agar arwah anak mereka bahagia di alamnya dan tidak merasa dilupakan oleh orang tua dan keluarganya.

Ojizo adalah perantara bagi orang tua yang merasa rindu dan ingin

mendoakan anak mereka agar bahagia dan selamat di dunia bawah. Ojizo

disembah dengan membawa makanan dan mengganti pakaiannya jika kotor, Ojizo

diperlakukan selayaknya anak mereka.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mati berarti sudah hilang nyawanya; tidak hidup lagi. Mati berarti terpisahnya antara ruh dan nyawa.

Menurut Maeda, dalam pemikiran masyarakat tradisional Jepang, kematian adalah sesuatu yang menular, oleh karena itu mayat harus segera dijauhkan dari pandangan mata. Kemudian perkembangan pikiran, dalam kematian ada pemisah antara roh dan raga, sehingga ada ketakutan terhadap roh. Karena rasa takut atau rasa cinta terhadap keluarga yang meningal maka diadakanlah sederetan upacara bagi bagi orang mati. Rasa takut yang disebut diatas berkaitan dengan pemikiran masyarakat Jepang yang menganggap bahwa roh orang yang baru meninggal dianggap labil dan berbahaya.

Menurut Inouguchi, dalam Situmorang (2009: 50) pada Jepang zaman dahulu kala, tidak jelas batas antara mati dan hidup. Dalam tubuh setiap orang memiliki minimal satu roh, jika roh tersebut keluar dari tubuh seseorang disebut

dengan kondisi hanshi (pingsan). Kemudian apabila selamanya roh pergi, hal


(45)

Melihat pemikiran di atas, batas antara hidup dan mati dalam pemikiran Jepang adalah apakah roh ada di dalam tubuh atau tidak. Oleh karena itu

masyarakat tradisional Jepang mengenal acara tamayobai. Tamayobai adalah

suatu acara untuk memanggil roh orang yang mati tersebut untuk kembali lagi ke

dalam jasad. Kemudian apabila acara tamayobai sudah dilakukan maka seseorang

tersebut diputuskan sudah meninggal. Cara melakukan acara tamayobai

dimasing-masing daerah di Jepang berbeda-beda. Misalnya dengan dengan membuat makanan disamping mayat lalu memanggil orang tersebut kembali. Tetapi ada juga yang memanggil roh tersebut ke sumur atau ke atap rumah.

Acara tamayobai disebut juga mogari. Jadi acara mogari adalah suatu

acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar pemikiran mogari

adalah bahwa manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum pergi terlalu jauh masih bisa dipanggil kembali. Oleh karena itu setelah dilakukan upacara mogari, apabila roh tidak dapat dipanggil kembali maka diputuskanlah seseorang itu telah meninggal.

Setelah seseorang dinyatakan sudah meningal dengan acara mogari atau

tamayobai, maka keluarga akan memberitahukan kepada sanak keluarga yang lain. Pemberitahuan ini disebut dengan shirase. Shirase biasanya diilakukan oleh dua orang. Tetapi jikalau harus dilakukan sendirian, maka biasanya orang tersebut membawa boneka, jika di dalam keluarga yang sedang diberitahu kabar kematian tersebut ada yang usianya sama dengan yang meninggal maka orang tersebut membuat mimifutagi yang berarti menutup telinga dengan tutup periuk.


(46)

Menurut Mogami dalam Situmorang dalam pandangan orang Jepang bahwa roh ada di dalam tulang-belulang. Oleh karena itu

persembahan-persembahan diarahkan kepada tulang belulang dan pergi ke Ihai yaitu sebuah

papan yang bertuliskan nama dan tanggal meninggalnya orang tersebut . Zaman dahulu kala di Jepang di kenal sistem dua kuburan yaitu satu kuburan kotor yang berisi tulang belulang yang biasa dibawa ke gunung, sedangkan yang satunya adalah kuburan yang suci sebagai tempat pemberian sesajen. Biasanya kuburan yang kedua ini berada di pinggir desa.

Rak penyembahan roh leluhur di rumah di sebut dengan kamidana atau

butsudan. Pada altar resebut di letakan Ihai. Sehingga ke sanalah ditujukan sesajen di dalam penyembahan yang ada di rumah. Penyembahan ini disebut

dengan kuyo, kuyo biasanya dilakukan selama 33 tahun menurut budhis atau 49

tahun menurut shinto. Sementara roh orang yang tidak mendapat persembahan disebut dengan muenbotoke, muenbotoke adalah roh yang tidak diberi sesajen oleh keluarga.

2.5 Ojizo dan Penyembahan Realita

Menurut Setiadi (2007: 179) manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan segala fungsi dan segala potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik baik itu positif maupun negatif.


(47)

Van Gennep dalam Damayanti (2009: 17) menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa individu dari suatu status sosial yang lain. Dalam setiap ritual penerimaan ada tiga tahap:

1. Pemisahaan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau kelompok atau

status.

2. Peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek dari prosedur-prosedur

perubahan.

3. Penggabungan, ia resmi ditempatkan dalam suatu tempat, kelompok atau

status baru.

Dari tahapan-tahapan tersebut kita melihat bahwa sesuatu yang penting adalah status seseorang dalam masyarakat, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pelaksanaan ritual tersebut adalah merupakan tindakan yang dilakukan untuk memperkenalkan status seseorang dalam hubungan sosial masyarakat.

Meski terlihat sebagai negara kota yang metropolitan, di mana teknologi yang mutakhir dan industri berkembang sangat pesat, Jepang masih sangat taat menjalani ritual-ritual dan tradisi dalam penghormatan praktek kuno.

Mungkin salah satu pemandangan paling umum dan mendominasi di Jepang adalah patung yang ada di pinggir jalan, dan patung-patung berukuran kecil disekitar kuil, yaitu patung bayi yang berwajah Buddha yang sering terlihat mengenakan celemek anak bewarna merah, dan rajutan topi wol. Patung-patung yang mulia menggambarkan salah satu dewa yang paling dicintai dan populer di Jepang dialah Ojizo Sama.


(48)

Menurut penjalasan masyarakat Jepang, dahulu kala Ojizo terinspirasi oleh sosok Ksitigarbha, yaitu seorang biarawan yang bertekad pada dirinya untuk bertanggung jawab bagi mereka di "enam dunia" (alam dewa, alam manusia, alam binatang, alam jin, alam setan kelaparan, dan alam neraka) antara kematian dan pencerahan. Berbekal kemampuan yang dapat membuka gerbang neraka dan permata untuk menerangi kegelapan, Ksitigarbha menolak untuk pergi sampai ranah neraka dikosongkan dari orang-orang yang menderita.

Setiap kebudayaan memiliki gambaran yang berbeda dan dongeng untuk menjelaskan asal Ksitigarbha, beberapa percaya dia menjadi seorang biarawan fana yang mencapai keabadian karena pencarian abadi untuk membantu orang lain,

sementara beberapa mempercayai bahwa Ksitigarbha adalah benar-benar seorang

wanita, yang berdoa untuk menyelamatkan ibunya dari neraka, tapi setelah ia dibawa ke neraka dan diberitahu bahwa ibunya telah diselamatkan, ia terkejut melihat begitu banyaknya manusia dalam neraka dan mendapat siksaan. Lalu yang ia bersumpah untuk menyelamatkan mereka.

Patung Ojizo sangat banyak dijumpai di seluruh Jepang, dewasa ini

eksistensi penyembahan-penyembahan untuk patung Ojizo pun masih banyak

dilakukan sebagian besar masyarakat Jepang. Ukuran dan bentuknya pun berbeda-beda ada yang besar, sedang dan kecil. Tapi pada umumnya tetap terlihat seperti anak kecil dengan baju dan topi yang beragam. Dan kebanyakan dari mereka yang

mendatangi dan menyembah Ojizo adalah pasangan suami istri yang masih baru


(49)

BAB III

OJIZO DALAM MASYARAKAT JEPANG

Jepang dikenal sebagai negara yang mempercayai begitu banyak dewa, yang memiliki peranan yang berbeda-beda. Seperti dewa-dewa yang ada di Jepang,

Ojizo juga memiki peranan penting dalam kepercayaan masyarakat Jepang hingga

dewasa ini. Yang mana Ojizo dipercaya masyarakat Jepang sebagai penyelamat

jiwa bayi yang mati sebelum maupun sesusah dilahirkan ke bumi. Ini diperkuat begitu banyaknya patung Ojizo yang ada di Jepang, dan memiliki eksistensi yang cukup tinggi.

3.1 Fungsi Patung Ojizo dalam Masyarakat Jepang

Patung pada dasarnya merupakan karya seni manusia yang berbentuk tiga dimensi. Tujuan dari pembuatan patung ini untuk menghasilkan karya seni yang dapat bertahan lama. Agar karya patung ini bertahan lama maka tidaklah heran apabila ada sebagian besar patung menggunakan bahan yang beragam seperti marmer, kapur, gading, emas, perunggu. Dari zaman dahulu sampai sekarang patung sering dianggap sebagai dewa atau Tuhan.

(sealkazzosoftwar.blogspot.com/2011/04/fungsi-patung-di-zaman-dahulu-dan.html?m=1)

Patung adalah bagian dari seni rupa yang hasil karyanya dapat dilihat wujudnya secara tiga dimensi. Biasanya patung dibuat dengan cara memahat,

kemudian modeling yang kebanyakan menggunakan tanah liat, atau juga kasting,


(50)

beragam juga cara-cara serta teknik-teknik pembuatan patung. Bahan-bahan yang digunakan juga akan semakin beragam, disesuaikan dengan perkembangan teknologi pada tiap zaman tersebut.

Setiap negara, dan semua peradaban memiliki karya seni patung. Ada yang menganggapnya sebatas suatu karya seni bernilai estetika tinggi, ada pula yang beranggapan bahwa patung-patung yang mereka bangun dan dirikan memiliki nilai-nilai religi yang mesti dihormati, dan dipelihara (sebagian mungkin menyembahnya). Berbagai macam jenis patung yang terdapat di banyak wilayah berbeda di Asia umpamanya, terlihat jelas dipengaruhi oleh agama Hindu dan

Buddha.

(http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/12/patung-karya-seni-atau-berhala-523703.html)

Masyarakat Jepang sangat menghargai dan menghormati tradisi dan kebudayaan sejak zaman dahulu, sebagai buktinya mereka tetap menjalankan dan melaksanakannya bahkan disaat Jepang semodern sekarang. Jepang juga mengenal berbagai jenis patung yang sangat banyak. Seringkali dibawah sponsor pemerintah. Kebanyakan patung di Jepang dikaitkan dengan agama. Selama periode kofun (abab ketiga), patung tanah liat yang disebut haniwa didirikan diluar makam. Di dalam kondo yang berada di Horyu-ji terdapat Trinitas Shaka, patung budha yang berupa dua bodhisattva serta patung yang disebut dengan para

raja pengawal empat arah. Patung kayu pada abad 9 menggambarkan shakyamuni,

salah satu bentuk budha, yang menghiasi bangunan sekunder di Muro-ji, adalah


(51)

dengan gaya hompa shiki (ombak bergulung), serta ekspresi wajah yang terkesan serius dan menarik diri (id.m.wikipedia.org/wiki/seni_pahat)

Dari sekian banyak jenis patung yang terdapat di Jepang dan tak terhitung

jumlahnya Ojizo tetap menjadi salah satu patung yang memiliki peran penting

dalam masyarakat Jepang sekarang. Untuk mengenang arwah anak yang meninggalkan orang tuanya terlebih dahulu.

Jadi fungsi-fungsi patung Ojizo dapat dipaparkan seperti berikut:

a. Untuk mengenang jasa-jasa dan keagungan budi sang budha yang telah

memberikan kedamaian serta ketentraman untuk manusia. Karena budha telah memberikan kebaikan-kebaikan selama manusia hidup hingga mati. b. Disembah serta diberi sesajen secara berkala sebagai perantara antara

orang tua dan anak yang telah meninggal dunia. Dengan cara ini lah para orang tua akan merasa lebih dekat dengan jiwa anak mereka yang

meninggal.

c. Sebagai bukti religi masyarakat Jepang atas syukur dan rahmat yang

mereka terima. Menunjukkan bahwa mereka sangat taat kepada budha. Yang tidak hanya berdoa disaat mendapat musibah bahkan saat berbahagia pun senantiasa mengingatNya.

d. Bukti cinta kasih kepada sang Budha. Masa-masa sulit baik kecil maupun

besar pasti dialami setiap manusia namun mereka bisa melewatinya selama setahun kebelakang dan dapat menjalani hari-hari di tahun depan berkat kemuliaan sang budha.


(52)

3.2 Penyelamatan Roh Anak-Anak

Kata penyelamatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan menyelamatkan. Penyelamatan roh bertujuan agar roh yang baru memasuki dunia bawah, dituntun serta diselamatkan dengan berbagai metode mistis yang dipercayakan kepada dewa anak yang disembah masyarakat Jepang.

Menurut Ikegami dalam kepercayaan tradisional Jepang, roh dibedakan menjadi tiga bagian:

a. Reii (mana)

Disebut juga dengan mono,chi, tsu, hai dan sebagainya yaitu sesuatu

benda yang dianggap memiliki kekuatan misrterius.

b. Roh manusia

Roh orang hidup disebut juga dengan tamashi, mitama, ikimitama, ikiryo,

Sedangkan roh orang mati disebut juga dengan serie, hotoke, onrei,

serosoma, dan sebagainya. Kemudian setelah meninggal 33 atau 50 tahun dan diberi sesajen hingga suci disebut dengan senzo.

c. Roh Alam

Disebut juga dengan Animisme.

Semua roh-roh tersebut dipercaya memiliki kekuatan misterius. Dengan kekuatan misterius tersebut dapat membuat kesusahan atau memberi pertolongan kepada manusia. (Situmorang, Hamzon 2009: 43-44)

Dikatakan juga bahwa salah satu cara Ojizo dalam menyelamatkan roh di


(53)

teratai yang sedang Ia injak. Begitu mendengar banyaknya jeritan dari bawah teratai yang terhubung ke alam neraka.

Ojizo yang merupakan bagian dari makhluk suci yang dicintai di Jepang dipandang sebagai penyelamat yang bertugas untuk meringankan penderitaan mereka yang menjalani hukuman di neraka, dan jawaban doa-doa untuk kesehatan

serta kesuksesan hidup dan patung Ojizo dianggap sebagai teman bagi banyak

ora

Adapula istilah Jizōbon, Jizōbon adalah peringatan untuk Jiz

yang diadakan setiap bulan diJizō Bosatsu setiap tanggal 24, atau

perayaan Jizō Bosatsu yang dilangsungkan tanggal 24 bula

masa , Jizō

Bosatsu dipercaya sebagai dewa peli neraka. Sejak zaman kuno, perayaan ini dipercaya dapat melindungi anak-anak dari wab Jizōbon dapat saja dilangsungkan beberapa hari sesudah atau sebelum tanggal 24 bergantung kesiapan orang tua, sehingga sering dilakukan pada hari

Selain perayaan tanggal 24 bulan 7 kalender lama, perayaan Jizō yang

dilakukan setiap bulannya pada tanggal 24 disebut Jizō-e (upacara Jizō). Perayaan Jizō Bosatsu tanggal 24 bulan 7 kalender lama masih dalam rangka perayaan

Obon sehingga disebut Jizōbon. Jizōbon umumnya tidak merayakan Jizō Bosatsu


(54)

jalan yang dipercaya sebagai dewa jalan (dōsojin) pelindung para pelancong dan penyelamat anak-anak dari setan neraka

Jizōbon adalah festival yang ditujukan kepada anak-anak, dan dimeriahkan dengan pembagian kantong berisi atau penarikan undian. Perayaan dilakukan di kuil kecil berisi rupang batu Jizō yang diberi persembahan bunga dan permen. Ada pula perayaan yang disertai

dengaJizōbon adalah acara terakhir bagi

mereka sebelum berakhirnya libur

Dalam masalah penyelamatan anak, para orang tua mempercayakan segalanya pada Ojizo yang mereka agungkan. Dipercaya bahwa Ojizo senantiasa akan melindungi, menyembunyikan para anak di dalam jubahnya, dan mempersilahkan mereka mendengarkan doa dan mantra-mantra.


(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Jepang adalah salah satu negara dengan tingkat perekonomian terbesar di dunia dan kemajuan IPTEK yang pesat, meski demikian Jepang tidak terlepas dari masalah-masalah ritual dan pemujaan religius. Jepang merupakan negara yang memiliki sistem kepercayaan politheisme yaitu melakukan penyembahan kepada Kami (dewa) yang sangat banyak. Orang Jepang juga mempercayai ajaran budha, yang mana patung Ojizo dipercaya sebagai dewa anak-anak.

Ojizo adalah patung Budha kecil yang biasanya ada dilereng gunung, atau berjajar dikawasan kuil. Yang sering dikunjungi dengan membawa makanan, buah-buahan, topi dan pakaian ganti serta mendoakan arwah anak didepana patung tersebut. Ojizo di Jepang sama dengan Ksitigarbha yang ada dalam ajaran Hindu India.

Menurut pandangan Jepang kuno, anak-anak yang meninggal mendahului orang tuanya dianggap sebuah dosa. Sehingga para Ojizo diharapkan membantu para arwah anak-anak dan dipuja sebagai pelindung jiwa mizuko, atau jiwa yang mati sewaktu dilahirka

Dikatakan bahwa jiwa-jiwa para anak yang meninggal di bawah usia 7 tahun mendahului orang tuanya tidak dapat menyeberangi seorang diri bersedih dan tidak memiliki kesempatan untuk mengumpulkan perbuatan baik.


(2)

Perbuatan baik dipercaya dapat menambah kekuatan roh untuk melewati dunia di kehidupan berikutnya. Dikarenakan jiwa anaknya tidak mampu menyeberangi sungai mistis sanzu, para orang tua yang anaknya meninggal diusia kurang dari 7 tahun mendatangi patung Ojizo untuk menyembah patung tersebut. Dipercaya bahwa Ojizo menyelamatkan jiwa-jiwa anak yang meninggal di bawah usia 7 tahun dari menjadi batu abadi di tepi sungai sebagai menyembunyikan mereka dari par mereka mendengar mantra-mantra sang budha.

Di Jepang juga terdapat banyak ritual-ritual keagamaan, dan hampir memiliki upacara masing-masing dalam berbagai fasenya. Yang memiliki tujuan-tujuan yang jelas dan sesuai dengan ajaran kepercayaan yang mereka anut agar terhindarnya mereka dan keluarganya dari mara bahaya dan musibah.

4.2. Saran

Melalui analisis yang dilakukan mengenai Fungsi Patung Ojizo dalam Masyarakat Jepang, dapat kita ambil beberapa sisi positif yang dapat bermanfaat. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Penulis berharap agar mahasiswa lainnya dapat melanjutkan penelitian dengan patung yang berbeda dan penyembahan atau ritual yang lainnya agar pengetahuan tentang kebudayaan Jepang semakin luas.

2. Kita dapat mengambil sisi positif dari perilaku masyarakat Jepang yang tetap mejaga kelestarian tradisi dan budayanya dengan tetap melaksanakan


(3)

kebudayaan tersebut. Namun sebagai bangsa yang menganut sistem monotheisme kita cukup melaksanakan yang sesuai dan sejalan dengan kepercayaan yang kita anut.

3. Penulis juga berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan pembaca mengenai kebudayaan Jepang.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Yogyakarta: Gajahmada University press

Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu Kejepangan I (Edisis Revisi). Medan: USU Press. Irohmi, T.O. 2006. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor indonesia Wisadirana, Darsono. 2004. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM pres

Suryohadiprojo , Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjuangan Hidup. Jakarta: Penerbit UI Pustaka Bradjaguna

Nasution, M. Arif. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Damayanti, Lisbeth. 2009. Ritus-ritus Dalam Daur Hidup Masyarakat Jepang. Skripsi Sarjana. Medan: Fakultas Sastra USU

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.

2014

2014

http://www.japanese-buddhism.com/jizo-bosatsu.html # sthash.NJFl5hD1.dpuf diakses pada tanggal 19 Maret 2014


(5)

要旨

日本社会に ほ ん し ゃ か いにお地蔵の機能じ ぞ う き の う

日本

に ほ ん

は、

せ か い

世界で近代的

きんだいてき

か が く ぎ じ ゅ つ

科学技術が急 速

きゅうそく

はったつ

発達して最大

さいだい

けいざい

経済を持

くに

国として知

られているが、

ひとびと

人々は祖先

そ せ ん

ぶ ん か

文化と伝 統 でんとう

を ひじょう

非 常 に 尊 重 そんちょう

してい る。

にほん

日本の 社 会 しゃかい

によって

しょうめいきょう

証 明 今 日 はまだ 実 行 じっこう

されていると、 かれ

彼 らが 公 言 信 念

こうげんしんねん に

かんれん

関 連 して、すべての 礼 拝 れいはい

や ぎしき

儀式を 実 現 じつげん

していることが おお

多 い。

日本

に ほ ん

かみがみ

神々の数

かず

ひじょう

非常に多

おお

かんが

考 えられており、各神

かくかみ

はそれぞれの

ぎ む

義務 と役割

やくわり

持っている。 日本

に ほ ん

では、

亡くなった人

ひと

が、しかし

すうねんいっていきかん 数 年 一 定 期 間 に よって、祖先

そせん の

れい

霊 や 神 々 かみがみ

になっていることをしんじる。 これらの

かみがみ 神 々 は、世界

せかい

にある かぞく 家族を守

まも

るために かみ

神 の儀式 ぎしき

の なか

中 でまともな 製 品 せいひん

や れいはい

礼 拝 を 取 得

しゅとく

することが ひつよう

必 要 がである。. 取 得

しゅとく

しない ばあい

場合は、 神 々 かみがみ

が、 かぞく 家族や 子孫

しそん を

さまた

妨 げる霊 れい

となれる。

まれてから

死ぬまで、日本

に ほ ん

ではいつもの

ぎ し き

儀式や礼拝

れいはい

おこな

行 われる。 日本社会

に ほ ん し ゃ か い

に、

に ほ ん

日本で生

まれた

あか

赤ちゃんは、神々

かみがみ

せ ん ぞ

先祖の過去

か こ

の う

生まれ変 か

わり や

けしん

化身であると信 しん

じる。 あか

赤 ちゃんに与 あた

えられた なまえ 名前が彼

かれ らの

せんぞ

先祖の名前 なまえ

に よく

そのことで

似ている。

日本 にほん

に おのおの

各 フェズ

ふ ぇ ず

っ て 、

によって、 神 々 かみがみ

のためのお こ 子の割

わ れ た

ぎしき 儀式が多

おお い

じゅよう

需 要 によって 礼 拝 れいはい

と ぎしき 儀式を 行

おこな

うことが ひつよう

必 要 としんじる。 それは、日本

にほんしゃかい

社 会 が 災 害 さいがい

から はな

離 すためにするという 目 的 もくてき

である。

日本

に ほ ん

じんりょく

尽 力 した一人

ひ と り

かみ

神がお地蔵

じ ぞ う

で、お

じ ぞ う

地蔵は普通

ふ つ う

やま

山の斜面

しゃめん

てら

寺 の周

まわ

りにある

ぶつぞう

仏像である。日本

に ほ ん

にあるお

じ ぞ う

地蔵はインド い ん ど

hinduのksitigarbha と

おな 同

じである。 お地蔵

じぞう は

あか

赤 ちゃんの例 れい

の ほ ご

保護として信 しん

じられる。 お

じぞう 地蔵の顔

かお

も こども 子供に似

ているように あか


(6)

お地蔵 じぞう

は めいかい

冥 界 [

(じごく 地獄]

) に

あか

赤 ちゃんと子供 こども

の ほ ご

保護である、地獄 じごく

からき た の

あくま 悪魔 に 助

たす け た

しゅごしん

守護神 と し て で あ る 。 意味 い み

は 、

りゅうざん 流 産 、 痛

いた み 、 しんたいしょうがい

身 体 障 害 などの 出 生 前 しゅっしょうまえ

に しぼう

死亡する子 こ

どもたちである。お

じぞう 地蔵は 仏

ほとけ

の すがた

姿 で地獄 じごく

に せいそく

生 息 する生 い

き もの

物 のように述 の

べた、 かれ

彼 は地獄 じごく

そらないよう 空 内 容 にな るまで、 地獄

じごく を

のこ

残 さないと 約 束 やくそく

した。 いくつかの

おさな

幼 い 子供 こども

たちは、 たんいつ

単 一 のお地蔵 じぞう

の はか

墓 で 行 おこな

うことができる。 ぶんか

文化によると、 彼 かれ

らの

りょうしん 両 親 の 前

まえ に

しぼう

死亡した子 こ

どもたちは つみ

罪 とみなされる。お地蔵 じぞう

は こ

子どもたちの 霊 れい

を たす

助 けるために期待 きたい

ぷ ろ て く た プロテクタ水子

みずこ の

たましい

魂 、 出 生 時

しゅっしょうじ の

ししゃ 死者の 魂

たましい 、 りゅうざん

流 産 や胎児 たいじ

ちゅうぜつ

中 絶 として崇 あが

める。

日 本 社 会 にほんしゃかい

が おや

親 の 前 まえ

に しぼう

死亡した子供 こども

たちは

つぎせいかつ

次 生 活 に一人 ひとり

しんぴてき 神秘的 なさんず 川

かわ

をわたることが で き

出来 ないと 信 しん

じる。

りょうしん 両 親 が 苦

くる

しませて、 ぜんこう

善 行 を 収 集 しゅうしゅう

するきかいがないからである。 とき

時 には、その 彫 像 ちょうぞう

が こども 子供 に 養

やしな う

くだもの

果 物 スナック す な っ く

、おもちゃ、

え ぷ ろ ん エプロン、赤

あか

ちゃんの ふく

服 をきてみられ た。 両 親

りょうしん の

かな

悲 しみの印 いん

として どうぞう

銅 像 の周 まわ

りに はいち

配置する。子供 こども

の いのち

命 を 守 まも

って、お

じぞう

地蔵に 感 謝 かんしゃ

の しるし

印 として 両 親 りょうしん

がれいはいを おこな